A.N. Enjoy! Jangan lupa vomments kalau suka ;). Thank you *love* *love*!
[Short re-Chapter]
Aku segera berdiri, mengijinkan diriku sendiri pergi ke toilet, untuk membasuh wajahku yang panas tak ampun. Aku tak bisa bilang bahwa aku memerah karena malu atau karena alasan lain. Namun, yang kini kurasakan sangat berbeda dengan apa yang kurasakah ketika bersama Harry.
Baru saja hendak berjalan keluar dari toilet, seseorang menghentikan langkahku. "Hei Amy, bisa bicara?"
+++
Jantungku bagaikan berhenti berdegup. Aku mengerjapkan mataku berulang kali, memastikan sosok di hadapanku bukan hanya khayalanku semata. "Zayn?" gumamku pelan, entah apa yang sedang berkecamuk dalam pikiranku.
Aku sama sekali tidak keliru, lelaki yang tengah berdiri di depanku benar-benar seorang Zayn Malik. Aku tidak tahu apakah aku harus mengumpat atau bersyukur untuk hal semacam ini. Tersadar dari lamunanku sendiri, dengan gugup aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. "Ah, maaf. Tadi kau bilang apa?
"Aku ingin kita bicara," Zayn menatap mataku dalam, "Maksudku, membicarakn hubungan kita yang tak jelas ini."
Aku merasakan tubuhku membeku mendadak. Apa katanya? Membicarakan hubunganku dengannya? Sebenarnya apa lagi yang perlu dibahas?
Seketika, aku merasa darahku naik. "Maaf Zayn, tapi tidak ada yang perlu kita bahas ulang tentang hubungan kita dahulu. Kita sudah putus, okay?"
"Aku belum dan tak pernah bilang bahwa kita putus, bukan begitu?" ucapnya.
"Kalau begitu, jika benar kita belum putus. Untuk apa kau berduaan dengan Gigi atau gadis lainnya di hadapanku?" Aku terkekeh sinis, emosiku benar-benar sudah di ujung kepalaku. "Apa hanya untuk menunjukkan bahwa kau bisa dengan mudahnya mencari gadis lain setelah putus denganku? Maaf Zayn, aku bukan permainan." Aku memutar kedua bola mataku, hendak melangkahkan kaki saat ini juga.
Zayn menaruh kedua tangannya di pundakku, menahanku. "Amy, aku ingin menjelaskan semuanya. Kalau kau berpikir aku sudah mengatur script sedemikian rupa hanya untuk bermain-main denganmu lagi, kau salah. Bahkan, aku tak menyangka kita bisa bertemu malam ini. Aku sungguh ingin berbicara denganmu. Aku tak bisa selamanya mengacuhkanmu, berpura-pura mengganggumu untuk mencari perhatianmu."
"Apa?" Aku tersedak ludahku sendiri.
"Kumohon, ikut aku." Tak sempat aku menimpali ucapannya, Zayn langsung menggenggam tanganku dengan sangat erat, membuatku mau tak mau ikut bersamanya—entah ke mana. Lihat, bahkan caranya menggenggam tanganku pun, aku tak suka. Maksudku, apa dia tak bisa lebih lembut sedikit saja?
Zayn menghentikan langkahnya tiba-tiba, membuatku hampir menabrak punggungnya. Ternyata ia membawaku ke balkon restoran. Angin malam berhembus sepoi-sepoi, membuat rambutku menari. Pemandangan memang tak seindah dalam dongeng atau cerita romansa, karena yang bisa aku lihat dari atas sini hanyalah jalan raya dan gedung-gedung. Namun, tak bisa kupungkiri, malam sangat menenangkan—kecuali ketika beranjak tidur.
Zayn menghampiri salah satu meja di ujung balkon, aku hanya mengekorinya lalu duduk berhadapan dengannya. "Nah, kalau di sini lebih nyaman, kan? Kita bisa berbicara sepuasnya tanpa seorangpun mendengar." Zayn menyungging senyum lebar.
Jujur saja, senyuman itu adalah hal yang paling kurindukan dari dirinya. Zayn tak pernah tersenyum padaku setelah kejadian itu. Pun, Zayn memang orang yang cuek dan hanya tersenyum untuk beberapa orang saja. Walau begitu, banyak gadis yang mengincarnya. Aneh, bukan?
"Baiklah." ujarnya, "Aku tak tahu harus mulai dari mana." Ia terkekeh.
"Zayn, teman-teman pasti menunggu kita di bawah.." ucapku terang-terangan, tak ingin membahas kejadian lampau yang menggores kenangan buruk dalam hidupku.
"Aku akan cepat. Kumohon." pintanya, memelas padaku. Aku tak sanggup ketika ia menunjukkan puppy face-nya. Akhirnya aku mengalah, aku mengangguk.
"Amy, maafkan aku karena waktu itu aku mempermainkanmu seenaknya. Pada awalnya aku memacarimu karena sebuah taruhan. Tetapi lucunya, aku tak bisa berkata tidak ketika kau ingin tinggal bersamaku." Ia menatap manik mataku bergantian.
"Dan, tentang obat-obat itu, aku minta maaf, aku telah berbohong padamu. Jujur saja, aku mengonsumsinya karena stress ketika ayah dan ibuku mengatakan ingin bercerai. Aku tak bisa bercerita padamu, atau pada sahabat-sahabat yang lain. Maka dari itu, pelampiasanku adalah obat itu.
"Bahkan aku mencari gadis lain saat itu karena aku tahu, suatu saat kau takkan menerimaku setela mengetahui semuanya. Aku butuh seseorang yang dapat menemaniku."
Aku hanya duduk dalam diam, mencerna setiap ucapannya. Aku hanya dapat berharap, setelah ini, hubunganku dengan Zayn dapat berjalan lebih baik. Sebagai sahabat, tentunya.
"Aku tak sadar ketika menyakitimu, sungguh. Saat itu aku tak bisa mengontrol tubuhku. Jadi, maafkan aku—lagi, untuk kesekian kalinya. Setelah kau pergi, aku berpacaran dengan Gigi. Ketika itulah, aku mulai sadar bahwa cintaku ada padamu. Gigi bukanlah dirimu. Aku tak dapat merasakan sayang tulus darinya, tidak sepertimu.
"Ingin rasanya aku mendapatkan kamu kembali. Namun, tidak mungkin, apalagi jika mengingat masa itu." Zayn menghela nafasnya panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "Yah, makanya aku sangat cemburu ketika kau bersama lelaki rambut keriting itu. Maafkan aku, sekali lagi, karena keterlaluan mengganggumu."
Hingga ucapannya sedetik lalu, aku merasakan mataku mulai berkaca-kaca. Entah apa yang seharusnya aku rasakan sekarang ini. Ingin percaya atau tidakpun sama sekali tak terbesit dalam otakku.
Tiba-tiba iPhone-ku—pemberian Harry—berdering, menandakan seseorang baru saja menelponku. "Maaf, sebentar." potongku dengan sopan. Kemudian menerima panggilan tersebut.
"Hei, kamu di mana? Pesananmu sudah datang dari tadi. Jangan bilang toiletnya penuh." tanya seseorang di seberang sana. Siapa lagi kalau bukan Harry? Hanya Harry yang punya nomor telepon iPhone baru ini.
"Ah, a-aku sedang, erm," jawabku gelagapan, tak tahu alasan mana yang tepat.
"Bilang saja kau bertemu dengan om-mu di depan toilet." bisik Zayn.
Aku mengangguk dan segera menjawab Harry. "Har, aku bertemu dengan om-ku ketika aku keluar dari toilet. Aku diajak makan bersama dengan mereka, sebentar ya." timpalku menutup sambungan telepon sepihak.
Aku menghela nafas. "Baiklah, lanjutkan saja Zayn."
"Amy, ada suatu kabar baik. Semoga kau turut senang. Aku sudah berhenti dari obat-obat terlarang itu, ataupun hal illegal semacamnya. Juga, kemarin aku memutuskan untuk tak berhubungan dengan gadis manapun lagi. Aku hanya akan memberikan hatiku dan diriku sepenuhnya pada gadis yang kucintai saja." Lelaki di hadapanku memamerkan giginya yang berderet rapi.
Sangat terlihat bahwa ia juga bangga akan hal itu. Aku hanya ikut tersenyum menanggapinya. Di dalam tubuhku, ingin ku berteriak senang karena aku bisa melihatnya kembali seperti dirinya yang selalu kurindukan.
"Yah, sebenarnya aku ingin meminta maaf dan meminta satu hal padamu," Zayn tersenyum canggung, "Aku sangat menyayangimu, Amy. Aku harap kita bisa kembali seperti dahulu, membuat kenangan bersama kembali, mulai dari awal. Aku tidak memaksa, kau boleh menolaknya."
Ia kembali membuatku terkejut tak kepalang. Di satu sisi, memang aku masih menginginkannya menjadi bagian dalam hidupku. Namun, aku tak pernah berpikir pada akhirnya Zayn bisa bersamaku kembali. Sulit dipercaya, tetapi inilah kenyataannya.
Setelah mendengar semua penjelasannya seperti ada rasa euforia dalam hatiku, terasa bagai berbunga-bunga. Bagaimanapun, lelaki di hadapanku adalah cinta pertamaku. Seseorang yang dahulu, bahkan hingga sekarang masih kusayangi.
Maafkan aku, Dad, Mom, Sissy, Cara, Ele, dan the boys. Aku tak bisa menolak lelaki ini.
Aku mengangguk sambil tersenyum lebar. Zayn membulatkan matanya, seakan tak percaya dengan jawabanku sebelumnya. "Ya, Zayn. Aku masih mencintaimu. Mari kita ulang dari awal."
Detik selanjutnya, Zayn segera bangkit dan memelukku. Ia berbisik tepat di telingaku, "Thank you, love.."
Aku membalas pelukannya. Diriku sendiri tak sadar sedari tadi aku menyunggingkan senyuman lebar. Jika ditanya, apa aku senang? Tentu, aku sangat bahagia.
Tiba-tiba iPhone-ku kembali berdering. Menyadari Harry menelponku kembali, aku segera melepaskan pelukan Zayn. "Zayn, kita harus ke kembali—dengan strategi."
Ia mengacungkan jempol, kemudian menyuruhku untuk melangkahkan kakiku terlebih dahulu dari padanya. Sebisa mungkin, aku menyembunyikan wajahku yang berseri-seri.
Tepatkah keputusanku untuk memberikannya kesempatan kedua? Benarkah aku masih mencintainya? Atau aku hanya lumpuh dalam permainan kata-katanya saja?
---
To be Continued...
Last Update : Saturday, July 1, 2017. 11:11 PM (WIB).
Next Update : Sunday, July 2, 2017.
Panjang, kan? Wordsnya cukup banyak loh, 1181 words. he-he..
Gud nait.
Don't forget to give votes and comments if you like the story. See youthen in the next chapter of Night Changes! Xx
-Janx