I never liked to admit that i was wrong-Harry styles
••••••••••••••••••••••••••••••
"Apa maksudmu Olive?." ucapnya berjalan mendekatiku, spontan aku memundurkan langkahku mencoba mengambil jarak darinya, aku tidak bisa dipaksa seperti ini karena aku butuh ruang untuk menjawab semua pertanyaannya.
"Entahlah, intinya menjauh darimu." balasku memutar tubuhku membelakanginya.
"Katakan sekali lagi dengan jelas, tatap aku dan katakan bahwa kau ingin menjauh dariku." balasnya kini dengan nada suara yang lebih serius.
Seharusnya dia tahu bahwa aku tidak serius dengan ucapanku, aku hanya kesal padanya. Dan setiap kali kesal aku tak dapat berfikir jernih dan tak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya.
"Terserah kau saja, lakukan apapun semaumu." ucapnya ketus kemudian kudengar dentuman pintu bertanda bahwa dia sudah pergi.
Lagi, aku tak dapat menahan air mata yang jatug dari pelupuk mataku. Ya Tuhan, haruskah nasibku seperti ini. Seharusnya aku menjauhi seseorang yang hampir menjadi tersangka pembunuh ibuku, bahkan aku tidak tahu pasti akan keyakinanku ini. Apa yang harus kulakukan sekarang?. Andai saja ibuku belum meninggal pasti saat ini aku masih membantunya membereskan sisa makanan yang tersisa dan sesekali tertawa kecil membahas hal aneh yang bahkan tidak lucu. Seandainya aku tahu bahwa semua akan menjadi seperti ini aku lebih memilih untuk hidup seorang diri ditempat ayahku dan mencari pekerjaan yang cocok untukku. Sial karena semua yang kukatakan sama sekali tidak berguna, sama sekali.
Seharian aku bergelut dengan pikiranku sendiri, memutar posisi tubuhku diranjang sembari menatapi langit langit dengan tatapan kosong. Benar benat membuatku sangat bosan, entah kenapa ada sesuatu yang melintas dan mengatakan bahwa aku harus segera meninggalkan tempat sialan ini dan pergi mencari udara segar. Tapi aku tidak punya uang untuk sekedar duduk disebuah cafe murah untuk menyegarkan otakku. Kulirik jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam, rasanya cepat sekali waktu berlalu. Padahal baru beberapa menit yang lalu aku bertengkar dengan Harry dan akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkanku ditempat sialan ini, seolah mengutukku untuk jauh dari dunia.
Aku bangkit ranjang dan berjalan menuju ruang tamu barangkali ada sesuatu yang bisa kugunakan. Dan untungnya kali ini dewi fortuna berpihak padaku, kartu kredit milik Harry tertinggal di meja dekat Tv, entah dia sengaja meninggalkannya atau tidak tapi ini sebuah kesempatan untukku, lagi pula dia tak akan marah bila kugunakan kartu kreditnya. Aku meraihnya dan seolah baru saja menemukan bayi yang hilang dan menjunjungnya kelangit langit, hingga akhirnya aku tersadar bahwa yang kulakukan sangatlah konyol.
Kubawa langkahku menuju paper bag yang berisi pakaian untukku yang belum kupindahkan ke lemari pakaian, ku ambil ripped jeans dan segera memakainya. Lalu bagian atas hanya kubalut dengan kaus putih polos dan sangat ketat ditubuhku, menampakkan setiap lekuk dari tubuhku. Entah kenapa aku merasa seperti sangat terekspos menggunakan kaus ini, jadi kuputuskan untuk menambahkan syal tipis dileherku dan membiarkannya menjuntai melewati perutku. Kemudian berjalan menuju buffet mencari barangkali ada lip gloss atau apa disana namun terkaanku salah, tentu saja salah! Mana mungkin seorang Harry Styles menyimpan lip gloss di buffetnya. Dasar tolol! Makiku dalam hati.
Kini aku sudah berada di pintu keluar gedung ini, dan otakku buntu tak tahu kemana aku harus pergi. Jadi kuputuskan untuk berjalan sedikit siapa tahu ide muncul diotakku dimana aku harus singgah.
Setelah beberapa menit otakku mengatakan bahwa bar mungkin dapat menyegarkan pikiranku, musik dan lain lain mungkin dapat membantunya. Tanpa pikir panjang kuhentikan taxi dipinggir jalan dan segera masuk kedalamnya.
"Mau kemana kita nona?." tanya supir taxi itu sembari melihatku dari spionnya.
"Hmm, apa kau tahu dimana bar bagus disini?." tanyaku sebelum akhirnya memutuskan keputusanku.
Dia tampak berfikir sebentar kemudian menjawab bahwa dia tidak tahu bar bagus disini karena dia tidak pernah mencobanya satu persatu, tapi dia mengusulkanku untuk pergi ke satu club bagus yang paling digemari kota ini. Khususnya untuk kalangan atas, dan untungnya aku mempunyai kartu kredit milik Harry. Kalau saja tidak, mungkin saat ini aku sudah duduk ditepi jalan berharap sesorang menyumbangkan dollarnya untukku. Ew.
"Ini dia clubnya nona, kita sudah sampai." ucapnya memberhentikan taxinya didepan gedung besar bertuliskan ElectroClub dengan untaian lampu magnetik disekelilingnya.
Akupun turun setelah memberikan bayaran kepada supir taxi tersebut, kuharap tempat ini tidak terlalu buruk untukku.
Kulangkahkan kaki masuk kedalam Club ini, dentuman musik langsung terdengar menyeruak ketelingaku seolah ingin mengoyaknya. Namun lama kelamaan aku terbiasa dengannya, saat aku tiba ditengah ruangan kulihat banyak sekali wanita dengan pakaian minim sedang menggoyangkan tubuhnya dilantai dansa bersama pasangannya. Ditambah lagi dengan penari striptis yang tidak menggunakan sehelai benangpun ditubuhnya, aku memalingkan pandanganku dari mereka. Entah kenapa aku merasa malu saat melihat sesama wanita sepertiku rela seperti itu hanya karena uang, apakah tidak ada pekerjaan lain untuk mereka? Ah sudahlah, mereka berhak melakukan apapun yang mereka mau dan itu bukan urusanku.
Kucari booth yang kosong untuk kududuki, dan seorang pelayan dengan pakaian yang hampir bisa dibilang hanya sebuah bra dan celana dalam menghampiriku.
"Ada yang bisa aku bantu?." ucapnya memberikan senyuman datar.
"Apa kau punya sesuatu yang tidak terlalu beralkohol?." tanyaku seolah aku ini seorang gadis polos yang tersesat dan berakhir di club ini.
"Tentu, air mineral." ucapnya sedikit tersenyum meremehkanku, aku dapat melihatnya dengan jelas saat lampu disko sedikit menyorot wajahnya.
Sialan, dia pikir aku tidak pernah datang ke tempat seperti ini. Dulu tempat seperti inilah yang biasanya jadi tempat mainku dan teman temanku. Hanya saja malam ini aku tidak ingin mabuk dan akhirnya berakhir tidur di pinggir jalan. Oh Olive! Mengapa dari tadi kau terus memikirkan itu! Batinku membentak.
"Vodka." jawabku singkat dan dia segera berlalu dari hadapanku.
Beberapa menit aku menunggu pesananku datang namun tak kunjung datang juga, hingga akhirnya pandanganku tertuju kepada seorang pria tampan yang duduk di booth depan, tepat didepanku. Wajahnya maskulin dan juga sangat intens, ditambah dengan rambut tipis dirahangnya membuat pria itu tampak menawan. Oh Tuhan, sepertinya aku mulai memperhatikannya. Cepat cepat kualihkan pandanganku darinya sebelum akhirnya bergantian dialah yang terus memandangiku.
Aku merasa sedikit aneh saat diperhatikan seperti ini, namun untungnya minumanku datang dan sedikit mengalihkan perhatian pria itu dariku. Kuminum sedikit dari gelas kaca tersebut, kemudian dari sudut mataku kulihat seseorang yang sudah tak asing lagi dimataku. Kendall. Dia datang menghampiriku dengan baju yang lebih terbuka dari sebelumnya, andai aku lelaki mungkin aku akan menyewanya untuk satu malam. But hey? Bukankah itu tujuannya? Batinku ikut campur.
"Sudah kau katakan pada Harry?." tanyanya tanpa basa basi langsung duduk di boothku.
"Aku bertengkar dengannya." entah kenapa aku berkata jujur, sedetik kemudian kembali kuseruput vodka milikku.
"Dan ini jalan keluar yang kau lakukan?." tanyanya lagi, sesungguhnya saat ini aku ingin sendiri tapi tampaknya hal itu tak cukup bagus untuk dilakukan.
"Ya, kau tahu burung sekalipun ingin bebas walau dikurung di sangkar emas." balasku lagi lagi entah kenapa seakan aku sudah mengenal Kendall dengan dekat, kuminum lagi vodkaku. Apa ini efek dari minuman ini?
"Aku prihatin denganmu." ucapnya sembari memainkan kuku kuku lentiknya dimeja.
Alisku mengerut, tidak mengerti akan maksudnya. Apa yang memangnya harus diprihatinkan dariku? Aku bahkan sudah terbiasa hidup seperti ini.
"Prihatin?." Balasku bertanya sambil spontan tersenyum miring.
"Seandainya kau tahu yang sebenarnya tentang Harry." perkataannya membuatku penasaran lagi dan lagi, aku membenarkan posisi dudukku walah kutahu aku sudah berada diposisi yang benar. Namun itulah yang akan kulakukan disaat aku gelisah, seperti saat ini.
"Apa maksudmu?." aku bertanya senetral mungkin agar dia tidak terlalu menafsirkan bahwa aku sudah mati penasaran.
"Tunggu dulu, pria itu terus memperhatikanmu." ucapnya melarikan pembicaraan. Aku spontan melihat kemana arah mata Kendall, ternyata pria itu masih disitu dan masih memperhatikanku.
"Aku tahu." jawabku singkat.
Saat ini pikiranku hanya terfokus pada ucapannya yang mengatakan bahwa aku tidak mengetahuinya yang sebenarnya tentang Harry.
"Katakan padaku apa itu?." tanyaku seolag tidak memaksanya untuk menjawab namun aku tahu bahwa dia sudah pasti tahu bahwa aku memaksanya untuk menjawab.
"Dia tertarik padamu." jawabnya masih memperhatikan pria itu, sanggup sekali dia memperhatikan pria selama itu.
"Bukan dia, maksudku Harry." balasku lagi.
"Apa kau tahu siapa dia?." tanyanya sekali lagi tapi kali ini tidak seperti pertanyaan melainkan pemberitahuan bahwa dia mengenal pria itu, kini dia menghadapkan pandangannya padaku.
"Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu." balasku singkat.
Dia tersenyum miring sambil menatapku dengan tatapan aneh.
"Dia pemilik usaha wine yang sudah mendunia, bahkan harta Harry mu tak cukup untuk dibandingkan dengan dia." ucapnya menjelaskan. Jujur aku terkejut dengan pernyataannya, namun ada sedikit rasa kesal saat dia membanding bandingkannya dengan Harry.
"Aku akan mengatakan yang sejujurnya jika kau berhasil mengajaknya makan malam." ide aneh itu keluar dari mulutnya tanpa memikirkannya terlebih dahulu.
Bagaimana bisa aku melakukannya? Dibanding dengan gadia gadis disini saja aku tidak ada apa apanya. Dan lagi lihat pakaianku saat ini, ew menjijikkan. Bahkan tak ada satupun gadis yang duduk disampingnya. Lalu apa yang dia lalukan disini?
"Bahkan tak ada satupun dari kami yang bisa tidur dengannya." ucapnya sekali lagi dan membuatku menggelengkan kepalaku.
"Kau pasti bercanda." balasku sedikit meletakkan nada humor didalamnya.
Namun kulihat tak ada senyum seringai atau apa diwajahnya, dia serius.
"Kalau kau bisa mendapatkan Harry itu berarti kau juga bisa mendapatkan pria itu." ucapnya kini meremehkanku.
"Itu lain hal! Kau tidak bisa memaksaku melakukan itu!." bentakku sedikit menekan gigi gigiku.
"Aku tidak memaksamu, kau lakukan itu dan kukatakan semuanya padamu. Jika tidak, kau tidak akan mengetahui sehelai informasi tentang Harry." kalimatnya masuk menusuk otakku, bagaimana bisa aku mengajak seorang pria untuk makan malam. Aku bahkan tidak mengetahui namanya.
"Terserah padamu." ucapnya mencoba bangkit dari boothku namun secepat kilat aku menahannya agar tidak pergi, lihat Harry? Aku bahkan rela melakukan ini hanya untik mengetahui kebenaran tentangmu! Batinku mengeluh.
"Baiklah, hanya makan malam. Kau harus berjanji padaku." ucapku mencoba menekankan kalimatku dan aku benar benar serius dengan omonganku.
"Kau boleh menculikku bila perlu menyiksaku jika aku mengingkari janjiku." sumpahnya terdengar akurat.
Huhh! Baiklah! Kau bisa Olive! Hanya makan malam, hanya makan malam. Kuputar kalimat itu berulang ulang diotakku sembari aku berjalan mendekati booth pria yang sedari tadi memperhatikanku. Sama halnya denganku dia sedikit terkejut saat aku menghampirinya dan hanya berdiri mematung di depan boothnya.
"Kau mau duduk?." ucapnya sedikit gugup. Tanpa menjawab atau apapun aku memilih mendaratkan bokongku di boothnya, dia tersenyum canggung sama sepertiku.
"Kau mau pesan minum?." dia akhirnya mengeluarkan pertanyaan setelah kelang beberapa menkt tawarannya untuk menyuruhku duduk.
"Ya boleh." jawabku benar benar gugup tak tahu apa yang selanjutnya akan kulakukan.
Namun saat dia memesan minuman kepada pelayan kulihat di boothku, Kendall menatapku seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Grey Willingson." ucapnya memperkenalkan dirinya sembari menjulurkan tangan kearahku.
"Olivia Smith, atau Olive aja." balasku sembari menjabat uluran tangannya dan diapun tersenyum padaku.
Daripada mati kutu tak tahu apa yang kulakukan disini lebih baik aku jujur padanya tentang maksudku.
"Ehm... Jadi."
"Gadis itu temanmu?." ucapnya memotong pembicaraanku. Dengan cepat aku menggelengkan kepalaku.
"Baguslah." ucapnya tersenyum.
"Bukan, tentu saja tidak. Jadi begini, aku bertaruh sesuatu padanya. Pertaruhannya adalah aku harus berhasil mengajakmu makan malam lalu dia akan memberitahukan sesuatu padaku, dan mungkin karena kau terus memperhatikanku adalah alasan memilihmu." jawabku panjang lebar dan juga jujur.
Dia tertawa kecil sambil meminum, wait what??? Air mineral?! Batinku terlonjak kaget saat dia meminumnya. Bukan, maksudku apa yang dia lakukan disini jika dia hanya meminum air mineral? Tidak ada sepuntung rokokpun dimeja nya, padahal dia pemilik perusahaan wine yang mendunia.
"Pertama aku akan memikirkan terlebih dahulu tawaranmu dan kedua aku tidak memperhatikanmu, maksudku ya aku memperhatikanmu tapi perhatianku bukan pada lekuk tubuhmu atau semacamnya. Tapi aku berfikir bahwa kau bukan berasal dari tempat seperti ini, lalu apa yang kau lakukan sendirian?." jelasnya sembari memasang wajah serius.
"Tolong bantu aku, aku sangat membutuhkan informasi itu. Dan tentang pendapatmu entahlah, aku datang kemari karena suatu alasan. Yaitu menyegarkan pikiranku." balasku mencoba memasang wajah semelas mungkin agar dia menyetujuinya.
"Baiklah, ayo katakan pada gadis itu bahwa aku menerima ajakan makan malammu, berhubung aku juga lapar saat ini." balasnya bangkit dari booth dan aku seakan ingin lompat setinggi mungkin akibat kegiranganku.
"Tapi bagaimana dengan minuman yang kau pesan?." ucapku tiba tiba turun dari lompatan tinggiku.
"Aku tidak memesan apapun, hanya membayar minumanmu di booth itu." balasnya kemudian menarik tanganku berjalan menuju booth dimana Kendall terduduk kaku seolah tak percaya aku berhasil mengajak pria ini makan malam.
"Kau berjanji padaku." ucapku berhenti didepan booth ku tadi menunggu jawaban Kendall.
"Temui aku di restaurant seberang besok pukul 5 sore." ucapnya bangkit dan berjalan meninggalkan aku dan pria ini dan tidak lupa menyenggol bahuku kuat sebelum akhirnya pergi meninggalkan kami.
Mobilnya berjalan menyusuri kota, sudah beberapa restauran dan cafe kami lewati tapi tak ada yang jadi tempat perhentiannya. Aku sedikit gusar dan khawatir, kendati dari tadi pria ini tak berbicara sepatah katapun membuatku semakin takut. Tapi untung ketakutanku segera berakhir saat dia memberhentikan mobil mewahnya didepan restauran Thailand yang cukup besar. Dia turun dari mobil dan berjalan mendekati pintu mobil disisiku untuk membukakannya, namun mulutku hampir aaja terjatuh kelantai saat melihat ada Harry disalah satu bangku bersama dengan teman temannya, mungkin.
"Ayo, makanan disini terkenal enak." ucapnya mencoba membujukku turun dari mobil.
"Ehm.. Bisakah kita makan ditempat lain, aku.. Aku.. Tidak suka makanan Thailand." ucapku berdusta, aku tak ingin Harry mencekikku didepan orang banyak saat tahu aki bersama pria ini. Bukannya terlalu percaya diri, hanya saja aku takut dengan segala macam hal yang akan terjadi nanti.
"Baiklah." ucapnya singkat menutup kembali pintunya dan kembali masuk ke bangku kemudi untuk mencari restauran lain.
Shitttt!!!!! Siallll, akhirnya bisa juga nyelesain chapter ini disaat gw sibuk sibuknya masalah kuliah dan otak gw buntu!!! Tapi alhamdulillah selesai juga. Mohon pengertiannya ya, jgn lupa vote dan comment ya guys
Love you, xoxo❤❤❤❤❤