[COMMISSION] Eyes [Akashi x N...

By aya_kaizumi

10.4K 1.3K 129

Keduanya dianugerahi hadiah istimewa: yang satu mampu menembus masa depan, satunya mampu menilik dimensi lain... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Epilog

Bab 3

874 128 4
By aya_kaizumi

Warning: new OC!.

.

Manusia adalah sosok yang rumit—tapi dari kerumitan itulah mereka menarik.

Madara tidak terlalu banyak bergaul dengan manusia—buat apa, dia sebagai roh kelas atas merasa bergaul dengan level rendah itu tidak ada gunanya—tapi sekalinya bertemu Natsume, orang yang mau tidak mau memegang benda vital dalam dunia per-youkai-an (maksudnya yuujinchou), kucing jejadian itu bisa dengan mudah menyimpulkan kenapa para youkai membenci makhluk hidup yang satu itu.

Mereka merepotkan.

Mereka lemah. Berapa kali Madara menyaksikan Natsume ambruk lantaran kehabisan tenaga—dan terpaksa berbaring di kamar selama berhari-hari?

Mereka terlalu banyak melibatkan diri dalam hal-hal yang tidak seharusnya menjadi urusan mereka.

Mereka juga bodoh. Terlalu bodoh, malah. Menganggap apapun yang tidak terlihat itu tidak nyata, dan mudah sekali dimanipulasi karena terlalu banyak melibatkan permainan emosi dalam kejadian apapun.

Mereka tertutup—dan sering membiarkan diri di bawah tekanan. Seandainya yang terkekang itu adalah youkai, mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk menghancurkan kekangan itu.

"Aku benar-benar tidak paham," ia menatap Natsume yang sibuk sendiri. Tumpukan buku panduan diletakkan di sebelah kirinya, tapi belum dibuka sejak awal. "Sebenarnya kau tidak usah mengerjakan PR, kan?"

Dijawab dengan lelah, "Kalau aku tidak mengerjakan PR, bagaimana dengan nilaiku? Rakuzan bukan tempat untuk sekadar bermain-main di kelas."

Manusia—mereka menetapkan standar seenaknya. Melakukan banyak hal yang terlalu menyalahi hukum alam. "Kalau kau jadi youkai, kau tidak usah repot-repot mengerjakan PR seperti itu."

"Dan kalau kau benar-benar youkai, aku tidak usah repot-repot membelikan makanan untukmu. Sensei tidak akan mati hanya gara-gara tidak makan takoyaki sebulan, kan?" Skak mat. "Sekarang diam—kecuali kau tahu bagaimana menyelesaikan persamaan aritmatika ini."

"Aku lebih suka menghitung waktu—2 jam lagi makan siang."

Natsume menggumam tidak jelas, kembali menuliskan angka-angka.

Ketika ia sudah menyelesaikan soal terakhir matematikanya, Natsume menyambar buku pelajaran di sekolah lamanya—mempersiapkan diri untuk ujian yang akan datang dalam waktu empat bulan mendatang. Mudah-mudahan saja ia sudah kembali saat itu.

Ketika tangannya membuka lembar pertama buku catatan, ia membayangkan wajah teman-temannya di sana. Ia melihat bayang-bayang wajah pasangan Fujiwara, Natori, Tanuma, Taki, Nishimura, Kitamoto, juga para youkai yang selama ini cukup dekat dengannya—

Apa mereka baik-baik saja?

Mereka tidak akan diganggu, kan?

Apakah kepergiannya benar-benar membuat mereka sedih—atau malah, berpesta ria merayakan perginya satu orang aneh dalam hidup mereka?

Sontak bukunya dihantam ke meja. Madara terlonjak, nyaris mengamuk. "Kalau tidak suka belajar, jangan malah marah-marah!"

Bicara apa kau, Natsume. Jelas-jelas mereka mengkhawatirkanmu. Kedua pipi ditepuk, berusaha mengenyahkan semua kemungkinan negatif di otak. Tubuhnya diputar hingga menghadap Madara. "Aku hanya kaget," ia menyunggingkan senyum minta maaf pada sensei-nya.

"Kaget?" alasan itu sama sekali tidak masuk akal. Madara memang bukan manusia, tapi ia mengenali perbedaan gestur kaget dan marah pada makhluk itu. "Padahal tidak ada apa-apa di sini—kenapa bisa terkejut segala?"

"Aku terlalu konsentrasi belajar sampai-sampai tidak memperhatikan serangga yang lewat." Kekehan pelan menyusul setelahnya. "Aku tidak marah, kok." Tanpa menggubris tanggapan dari Madara, ia memutuskan untuk memusatkan perhatian sepenuhnya pada lembar demi lembar pekerjaan sekolah.

Dalam satu aspek ini, Madara mau tidak mau harus mengakui—manusia adalah pembohong yang hebat—bahkan jauh lebih ulung daripada makhluk lainnya.

.

.

"Kuharap hari pertamamu di sini baik-baik saja." Kepala sekolah menatap ke arah Natsume tanpa tersenyum. "Pelajarannya bisa kauikuti dengan baik, kan?"

Jam istirahat ini, Natsume memutuskan untuk mengorek lebih banyak info tentang kasus yang terjadi—dengan alibi ingin berkonsultasi. "Agak berat—karena saya harus mengejar begitu banyak ketinggalan," akunya. "Tapi saya berusaha."

"Bagus." Tangannya menggestur Natsume untuk duduk. "Jadi, kenapa kau malah mendatangiku, dan bukan wali kelasmu?"

"Karena saya rasa Anda jauh lebih memahami seluk-beluk sekolah ini." Ia tersenyum tipis. Jarinya bersilang di bawah meja ketika bertanya, "Mungkin kedengarannya aneh—tapi, apa Bapak pernah mendengar soal kekacauan yang terjadi di Kyoto akhir-akhir ini?"

"Kekacauan?" kedua alis berkedut heran. "Kekacauan seperti apa?"

"Saya hanya mendengarnya dari beberapa orang, jadi saya tidak begitu tahu detailnya." Kalimat demi kalimat disusun dengan rapi. Jangan sampai ia mempermalukan diri atau menetapkan stigma negatif pada sekolah elit terkait. "Mereka bilang, ada beberapa orang yang nyaris meninggal gara-gara dihantui mimpi buruk. Apa Anda tahu sesuatu tentang itu?"

Wajah kepala sekolah kini penuh kerutan. Ujung kaki Natsume berderap tidak sabar, berharap bisa mendengar kisah yang menarik.

"Sayang sekali, aku tidak tahu apa-apa." Jawaban itu ganti membuat Natsume keheranan. "Seperti yang sudah kubilang kemarin, Rakuzan sama sekali bersih dari kejadian-kejadian seperti itu—sehingga aku merasa insiden barusan tidak ada sangkut pautnya dengan kami."

Natsume berusaha menatap pria yang lebih tua itu lurus-lurus, berusaha mendeteksi kebohongan—tapi tidak. Sorot mata yang balik memandangnya begitu tegas dan sama lurusnya.

"Tapi Anda mengetahui apa yang terjadi, kan?" kejarnya. "Salah seorang kerabat saya dari Kyoto mengeluhkan soal hal ini, dan dia juga murid Rakuzan—jadi saya rasa saya perlu tahu—"

"Jangan langsung menyimpulkan kalau Rakuzan adalah sumber masalah hanya dengan mengandalkan satu-dua siswa." Suaranya mengeras. Ia menatap murid laki-laki itu dengan tajam. "Natsume-kun, kuharap kehadiranmu di sini bukan untuk mengkambinghitamkan sekolah ini."

Pegangannya di pinggiran kursi mengerat. "Tidak. Sama sekali tidak."

Apakah kepala sekolah menyembunyikan sesuatu? Reaksinya sama sekali tidak terduga. Atau—apa dia menyembunyikan sesuatu yang tidak seharusnya diketahui orang luar?

Memutuskan untuk tidak terlalu banyak membantah, Natsume memutuskan untuk tutup mulut.

"Kalau begitu, pembicaraan bisa kita akhir sampai di sini." Map berisi kertas-kertas penting disodorkan pada si anak baru. Natsume tahu kalau ini adalah bentuk pengusiran dalam format yang diperhalus. "Aku butuh bantuanmu, mumpung kau ada di sini. Bisa tolong serahkan map ini pada ketua OSIS?"

"Ketua OSIS?" dadanya mencelos. Bertemu dengan murid biasa saja ia sudah merasa tidak nyaman, apalagi dengan siswa eksklusif seperti itu. Suaranya terdengar serak ketika bertanya, "Di mana saya bisa menemukannya?"

"Jam-jam istirahat begini dia biasa berjaga di ruang OSIS." Natsume ragu-ragu menerima map itu. "Ruangannya tidak begitu jauh dari sini—tepat di sebelah papan majalah dinding."

Kalau sudah begini, sudah tidak mungkin lagi ia mengelak, kan? "Baik." Ia membungkuk sekali, lalu memutar tubuh meninggalkan kantor kepala sekolah.

Ketika ia berjalan, kata-kata kepala sekolah barusan kembali memenuhi otak. "Dia bilang, Rakuzan sama sekali tidak terlibat dengan kasus apapun yang terjadi selama ini," gumamnya sambil mendekap map. "Tapi Natori-san bilang sebaliknya—apa kepala sekolah memang tidak tahu menahu soal adanya youkai di sekolah ini?"

Ketidaktahuan pihak sekolah mengenai campurtangan makhluk lain di Rakuzan adalah hal yang mungkin, walau entah kenapa Natsume justru meragukannya.

Apa Natori salah mendeteksi tempat kejadiannya?

Lamunannya berhenti ketika ruang OSIS sudah berada di depan mata. Memutuskan bahwa 'semakin cepat aku masuk, semakin cepat pula aku keluar', ia langsung mengetuk pintu.

Natsume mematung. Suara itu—tidak mungkin, kan?

Menyilangkan jari, ia memutar kenop pintu.

Ruang OSIS tidak seluas, dan tentu saja tidak dilengkapi dengan perabot semewah milik kepala sekolah. Lemari kaca berisi folder dan buku-buku diletakkan di sudut ruangan. Bagan kepengurusan didesain dengan sedemikian rapi dan dipajang di dinding, memudahkan siapapun yang ingin melihat. Meja panjang berada di tengah ruangan—dugaan Natsume, meja itu dimanfaatkan untuk rapat, dan sebuah meja yang lebih kecil, tapi juga lebih elegan, berada di sudut lain ruangan—berseberangan dengan lemari kaca.

Pupilnya melebar ketika melihat sosok ketua OSIS: itu laki-laki berambut merah yang sejak kemarin mengganggu pikirannya.

Mengabaikan rasa cemasnya (khawatir dikomentari macam-macam lagi), ia berusaha bersikap sesopan mungkin. "Aku di sini untuk menyerahkan map dari kepala sekolah," katanya.

"Ah, baiklah." Ketua OSIS itu menjawab, sama kasualnya. "Letakkan saja di sini."

Ia menurut. Hati-hati map itu diletakkan di atas meja, sambil mengamati ekspresi sosok yang sibuk berkutat dengan lembar-lembar entah-apa-itu.

"Sikapnya berbeda dengan saat aku menemuinya kemarin sore," gumamnya. "Apa yang kemarin itu hanya halusinasi?"

Dia ingat betul kalau takoyaki yang dibelinya kemarin nyata. Dia ingat percakapannya dengan Madara—walau tidak sepenuhnya. Seandainya orang yang ditemuinya kemarin dan ketua OSIS ini adalah orang yang sama, lantas kenapa perilakunya sangat berbeda?

"Ada lagi yang perlu kubantu?" sepasang iris merah berkerut sedikit. Suaranya prihatin dan dalam. "Kau tidak terlihat baik-baik saja."

"Aku—" inginnya bertanya soal insiden sore itu, tapi mungkin lebih baik ia tutup mulut. "Aku baik-baik saja."

Si rambut merah mengangguk, tapi masih curiga. "Omong-omong, aku belum pernah melihatmu sebelumnya."

"Aku baru saja pindah ke sini kemarin," terang Natsume. Merasa kalau orang itu akan (pura-pura) tidak mengenalinya, ia langsung menambahkan, "Namaku Natsume Takashi."

"Natsume Takashi," ia mengulangi, separuh melamun. "Kurasa aku pernah mendengar namamu di suatu tempat—"

"Aku menonton latihan tanding kalian kemarin," kata Natsume. "Aku juga sekelas dengan Hayama Kotaro-kun."

Alisnya terangkat. "Dengan Hayama?" tanya si ketua OSIS. "Ya, kurasa dia sempat menyebut namamu, tapi aku tidak ingat betul." Natsume sangsi kalau dia berbohong—baik gestur dan mimik mukanya terlalu meyakinkan.

Natsume memberanikan diri bertanya, "Dan namamu adalah—?"

"Akashi. Akashi Seijuurou." Kali ini mereka saling menatap. Natsume berani bersumpah ia bisa saja tenggelam masuk ke dalam iris kemerahan laki-laki itu. "Sepertinya Hayama belum memberitahu namaku."

Yah, kau sendiri menolak memperkenalkan diri kemarin. Niatnya mengucapkan kata-kata itu diurungkan. "Kalau begitu, senang berkenalan denganmu, Akashi Seijuurou." Ia mengangguk sopan. "Kurasa aku harus kembali ke kelas sekarang."

"Bagaimana kalau kuantar sekalian?" Akashi ikut beranjak bangun. Entah sejak kapan tumpukan kertas yang sejak tadi ia teliti sudah kembali ditumpuk dengan rapi di sisi meja. "Kau sekelas dengan Hayama, kan? Kelasku tepat di sebelah kelasmu."

Tangannya cepat-cepat dikibaskan. "Aku bisa kembali ke kelas sendiri. Tidak usah repot-repot begitu—"

"Sama sekali tidak repot." Ia tersenyum. Ucapannya tulus membujuk. "Kurasa ini akan jadi suatu permulaan yang baik."

Tidak berani membantah lagi, Natsume memutusukan untuk mengiyakan saja. Ia meneguk ludah ketika pundak mereka bersentuhan sekilas ketika melewati pintu ruangan.

Keduanya berjalan beriringan, mengundang atensi siapapun yang melintas—atau kebetulan berada di sekitar situ. Gadis-gadis yang tadinya hanya mondar-mandir memutuskan untuk mengikuti kedua orang itu dengan mata mereka. Natsume kira, hal-hal seperti ini hanya terjadi secara fiktif di film atau komik perempuan—sehingga ia sangat tidak nyaman ketika melihat lusinan pasang mata menatapnya.

(walau begitu, ada satu hal yang tidak ia sadari—gadis-gadis itu juga tertarik padanya, saling menunjuk dan mengatakan kalau melihat Akashi dan dirinya berjalan bersamaan adalah "cuci mata paling segar")

Akashi sendiri tampaknya sudah sangat terbiasa menerima sorot mata dan gunjingan dalam bentuk apapun—atau ia memang terlatih kebal. Alih-alih mengacuhkan para 'penonton', ia memutuskan untuk membuka pembicaraan. "Jadi—boleh aku tahu alasan kepindahanmu di sini? Karena terus terang saja, tidak banyak anak yang cukup berani untuk pindah tepat pada pertengahan semester seperti ini."

"Orangtuaku pindah tugas," jelas Natsume ragu-ragu. "Aku dititipkan pada kerabat, dan dia memutuskan untuk menyekolahkanku di sini sampai entah kapan."—mudah-mudahan tidak lebih dari dua bulan.

"Begitu."

Ada desir aneh yang menjalari perut hingga dadanya. Dugaan awal Natsume, barangkali ia masih belum terbiasa menjadi pusat perhatian (kecuali saat-saat dimana ia bersisian dengan Natori dan menjadi pusat perhatian para penggemarnya)—apalagi berjalan bersama ketua OSIS, ini sama saja seperti mendapat penghargaan. Akashi Seijuurou sendiri tidak terlihat seperti orang yang dengan mudah mendekati sembarang orang.

"Kalau begitu, apa aku bisa menyimpulkan kalau kau jarang bertemu dengan orangtuamu?" tanya Akashi lagi.

Pembicaraan sensitif. Natsume berusaha menjaga ekspresi sebiasa mungkin, berusaha tidak terlalu membeberkan dusta. "Begitulah," jawabnya, "Aku bahkan lupa kapan terakhir kali menghabiskan waktu dengan mereka."

Kini ia bertanya-tanya, apakah kehidupannya akan berbeda jauh ketika kedua orangtuanya masih hidup? Apakah Natsume akan tetap menjalani kehidupan seperti ini—didepak dari sana-sini dan dianggap aneh, ketika masih ada ayah dan ibu yang masih bisa menjaganya? Apakah Madara dan yuujinchou sialan itu akan tetap muncul—atau justru sebaliknya?

Tidak ada yang tahu. Maksudnya, permainan takdir tidak bisa ditentukan oleh manusia, kan?

Matanya lurus menatap depan, mengabaikan panas yang mengelilingi pelupuk. "Tapi aku sudah sangat terbiasa. Toh, tidak selamanya aku akan tinggal dengan orangtuaku—" bicaranya mulai melantur. "—dan banyak hal terjadi karena itu, tapi aku belajar banyak." Kalimat itu lebih terdengar seperti autosugesti.

Akashi tersenyum simpatik selama ia bicara. Natsume sendiri agak menyesal karena sudah bicara terlalu banyak, seolah-olah meminta orang lain mengasihaninya. Lagi-lagi, ekspresi lawan bicaranya berhasil membuatnya tenang—dan terkutuklah ia yang rela membiarkan orang itu menyusup masuk ke pikirannya seperti itu.

"Aku paham." Akashi, secara nonverbal, meminta keduanya untuk berhenti di sisi tangga—tampat tersepi yang bisa mereka temukan. Satu tangannya menepuk punggun Natsume. Tidak lama, namun memiliki efek yang menakjubkan untuk menenangkan laki-laki itu. "Aku sendiri mengalami hal yang kurang lebih sama saat ibuku pergi."

Iris Natsume membola. "Tunggu, ibumu—"

"Sudah meninggal sejak aku masih kecil." Tawa kecil menyusul setelahnya. Natsume mengernyit dengan ekspresi iba, namun disambut dengan kibasan tangan—menggestur lawan bicaranya untuk tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. "Tidak menyenangkan, memang. Apalagi kalau kau tinggal di lingkungan seperti ini."

"Lingkungan yang bagaimana—" Natsume mengerjap sekali, baru paham beberapa saat kemudian. "Oh."

Melihat Akashi di lapangan saat itu, dan statusnya sebagai ketua OSIS, seorang Akashi pasti sangat dituntut untuk hidup dalam dunia penuh kesempurnaan. Ia tidak tahu menahu soal profesi keluarga lelaki berambut merah itu, tapi yang jelas, ia bisa membeli lebih dari apa yang dibutuhkannya. Orang-orang rela menyingkir demi memberi jalan bagi seorang Akashi Seijuurou. Ia ditempatkan di posisi tertinggi dalam hierarki manusia.

Hanya saja, Natsume bukannya tidak tahu kalau kekayaan tidak selamanya membuat orang bahagia.

Akashi bersandar di sisi tangga. Ekspresinya berubah sedih ketika berkisah, "Sama seperti kau, aku juga mengalami banyak hal—dan hampir semuanya bukan memori indah. Tapi aku juga bertahan. Setidaknya, aku jadi sedikit lebih kuat."

Natsume menatapnya tanpa berkedip.

"Aku sendiri tidak tahu kenapa aku menceritakan hal ini padamu—anak baru yang jelas-jelas tidak kukenal." Senyum pahit menghias bibirnya. "Tapi kuharap kita jadi, kautahu, sedikit lebih memahami satu sama lain."

'Memahami satu sama lain'—entah kenapa frasa itu justru terdengar seperti sepasang sejoli yang saling bermesraan.

"Ah," bingung harus berkata apa, Natsume hanya mengangguk.

"Kuantar kau ke kelas sekarang?" tawar Akashi, dan Natsume mengangguk lagi.

Mereka menapaki tangga satu demi satu, seolah-olah sengaja memperlambat langkah. Natsume dengan cepat memberikan penilaian bahwa ia menyukai Akashi yang seperti ini—begitu tenang dan dewasa. Mungkin itulah yang membuatnya dipilih menjadi pemimpin, baik dalam organisasi sekolah maupun ekstrakulikuler

Lalu, kenapa ia bisa sangat berbeda saat itu? Pikiran itu kembali menyerang. Apakah dia orang yang sama dan sengaja melupakanku, atau hanya orang lain yang mirip dengan Akashi Seijuurou?

"Omong-omong," Natsume menunduk. Berusaha menguak konfirmasi pasti. "Apa... Akashi-san pergi ke suatu tempat kemarin sore?"

Pertanyaan itu dijawab dengan raut heran.

"Aku langsung pulang ke rumah setelah latihan. Tapi aku memang jalan kaki kemarin," jawabnya, agak kebingungan. "Memangnya kenapa?"

Kalau dia jalan kaki, berarti ada kemungkinan kalau orang itu benar-benar Akashi. Untuk alasan yang tidak jelas, ia akan sangat kecewa jika kemungkinan itu benar adanya.

Natsume cepat-cepat menyusun alasan. Gugup ia menautkan jemari. "Aku hanya sempat melihat seseorang yang mirip dengan Akashi-san saat jalan-jalan sore, jadi kukira itu kau—"

"Sayangnya, aku tidak begitu memperhatikan orang-orang di sekitarku saat berjalan—kebiasaan buruk, kurasa." Ia menggelengkan kepala, penuh sesal. Orang itu sama sekali tidak membahas pertemuannya dengan Natsume petang kemarin.

"Lain kali kalau kau melihatku, panggil saja," tambahnya. "Aku benar-benar minta maaf karena tidak melihatmu kemarin."

Ludahnya seolah menyangkut di kerongkongan. "Y-ya. Tidak... masalah."

Haruskah ia melakukannya—menyapa Akashi saat mereka bertemu di luar area sekolah? Ia tidak mau dicegat dan diperlakukan seperti kemarin lagi karena salah panggil—walau di sisi lain, Natsume tertarik mencaritahu lebih banyak soal Akashi Seijuurou.

Tunggu.

Ia menggeleng samar, berusaha agar tidak terlihat aneh di mata Akashi. Mencaritahu lebih banyak soal orang itu? Natsume tolol—jangan lupakan prioritas utamamu.

Tugas utamanya adalah menyelidiki dan mengusir youkai—bukan mengulik biodata murid top di Rakuzan. Seandainya Madara ada di sini, ia pasti mengomel tentang bagaimana Natsume tidak bisa fokus dan begitu bodoh sampai-sampai terpengaruh orang lain.

Mereka berhenti di depan kelas Natsume, disambut dengan Hayama yang nyaris terjungkal dari kursi. "Kalau begitu, sampai ketemu," katanya agak ragu. "Terimakasih sudah mau mengantarku."

"Tidak masalah," jawab Akashi ringan. "Sampai ketemu."

Tanpa berbasa-basi lagi, ia langsung berjalan ke kelasnya sendiri, mengabaikan bisik-bisik teman sekelasnya—"Itu Akashi-san, kan? Kenapa dia mampir ke sini?", "Bukannya dia jalan dengan anak baru itu?"

Natsume melewati mereka tanpa suara, langsung mengempaskan diri di kursinya. Ia sendiri bertanya-tanya—kenapa orang seperti Akashi rela repot-repot demi orang asing sepertinya? Toh, dia tidak memiliki kelebihan apa-apa.

Kenangan itu kembali menggema di otak. "Matamu indah."

Tunggu. Ia mengerjap bingung. Bisik-bisik di penjuru kelas tidak ia pedulikan. Itu tidak mungkin dia, kan? Akashi-san sendiri sudah bilang kalau dia tidak menemui siapa-siapa sepulang sekolah—

"Tapi dia mengenakan seragam yang sama." Suara lain menyahut, membuat Natsume tersentak. "Berapa banyak sih, orang berambut merah dengan seragam Rakuzan di sini?"

"Benar juga," keluhnya. "Tapi bukan berarti aku bisa seenaknya saja menyimpulkan—" tunggu.

Suara itu.

Tidak salah lagi—jejadian itu muncul lagi.

Dimana kau? Ia menggertakkan gigi dengan gusar. Hentikan jadi pengecut dan muncul sekarang juga!

Dengan cepat ia memutar tubuh, mendorong meja dengan begitu keras hingga seisi kelas otomatis terdiam saking kagetnya. Ekspresi penasaran mereka berubah menjadi raut ketakutan.

Hayama—mengira kalau Natsume frustrasi lantaran dijadikan bahan gunjingan—berbaik hati untuk menegur mereka, "Oi, Natsume-kun bisa mendengar kalian, lho."

Tersentak sendiri, Natsume baru sadar kalau ia—lagi-lagi—sudah berperilaku aneh. Ia sangat mengenali sorot itu. Mereka tidak ketakutan karena ia marah—mereka khawatir kalau dia berbahaya dan tidak waras.

Entah dari mana, suara menyebalkan itu meledek, "Sebaiknya kau jadi anak yang baik dan jangan ikut campur."

"Ini salahku, aku yang terlalu emosional." Natsume memaksakan senyum. Berharap dengan begitu mereka sedikit lebih lega. "Terimakasih, Kotaro-kun, tapi aku baik-baik saja." Ia menggumamkan maaf pada teman-temannya yang lain, lalu kembali duduk.

Ini bukan youkai biasa, gumam Natsume. Dia terlalu pintar—bahkan kelewat pintar untuk menembus pikiran seseorang. Jenis dedemit seperti ini akan sangat berbahaya kalau tidak dibasmi sesegera mungkin. Jemarinya mengetuk meja dengan gelisah.

Di bangku sebelahnya, Hayama mengawasi dengan cemas. "Benar kau baik-baik saja? Kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, katakan saja."

Di sekolah lamanya, teman-teman terdekat Natsume akan mengucapkan kalimat serupa. Rasanya seperti mengalami deja vu.

Ia menggeleng. Ia menyukai Hayama, tapi bukan berarti laki-laki itu lolos dari kecurigaannya. Benar kata Madara—Natsume harus waspada. "Tidak. Aku hanya—terlalu tegang. Aku masih belum terbiasa dengan suasana Rakuzan. Maaf."

Sorot cerah di mata Hayama sedikit meredup, namun ia memilih untuk tidak bertanya lagi.

Sampai bel masuk kembali berdering, pikiran Natsume masih tidak pada tempatnya. Merasa perlu menenangkan diri di apartemen, ia mengabaikan tawaran Hayama untuk menonton basket lagi dan langsung pulang.

.

.

"'Belum terbiasa dengan suasana Rakuzan'?"

Pintu ruang ganti membuka dan menutup. Seorang pemain cadangan bergegas mengambil pakaiannya dan lari keluar—tidak mau mengganggu percakapan para senior.

"Bilangnya sih, begitu," keluh Hayama. Minuman di dalam botol langsung dihabiskan setengahnya. "Tapi tetap saja aku merasa kalau dia sedang marah."

Lapangan indoor di dalam stadion olahraga Rakuzan tidak lagi ramai. Beberapa pemainnya sudah pulang, dan segelintir lainnya memutuskan untuk menambah porsi latihan. Para pemain andalan sendiri memutuskan berkumpul sejenak dan melepas lelah sambil berbincang—walau tidak semuanya terlibat (Misal, Mayuzumi yang lebih suka membaca daripada ikut bergosip).

Nebuya—dengan handuk masih dikalungkan di lehernya—menggumam rendah, "Terus kenapa? Bukannya wajar kalau dia marah gara-gara hal seperti itu?"

"Aku juga mendengarnya dari teman-temanku—mereka melihat Sei-chan dan si anak baru berjalan sambil mengobrol berduaan," timpal Mibuchi. "Sei-chan, kau benar-benar mampir hanya untuk mengantar Natsu-kun?"

"Kalau iya, kenapa?" pertanyaan itu ditangkis dengan tenang. Akashi sudah kembali mengenakan seragam sekolah alih-alih jersey basket. "Dia ada di ruanganku. Aku sekalian mengantarnya kembali ke kelas karena kelas kami bersisian—apa ada yang salah?"

Mibuchi dan Hayama bertukar pandang. "Bukan begitu," tukas Hayama. "Hanya saja, pengaruhnya—eh—tidak begitu baik. Teman-teman jadi penasaran, kenapa Akashi Seijuurou yang sukar didekati bisa langsung akrab dengan murid baru."

"Sudah kubilang, kan," kapten mereka menghela napas. "Aku tidak mendekatinya dengan motif apapun. Sangat tidak sopan kalau aku berjalan duluan, atau membiarkan dia pergi—padahal jalur kami searah."

"Mungkin sebaiknya kau bilang pada anak itu, Akashi," kata Nebuya. "Kalau dia benar-benar emosi, kan, bisa gawat."

Akashi mengangguk. "Aku akan meminta maaf secepatnya."

Sejak ia bertemu dengan Natsume di ruang OSIS, Akashi bukannya tidak tahu—anak itu terlihat takut padanya. Seolah-olah mereka pernah saling bertemu di tempat lain. Bahkan ketika mereka berjalan berdua, Natsume seolah berusaha menjaga jarak.

Kepalanya berdenyut sakit ketika membayangkan kemungkinan terburuk. "Mibuchi," ia mendesis hati-hati—ada kecemasan tersirat di sana. "Kau tidak melihat keanehan apapun padaku selama beberapa bulan terakhir ini, kan?"

"Eh?" koleganya menaikkan alis. Agak heran karena sang kapten membahas topik yang sudah lama tidak disinggung. "Tidak—setidaknya, setelah pertandingan dengan Seirin musim dingin yang lalu, Sei-chan sudah kembali, erm, normal."

Akashi mengembuskan napas lega.

"Kenapa? Khawatir kalau karakter lamamu kambuh lagi?" Mayuzumi menimpali dengan suara rendah. Akashi memutar kepala ke arahnya, sama sekali tidak terlihat terkejut melihat eksistensi si rambut kelabu.

"Bisa jadi."

"Santai saja, Akashi!" tanpa ragu, Hayama melingkarkan lengannya ke pundak si rambut merah. Akashi sendiri tidak berusaha berontak. "Kami sudah mengenalimu cukup lama untuk bisa membedakan mana Akashi yang satu dan mana Akashi yang satunya lagi—"

"Dasar bodoh, jangan keraskan suaramu di tempat seperti ini. Menggema, tahu," tegur Nebuya. "Tapi Hayama benar, Akashi. Kalau kau berubah, kami akan jadi orang-orang pertama yang tahu."

Mayuzumi, alih-alih ikut mendukung, hanya mendengus dan kembali membaca—seolah-olah perkara si kapten adalah sesuatu yang tidak perlu ia pedulikan.

Sepasang mata merah itu menatap lantai. Bayangannya secara halusinatif bergerak sendiri, memamerkan sekilas seringai.

Ia tidak boleh memunculkan sosok itu lagi. Tidak dengan insiden traumatis yang sudah terjadi beberapa tahun silam.

"Mudah-mudahan saja benar begitu." Tas olahraga disampirkan di pundak kiri, sedang tas sekolahnya dijinjing dengan tangan kanan. "Kurasa aku harus pulang sekarang. Ayah sudah menunggu di rumah."

Yang lain saling melambai ke arahnya ketika pintu ruang ganti mengayun tertutup.

Dari dalam Akashi masih mendengar suara mereka samar-samar. "Apa menurutmu Akashi tidak apa-apa? Tadi Natsume-kun, sekarang dia—"

Perasaan bersalah diam-diam menyusupi dada Akashi. Salahnyakah kalau Natsume menjadi korban gunjingan? Apakah dia—lagi-lagi—membiarkan egonya melunjak tinggi tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain?

"Sei-chan memang agak lelah," timpal Mibuchi. Nada suaranya terdengar prihatin. "Ayahnya kumat lagi, kurasa—menjejali kapten kita yang malang dengan berbagai kewajiban seberat itu."

Suara Mayuzumi terdengar paling pelan di antara yang lain. "Dia bisa menolak tuntutan itu kapan saja."

"Dan langsung didepak dari keluarga? Yang benar saja." Nebuya bergumam. Detik berikutnya ia meraung. "Hayama sialan! Itu makanan yang kusimpan dari tadi—"

Memutuskan bahwa pembicaraan penting sudah berakhir—dan tidak ada gunanya terus-terusan mencuri dengar, Akashi memutuskan untuk berjalan pulang. Kepalanya kembali berdenyut sakit—mungkin karena terlalu banyak pikiran.

Pusingnya semakin menjadi ketika ia mencapai pintu keluar stadion. Betapa ia sangat membenci terlihat lemah seperti ini. Sepertinya Akashi masih menyimpan aspirin di laci kamar—mudah-mudahan.

"Satu-satunya obat untuk sakit kepalamu," sebuah suara yang sangat familier menyeletuk, "Adalah menemui dia."

Pandangan Akashi menggelap setelah itu.

.

.

Beberapa meter dari stadion, Natsume dan Madara mengitari saentaro gedung Rakuzan, berusaha mencari kejanggalan sekecil apapun. Sedikit lebih mudah untuk bergerak leluasa, karena hampir semua siswa sudah pulang—menyisakan beberapa orang yang bertugas membersihkan kelas-kelas.

Madara ngotot ingin mengawasi halaman belakang terlebih dahulu. Alibinya, "Ini tempat yang strategis untuk persembunyian youkai." Padahal ia hanya mengendusi aroma makanan dari kedai sebelah selama limabelas menit.

"Tidak ada apa-apa di sini," kata Natsume. "Sensei—tolong serius sedikit dan bantu aku."

Madara masih mengendus-endus.

Memutuskan untuk mengabaikan kucing itu, Natsume mengamati keadaan sekitar.

Halaman belakang sekolah terbagi menjadi dua—satu sisi dijadikan lapangan, sedang sisi yang lain menjadi lahan kosong tanpa perkakas apapun. Hanya rumput dan semak yang dibiarkan tumbuh liar di sepanjang pagar.

Bibir bawah digigit ketika berpikir. Kalau saja ia tahu wajah dan nama youkai itu, dia bisa saja memanggilnya kapan saja. Sayang, ia tidak tahu apa-apa soal si makhluk halus kecuali mengenali suaranya.

Kemudian pertanyaan itu muncul di otak—apa youkai ini juga terperangkap di dalam yuujinchou? Apakah dia salah satu dari sekian banyak roh halus korban Reiko-san?

Natori bilang kalau dedemit itu mencari seseorang. Apa Natsume-lah yang ia cari, dengan motif ingin namanya dikembalikan?

Kemungkinan itu langsung ia sampaikan pada Madara. Kucing jejadian itu sendiri tampaknya sudah lelah makan bau-bauan. "Itu bisa saja terjadi," katanya. "Tapi seandainya memang iya, kenapa dia tidak menemuimu secara langsung? Kenapa dia memaksamu datang ke Kyoto, alih-alih menyerangmu di kampung halaman?"

"Mungkin—" ragu-ragu, Natsume menyampaikan argumen. "Dia juga terperangkap, sama seperti youkai wanita yang kutemui di kuil saat itu."

"Oh, hebat." Madara memutar bola mata. Menyahut sarkastis. "Satu-satunya hal yang kuinginkan sekarang adalah melihatmu ditipu oleh roh kelas atas. Sekarang menyesal, kan, langsung bertindak tanpa berpikir?"

Nada suaranya terdengar lelah. "Sudahlah, sensei. Mau mengeluh seperti apapun percuma—kita sudah terlanjur di sini."

Mana mungkin dia langsung pulang tanpa berusaha dan mengibarkan bendera putih begitu saja?

"Aku penasaran bagaimana wujudnya." Sepasang mata Madara berkilat agresif. "Seandainya dia sekuat yang kubayangkan, mungkin aku bisa tidak makan seharian."

Penuh percaya diri dan sombong seperti biasa. Natsume memilih untuk tidak menanggapi. "Memangnya sensei tidak merasakan hawa eksistensi youkai sesosokpun?" tanyanya penasaran.

"Aku sempat merasakannya beberapa menit setelah kita tiba di sini," jawab Madara tanpa ragu. Alisnya bertaut. "Tapi aneh—dia hilang dan pergi begitu saja. Seperti air di keran bocor."

"Keran bocor?" nada suara Natsume menyiratkan kegelian.

"Tahu, kan, keran bocor yang sekalinya tidak disumbat akan mengeluarkan air sebanyak-banyaknya," ujarnya. "Tampaknya ayakashi yang satu ini berusaha keras melenyapkan jejak eksistensinya—atau semacam itu."

"Hmm," keduanya menatap langit senja. Suara klakson mobil mengiringi terbangnya para unggas. "Masuk akal, tapi sulit dibuktikan."

"Memang. Aku benci tipikal roh yang seperti ini." Tubuh gemuknya merayap di sepanjang rumput, memutari area tersebut. Baru sebentar berjalan, wajahnya sudah terbentur kaki seseorang.

"Ah, maaf."

Natsume membelalak ketika mengenali sosok yang berdiri tidak jauh darinya itu. "Kau—siswi yang kemarin, kan?"

Ekspresi gadis itu meragu sejenak, seolah berusaha mengingat-ingat. Wajahnya mencerah ketika berkata, "Kau laki-laki yang berteriak kemarin itu, kan? Aku ingat sekarang."

Wajah Natsume memanas. "Soal yang kemarin itu tolong lupakan saja."

Gadis itu terkikik. "Tidak apa-apa," katanya lembut. "Tapi kurasa kau adalah orang yang menarik, Natsume-kun."

Ekspresi Natsume berubah detik itu juga. Menarik?

"Aku hanya—tertarik padamu."

"Manusia yang menarik."

Tidak menyadari perubahan raut lawan bicaranya, gadis itu masih mengoceh. "Tapi ini kebetulan yang agak mengejutkan. Apa ini kucingmu?" dia membungkuk, mengulurkan tangannya untuk membelai Madara.

Madara, tentu saja, tidak membiarkan dirinya diperlakukan seperti hewan peliharaan.

"Kau selalu ke sini setiap sore?" tanya Natsume.

Gadis itu mengangguk. Jawabannya agak ragu-ragu. "Ya. Aku—kehilangan sesuatu. Jatuhnya di sekitar sini, jadi aku mencarinya setiap pulang sekolah."

"Kehilangan sesuatu?"

"Ya. Tapi aku tidak bisa bilang padamu—karena, er," ia menjilat bibir. "Aku belum benar-benar mengenalmu, jadi..."

"Tidak, tidak apa-apa." Natsume menggeleng. "Tadinya aku ingin bantu mencarikan barang yang hilang itu, tapi karena kau merasa tidak nyaman, yah—"

Gadis itu menunduk. "Maafkan aku," gumamnya. "Jadi, kau sendiri sedang apa?"

Tengkuknya diusap dengan canggung. "Sebenarnya, aku juga sedang mencari sesuatu," akunya. "Kucingku di sini juga membantu mencarikan." Ia menunjuk ke arah Madara yang mendesis tidak senang.

Untuk alasan yang tidak ia ketahui, pupil gadis itu melebar. Seolah-olah ketakutan pada sesuatu yang tak kasat. "Begitu..." katanya lemah. "Kurasa—aku harus pulang sekarang."

"Lho, terus barang yang kaucari bagaimana—sensei, kau ini kenapa, sih?" ia menegur sang kucing yang terus-terusan menyundul kakinya.

"Tanya soal kasus itu, bodoh! Nanti dia keburu pergi!"

Nyaris saja Natsume lupa tujuan awalnya ke sini. "Anu—tunggu!" ia meraih lengan gadis itu cepat-cepat. "Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu."

Wajahnya tampak ketakutan, tapi ia tidak menjawab.

"Aku bukan orang Kyoto, jadi aku butuh bantuanmu." Berusaha untuk tidak terlihat seperti seorang pemaksa, genggaman di lengan si gadis dilepas. "Ini soal kasus yang akhir-akhir terjadi di sini—soal teror mimpi yang dialami oleh orang-orang sekitar."

Ekspresi gadis itu berubah. "Maksudmu, 'Serangan Bawah Sadar'?"

"Serangan—apa?"

"Serangan Bawah Sadar. Kami menamainya begitu karena banyak orang mengalami gangguan ketika mereka tidur, dan bukannya saat mereka sedang sadar," jelasnya. "Memangnya kenapa? Apa ada kerabatmu yang diserang juga?"

Wajah Natsume berubah cerah. Tampaknya ia menemukan satu oknum yang bisa ditanyai. "Kau tahu sesuatu tentang itu?"

Perempuan itu mengedarkan pandangan ke sekitar. "Kurasa lebih baik kita bicara di tempat lain." Suaranya merendah. "Di restoran sebelah sana, mungkin?"

Lagi-lagi kaki Natsume disenggol, lebih agresif dari sebelumnya. "Cepat bilang 'ya'!"

Sayang, ketiganya sama sekali tidak menyadari munculnya sosok keempat yang sejak tadi mengintai dari balik pintu belakang.

.

.

"Aku minta maaf karena sudah membuatmu takut."

"Tidak apa-apa—" pelayan membagikan menu pada mereka berdua (Madara mencak-mencak karena tidak bisa memilih makanan). "Aku hanya sedikit paranoid akhir-akhir ini."

Setelah beberapa kali meyakinkan penjaga restoran kalau Madara bukan kucing betulan, mereka berhasil masuk. Perut Natsume nyaris mati rasa karena berkali-kali dipukul sensei-nya sebagai bentuk protes.

Natsume mengangkat sebelah alisnya. "Bisa dimaklumi. Insiden Serangan-entah-apa-namanya pasti membuat siapa saja cemas." Sudut-sudut bibirnya membentuk senyuman selagi satu tangannya sibuk mengelus perut. "Omong-omong, kita belum benar-benar berkenalan. Aku Natsume Takashi, murid pindahan."

Iris gelap gadis itu membola. "Ah, jadi kau murid baru yang digosipkan dekat dengan ketua OSIS," katanya pelan. "Aku Sawamura Katana. Kelas II-3."

"Jadi, Sawamura-san," mengabaikan Madara yang mencolek-colek minta disodori menu, ia melanjutkan pembicaraan. "Apa yang kauketahui tentang insiden ini?"

"Kejadiannya berawal dari beberapa bulan yang lalu," jelas Sawamura. Kedua tangannya bersilang di atas pangkuan. "Orang-orang mengeluh tidak bisa tidur. Kami sempat menganggap itu hal biasa, karena siapa saja bisa mengalami gangguan tidur, kan?

"Beberapa hari kemudian, satu orang meninggal setelah mengundurkan diri. Dia tidak memiliki riwayat penyakit, atau cedera di bagian tubuh manapun—setidaknya itu yang orang-orang terdekatnya ketahui. Hasil autopsi menyatakan kalau orang itu mati karena serangan jantung." Matanya bergerak-gerak dengan gelisah. "Agaknya dia meninggal lantaran terkejut atau ketakutan."

"Kau kenal dengan orang itu?" tanya Natsume.

Ragu-ragu, Sawamura mengangguk. "Dia adalah salah seorang guru magang di Rakuzan yang baru bekerja sekitar setengah tahun terakhir," katanya. "Saat itu, aku sudah tahu kalau ada sesuatu yang tidak beres—karena sensei sendiri berkali-kali terlihat seperti orang yang kurang tidur. Orang-orang berusaha denial. Mereka mengira kematian sensei sama sekali tidak ada hubungannya dengan mimpi buruk. Hanya kebetulan di waktu yang sama.

"Dua hari kemudian, salah satu murid kelas dua kedapatan mengamuk sambil tidur. Lucu, memang. Ketika terbangun, dia sama sekali tidak sadar kalau kekacauan di kelas terjadi gara-gara dia. Beberapa orang menganggapnya lucu—tapi aku tidak. Aku tahu ada benang merah di antara fenomena-fenomena itu, dan aku kesal karena tidak ada yang menanggapinya dengan serius." Ia menggigit bibir.

"Apa Sawamura-san ingat apa yang diocehkan temanmu saat mengamuk?"

Kepala gadis itu miring sedikit saat berusaha mengingat. "Dia mengatakan sesuatu tentang 'ingin ketemu seseorang yang sudah melanggar hukum'—atau semacamnya." Kepalanya digelengkan. "Aku tidak begitu ingat, karena setelah itu ramai sekali. Guru-guru berusaha menenangkan murid itu, dan tidak sedikit yang cedera. Dia bangun tepat ketika kepalanya terbentur ujung meja.

"Kasusnya tidak berhenti sampai di sana. Seorang guru magang langsung memutuskan untuk berhenti mengajar. Nenek penjaga kantin memutuskan untuk berlibur ke kota lain karena tidak bisa tidur nyenyak—"

"Dia pindah ke kotaku," kata Natsume, senang karena bisa menemukan hubungan antarkasus. "Beberapa waktu yang lalu aku mendengarnya bicara soal mimpi buruk saat di kuil—kecuali dia adalah orang yang berbeda."

Sawamura menaikkan alisnya. "Bisa jadi."

Kalau begitu, Natori tidak salah. Youkai itu benar-benar merasuk di bawah kesadaran para korban, dan kini bersarang di sekolah. "Tapi kenapa kepala sekolah tidak tahu apa-apa?" tanyanya. "Dua kali aku bertanya, dan dua kali pula ia menyanggah mentah-mentah."

"Wajar saja." Sawamura menyahut lesu. "Rakuzan adalah sekolah elit—dan pihak sekolah begitu mengantisipasi munculnya skandal dalam bentuk apapun. Sudah menjadi adat Rakuzan untuk melapisi segala kekurangan mereka dengan kesempurnaan."

"Masuk akal."

Buku menu diabaikan begitu saja, seolah keduanya enggan memesan apapun. Madara yang tadinya paling antusias menghabiskan seisi pesanan memilih diam.

"Jadi," berusaha memecah keheningan, Natsume kembali membuka pembicaraan. "Apa Sawamura-san pernah memikirkan pelaku di balik kasus ini?"

Gadis itu menimbang-nimbang beberapa saat. "Natsume-kun," bisiknya, "Apa kau bisa menjaga rahasia?"

Ekspresinya terlihat begitu serus. Natsume seolah tidak dapat merasakan suasana di sekitarnya lagi—restoran terasa begitu sepi, padahal penuh oleh pengunjung. "Kau bisa mengandalkanku," katanya mantap.

Sawamura baru saja ingin membuka mulutnya, melontarkan pengakuan, ketika tiba-tiba Natsume merasa pundaknya dipegang. Otomatis gadis itu urung bicara. Matanya membelalak kaget saat melihat sosok yang berdiri di balik punggung lawan bicaranya.

"Natsume Takashi." Ia merasa tidak perlu menoleh untuk mengenali suara itu—tapi tetap saja, ia memutar kepala.

Akashi Seijuurou, lagi-lagi masih berseragam lengkap, menatapnya lurus-lurus.

Natsume meneguk ludah. Kenapa laki-laki ini selalu muncul di saat yang tidak tepat?

"Kita perlu bicara," katanya datar. Ia ganti menatap Sawamura, berujar sesopan mungkin, "Maafkan aku, tapi—kau lebih baik pulang saja. Akan tidak sopan kalau aku membiarkanmu menunggu terlalu lama."

Lebih tidak sopan lagi kalau kau menyela pembicaraan penting seperti ini, Natsume ingin menyanggah, tapi ia memilih diam. Sorot mata yang ditujukan padanya begitu mengintimidasi. "Maafkan aku, Sawamura-san," bisiknya penuh sesal. "Kurasa kita bisa—melanjutkan pembicaraan ini besok."

Sawamura sendiri buru-buru berdiri. Tampaknya ia—sama seperti Natsume—merasakan aura tidak menyenangkan yang muncul. Suaranya masih serupa bisikan ketika berkata, "Aku mengerti." Ia membungkuk dalam-dalam sebelum akhirnya memutar tubuh dan meninggalkan tempat itu.

Madara meledak. "Oi, Natsume—prioritasmu sekarang ini mencari informasi, bukannya—" matanya membola. "Natsume?"

Kedua sosok itu sudah menghilang dengan begitu cepat.

"Dasar Natsume," gerutu Madara. "Kenapa dia tidak menunggu pertimbangan dariku, sih? Anak itu terlalu lunak pada siapa saja, jadinya begini."

Mengabaikan pekik kaget dari pengunjung yang lain, ia menyusup di sepanjang lantai restoran, berusaha mengendus jejak perginya Natsume dan laki-laki asing itu (bagi Madara, Akashi adalah orang asing—kalau dia memang manusia betulan).

Ia langsung berhenti ketika melihat keduanya berbincang di bangku luar restoran.

"Kau sudah tahu namaku, rupanya." Suara Akashi terdengar puas, tapi juga meremehkan.

Nada suara Natsume terdengar bingung ketika menjawab, "Akashi-san sendiri yang memberitahuku."

"Bisa jadi." Madara hanya bisa menatap punggung Akashi dari tempat ia mengintip. Penasaran seperti apa wajah laki-laki sialan itu saat bicara. "Aku cukup sopan untuk tidak menempelkan hidungku sembarangan di pembicaraan orang lain. Berterimakasihlah karena sifatku yang murah hati ini."

'berterimakasihlah'—seolah-olah dia sudah melakukan hal yang benar saja.

Tampaknya Natsume juga memikirkan hal yang sama, karena ia menyahut, "Kurasa akan lebih baik lagi kalau Akashi-san menunggu sebentar." Wajahnya gelisah.

"Aku tidak suka menunggu."

Mau tidak mau Madara agak tertarik. Level kesombongan Akashi Seijuurou ini tampaknya bisa menjadi tandingannya. "Tapi awas saja kalau dia mengapa-apakah Natsume," gerutuannya membenam di tengah keramaian. "Kalau iya—"

"Aku bicara begini untuk kebaikanmu." Akashi bergerak selangkah mendekati Natsume. Ucapan berikutnya muncul begitu saja tanpa basa-basi. "Sebaiknya jangan terlalu dekat dengan Sawamura Katana."

Natsume mengerjap kaget. "Kenapa?"

"Dia berbahaya—tidak. Kalian akan saling membahayakan kalau bertemu."

"Saling membahayakan?" Madara berpikir keras. Tidak, dia sama sekali tidak mendeteksi hawa youkai pada gadis itu—tidak juga aura mengerikan. Sawamura sama seperti manusia lain pada umumnya; menyebalkan, barangkali, tapi tidak berbahaya.

Lantas, kenapa orang ini—Akashi, yang jelas-jelas tidak tahu duduk perkaranya—bersikap seolah-olah ia tahu semuanya? Apa maksudnya Natsume dan Sawamura bisa saling membahayakan?

Apa jangan-jangan—mata sipit Madara melebar—ada hubungan antara Akashi Seijuurou dengan insiden ini?

"Berbahaya bagaimana?" seolah tidak puas dengan jawaban barusan, Natsume masih mengejar. "Aku tidak paham—kenapa dia bisa berbahaya? Kenapa kami bisa salilng membahayakan?"

Jawabannya singkat. "Sudah kubilang, ini demi kebaikanmu sendiri."

"Tapi—"

"Aku sudah memberitahumu, kan," Akashi lagi-lagi bergerak selangkah mendekati Natsume. Lawan bicaranya membeku di tempat, tidak tahu harus menjauh atau tidak. "Aku tertarik padamu. Kalau ada orang lain yang sampai memanfaatkanmu—" Madara ingin melompat dan menghalangi keduanya bersentuhan, tapi gagal; kakinya tidak bisa bergerak seinci pun. "—aku tidak mungkin membiarkan mereka."

Apa-apaan itu?

Tidak tahan lagi, ia langsung menyergap ke arah kedua laki-laki yang tengah terlibat dalam percakapan intens, berteriak. "Natsume! Jangan dekat-dekat dengannya! Dia seenaknya saja menyuruhmu padahal—" melempar lirik sengit ke arah si rambut merah. "—tahu apa-apa saja tidak."

Natsume melirik ke arah sensei-nya dengan gelisah. Memunculkan diri di sini dan bicara sebegini keras akan sangat mencurigakan di mata orang awam. Apa yang akan dikatakan Akashi kalau dia benar-benar mendengarnya?

Berusaha bersikap senetral mungkin, ia mengisyaratkan Madara untuk menyingkir. "Sana, pergi," desisnya di sela-sela gigi yang merapat. "Kita bicara nanti."

"Aku serius, Natsume! Jangan sebegitu mudahnya percaya pada orang asing!"

Akashi menangkap percakapan itu tanpa suara. Wajahnya tidak terlihat terkejut, sekalipun agak heran. "Jadi itu kucingmu," katanya pelan. "Sudah kuduga."

"Apa?" Natsume mengalihkan fokusnya, kebingungan.

"Sejak awal aku sudah tahu," wajahnya terlihat puas. Irisnya—astaga, Natsume baru menyadari kalau keduanya berbeda warna. Mata kirinya berkilat-kilat keemasan, sedang yang satunya merah seperti yang dikenali Natsume—menatap tanpa berkedip "Kau benar-benar orang yang menarik, Natsume Takashi."

Yang ditatap berusaha bicara, tapi tidak ada satu kata pun berhasil keluar.

Lagi-lagi kata itu—'menarik'. Sisi menarik mana dari seorang Natsume Takashi yang terkenal aneh dan tidak pernah terlihat menonjol dalam bidang apapun?

"Yah," Akashi tersenyum. Lengan Natsume ditepuk pelan. "Kurasa aku sudah menyampaikan pesanku dengan baik. Kalau kau ingin selamat di sini, jangan sampai apapun yang kaucari menemukanmu lebih dulu."

Kali ini Madara ganti menatap Akashi dengan ekspresi ngeri.

Tanpa menunggu respons Natsume, ia melewati laki-laki itu dan berjalan pergi.

"Aku salah duga," kata Madara. Ekspresinya menggelap saat memelototi arah perginya Akashi. "Dia tahu lebih banyak dari yang kuduga."

Natsume mengangguk lambat-lambat, mengiyakan.

Tapi kenapa aku malah tidak menyukai kenyataan itu? 

Continue Reading

You'll Also Like

274K 15.5K 69
#1 in Assassination Classroom #2 in Charaxreader #2 in Akabane Karma #4 in Ansatsu Kyoushitsu #19 in Akashi Seijuurou #41 in Kuroko no Basket #73 in...
6.6K 911 12
┏━━━━°⌜ Sakasaki Natsume x Reader ⌟°━━━━┓ -ˋˏ [ Spring's Symphony : Tarot Card Sequel ] ˎˊ- Takdir tidak bisa dihindari. Mereka ditakdirkan bersama...
105K 9.9K 8
Jangan pernah membayangkan bagaimana bentuk posesifnya seorang Akashi. Karena keposesifan itulah yang membuat Tetsuya frustasi. Akakuro Fanfiction. S...
33.1K 807 52
✅ OPEN REQUEST Ada yang suka musik?? Yok yok yang demen musik, suka nyanyi, seneng joget, merapat kuy merapat. Nyanyi bareng yu.. Kali ini Kira bakal...