Melody Of Love

By angelalarc

22.8K 1.8K 103

PERHATIAN: Beberapa episode saya privat, jadi untuk bisa membacanya akan lebih baik untuk mem-follow dulu. Ca... More

1. This is a...
2. It's hurt, you know...
3. Believe Me, Naruto
4. Over protective
5. Oopsy...
6. Missions
7. Complicated
8. Effort
9. Really?
10. Fear
Pengumuman
11. Hate you...?
12. Honest
13. Mother
14. Party...?
15. Meeting
Extra chapter: After the Wedding 1
Extra Chapter : Trap
Extra Chapter : After the Wedding 2(last)
Melody of Love (Bonus) : Edisi Naruto Atit

16. Melody Of Love

1.2K 91 5
By angelalarc

Warning!

Story about SasuNaru, boyxboy, Yaoi

Yang mau baca silakan, yang gak mau hush! hush!




Sudah beberapa menit Naruto bengong tanpa alasan yang jelas. Sesekali bola matanya bergerak sedikit kearah lain. Lalu kedua jari telunjuknya kadang bergerak sedikit, saling bertaut. Naruto tau jika seharusnya dia tidak melakukan hal macam anak kecil begini, tapi dia tidak bisa berhenti memainkan jari telunjuk.

"Naruto?"

Naruto berjenggit. Dia mulai berkeringat dingin. "Y-ya?"

"Apa tidak enak?"

"Bu-bukan begitu..."

"Lalu?"

Naruto hanya nyengir sedikit. Dia tidak tau harus memberi alasan apa. Andai, andai saja dia bisa diberi waktu berpikir, pasti dia bisa menerima. Tapi, baru kemarin malam, dirinya yang tak tau apa-apa ini tiba-tiba saja diikutkan dalam sebuah pembicaraan antar keluarga yang tentunya tidak bisa dibilang main-main. Dia yang masih kelas dua SMA ini harus menikah dalam seminggu lagi?!!. WTF?!!. Selama rapat kemarin, pikiran Naruto tidak bisa tenang dan dia berniat untuk menyela pembicaraan. Protes ceritanya.

Tapi memang sudah sifat Naruto yang sering mengalah dan mudah bingung membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa diam mendengar perundingan antar dua kepala keluarga, tanpa diberi kesempatan untuk dimintai pendapat, atau saran. Yang penting, pokoknya beres. Dan Naruto tidak suka seperti itu. Apalagi begitu dirinya dan kedua orang tuanya pulang, mereka tidak menjelaskan apapun padanya, sampai sekarang. Apa-apaan ini?!.

"Apa terapis-nya kurang bertenaga sayang?"

Naruto tersadar, lalu menoleh. Mikoto yang memperhatikan sang calon menantu sedari tadi menatap Naruto khawatir. Naruto buru-buru menggeleng.

"T-tidak....ibu.."

"Lalu?"

Naruto senyum, menunduk. Menatap kedua kakinya yang saat ini sedang dipijat seorang terapist wanita. Pagi tadi, tanpa memberi alasan (lagi) ibunya membangunkan Naruto, menyuruhnya untuk bangun pagi dan berpakaian rapi. Tak lama setelah dirinya selesai, ibu Sasuke sudah mengetuk pintu kamarnya, mengajaknya menuju salah satu spa terkenal di pusat kota. Lalu....sekarang inilah dirinya berada.

Duduk di sebuah single sofa nyaman berwarna putih susu dengan calon ibu mertua duduk di kursi sebelahnya. Naruto makin bingung saja. Baru kemarin dia dikejutkan dengan rencana pernikahan, sekarang malah dia menghabiskan waktu bersama calon ibu mertua.

"Apa soal kemarin Naruto?"

Naruto menoleh, "..saya...hanya bingung..."

"Apa terlalu mendadak menurutmu?" tanya Mikoto, tersenyum.

"Salah satunya itu."

"Bukannya kamu juga menyukai Sasuke?"

Naruto menundukkan wajahnya dalam. Pipinya menghangat. "Y-Ya...memang saya menyukai senpai. Tapi...saya hanya tidak menyangka akan secepat ini. Dan saya...tidak sampai berpikir jika hubungan saya dengan senpai akan dibawa hingga ke pernikahan..."

"Ah~...imutnya kamu nak..."Mikoto mencubit salah satu pipi Naruto yang dekat dengan jangkauan tangannya. Naruto hanya bisa meringis. "Sudah aku duga kamu akan bilang begitu sayang. Jelas sekali dari ekspresimu kemarin. Awalnya aku juga merasa begitu. Tapi setelah dipikir lagi, sepertinya tidak masalah. Sebenarnya, yang ngebet banget itu Sasuke. Kamu pastinya tau kan bagaimana sifatnya?. Dia itu tidak bisa menahan sabar kalau sudah menginginkan sesuatu."

Wajah Naruto memerah. Jadi...senpai yang mengusulkan untuk segera menikah?. Tapi kenapa orang tuanya juga gampang sekali bilang setuju?!.

"Apa kamu sudah dikabari Sasuke?"

Naruto menggeleng pelan. Mikoto menghela nafas. "Anak itu... . Apa harus begini caranya?. Seharusnya dia menjelaskan dulu pada Naruto!"ujar Mikoto, seperti pada diri sendiri. Tak lama Mikoto sadar sesuatu. Tangannya bergerak meraih tas.

"Ini.."Naruto menatap sebuah kliping tipis yang dipegang Mikoto tanpa sampul. Naruto membuka pelan. "Itu susunan acara untuk pernikahan kalian. Ibu sendiri yang menyusunnya. Yang ini untuk resepsi pernikahan kalian. Sedangkan ini untuk pengucapan janji pernikahan nanti. Bagaimana menurutmu?"

Naruto melihat detail acara yang sudah tersusun rapi. Tanpa sadar dia tersenyum.

"Kenapa?. Apa ada yang salah?"

"Tidak. Kebetulan saya juga suka dengan konsepnya."

"Benarkah?!. Baguslah kalau begitu!"Mikoto tersenyum manis, tidak mengurangi kecantikan beliau walau sudah berumur. "Tapi tunggu!" Mikoto merubah raut wajahnya seketika, menjadi cemberut. Tangannya menarik hidung Naruto kencang. Naruto mengaduh.

"Aku tau kamu ini anak yang sopan. Tapi apa harus memakai bahasa formal juga pada ibu?. Dengar Naruto, aku menganggapmu sebagai anakku sudah lama. Jadi hentikan bicaramu yang kaku begitu. Mengerti?"

"I-iya..."Naruto mengelus-mengelus hidungnya yang memerah sekaligus terasa sakit.

"Kalau kamu sampai mengulanginya, ibu bakal menarik hidungmu lagi. Mengerti?"

"I-iya..."

"Iya apa?"

"Iya...ibu..."

Mikoto tersenyum lagi. Seketika menarik leher Naruto, mencium kening calon menantunya penuh cinta. "Bagus!"

*

Uchiha Corp. 02.15 pm

BRAKK!!

DUGG!

"Akh!!.."

DUAGH!

BUAGH!!

"Aniki!"

"Ini hukuman untukmu."

Dengan cepat Itachi membanting tubuh Sasuke. Sasuke tidak bisa melawan lebih. Tenaganya sudah terkuras habis. Hari ini jadwalnya sangat padat, mengharuskannya mengurus urusan perusahaan dari pagi sampai jam 2 siang tadi. Rencananya setelah itu dia ingin istirahat sebentar sebelum kembali melanjutkan kegiatan. Tapi ketika pintu ruangannya dia buka, sang kakak sudah berada disana, bersender pada meja kerjanya, berpangku tangan. Menyuruhnya untuk menuju dojo yang berada di lantai 10 perusahaan.

Dojo?. Di perusahaan?. Memang aneh, tapi Itachi sendiri yang meminta adanya dojo tersebut dibangun di tengah-tengah lantai bangunan. Tau sendiri bukan, Itachi sangat menggemari martial art, dan dirinya sendiri sudah menjadi guru dari beberapa seni bela diri. Dan begitu keduanya sudah berganti pakaian, tanpa babibu sekaligus kecepatan kilat Itachi membanting tubuh adiknya berulang-ulang. Pukul sana, pukul sini. Tendang sana, tentang sini. Sasuke benar-benar seperti samsak hidup.

"Aniki!, hentikan!. Memang apa salahku padamu hah?!"

Sasuke beruntung, dia sempat menghindar setelah dibanting kesekian kali oleh kakaknya. Itachi yang dengan mode serius hanya menatap adiknya tajam. Sasuke mengambil nafas banyak-banyak. Apa ada yang salah?. Seharian ini pikirannya sudah tercurah pada pekerjaan kantor yang menggunung minta ampun. Dan semua bisa dia selesaikan dengan baik. Apalagi dia juga tidak menunda pekerjaan yang dia emban. TAPI KENAPA JADI BEGINI?!. MEMANG APA YANG SALAH DENGANKU?!

Itachi berjalan mendekat, yang otomatis membuat Sasuke berjalan mundur.

"A-aniki...,"Sasuke memegang perutnya yang masih terasa sakit. Melihat kakaknya masih berjalan mendekat dengan tatapan ingin membunuh membuatnya sebal. "..bisa hentikan?!. Setidaknya jelaskan padaku apa salahku kali ini!!, baka aniki!"

"Bahkan kamu sudah mengatai kakakmu bodoh, masih bertanya salahmu apa hah?. Baka otoutou.."

Sasuke sedikit merinding mendengar suara Itachi yang berubah. Dibelakangnya sudah dinding. Yang berarti sudah tak ada lagi tempat bagi Sasuke untuk melarikan diri.

"Kenapa kamu tidak memberi tau Naruto sebelumnya?"

Sasuke melirik lemah. Perutnya masih terasa sakit untuk bisa berdiri tegak. "..a-apa?"

Itachi menghembuskan nafas kasar. Adiknya ini benar-benar. "Naruto tidak tau menahu soal pernikahan sebelumnya kan?. Kenapa tidak kamu bicarakan soal itu padanya?"

Sasuke berganti posisi ke duduk. "Jadi karna ini kamu memukulku?."

Itachi mulai membuka sabuk yang mengikat pakaiannya, membiarkan tubuh toplessnya yang sudah penuh keringat terkena ac di ruangan itu. Dengan cepat dia membuka satu botol air mineral yang tersedia, meminumnya rakus.

"Aku memang awalnya tidak akan memberitau dia soal ini. Tapi ternyata dia datang juga di pesta kemarin."

"Apa begitu caramu untuk memberi kejutan?. Kurasa setiap orang pasti akan terkejut jika tiba-tiba saja ketika diajak keluar dia sudah diantar didepan penghulu untuk menikah. Apa kamu mau dapat tamparan gratis Sasuke?"

Sasuke terdiam. Diam-diam dia membenarkan ucapan kakaknya. Hal itu bisa saja terjadi, mengingat mood Naruto sulit sekali dia tebak.

"Kau sudah bertemu dengannya setelah malam tadi?"

"Belum."

Alis Itachi bertaut. "Apa karna sibuk?. Kuharap bukan itu alasannya Sasuke."

"Memang iya."

Itachi menghela nafas lagi. Mendengar kakaknya yang terus mendesah kecewa membuat Sasuke jengkel.

"Berhenti bersikap begitu kak!"

"Aku mungkin akan seperti ini seharian karna dirimu ini!. Pokoknya hubungi Naruto, sekarang. Bicarakan masalah ini. Jangan membuat calon adik iparku berubah pikiran karna dirimu!"

"Tidak bisa. Aku masih ada urusan perusahaan yang harus diselesaikan hari ini juga. Begitu juga besok."

"Lalu kamu akan tetap 'diam' tanpa memberi penjelasan apapun pada Naruto padahal pernikahan kalian tinggal menghitung hari?!"

Mata Sasuke menyipit. Bentakan sang kakak membuatnya jengah. "Tenanglah. Memangnya aku akan berdiam diri terus?. Pastinya aku akan memberi tau dia."

"Kapan?"

"Mungkin lusa."

"Mungkin?"Tubuh Itachi mendekat kearah Sasuke, gemas.

Melihat kakaknya terus mendekat, Sasuke segera mendorong dada kakaknya untuk menjauh.

"Maka pastikan itu terjadi."

Itachi berdiri, meninggalkan si adik yang masih merasa kesakitan tanpa perduli.

GRAK!

Pintu dojo tertutup. Sasuke membaringkan tubuhnya ke samping. Berapa kalipun dia berusaha, sekuat apapun dia menekan perut, masih saja pukulan kakaknya terasa sakit. Rasanya seperti terus menempel di kulit. Menyebalkan.

Drttt...drrtttt...

Sasuke meraih handphone yang kebetulan dekat dengan posisinya saat ini. Sebuah pesan dari Haku. Mengingatkannya akan jadwal yang harus dia lakukan sebentar lagi. Sasuke mencengkram handphone erat. Bahkan perutnya masih kesakitan begini, tapi dia harus segera bersiap. Kadang sikap profesional itu merepotkan juga. Sasuke berusaha untuk berdiri, walau sedikit meringis. Disaat dia berjalan menuju ruang ganti, tangannya yang satu memencet beberapa tombol dengan cepat.

"Siapkan mobil 10 menit lagi. Tapi sebelum itu, belikan aku icepack. Sebanyak mungkin."

Sasuke mematikan sambungan. Baiklah...saatnya serius..

*

Sudah beberapa menit ini Minato terus memencet tombol remot, mengganti channel terus menerus tanpa ada niat untuk menonton. Dia seperti hanya ingin bermain layaknya stick game.

"Sayang.."

Minato menoleh. Kushina tersenyum sambil memberikan secangkir kopi di meja, searah dengan posisi Minato duduk.

"Masih merasa khawatir?"

"Hm..."

Kushina tertawa kecil, kemudian mencium kening suaminya yang masih memasang wajah masam sejak pulang tadi malam.

"Tenanglah sayang, anak kita tidak akan seperti yang kamu cemaskan. Aku yakin dia akan mengerti."

"Tapi..."Minato jadi ingat bagaimana ekspresi terkejut sekaligus bingung anaknya begitu dirinya mulai membahas pernikahan antara Naruto dan Sasuke. Walau malas mengakui, tapi sebenarnya Minato setuju dengan saran Sasuke yang tidak memberi tau Naruto dulu. Tapi jika Naruto tidak ikut, maka akhirnya akan lebih buruk. Bagaimana kalau nanti Naruto mengutuk dirinya?, mengatainya ayah tidak berguna?, kejam?, dan yang lebih parah Naruto tidak mau mengakui Minato sebagai ayah?!!

Minato berjengit begitu merasa sentuhan lembut istrinya menyentuh pundak. Kushina tampak menahan tawa, membuatnya tidak mengerti.

"Ada apa?"

Kushina mencoba untuk menguasai dirinya untuk tidak tertawa lepas. Akhirnya dia mulai tersenyum "Justru seharusnya aku yang bertanya padamu sayang. Ada apa denganmu?. Memang Naruto tampak syok waktu itu. Tapi kamu tidak perlu sampai berpikir yang tidak-tidak. Dia anak kita. Percayalah padanya. Jangan berpikir dengan raut seperti tidak akan pernah melihat Naruto lagi."

"Tapi..memang nantinya akan begitu kan?"

"Jadi aku adalah mahkluk tak tampak?"Minato melirik sang istri yang masih tersenyum, lalu tersadar.

"B-bukan begitu..hanya..."

"Sasuke juga tidak akan bersikap sekejam itu sayang. Dia sangat mencintai putra kita. Lagipula, siapa yang melarang seseorang untuk menemui orang tuanya sendiri?."

Minato menghela nafas. Mencoba menerima perkataan si istri. Perlahan dia menyenderkan kepala yang langsung disambut Kushina lembut.

"Naruto-ku..."

Kushina kembali tertawa. Suaminya ini memang benar-benar mengkhawatirkan Naruto. Hanya sebuah pelukan hangat dari istrinyalah yang bisa membuat Minato tenang.

----------

Naruto berjalan santai di trotoar jalan besar yang biasa menuju kesekolahnya. Ternyata jalan-jalan sore begini enak juga. Apalagi sambil menjilat es krim yang baru dia beli di sebuah minimarket. Di cuaca dingin makan es krim?. Tapi Naruto melakukannya. Setidaknya dengan begini dia bisa mendinginkan otaknya juga yang masih dipusingkan berbagai hal mengenai pernikahannya dengan Sasuke, yang akan dilaksanakan sebentar lagi.

Setelah dirinya dimanjakan dengan perawatan spa bersama dengan Mikoto, selanjutnya mereka menuju ke sebuah gereja yang berusia ratusan tahun dengan arsitektur Gothic yang rencananya sebagai pengikat sumpah pernikahan mereka nanti. Naruto terdiam sesaat begitu matanya tertuju pada rose window dan clear storey yang ada di gereja itu. Matahari siang yang saat itu bersinar cerah tampak memantulkan warna-warna indah dari rose window itu sendiri. Naruto tidak tau seberapa besar kekuasaan keluarga Sasuke di dunia bisnis. Tapi gereja yang akan digunakan saat pernikahan mereka berdua nanti ini, untuk masalah sewanya saja memakan banyak biaya. Setidaknya itulah yang pernah Naruto dengar.

Ketika keduanya sampai disana, Naruto langsung terpana. Dia sampai tidak percaya, apakah tempat ini nantinya yang akan menjadi saksi pernikahannya nanti?. Tak lama dia malah berpikir Sasuke sudah berlebihan dalam memilih tempat. Ini diluar ekspetasinya.

"Ada apa sayang?. Kamu capek?"

Naruto menoleh, tak lama tersenyum canggung. Diperlakukan sangat perhatian begini oleh calon ibu mertua membuatnya tidak enak juga.

"Tidak. Hanya...sedikit kaget."

"Kaget?."

Mikoto memperhatikan raut wajah Naruto yang masih tersenyum canggung, lalu menaikkan kedua alis. Menatap ke sekitar mereka.

"Maksudmu...tempat ini?. Apa kamu tidak suka?"

"Bu-bukan begitu!. Hanya..hanya..."Naruto sulit menjelaskan maksudnya. Naruto mengelus tengkuknya canggung. Dia hanya ingin...yang biasa saja!..

Mikoto meremas kedua tangan. Melihat ekspresi Naruto yang antara takut, malu dan canggung itu membuat pikiran fujoshi Mikoto kembali aktif. Yang jadi dia malah memikirkan apa yang akan Sasuke lakukan jika berada disini. Meski sudah menunggu, tapi Naruto belum juga bicara. Mikoto tersenyum, meraih tangan Naruto untuk duduk di salah satu kursi di gereja itu. "Katakan saja honey. Kamu tidak perlu merasa tidak enak begitu. Bagaimana pun, ini menyangkut pernikahan kamu dan Sasuke. Kami memang menyiapkan semuanya, termasuk gereja ini. Tapi kalau kamu ingin berbicara sesuatu, maka katakan saja."

"Hanya..."Naruto menggigit bibir imut. Mikoto yang melihat, segera mencari sapu tangannya di saku coat coklat miliknya. Bisa dia rasakan darah akan keluar sebentar lagi lewat hidung. "...apa tidak bisa melakukan upacara pernikahan yang biasa saja,...bu?.."

Mikoto berjengit. Dia langsung mengambil sapu tangan, menutup hidung. "Maksudmu...kamu maunya melakukan upacara pernikahan sesuai adat tradisional?"

Naruto mengangguk. Tampak senang begitu maksudnya ditangkap sang camer. Tidak!!!. Mikoto menunduk, terbatuk-batuk begitu melihat senyum manis Naruto. Sementara Naruto yang berada dihadapan Mikoto langsung berdiri panik luar biasa.

"I-ibu tidak apa-apa?!.."

"Tidak.., apa-apa Naruto..tenang saja.." Naruto makin tidak bisa tenang begitu Mikoto kembali batuk heboh. Dia benar-benar panik sampai bingung harus berbuat apa. Disaat Naruto bingung, dengan cepat Mikoto membersihkan hidungnya dengan sapu tangan yang sudah dipenuhi darah segar. Diam-diam senyum devil itu muncul. Hehehehe...Kushina-san, sepertinya kita harus rundingkan bulan madu mereka berdua lebih lama dari seharusnya..karna dengan begitu, akan ada season 1, season 2 dan season yang lain untuk DVD live mereka. Mikoto tertawa setan dalam hati. Dia akan menelpon ibu Naruto itu setelah ini.

Mikoto meremas sapu tangan miliknya, kemudian menatap Naruto sambil tersenyum.

"Ibu benar tidak apa-apa?!.."

Melihat menantunya ini khawatir Mikoto semakin melebarkan senyum, "..tentu saja Naruto. Tadi hanya batuk biasa. Tidak apa-apa."

Melihat ekspresi Mikoto yang baik-baik saja. Naruto menghela nafas lega. Dia kembali duduk seperti tadi.

"Sepertinya, sampai disini jadwal kita Naruto. Ibu hanya berencana untuk menunjukkan gereja ini padamu. Tenang saja, ibu akan bicara lagi mengenai hal ini nanti dirumah dengan yang lain."

"Terima kasih bu."

"Kalau begitu, ibu antar pulang ya."

"Ah..soal itu.. ."Naruto memberi jeda sejenak. Sebenarnya dia merasa tidak ingin langsung pulang ke rumah. Mengingat suasana tidak mengenakan tadi pagi saat Mikoto menjemputnya. Entah kenapa ayahnya jadi bersikap dingin. "...bisa..aku pulang sendiri?. Ada sesuatu yang harus aku lakukan dengan teman-teman setelah ini. Mengenai sekolah."

"Sekolah?. Tapi kan kamu masih libur kenaikan kelas?"

"Yah..sebenarnya banyak hal yang harus kami bicarakan juga mengenai hal itu. Apalagi..teman-temanku lebih suka bertemu di luar dari pada dirumah.."

"Oh, begitu?. Baiklah. Dimana kalian akan ketemu?"

Naruto memperhatikan kakinya yang berjalan lurus, masih berjalan di trotoar jalan tanpa memperdulikan orang sekitar, sambil sesekali menjilat es krim. Walau Naruto tidak berharap lebih, tapi setidaknya dia ingin Sasuke menghubungi dirinya. Dia butuh penjelasan. Atau mungkin, bertemu berdua lebih baik. Setidaknya dengan begitu dia bisa memukul Sasuke sekali karna hal ini. Merencanakan pernikahan tanpa membicarakan hal itu dengannya?!. Sasuke benar-benar teme!.

"Naruto?"

Naruto menoleh, masih menjilat es krim di tangan yang mulai berkurang. "Kenapa kamu disini?"

"Justru aku yang mau bertanya padamu." Shikamaru melempar bola ditangannya kearah Naruto, eskpresinya berubah. Dengan cekatan Naruto tangkap, mengabaikan es krimnya yang terjatuh. "Kenapa kamu menyembunyikan hubunganmu dengan Sasuke senpai selama ini?. Bahkan menikah?. Apa-apaan?!!."

Mata Naruto melebar kaget. Da..darimana Shika mendengar berita itu?. Apa Sasuke yang memberi tau?.

"Shika..."

Shikamaru mendengus sebal. Matanya menyipit menatap Naruto yang masih memasang wajah terkejut.

"Apa begini namanya teman?. Apa kamu takut akan diolok teman-teman mengenai hubunganmu dengan senpai hah?!"

"Bu-bukan begitu!..hanya..hanya..!.."

Shika mengambil bolanya kasar. Naruto makin tidak enak.

"Shika..."

"Enyahlah. Aku tidak butuh dirimu yang menghalangi jalanku untuk pulang."

Dengan cekatan Naruto menarik coat Shikamaru. "Shika, aku mohon jangan marah padaku. Aku hanya..hanya tidak berpikir sampai kesana. Banyak hal yang terjadi, membuatku lupa untuk memberi tau-.."

"Oh, lupa?. Tapi masalah pernikahan tidak?"

Naruto menggigit bibir. Kali ini menarik kaus Shika cepat, hingga keduanya berhadapan dekat. Shika sempat terkejut. Apalagi dengan ekspresi Naruto yang marah, dan mata berkaca-kaca.

"Dengarkan dulu perkataanku brengsek!. Bukan mauku juga kalau tiba-tiba pernikahan itu diadakan!!"

Naruto tidak perduli jika posisi keduanya sekarang seperti pasangan gay yang sedang bertengkar. Dia sudah tidak bisa menahan rasa marah dan kesalnya lagi. Dirinya merasa seperti orang tidak berguna dan tidak penting karna Sasuke mengambil keputusan sepihak semaunya, dan merasa sebal karna salah satu sobatnya ini malah menuduhnya begitu saja. Menganggap dan menatap dirinya seperti penghianat. What the hell?!.

*

Uchiha Corp, 10.30 pm

Sasuke melempar dokumen yang baru saja selesai dia tanda tangani. Saking seriusnya dia untuk menyelesaikan tugas hari ini, dia sampai lupa untuk makan siang. Gara-gara hadiah dari kakaknya, rasa laparnya jadi menghilang. Sasuke melihat lagi meja yang diletakkan dekat dengan meja kerjanya, yang digunakan untuk meletakkan kumpulan dokumen dan file tugasnya. Sudah kosong. Berarti tugas untuk hari ini selesai. Sasuke mengelus-elus tengkuk. Terasa kaku sekali. Sasuke merebahkan tubuh di sofa panjang yang ada disana. Hah..nyamannya...

Tak lama perut Sasuke bunyi. Sasuke mendecih. Bisa saja dia menyuruh Haku untuk membeli sesuatu untuknya. Tapi Haku sudah menyelesaikan tugasnya hari ini dan sudah pamit pulang. Jam segini juga sudah waktunya pulang kerja. Malah sudah terlalu malam. Sasuke tidak mau membuat orang macam Haku sampai harus kembali ke kantor hanya untuk mengantar makanan untuknya.

Yang bisa dia lakukan hanyalah berbaring sambil menatap jam dinding di ruangan dalam diam. Seperti orang yang kurang kerjaan, Sasuke memperhatikan jarum jam yang bergerak tiap detiknya. Pekerjaan hari ini berjalanan dengan baik. Bahkan kendala yang diberikan kepadanya hari ini juga bisa dia atasi. Semuanya berlalu dengan cepat sampai dia berbaring sekarang ini. Sesaat dia merasa ada yang belum dia lakukan. Ah, benar. Naruto. Sasuke memejamkan mata sebentar. Dia sudah bilang pada aniki jika dia akan menjelaskan soal pernikahan itu pada Naruto lusa.

Matanya kembali terbuka. Lusa...berarti 2 hari sebelum pernikahan berlangsung. Sasuke bangkit dari baring dan melihat kearah jendela kantor. Pemandangan malam yang begitu indah tersaji disana. Sasuke kembali berbaring. Memangnya harus mulai dari mana?. Sasuke tiba-tiba merasa seperti manusia yang kehilangan kekuatan dan keberanian. Seharusnya saat pesta perusahaan waktu itu dia menjelaskannya pada Naruto. Tidak, bahkan seharusnya waktu acara perpisahan sekolah. Sasuke mengacak-acak rambut sebal.

Naruto memasukkan kedua tangannya ke dalam saku coat. Dia sengaja berjalan agak cepat karna udara yang semakin dingin. Padahal Naruto sudah memakai pakaian yang lumayan tebal, tapi dia masih merasa kedinginan, sampai menggigil.

( "Jadi?"

Naruto menatap Shikamaru sebentar, lalu menunduk. Padahal cafe yang saat ini mereka datangi lumayan ramai, tapi Naruto merasa seperti disebuah tempat yang sepi. Membuatnya takut, bahkan hanya sekedar bergerak.

"Maafkan aku. Aku benar-benar tidak berniat untuk berbohong padamu Shika, juga pada teman-teman yang lain. Sebenarnya, hubunganku dengan senpai resmi baru-baru ini. Dan aku juga tidak berniat untuk menyembunyikannya. Sungguh!.."

Shika memperhatikan Naruto yang masih menunduk. Tampak sekali Naruto tidak nyaman untuk mengucapkannya.

"..aku hanya...tidak berpikir untuk menjelaskannya pada kalian. Banyak hal yang terjadi selama kami menjalin hubungan aneh ini."

"Waktu di Lotus Cafe, bagaimana?."

Naruto mengangkat wajah. Shika masih memasang wajah datar sambil menyangga dengan salah satu tangan. "Bukannya Sakura sampai ribut waktu itu?.". Naruto tampak berpikir, memandang ke langit-langit. Tak lama matanya melebar dengan wajah memerah.

"I-Itu..."

"Apa...jangan-jangan kalian sudah..."

Naruto menutup wajah dengan kedua tangan. Shika mendelik. Yang benar saja?!. Bahkan sudah sejauh itu?!.

"Nee Naruto..!.."

"Maafkan aku!.."

Shika menatap sobat dekatnya itu, yang masih menutupi wajah malu. Bahkan tangannya pun ikut memerah. "Mungkin bagimu hal ini terdengar aneh. Tapi entah kenapa lama kelamaan aku menyadari perasaanku pada senpai. Dan kejadian yang kamu maksud itu..."Naruto menurunkan tangannya hingga ke dagu, mengalihkan pandangan kearah lain. "Kami memang melakukannya. Tapi!..tapi..!...tapi sebelum itu terjadi kejadiannya benar-benar rumit!...jadi... ."

Naruto menjedukkan dahinya di meja. Suara yang cukup keras itu otomatis membuat Shika kaget sendiri. "Aku bingung...harus menjelaskannya dari mana dulu..."

Shika menghela nafas, lalu menyeruput kopi yang dia pesan. "Baiklah. Anggap saja kamu sudah menjelaskan soal mulainya hubunganmu dengan senpai. Lalu soal pernikahan. Kenapa tiba-tiba kamu ingin menikah?"

"Sebelum aku jawab,.."Naruto menatap Shikamaru, dengan dagu yang menempel di meja. "..kamu dengar dari siapa?"

"Tadi aku ke rumahmu. Aku berniat mengajakmu ke suatu tempat. Belum sempat aku menekan bel, aku mendengar percakapan ayahmu yang sedang menelfon seseorang. Tema pembahasan tentang pernikahan. Tadinya aku mau menghiraukan hal itu, tapi mendengar namamu dan Sasuke senpai disebut, mau tak mau aku jadi mendengar percakapan ayahmu itu."

"Oh...pantas. Pastinya orang tuaku juga sibuk soal itu.."Naruto menjawab sarkas, kembali duduk seperti semula.

"Apa maksudmu?"

"Soal pernikahan, aku tak tau sama sekali. Tiba-tiba aku diikut sertakan dalam sebuah rapat keluarga setelah menghadiri event di Uchiha Corp. Semuanya kecuali aku, sudah saling menyetujui masalah tempat, catering, WO, dan lain-lain untuk pernikahanku dengan senpai. Saat rapat itu, aku hanya bisa bengong tanpa diberi kesempatan untuk memberi pendapat, seperti orang bodoh. Intinya, rapat waktu itu seperti pertemuan untuk memastikan semua halnya disetujui dan bisa langsung dilaksanakan. Apalagi senpai sampai saat ini tidak menghubungiku untuk menjelaskan waktu itu. Teme!"

"Apa?. Jadi...masalah pernikahan ini..kamu tidak diajak berdiskusi sama sekali?"

"Benar!. Dan lagipula, siapa yang berpikir untuk menikah padahal aku masih harus menjalani masa SMA?!!"Naruto menggebrak meja. Mengingat soal itu saja sudah membuat darahnya mendidih tidak karuan. Beberapa saat dia sadar jika keadaan cafe yang ramai jadi menarik perhatian gara-gara sentakan yang dia buat. Buru-buru Naruto meringkuk malu diatas meja.

"Jadi...Sasuke senpai yang merencakan pernikahan?"

"Kalau bukan dia siapa lagi?.."suara Naruto mencicit, sambil menatap keluar jendela cafe, yang kebetulan posisi duduk mereka yang berada di samping jendela. "Senpai no Bakkaa!"

Shika tertawa pelan, sambil menyeruput kopi. Melihat betapa syok dan keadaan Naruto saat ini, sepertinya Naruto berkata jujur.

"Lalu..kapan pernikahannya dilak-.."

"Akh!...mo!!. Jangan ingatkan aku soal itu Shika!. Rasanya menyebalkan sekali tau!. Ingin kupatahkan kedua kaki dan tangan senpai sekarang juga jika mengingat soal itu!"

"Oh, jadi kamu tidak mau mengundang teman-temanmu begitu?"

Naruto menatap Shika yang kembali minum kopi. "Bisa tidak tunjukkan simpati mu dulu padaku?. Kamu mau membuatku tambah jengkel?. Aku sudah mengaku padamu soal hubunganku dengan senpai, juga soal pernikahan itu. Dan kamu mau menambah kekesalanku?!" Naruto menggembungkan pipinya, sambil meletakkan kepala di meja. Shika tersenyum, lalu tertawa kecil.

"Oke. Jadi, apa yang harus dilakukan seorang teman sepertiku untuk menghiburmu?" )

Naruto menghela nafas. Sudah beberapa kali uap dingin yang keluar dari mulutnya. Padahal dia tau jika malam bisa sedingin ini. Tapi yang Naruto lakukan sekarang malah duduk di kursi ayunan, sambil terus menggerakkan ayunan itu kedepan dan belakang. Masa bodoh dengan pulang. Naruto yakin sekali jika orang tuanya mengira dia masih bersama si calon ibu mertua, jadi sampai jam segini handphonenya masih kosong tanpa ada notifikasi apapun. Baguslah. Karna dengan begitu Naruto bisa lebih lama berada di taman bermain anak-anak, yang letaknya tak jauh dari rumahnya untuk menyendiri.

Seharusnya tadi beli cemilan juga. Hah... . Naruto berdiri menghampiri mesin minuman yang tersedia di taman itu. Dia hanya bisa ditemani sekaleng kopi kali ini. Mungkin lain kali dia bisa membawa cemilan. Naruto menggerakkan bahu, bergerak mengambil kopi kalengan yang sudah dipilihnya tadi. Tapi sebelum dia sampai, sebuah tangan sudah bergerak duluan mengambil kopi kaleng miliknya.

"Ini, punyamu."

Naruto melotot. Sasuke yang mendapat pelototan super Naruto hanya bisa terkekeh. Naruto jadi tampak imut kalau begitu.

"Tidak mau?"

Sasuke lalu berdiri berhadapan dengan Naruto. Sementara Naruto belum menunjukkan reaksi yang berarti.

"Kalau tidak mau, berarti un-.."

BUGH!!

"..AKH..."

Kopi kaleng yang dipegang Sasuke terlepas. Yang Sasuke pedulikan sekarang ialah perutnya yang terasa nyut-nyutan. Padahal pukulan kakaknya tadi siang belum hilang, sekarang kembali mendapat bogem dari kekasihnya Naruto. Sasuke menatap Naruto yang tampak kesal padanya.

"Apa?. Seharusnya satu pukulan belum cukup untukmu."

"H-hah?..."

Naruto mengambil kopi yang tadi terjatuh, kembali duduk ke ayunan. Mengacuhkan Sasuke yang masih berlutut kesakitan.

Sambil menahan sakit, Sasuke berusaha keras untuk bisa menyusul duduk di kursi ayunan yang bersebelahan dengan Naruto. Naruto membuka tutup kaleng, meminumnya perlahan tanpa memperdulikan desis kesakitan senpainya itu. Sesekali Sasuke menatap Naruto, yang minum sambil menatap langit.

"Hei.."

Naruto bergeming.

"Naruto.."panggil Sasuke lagi. Naruto masih diam.

"Sayang.."

TWITCH!

"HAGH!!, AKU PULANG!"Naruto langsung berdiri. Tapi sebelum tubuhnya bisa bergerak menjauh, Sasuke dengan kecepatan kilat memeluk perut Naruto dari belakang, dengan posisi berlutut.

"Jangan pergi.."

"Apa mau senpai sebenarnya?!"Naruto mencoba untuk bergerak, tapi terhalang dengan sosok Sasuke yang memeluknya. Berkali-kali dia mencoba untuk berjalan pergi, tapi tetap saja sama. Karna tenaga Sasuke lebih besar, akhirnya Naruto menyerah.

"Temani aku sebentar.."

"Tidak mau!. Lagian siapa suruh senpai kemari segala di jam segini?!. Seperti tidak ada kegiatan lain!" Naruto bersedekap, menggembungkan pipi lucu. Sasuke makin mengeratkan pelukan.

"Ne Naruto, memangnya aku ini orang yang suka bersantai-santai?. Aku bisa kemari juga karna baru menyelesaikan tugas kantor tau."

"Dan hal itu bukan urusanku."Naruto menjawab kilat. Masa bodo'!.

"Naruto.."suara Sasuke terdengar memohon. Nafas Sasuke semakin cepat dan terasa hangat. Naruto bisa merasakannya, padahal dia memakai coat dan pakaian yang lumayan tebal hari ini. Tak lama Sasuke terbatuk. Membuat Naruto mau tak mau menoleh.

"Senpai?.."

"Kurasa...aku..."

Naruto segera berbalik dan memapah tubuh Sasuke menuju salah satu kursi taman yang lumayan lebar. Ketika dirinya akan membaringkan Sasuke, Sasuke malah langsung berdiri normal. Memegang kedua pundak Naruto untuk duduk, dan terakhir dirinya yang berbaring dengan kepala di paha kekasihnya itu. Naruto melotot. Sasuke hanya merenges.

"Dasar curang!"Naruto memalingkan wajah ke arah lain. Sasuke tersenyum, menyilangkan kedua tangan begitu merasakan udara yang semakin dingin.

Beberapa menit mereka tidak bicara apa-apa. Naruto masih sama, memandang sebal ke salah satu pancuran mini di tengah-tengah taman itu. Dirinya tau jika Sasuke terus memandang wajahnya dalam diam.

"Maafkan aku..."

Sebuah sentuhan halus mampir di pipi Naruto, membuatnya menoleh. Sasuke kembali senyum menatap kekasihnya yang mulai melunak.

"Kamu boleh mengatai apapun padaku karna tidak memberitaumu soal pernikahan itu. Maaf aku tidak memberi tau sebelumnya. Sebenarnya bukan karna tidak mau, tapi karna saking semangatnya aku sampai lupa. Aku jadi terlalu serius mengurus semuanya, tidak sabar untuk membuat semuanya menjadi nyata. Kita menikah, saling terikat. Sehingga aku bisa merasa lega kalau nanti begitu aku pulang aku bisa disambut oleh seseorang yang aku cintai. Aku benar-benar tidak sabar jika harus menunggu sampai kamu lulus Naruto.."Sasuke berkata jujur, masih dengan mengelus pipi tan sang kekasih. Naruto malah melotot.

"Sebenarnya ayahmu masih belum setuju mengenai hal ini. Tapi waktu pertemuan keluarga, tanpa diduga ibu dan ayahku membujuknya untuk setuju. Aku juga tidak menyangka mereka akan setuju begitu saja, karna anak bungsunya ini memiliki hubungan percintaan yang unik. Dan lagi, apa kamu tau kalau ibumu juga ikut membujuk ayahmu untuk setuju?"

"Ibu..ku?.."

"Hmm"

"Lalu..kapan pertemuan keluarganya diadakan?"

"Hm...kira-kira sebulan yang lalu. Berarti waktu kamu UAS?. Hngg..kukira saat itu."

APPA?!. JADI MULAI SAAT ITU?!

"Aku benar-benar minta maaf padamu Naruto. Aku-.."

Naruto menggeser kepala Sasuke, lalu berjalan pergi. Sasuke memaksakan diri untuk bangun, mengejar.

"Naruto.."

Naruto berhenti tiba-tiba dengan kaki menghentak kesal, "TEME!, BAKKA!, PERVERT!"

Naruto mengucapkannya hampir menjerit, tidak perduli jika sudah semakin larut atau mengganggu tetangga sekalipun. Dan dengan cepat berbalik, menatap Sasuke marah sambil menunjuk-nunjuk dada Sasuke sebal.

"Kau!..kau!!.."

Sasuke hanya bisa diam, menatap wajah kekasihnya yang begitu murka. "..kau benar-benar..."lama kelamaan wajahnya menunduk, diiringi isak tangis. "hiks...kau..hiks..benar-benar.."

"Naruto.."

"Jangan bicara sebelum aku selesai menghakimimu dasar sial!"Naruto menatap Sasuke cepat dengan air matanya yang turun satu-satu. Seketika Sasuke merapatkan bibir. Oke, mungkin dia harus menuruti Naruto kali ini kalau tidak mau mendapat gamparan gratis.

Naruto kembali menunduk. Air mata makin membanjir. "Dasar egois..hiks..maunya..me-hiks..-nang sendiri...hiks..hiks..menyebalkan!..hiks..huhuhu..hiks..teme!..hiks..hiks..sok berkuasa..hiks..bodoh..hiks..hiks...."

Naruto tidak tau lagi harus berkata apa. Padahal waktu melihat Sasuke pertama kali tadi, banyak sekali uneg-uneg yang ingin dia keluarkan agar didengar senpainya itu. Tapi sampai di titik ini, dia hanya bisa berkata yang mudah saja. Benar-benar, air mata memang bisa mengurai semuanya.

"Na-Naruto.."

"Kamu bilang, kamu ingin menikahiku-hiks..kan?. Tapi..hiks..bahkan kamu belum melakukan..hiks..apapun padaku.."

Sasuke mendelik. Mungkin pendengarannya yang salah, tapi dia meyakini diri sendiri kalau Naruto masih sadar dan tidak mabuk. Berarti Naruto mengucapkan kata tadi dalam kondisi sadar. Melakukan apa maksudnya?!. Apa mungkin.. . Pikiran Sasuke langsung berubah liar.

"Jangan berpikiran yang aneh-aneh!." Sasuke tersadar. Kini Naruto mulai menatap wajahnya, masih dengan air mata yang beberapa kali turun dan kesenggukan, walau masih menyipit sebal padanya. "Bukan itu maksudku!. Apa pikiranmu hanya dipenuhi hal itu saja senpai?!"

"O-oh..maaf.."Sasuke meringis canggung. Malu ketahuan.

"Menurutmu apa yang harus dilakukan?"

"H-hah?"Sasuke bengong sesaat. Pertanyaan Naruto jadi membuatnya bingung. Sekarang apa maksudnya?. Sasuke jadi tidak mengerti. Naruto mendecih kesal.

"Percuma aku bicara padamu.."Naruto berbalik. Sesaat kemudian Sasuke tersadar, secepat mungkin meraih tangan Naruto dan berdiri di hadapannya.

"M..sebenarnya karna saking seriusnya kerja aku sampai lupa hal ini. Maaf.., tapi.."Sasuke menatap kesekitar. Menghampiri salah satu tanaman merambat yang ada di taman itu. "Uzumaki Naruto, maukah kamu menikah denganku?" Sasuke menyisipkan batang muda dari tanaman merambat tadi, yang sudah dirubahnya menjadi cincin dadakan di jari manis tangan kanan Naruto. Naruto menatap cincin itu lama. Cincin dadakan yang berwarna hijau dari batang muda merambat itu terlihat sangat tipis di jarinya.

"Apa ini..?.."

Sasuke memegang kedua tangan Naruto, setengah berlutut agar dirinya bisa melihat wajah Naruto saat ini.

"Apa perlu kuulang?. Na...eh?."

Tanpa diduga, Naruto malah menangis tanpa suara. Sasuke mulai panik. Apa yang dia lakukan barusan salah?. Tapi tentu saja salah bodoh!. Masa pake cincin tanaman rambat?!. Sasuke memarahi dirinya sendiri.

"N-Naru..-Ugh!"

Tanpa kata-kata Naruto langsung memeluk Sasuke erat.

"Senpai no baaka..hiks..hiks..aku ini laki-laki..jangan buat aku kembali menangis dong!"

"Eh?"

Naruto makin mengeratkan pelukan. "Tentu saja aku mau, Uchiha Sasuke."

----------

Sesekali terdengar suara gorden yang terbuka. Dengan mata yang masih bergerak-gerak saat terpejam, Naruto terpaksa menunjukkan safir indah miliknya yang langsung terkena pantulan cahaya matahari. Membuat safir miliknya sedikit berkilau indah.

"Pagi."

Naruto menoleh kesumber suara. Sasuke sudah bangun, menatap dirinya setelah menaruh remote khusus yang digunakan untuk membuka gorden tadi. Naruto berjengit kaget, bergerak duduk. Mata indahnya menatap sekitar histeris.

"Dimana..ini..?"

"Hotel."

"Ho..tel?.."

Naruto kembali berjengit dan melihat dirinya. Masih memakai pakaian tadi malam. Seketika dia menghela nafas.

"Tapi kenapa kita tidur disini senpai?"

"Aku tidak mungkin membawamu pulang karna sudah larut. Ayahmu pasti berpikiran aneh tentangku. Dan aku juga tidak mungkin membawamu pulang kerumahku. Orang rumah pasti ribut dan langsung histeris melihatku membawamu pulang."

Naruto diam. Tak lama kembali menatap Sasuke. "Kamu jatuh tertidur saat memelukku. Dan aku tidak melakukan apapun sampai kita berdua tertidur disini." Jawab Sasuke, seakan tau apa yang akan Naruto tanyakan. Mendengar hal itu Naruto menghela nafas lega.

Sasuke beranjak dari baring, sedikit meregangkan otot lalu menuju pintu.

"Ah, aku lupa bilang. Jika ada orang yang mencariku, tolong gantikan. Aku mau pergi sebentar."

Naruto mengangguk lucu.

BLAM!

Naruto menatap sekitar. Sebuah kamar kelas eksekutif dengan dominasi warna putih dan coklat muda yang lembut. Naruto menyibak selimut, berjalan kearah grand window. Sinar matahari begitu terang, menyilaukan penglihatannya.

Tok! Tok! Tok!

Naruto menoleh. Menghampiri pintu dengan sedikit lari-lari kecil.

"Permisi, ini kamar Tuan Uchiha?.."

"Benar."

"Kalau begitu, anda Tuan Uzumaki Naruto?"

"Benar."

"Kalau begitu, bisa ikut saya?. Saya bawahan tuan Uchiha, bertugas untuk mengantar anda."

"Me..ngantar?"

.

.

"Eh?..."

Naruto tidak tau sudah berapa kali dia berkedip, menatap orang-orang disebelah kiri kanannya yang duduk formal, sesuai adat Jepang dengan pakaian tradisional yang beragam warna dan motif. Sedangkan dirinya sudah dipakaikan kimono putih pernikahan dengan wata boushi-nya yang hampir menutupi kedua mata. Kedua kaki Naruto seakan mati rasa. Dia seakan ditekan dengan suasana hikmat dan hening disekitarnya ini. Ayah dan ibunya bahkan hadir disana, disebelah sisi kirinya, sedangkan orang tua Sasuke berada disisi kanannya.

"Kalian bisa memulai ritual San-San-Kudo." Ucap seorang pendeta yang ada dihadapan Naruto dan Sasuke. Tubuh Naruto menegang begitu melihat Sasuke yang berbalut yukata hitam legam, bergerak memegang cawan kecil berisi sake yang harus diminum. Naruto mencoba untuk menoleh, dengan gerakan kaku. Tampak Sasuke menyeruput sake dengan mata terpejam hikmat, seakan-akan apa yang dia sesap itu adalah teh yang biasa disajikan tuan rumah untuk para tamu. Begitu Sasuke selesai, kini giliran Naruto.

Dengan tangan gemetar, Naruto berusaha untuk mengambil cawan berwarna hitam. Tangannya tidak bisa berhenti gemetar saat mendekatkan cawan kearah mulut. Sasuke yag berada disampingnya pun diam-diam melirik. Bahkan suara sesapan Naruto begitu berisik menunjukkan betapa gugupnya Naruto saat ini. Naruto memejamkan mata rapat. Setelah selesai, Naruto langsung mengambil nafas banyak-banyak seperti orang yang baru berlari kiloan meter. Dirinya berusaha memaksakan diri menatap sang pendeta yang kembali berbicara, entah apa. Yang ada saat ini, pikirannya begitu kosong dan dia tidak bisa mendengar apapun.

*

Naruto membuka mata perlahan. Yang pertama dia lihat adalah sebuah figura berisi foto seseorang. Tubuhnya bergerak untuk duduk, walaupun pandangannya masih kabur dan sedikit pusing. Naruto berjengit merasakan sesuatu yang menyentuh pundaknya.

"Ini aku."

Naruto mencoba berkedip beberapa kali, dan gambar yang ditangkap matanya mulai jelas. Sasuke sudah duduk disampingnya.

"Masih pusing?"

Naruto hanya mengangguk. Tak lama sebuah pelukan hangat Naruto rasakan.

"Maafkan aku ya. Aku tidak bilang dulu padamu."

"Ha?"

"Soal tadi pagi."

"Tadi..pagi?.."

Sasuke lalu mengarahkan kepala Naruto ke dadanya. "Tadi pagi, prosesi pernikahan."

Naruto melotot. Jadi...yang tadi itu bukan mimpi?.

Tok! Tok! Tok!

Sasuke dan Naruto menoleh kearah pintu. Ternyata Itachi yang berjalan masuk sambil membawa sepiring buah segar dengan dua gelas minuman.

"Oh, Naruto sudah sadar?."

"A..niki?. Kenapa ada disini?"

Itachi berhenti bergerak ketika menaruh piring di sebuah meja kamar itu. "Ya tentu aja aku disini. Ini kan kamar Sasuke."

"Hah?!"

Naruto toleh kanan kiri. Memang benar, sekarang ini dia berada di kamar Sasuke. Itachi yang selesai meletakkan hidangan mulai bersedekap. Dia berjalan mendekati keduanya.

DUNG!

"AWww!..aniki!"

"Katamu semua sudah beres. Lalu kenapa Naruto bisa pingsan hah?!. Pasti kamu berlaku seenaknya lagi kan?!."

Sasuke mendecih kesal, "Iya aku tau!. Ini juga baru mau kujelaskan!. Kalau sudah, sana pergi!. Mengganggu saja!"

Itachi menarik ujung bibir sambil mengapit nampan perak disela tangan kirinya. "Awas kalau kamu seperti ini lagi Sasuke. Kalau adik ipar sampai syok lagi, akan kubuat dirimu tidak bisa bertemu Naruto sampai sebulan penuh. Mengerti?"

Sasuke menatap tajam kakaknya, diam. Matanya seperti memancarkan kilatan dingin. Seketika aura sekitar mereka berubah.

"Naruto sudah menjadi tanggung jawabku. Jadi kau tidak punya hak apapun."

Itachi tersenyum mengejek, lalu keluar kamar. Setelah pengganggu pergi, Sasuke menoleh kearah Naruto yang kini menunduk.

"Maafkan aku...soal tadi pagi.."

"Jadi...tadi pagi itu..., berarti..kita sudah?..."

"Ya seperti itulah kira-kira.."

Sasuke memang tidak bisa menunda lebih lama pernikahan mereka. Begitu mendapat lampu hijau dari Naruto, dia langsung mengabari orang rumah untuk melaksanakan pernikahan keesokan harinya. Tentunya bagi orang tua, perkataan Sasuke ini bagai serangan jantung. Itachi pun jadi ikut-ikutan kena imbas. Bagaimana mungkin bisa menyiapkan perlengkapan untuk upacara pernikahan dalam beberapa jam?!. Begitu pula setelah memberi tau orang tua Naruto.

Tapi memang Uchiha, segalanya harus tersedia dan terlaksana secepat kilat pun jadi. Tanpa babibu, pernikahan digelar secara hikmat, selamat sentousa. Tapi yang Sasuke lupa, Naruto bukan orang yang langsung bilang ok kalau tiba-tiba dirinya diharuskan untuk lompat dari gedung tertinggi. Begitu upacara pernikahan selesai, dengan tatapan kosong Naruto beranjak menuju sebuah taman yang ada di sekitar atlar. Duduk terdiam sampai Sasuke menyusul dan duduk di sampingnya. Saat tak sengaja pundak mereka bersentuhan, tiba-tiba saja Naruto pingsan dan sempat membuat geger dua keluarga. Terutama Minato, ayah Naruto.

"Bukannya tiga hari lagi pernikahan seharusnya dilaksanakan senpai?"

Sasuke memegang tengkuk dan mengelusnya. "Aku hanya..yah begitu mendengar persetujuanmu tadi malam membuatku ingin cepat-cepat mengikatmu." Sasuke melirik, "..apa...kamu tidak suka?.."

Naruto diam, memegang kedua sisi lengannya seperti orang yang kedinginan. Sasuke mengerutkan alis sambil mendekat.

"Naruto?"

"Ja-Jangan mendekat!!"

Sasuke otomatis menjaga jarak. Masih memperhatikan Naruto yang meringkuk seperti orang kedinginan. Apa...Naruto membencinya?.. . Sasuke langsung dilanda ketakutan yang amat sangat. Tangannya bergerak, berniat menyentuh pundak Naruto lagi.

"Apa..."Naruto tiba-tiba mengintip dibalik lengan, menatap lurus kearah Sasuke.

"Eh?"

"...apa..senpai serius?.."

"Apa maksudmu?"

"Maksudku..."

Sasuke bisa lihat jika seluruh wajah, telinga bahkan leher Naruto berubah merah padam. Naruto kembali menyembunyikan wajahnya lalu mengintip lagi.

"..maksudku..tentang pernikahan ini. Aku bahkan..bukan seorang wanita y-yang..bisa melahirkan keturunan kan?..."

Akh!!!...Kami-sama!!!...Inner Sasuke sudah berubah buas begitu melihat sikap imut Naruto saat ini. Apa aku harus menyerangmu sekarang Naruto?!. Apa bisa kita lakukan sekarang?!. Kita sudah menikah kan?!!. Sasuke mengalihkan pandangan kedepan, menghela nafas keras.

"Naruto, dengar. Aku memilih untuk menikah denganmu karna kamu adalah Uzumaki Naruto. Dan aku juga tidak akan sampai menerima tantangan ayahmu waktu itu jika aku tidak serius mengenai hal ini." Sasuke memeluk Naruto erat. "Masalah bukan wanita yang bisa melahirkan keturunan, itu tidak menjadi pikiran dan beban buatku. Yang penting sekarang ini, seorang Uzumaki Naruto, telah menjadi milik Uchiha Sasuke. Oh salah, seorang Uchiha Naruto, telah menjadi milik Uchiha Sasuke."

Pundak Naruto bergetar lalu bergerak memeluk Sasuke cepat. Sasuke tersenyum saat isak tangis itu terdengar.

"Kamu ini bukan wanita, tapi sering cengeng ya?"

"Diam saja!." Naruto langsung menepuk punggung Sasuke keras. Sasuke sendiri malah tertawa.

Setelah beberapa menit, akhirnya Naruto bisa kembali tenang. Dia mulai berjalan menghampiri meja, mengambil sebuah jeruk dengan ukuran yang lumayan besar.

"Oya Naruto, aku cuman mau bilang kalau rencana pernikahan kita yang tadinya tiga hari lagi itu, diganti menjadi resepsi pernikahan. Apa kamu keberatan?"

Naruto berhenti mengunyah. "Re..sepsi?"

Sasuke ikut duduk disamping Naruto yang bengong sesaat. "Kenapa?"

"Berarti...mengundang tamu undangan kan?"

"Iya."

Naruto kembali mengunyah jeruk, lebih pelan. Waktu itu saja Shikamaru sangat marah padanya. Pernikahan tadi hanya dihadiri dua keluarga dan kerabat. Dan bagaimana jadinya jika tiba-tiba Naruto mengabari teman-temannya itu mengenai hal ini?. Memikirkannya membuat Naruto makin pusing.

"Ada apa?"

"Tidak.."

Hari ini lebih baik melakukan hal yang santai-santai saja. Naruto ingin menikmati dulu dirinya yang menjadi pengantin baru. Baru setelah itu Naruto akan mengabari teman-temannya untuk datang. Pasti.

"Oya, orang tuamu masih berada disini. Mau turun?"

"Benarkah?. Kalau begitu ayo."

*

Naruto memejamkan mata sambil menggigit bibr. Berusaha menahan sesuatu. Tangannya memegang selimut, meremas hingga urat di tangannya terlihat.

"Sen..pai.."

"Diam."

"Ugh.."

Naruto mencoba membuka mata, tapi kembali dia pejam.

"Sen.."

"Diam!."

Naruto berjengit mendengar sentakan itu. Dia menggigit bibirnya makin keras.

"Ah!.."

15 menit sebelumnya..

Itachi mendekati Naruto, sambil membawa nampan yang diatasnya sudah ada sepiring cemilan buatannya sendiri dengan beberapa gelas jus.

"Nah Naruto, antarkan ini ke ruang keluarga. Bisa kan?"

"Hai'.."

Naruto memegang erat tiap ujung nampan, sambil terus melihat kearah nampan, memastikan agar tidak oleng. Sedangkan di ruang tamu, dua keluarga saling berbincang mengenai berbagai hal, ditambah Sasuke yang kembali meneruskan tugas kantor, dengan duduk agak menjauh, dekat dengan pintu masuk ruang keluarga. Saking seriusnya Sasuke bahkan tidak menoleh kearah manapun selama 10 menit. Tak lama muncul Naruto. Namun karna pandangannya yang terus terarah ke nampan, dirinya tidak sadar jika kakinya terbelit karpet ruang keluarga. Dan tanpa diminta, tubuhnya langsung ambruk ke depan. Sebagian air jus tumpah kearah laptop kerja dan baju Sasuke, sisanya tumpah ke lantai dengan suara berisik.

Sasuke hanya bisa membelalak begitu melihat laptop basah. Buru-buru dia menyimpan file yang sudah dia kerjakan ke flashdish yang kebetulan terpasang. Naruto membuka mulut kaget. Tanpa pikir panjang dia langsung menghampiri Sasuke, tidak melihat jika lantai sudah berserakan pecahan gelas juga piring.

"Akh!!"

Sasuke langsung membanting laptop, menghampiri Naruto yang terduduk kesakitan. Kedua keluarga yang melihat pun mulai panik.

"Kamu tidak apa-apa nak?"

"Naruto!"

"Ya ampun,..pelayan!, ambilkan kain bersih dan air anti septik!, cepat!!"

"Nak..kakimu jadi begini..astaga..."

Naruto malah bengong melihat orang tuanya dan ayah ibu mertua khawatir melihatnya. Dia bahkan mulai lupa rasa sakit.

"Bodoh!!"

Semuanya terdiam kaget mendengar teriakan Sasuke. Sasuke menatap tajam Naruto, mengangkat tubuhnya menuju lantai atas, membiarkan kedua keluarga yang terdiam juga kaku di tempat.

.

.

"Senpai.."

"Diam!, aku bilang diam ya diam!"

Sasuke membalut telapak kaki Naruto dengan perban. Untungnya pecahan gelas tadi tidak sampai menancap masuk, hanya menggores telapak kaki Naruto saja. Setelah selesai dibalut, Sasuke menurunkan kaki Naruto pelan.

"M-maaf..aku tidak sengaja jatuh dan air jusnya mengenai laptop. Apa laptopnya rusak senpai?. B-bagaimana dengan tugas kantornya?.."

Naruto terdiam. Air matanya tidak jadi keluar begitu Sasuke memeluknya.

"Kamu ini benar-benar bodoh!. Bagaimana kalau tadi pecahannya malah membuatmu tidak bisa berjalan?!. Jangan ulangi lagi!"

"S-senpai..lalu tugasnya..?.."

"Sekarang malah hal itu yang kamu pikirkan?!."

"Ta-tapi.."

"Masih sempat dan sudah tersimpan di flashdisk-ku. Jadi tidak usah khawatir."

"Oh.."Naruto langsung lega.

"Jangan ulangi lagi Naruto!. Kamu benar-benar membuatku takut.."suara Sasuke melemah di akhir. Naruto tersenyum lalu membalas pelukan.

"Iya. Lain kali aku bakal hati-hati."

Naruto menatap tangan kanannya yang memeluk pundak sang suami. Di jari manis, tampak melingkar cincin berwarna perak yang cantik. Naruto memandanginya beberapa kali sampai tidak berkedip. Begitu mereka melepas pelukan, Naruto masih saja melihat cincin itu.

"Ah.."Sasuke senyum. "Apa kamu suka cincinnya?"

"Ini...bagus. Indah.."

"Waktu pemasangan cincin, aku lihat kamu diam dan tidak bereaksi apapun. Aku kira kamu tidak suka modelnya."

"Ini bagus koq, senpai.."

Sasuke memandang 'istri'-nya yang begitu serius memperhatikan cincin. Dan dengan gerakan cepat sebuah ciuman mampir di bibir Naruto. Sesuai dugaan Sasuke, Naruto langsung melotot kaget.

"Aku mau turun ke ruang keluarga. Tidak enak meninggalkan ayah dan ibumu disana. Apalagi mereka pasti sangat khawatir kan?."Sasuke berdiri, menghampiri lemari pakaian dan menganti bajunya dengan sebuah kaus. "Atau kamu mau ikut turun?."

Naruto menggeleng, "Tidak. Aku ingin istirahat saja. Bilang saja pada ayah dan ibuku kalau besok aku bakal main kerumah."

"Hm, oke."

Sasuke telah pergi. Suasana hening sesaat. Naruto menutupi wajahnya dengan bad cover berwarna krem yang juga sudah membungkus separuh badannya. Dia merasa malu sekali. Naruto bahkan tidak ingat jika dia sudah menikah, sampai ciuman Sasuke tadi dia terima. Setelah itu, baru dia kembali disadarkan jika marganya telah berubah menjadi Uchiha. Uchiha Naruto. Naruto guling-guling di ranjang. Rasanya ingin teriak.

"Huh..,"Naruto mengintip sedikit dibalik selimut. "..padahal bukan pertama kali, tapi kenapa masih berdebar?.."

----------

3 hari kemudian....

Naruto merapatkan bibir, tidak tau harus bicara apa. Saat ini, dirinya yang tengah duduk bersama dengan Sasuke, mengenakan jas pernikahan berwarna putih, menjadi pusat perhatian para tamu undangan yang hadir di acara resepsi pernikahan dirinya dengan Sasuke. Memang tidak semuanya menatap bersamaan, tapi menurut Naruto, semua orang seperti memperhatikan dirinya dengan pandangan intens. Merasa jika tiap tatapan yang diberikan seperti penilaian buruk mereka mengenai dirinya yang bersanding bersama Sasuke.

"Minumlah. "

Naruto menoleh. Sasuke menawarinya segelas wine.

"Uhm...soal itu.."

"Kenapa?. Kamu tidak kuat minum wine?"

"Bukan. Tapi..apa aku sudah boleh minum?. Aku masih dibawah umur.."

"Di hari ini kamu masih memikirkan hal itu?. Memang salah kalau hanya minum segelas?" Sasuke mengambil gelas lain yang berisi jus jeruk. "Kalau ini bisa kan?"

"Oh!"Naruto tersenyum menerimanya, meminumnya perlahan.

"Ah...mereka datang.."

Naruto menoleh kearah pintu hall. Dia langsung tersedak melihat siapa.

Sasuke dan Naruto berdiri, untuk menyamput tamu yang baru saja hadir.

(2 hari sebelum resepsi..

Sakura melotot

Ino dan Sai bengong

Shikamaru poker face

Hinata tersenyum senang

Chouji masih memakan cake yang dipesan

Dan Kiba, dia hanya bereaksi dengan berkedip sekali

"Uso!. Kamu mau membohongi kita Naruto?!"

"Ti-tidak...bukan Sakura-chan.."

"Sekarang jelaskan dulu kenapa tiba-tiba kamu dan Sasuke-senpai bisa menikah?!. Hah?!!"

Naruto menutup mata takut mendengar sentakan super Sakura, mengabaikan suasana di ruangan karaoke yang menjadi tempat pertemuan mereka.

"Ceritanya...agak rumit.."

"Coba ingat-ingat sekali lagi ceritanya dari awal!!. Pokoknya jelaskan sekarang juga!!"Sakura langsung menggebrak meja, mengagetkan Hinata, menyadarkan bengongnya Ino dan Sai. Sementara Kiba hanya menoleh.

Naruto menghela nafas, mulai menceritakan semuanya. Dari awal bagaimana dirinya dan Sasuke bertemu, sampai pada tahap pernikahan yang sudah dilaksanakan. Sakura membuka mulutnya tidak percaya. Naruto menutup mata takut. Dia tau jika Sakura pasti sangat syok. Apalagi orang yang dia puja selama ini malah menjadi milik salah satu temannya. Pria pula!.

"S-Sakura-chan..."

"Sudah, tidak perlu bicara lagi. Aku pergi!" Sakura mengambil mantel, berjalan keluar. Naruto tercekat. Disaat dirinya berniat mengejar, tangannya ditahan Shika. Memaksanya duduk kembali.

"Tapi Shika, Sakura-chan.."

"Biarkan. Dia hanya belum bisa menerima kenyataannya Naruto. Jika sudah tenang, kamu pasti bertemu dia lagi."Naruto menunduk, mengangguk pasrah.

"Jadi..."Ino membuka suara, mendekati Naruto dengan wajah penasaran. "Kalian..benar-benar sudah menikah huh?"

"Hm..."

"Aku tidak menyangka. Ternyata...senpai selama ini menyukaimu Naruto.."ujar Sai, memainkan sedotan di gelas miliknya.

"Hm, begitu juga denganku. Bahkan baru kali ini kamu mau cerita. Kalau masalahnya tidak sampai ketahap ini, kamu pasti tetap bungkam kan?"

Naruto segera menoleh kearah Ino, wajahnya berubah khawatir. "Bukan begitu Ino-chan. Aku cu-..."

"Yah...sayangnya aku dan Sai-kun tidak bisa hadir ke resepsimu tuh. Kami sudah ada jadwal sendiri. Maaf ya." Ino mengambil tas juga mantel. Berdiri diikuti Sai berjalan keluar. Mata Naruto mulai nanar melihat teman-temannya malah pergi.

"Sudah, jangan diambil hati. Sifat mereka kan begitu." Ujar Chouji setelah merasa kenyang. Naruto menatap Chouji, Kiba, Shika dan Hinata bergantian.

"Maaf.."

"Tapi sayangnya aku juga tidak bisa hadir Naruto. Aku harus membantu ibuku berjualan sayur-sayuran di toko selama liburan ini. Bisa keluar begini saja karna aku memohon-mohon pada ibuku. Maaf ya."

"A-aku mengerti. Sekali lagi maaf.."

Suasana mulai terasa suram di ruangan itu. Hanya lagu dari LCD karaoke yang terdengar mengalun.

"Yah...sepertinya hanya aku, Kiba dan Hinata yang bisa hadir kan?. Setidaknya kami masih bisa hadir di resepsimu Naruto. Jadi jangan memasang tampang begitu."

Naruto menatap Shika, tersenyum.)

Memang waktu itu, mereka bilang begitu. Tapi kenapa... . Tubuh Naruto langsung kaku begitu salah seorang teman gengnya mulai naik podium menghampiri dirinya dan Sasuke. Berambut pink dengan memakai pakaian yang begitu cute menurut Naruto pribadi. Apalagi dengan wajah datar tanpa senyum saat berjalan. Naruto meneguk ludah berat.

Sakura berhenti berjalan, tepat setelah bersalaman dengan Sasuke. Dan kini giliran Naruto. Sakura dan Naruto saling pandang beberapa menit.

"Kamu ini..."Naruto menutup mata takut. Dia sudah memperkirakan ini. Rambut dijambak, tamparan dengan cetak sempurna, pukulan di perut yang-...

Naruto membuka mata kaget. Pelukan hangat dari Sakura membuat pikiran jeleknya hilang.

"Kamu ini..benar-benar bodoh, tau!" Sakura melepas pelukan, dengan senyum lebar dan ceria. Naruto bengong. Begitu pula dengan Sai dan Ino yang datang. Mereka bereaksi sama seperti Sakura setelah memeluk Naruto.

.

.

"APA?!!"

Sakura, Ino, Sai, Chouji, Shika, Kiba dan Hinata tertawa. Sangat menikmati wajah Naruto yang berubah putih seperti kehilangan roh. Mereka semua berkumpul dengan membentuk lingkaran disalah satu sudut.

"Jadi kalian sudah tau kalau aku dan senpai menjalin hubungan sebelumnya?!"

"Hm.."

"Se-sejak kapan?!"

"Sejak kita semua berlibur ke pemandian air panas waktu itu."

"Apa....?..."

Sakura tertawa keras, begitu juga Ino. Mendengarnya seketika Naruto cemberut. "Apa kalian tidak tau kalau aku merasa sangat bersalah kemarin?!. Aku sampai kepikiran jangan-jangan kita tidak bisa berkumpul seperti dulu lagi tau!!"

"Hahaha...lagian salahmu sendiri. Kenapa baru menjelaskannya saat itu. Jadi kupikir, sedikit sentilan bisa menghibur."

"Ugh!!..Sakura-chan!"

"Sudah-sudah. Yang penting kan kami datang. Kamu tidak perlu marah begitu Naruto."Sahut Ino, memakan salat buah.

Sakura memeluk Naruto lagi. "Maaf Naruto. Aku tau apa yang kamu khawatirkan. Tapi kami ini temanmu. Kami tidak akan bisa berbuat sejahat itu padamu. Yah..walau aku ini memang penggemarnya senpai, tapi melihat senyum darinya pertama kali ketika berdiri disampingmu membuatku yakin kalau kamu memang orang yang tepat." Naruto mengangguk.

"Selamat ya Naruto-kun.."ujar Hinata dengan senyum lembutnya.

"Omedeto.."ujar yang lain hampir berbarengan.

Kiba berjalan mendekat, menepuk pundak Naruto kencang, hampir seperti mendorong. "Selamat kawan. Semoga pernikahan kalian bertahan lama." Naruto mengangguk berterima kasih, sambil meringis. "Sekarang kamu sudah menikah. Lalu, Ino dan Sai pastinya nanti akan menyusul. Lalu aku..kapan?.."Kiba mulai mewek. Ino, Sakura, Shika dan Chouji langsung menoyor kepalanya sebal.

"Makanya, kriteria gak perlu tinggi-tinggi. Jika ada yang maupun, aku bakal merasa kasian pada wanita itu." Ujar Sakura yang dibalas Kiba dengan ucapan protes tidak terima, mengundang tawa yang lain.

Saat mereka telah tenggelam dalam canda tawa, suara cek sound salah satu mike diatas podium mengalihkan perhatian sebagian besar tamu yang hadir.

"Hadirin sekailian, menuju ke akhir acara resepsi, kali ini sebagai...."

Tangan Naruto ditarik seseorang cepat ke belakang. Hampir saja Naruto berteriak jika mulutnya tidak disekap.

"Jangan berisik. Ikut saja aku."

SENPAI?!. Naruto menoleh, menatap Sasuke yang memperhatikan sekitar. "Ayo!"

Suara tepukan meriah terdengar, saat seorang penyanyi yang dihadirkan naik keatas podium untuk menunjukkan suaranya yang merdu. Sakura menggerakkan rambutnya bosan. Penyanyi yang berdiri di sana memakai pakaian yang begitu wah, seakan acara ini adalah miliknya. Membuatnya sebal.

"Nee Naruto, gimana kalau kit-....ta.... . Dimana dia?!"

Teman yang lain mulai menyadari jika sosok Naruto menghilang, padahal Naruto tepat berdiri disamping Sakura dari tadi.

*

Naruto berjalan mengikuti Sasuke disebuah lorong panjang sebuah hotel ternama. Dan setaunya, hotel yang mereka datangi ini bukanlah milik Uchiha. Kedua tangannya tiba-tiba berkeringat. Apa senpai..akan melakukannya malam ini?... Mengingatnya sudah membuat Naruto deg-degan kencang.

Sasuke membuka salah satu kamar dengan key card yang dia pegang. Mereka berdua masuk kedalam setelah lampu kamar menyala. Sasuke langsung menjatuhkan diri ke ranjang, sementara Naruto masih berdiri tak jauh darinya.

"Kenapa disana?. Sini.."ujar Sasuke sambil menepuk sisi ranjang yang tengah dia tiduri. Naruto menurut, mulai duduk sambil menselonjorkan kaki. Dari tadi jantungnya tidak bisa berhenti berdetak cepat, bahkan makin cepat begitu Sasuke menyuruhnya mendekat.

Dengan gerakan cepat Sasuke memegang kaki Naruto, merebahkan kepalanya diatas paha sang istri sambil terpejam.

"Sen..pai?..."

"Istirahatlah. Kamu juga capek kan?. Hah...aku sudah kelewat bosan dengan acara tadi. Tugas hari ini saja hampir membuatku stres karna harus diselesaikan dalam beberapa jam. Tubuh capek, masih juga harus menyambut tamu. Menyebalkan.."

Naruto tersenyum lembut. Tangannya bergerak mengelus rambut Sasuke. Rasa leganya entah kenapa menyenangkan.

"Kalau begitu tidurlah."

"Kakimu?. Bagaimana?"

"Hmm..karna cuman goresan, jadi sehari pun sudah kering. Dan aku sudah bisa memakai sepatu dengan baik tadi. Tidak terasa sakit koq."

"Hmmm...bagus.."

.

.

Uchiha Mansion, 11.00 pm

"Dasar brengsek!!.. Sasuke!!"

"Sayang!..aduh..."Kushina menenangkan sang suami yang naik pitam mengetahui anaknya dibawa kabur sebelum acara selesai. Memang kali ini hall mulai sepi karna acara sudah selesai beberapa jam yang lalu. Para tamu pun ikut heboh dengan menghilangnya kedua mempelai, sehingga sedikit menimpulkan keributan.

"Minato-san, sudahlah. Lagipula mereka sudah menikah. Mungkin Sasuke sudah tidak sabar, jadi dia membawa lari pengantinnya seperti di film-film.."Mikoto datang membawa beberapa cangkir teh. Karna letak Uchiha Mansion lebih dekat dengan lokasi, jadi setelah acara selesai dua keluarga tersebut langsung menuju kesana.

Mendengar ucapan Mikoto, tangan Minato meremas pegangan sofa kencang. Tidak!!, bahkan aku belum sempat memeluk anakku satu-satunya itu untuk benar-benar 'dilepaskan'!!. Dasar mahkluk sialan!.

Tak lama Fugaku datang, ikut duduk disamping sang istri. "Maafkan anakku yang satu itu Minato. Hah...dia itu benar-benar.."

"Sayang!, untuk apa kamu mengkhawatirkan Naruto?. Mereka sudah menikah pastinya Sasuke akan menjaga Naruto dengan baik koq. Bukan begitu Kushina-san?"

Mikoto dan Kushina saling pandang. Tak lama keduanya tersenyum lebar dengan aura menakutkan. Minato segera tersadar, berjengit melihat istrinya berubah, begitu pula dengan Fugaku saat melihat istrinya. Seakan saling mengirim pesan telepati, senyum itu pun berubah dengan tawa yang terdengar hampir seluruh ruangan di mansion. Naruto...Sasuke....huahuahahahaha...batin mereka dengan pikiran yang mulai berkeliaran kemana-mana.

*

Sasuke terbangun. Matanya tanpa sengaja melihat Naruto yang sudah tertidur dengan mulut terbuka. Sasuke yang memperhatikan hanya tersenyum. Naruto tampak imut. Matanya bergerak turun memperhatikan leher, lalu dada yang naik turun mengambil nafas. Tanpa sadar Sasuke menelan ludah.

SET

Sasuke kaget saat tangan Naruto tiba-tiba memegang pundaknya.

"Ramen..yam..yam.."

Sasuke melotot tanpa berani bergerak. Oke, ini cobaan. Dia harus tahan. Saat ini kesehatan tubuh Naruto lebih penting. Ini cobaan.. . Dengan jarak yang begitu dekat bisa Sasuke rasakan nafas hangat Naruto mengenai wajahnya. Mata Sasuke makin melebar. Matanya kembali memperhatikan bibir Naruto yang terbuka. Bibir Sasuke mulai terasa kering.

GLUP

Ini cobaan...

Mata Sasuke beralih ke leher Naruto yang terekspos bebas karna Naruto melepas dasi dan kancing di sekitarnya. Seketika Sasuke merasakan tangannya panas.

GLUP

Ini...cobaan...

Matanya kembali beralih kearah dada Naruto yang naik turun. Tampak begitu seksi walau masih tertutup jas. Darahnya terasa mendidih naik.

I-Ini...co..baann...JXGFASIDFDILDFDsalidfwi;dfadid/af/.,?.,!<>'?!23-ygfnpc"l],l.k].!!!!!!

Naruto mengerang, merasa sedikit dingin. Tangannya bergerak berusaha mencari selimut, tapi ketika dia raba ranjang, tidak ada dimanapun. Malah sekarang mulai terasa sesuatu yang lunak bergerak di perutnya. EH?!!!!

Naruto berjengit kaget. Saat ini Sasuke sudah berada diatasnya, telanjang. Lidahnya menjilat area perut Naruto seperti es krim. Perut?!. Naruto melihat dirinya yang juga sudah terlanjang bulat. Apalagi dengan sekujur tubuh yang dipenuhi tanda kepemilikan seperti lebam.

"Senpai..!!!.."

Sasuke berhenti, menatap Naruto dengan kilatan mata yang sulit Naruto artikan. Tubuhnya lalu bergerak menjauh, tapi kedua tangan Naruto dicengkramnya dalam satu tangan.

"Diam, dan nikmati saja.."

"A-apa...."

Sasuke mengangkat kaki Naruto, menaruhnya di pundak. Naruto melotot. Tak lama senyuman devil Sasuke muncul. Dan sesuatu yang melesak masuk kedalam tubuhnya membuat Naruto merasa terbelah saat itu juga.

"UGH!!..AKH!..."

Melihat istrinya kesakitan Sasuke mendekati wajah Naruto, melepas tangannya yang mencengram tangan Naruto sambil mengelus wajah tannya lembut disertai senyum.

"Aku mencintaimu."

Sasuke segera mencium bibir Naruto rakus, melesakkan lidahnya untuk bergelut di mulut Naruto. Naruto tidak punya pilihan selain menyambutnya. Rasa sakit area bawah yang tadi dia rasakan berubah nikmat. Tubuhnya berguncang mengikuti gerakan Sasuke. Gerakan lidah Sasuke langsung membuatnya lupa akan sekitar. Bahkan tangannya refleks memeluk leher suaminya erat.

"Sen..uhmm..ahh~..pai..."

Sasuke terus menabrak titik nikmatnya, membuat Naruto gila dan tidak berhenti memanggil nama suaminya berulang-ulang.

*

Tililit...tilililit...

Iris onyx itu muncul. Menerjab beberapa kali, memastikan pengelihatannya jelas. Sinar matahari yang sudah tampak tinggi begitu menyilaukan pandangannya yang masih kabur. Suara telepon berulang memaksanya untuk melepas pelukan pada tubuh sang istri.

"Halo?.."

"Sasuke!, apa kamu kemarin mengajukan cuti selama seminggu?!. Kenapa tidak bilang padaku sebelumnya?!"

Sasuke menjauhkan sedikit handphonenya dari telinga. Lengkingan kakaknya ini benar-benar berlebihan.

"Hm. Memang kenapa?."

"Memang kenapa kamu bilang?!. Aku kan jadi harus buru-buru berangkat tanpa tau hal itu bodoh!!"

"Hm, lalu?."

"Das-..Eh?!..Uzumaki-sa-!!.."

Telepon pun terdengar diambil alih, "Dengan bocah brengsek!. Katakan sekarang juga dimana kamu menyekap anakku!!"

Sasuke mulai bisa melihat jelas. Matanya terarah pada sosok yang masih tertidur pulas di lengannya.

"Hm..ayah ingin tau?"

"CEPAT KATAKANN!!"

Sasuke kembali awas begitu alis Naruto bertaut. Mungkin seruan lewat telepon terdengar ditelinganya.

"Seminggu lagi akan kukatakan."

KLIK!

Sasuke memeluk tubuh Naruto erat, sambil mencium keningnya lembut.

"Ung...barusan ada yang telepon?. Dari siapa?" Wajah Naruto lurus kearah wajah Sasuke, dengan mata yang masih mencoba untuk melihat jelas. Sasuke segera memberi morning kiss, membuat Naruto kaget.

"Hanya orang gila."

--------------

THE END

AKHH!!!!!...AKHIRNYA BISA KELAR JUGA SATU CERITA!!. YEAYY!!!. (tembak confeti ke udara). Hehe..maaf ya untuk adegan 18+ nya tidak sehot yang mungkin kalian sudah bayangkan sebelumnya. Memang sengaja saya buat begitu. Dan dengan ini, saya nyatakan MELODY OF LOVE telah selesai!. Terima kasih buat dukungan kalian semua para reader, yang bersedia membaca cerita gaje ini..#bow

Terima kasih sekali lagi, dan sampai jumpa di lain cerita, oke?!

Angela Larc

Continue Reading

You'll Also Like

2K 59 12
Penulis: Angelina Judul :你 是 男 的 我 也 爱 Indonesia version oleh : Yanyansuxiaomi_ Saya hanya menerjemahkan dari novel " I'll Still You Even If You're...
15.1K 1.7K 8
Manusia itu serakah, selalu mengharapkan umur yang lebih panjang untuk bisa lebih menikmati dunia. Jika Chimon bisa menjadi orang yang serakah, ia sa...
125K 7.1K 53
Ketika divonis mengidap kanker otak yang sudah cukup membuat Edwan porak-poranda, sang ibu malah memilih pergi meninggalkan dirinya dan ayah yang tak...
3.5K 303 32
nggak perlu ditanya lagi, dia memang harus jatuh cinta padanya, karena seperti sebuah sungai, dia akan mengalir ke laut. terserah jenis gravitasi apa...