Jangan dekat atau jangan datang kepadaku lagi
Aku semakin tersiksa karna tak memilikimu
Kucoba jalani hari dengan pengganti dirimu
Tapi hatiku selalu berpihak lagi padamu
-Rossa, terlalu cinta.
------------------------------------------------------
Jakarta, 19.00. WIB.
"Udah makan?" Aku mengangguk, Ko Elvan langsung menyambar koperku dan membawakannya menuju mobil.
Kami bertiga berjalan beriringan, walaupun posisi Farid selalu di belakang kami berdua.
"Duh, akhirnya, ya, Kakak nginjekin lagi kaki di Jakarta setelah empat bulan," cerocos adikku sambil tersenyum-senyum sumringah di bangku bagian belakang. Ko Elvan hanya tersenyum, sedangkan aku diam seribu basa.
"Ke Apartemen kamu, atau kerumahku?" Aku menoleh pada sumber suara, lelaki di sampingku sedang serius mengemudi.
"Ke apartemenku aja, Ko."
Mobil hitam milik Ko Elvan melesat membelah jalanan. Sesekali macet meramaikan suasana, Farid hari ini lebih mendominasi dalam percakapan, sedangkan aku masih canggung-canggung untuk bertanya kepada Ko Elvan. Padahal lelaki itu bersikap sebagaimana biasanya.
"Kamu, reuninya hari apa, Ci?"
"Lusa. Tapi besok workshop." Lelaki itu mengangguk. Mobil memasuki pelataran parkir, kami bertiga turun.
***
Aku masih lelah dengan seluruh kenyataan yang terjadi. Meruntut segala kisah sejak awal perkenalanku dengannya hingga hari ini, ketika aku tengah jatuh-jatuhnya. Kupejamkan mataku sebisa mungkin. Walaupun orang-orang dalam bus begitu ramai dan asik berbincang-bincang.
Ya, sekarang aku berada di dalam bus, menuju Bandung untuk reuni yang kedua kalinya dalam sepuluh tahun terakhir. Petang ini, aku memilih menggunakan kendaraan umum alih-alih membawa mobil sendiri, sebab jalanan ramai. Sedangkan aku dalam kondisi menyedihkan, mungkin akan berbahaya. Ko Elvan juga bilang begitu. Awalnya ia bersikeras ingin mengantarku sampai tujuan, tetapi aku tak kalah ngotot untuk menolak dengan berbagai alasan.
Ponselku bergetar menandakan waktu shalat maghrib, juga sebuah notifikasi baru dari Ko Elvan.
E. Abraham
Udah sampai?
Belum, sedikit lagi.
Masih sekitar 5 menitan.
Hati-hati.
Mobil yang kutumpangi segera menepikan diri di halte merah depan SMA. Lebih cepat dari perkiraanku. Aku segera turun dan merapikan dress berwarna navy selutut yang kukenakan, lantas bergegas menuju Airin's fast food. Hanya berjarak dua puluh meter ke dalam gang dekat halte bus. Aku sudah terlambat dua belas menit dari waktu yang ditentukan.
"Selamat malam! Sudah pesan meja, Teh?" Seorang pelayan laki-laki menyapa. Aku menyunggingkan senyum tipis.
"Peserta reuni."
"Oh, silakan masuk. Di ujung, ya, Teh." Aku mengangguk, segera melangkah besar-besar menuju ujung ruangan.
Sedetik ada perasaan berdebar dalam hatiku hingga kakiku terasa melambat. Ingar-bingar ruangan terasa begitu mencekam bagiku, gelak tawa beberapa laki-laki dewasa membuat ruangan semakin semarak.
Sosok itu duduk di sofa panjang berwarna hijau daun sambil memegangi minuman yang tinggal setengah gelas. Wajahnya sendu sekali, matanya tak lagi bercahaya, garis-garis dewasanya pun semakin tampak.
Dia sedang tercenung seorang diri, menikmati sepi di tengah nuansa restauran yang ramai. Menikmati bisu di tengah cakap yang riang. Aku melangkah semakin dekat. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Haruskah aku menyapa dan bertindak seolah semua baik-baik saja? Apakah aku akan sebaik-baik saja itu ketika melihat kemesraannya dengan Sekar nanti? Ah, rasanya aku menyesal datang di reuni kali ini.
"Reavani!"
"Adi," lirihku. Bibirku rasanya masih bergetar, kerongkonganku masih sulit mengeluarkan suara, bola mataku masih tak luput dari wajahnya.
"Lo, kok, telat? Macet jalannya? Atau lo langsung dari Balikpapan?" Adi meraih bahuku kemudian mendorongku untuk duduk di sebuah kursi bersama yang lainnya. Bersebrangan dengan tempatnya duduk.
"Nggak, udah datang dari hari kamis, ada workshop kemarin. Jadi sekalian aja." Adi mengangguk paham.
Dia menatap sayu ke arahku, terlihat ingin menyapa namun ragu-ragu. Ada apa? Bukankah seandainya jika di antara kami memang baik-baik saja--setidaknya menurutnya, seharusnya dia tidak merasa canggung denganku? Bukankah jika dia sama sekali tak mempunyai perasaan apapun padaku semuanya harus terlihat normal?
Alah, apa lagi sekarang yang aku pikirkan? Semuanya sudah usai. Jadi, apa pengaruhnya jika dia memang pernah mencintaiku? Bukankah sudah jelas dia lebih memilih wanita lain? Kalaupun perasaan itu sempat ada untukku, semuanya hanya tinggal pernah. Bukan sedang apalagi akan selalu.
"Sehat?" Akhirnya aku membuka kata. Dia kawan baikku, akan terasa janggal jika aku dan dia terus-terusan berada dalam keadaan canggung seperti ini. Dia mengangguk, aku tersenyum tipis. Sudahlah, sebaiknya aku yang mengalah pada perasaan, berdamai dengan semua keinginan. Semuanya sudah berlalu, yang harus kujalani adalah lembaran baru.
"Duh, Rin. Toilet di mana?" tanyaku seketika.
"Oh, lo ke belakang aja. Lurus nanti belok kanan. Nah, di situ." Aku segera berdiri dan menuju toilet.
Semua bola mata tertuju padaku ketika aku kembali. Kursi tempatku duduk tadi sudah ada yang mengisi. Haris baru saja datang dan langsung mendudukinya. Satu-satunya tempat kosong adalah di sampingnya. Mungkin saja itu tempat Sekar.
"Haris, itu kursi gue, ya ampun."
"Gak mau, ah. Suruh siapa ditinggal. Lo di situ aja. Kan kosong juga." Haris bersikeras mempertahankan kursinya, aku cemberut saja, lantas duduk di sampingnya dengan perasaan berdebar.
Kentara sekali bedanya dengan reuni tiga tahun yang lalu. Aku dan dia, sama-sama sedang diliputi sendu. Aku merindukannya, dia entah pernah merindukanku atau tidak, aku tak tahu.
"Dit!" Dia menoleh pelan ke arahku. Lengkap dengan tatapan khas miliknya. Bola mata hitam bulat itu menajam di balik kelopak lebar miliknya.
"Sorry nggak datang di acara resepsi kamu. Cuma karena sibuk dengan pekerjaan aku bahkan udah lupa dengan sahabat sendiri," lirihku. Lelaki itu tersenyum kecut, lantas meneguk minuman di tangannya hingga tersisa seperempat gelas.
"Ke mana Sekar? Nggak ikut? Kok aku nggak lihat?" Dia menggeleng pelan. Sekali lagi tersenyum tipis, tipis sekali.
Aku ikut diam ketika melihat responnya yang kurang bersahabat. Rasanya ruangan sebesar 12 x 12 meter ini terasa begitu sesak.
"Gimana kabar kamu?" Dia membuka suara, mulutku sedikit terbuka.
"Baik," ucapku ragu-ragu.
"Farid?"
"Baik juga. Dia kemarin ke Balikpapan dengan Ko Elvan. Kapan waktu, kamu dan Sekar datang, ya." Aku berusaha mencairkan suasana canggung yang tercipta di antara kami. Lelaki itu tersenyum tipis sekali.
Makanan terhidang di atas meja. Dia pergi ke toilet untuk mencuci muka katanya, sebab dia merasa ngantuk. Aku mendekat ke meja mengambil pisin kecil.
"Vani!" Airin memanggilku pelan. Aku menoleh.
"Kamu tahu tentang Sekar?"
Aku mengerutkan keningku. Airin duduk mendekat ke arahku.
"Pernikahan itu nggak pernah terjadi, Vani. Sekar kecelakaan bersamaan dengan mobil pengantinnya. Tabrakan beruntun yang terjadi tiga bulan silam, yang heboh digembar-gemborkan masyarakat televisi. Tabrakan maut itu. Sekar meninggal, Vani." Seketika jantungku berhenti berdetak.
Dia datang dari toilet, kembali duduk di sampingku. Lengannya yang terlihat semakin kurus meraih pisin kecil, meletakkan beberapa potong makanan di atasnya.
"Habis ini ... pulang ke Jakarta, 'kan, Dit?" Lelaki itu mengangguk kencang. Aku memaksakan sebuah senyum.
"Pulang denganku."
Dia masih sendiri, tetapi dalam keadaan yang begitu sepi. Jika aku saja yang mengharapkan pernikahan itu tak pernah erjadi merasa shock, bagaimana dengan dia yang mungkin sudah lama mengidamkan hari iu segera tiba?
Wajar saja dia terlihat kuyu dan kurus. Diaku sedang berada di titik terburuk dalam hidupnya. Mungkinkah dia membutuhkanku seperti biasanya? Atau diaku sudah tumbuh dewasa sehingga mampu mengobati luka sendirian?
E. Abraham
Kamu pulang
Jam berapa?
Jam sembilan
kayaknya
Mau dijemput?
Nggak usah, Ko.
Aku dengan teman.
Yakin?
Bawel, ih.
Nggak apa-apa.
Sama anak kecil
Memang musti gitu.
Koko!
Hehehe.
***
Hari-hariku di sekolah berjalan datar-datar saja. Dia semakin jauh dariku dan aku semakin menghindarinya. Sayang, Tuhan nampak tidak terlalu mendukung usaha melupakan yang kulakukan. Dari tiga belas mata pelajaran, sepuluhnya aku dan dia ada di kelompok yang sama, dua lainnya tidak ada kelompok, dan sisanya aku berlawanan kelompok dengannya.
Setiap hari bertemu, Senin sampai Sabtu di kelas dalam rangka belajar, hari minggu di rumah-rumah dalam rangka kerja kelompok. Segalanya terasa hambar, lambat, dan tidak diinginkan. Sekarang, terkadang ada banyak pertengkaran kecil di antara kami. Sampai orang-orang banyak yang bertanya, ada apa di antara kami? Akupun sama tak tahu.
Aku sering bercerita tentangnya kepada Ko Elvan, lelaki itu selalu asik untuk diajak bicara. Ah, begini. Kau mungkin keberatan dengan pernyataanku, aku memang sedang tidak baik-baik saja dengan diaku, tapi perasaan itu masih tetap tertinggal dalam hatiku.
Jadi, sejauh apapun sekarang aku dan dia, rasa itu tetap ada. Sayangku tak pernah habis, sehingga dia masih menjadi topik utama pembicaraanku. Termasuk ketika aku menulis cerita ini.
"Pulang bareng, ya, Ci." Aku menatap wajah Ko Elvan. Sesekali mata kecil miliknya mengerjap. Aku mengangguk.
"Tuh, itu Aditya. Yang duduk sendirian, Ko." Segera lelaki itu menoleh.
"Yang itu? Biasa aja, ah."
"Yeee, Kak Irsya juga biasa banget. Tapi Koko suka, 'kan?" Lengan jenjang itu merangkul bahuku. Kami berjalan menuju gerbang. Sekilas, aku melihatnya memperhatikan langkah kami.
***
"Sorry," lirihku sambil meraih jemarinya. Lelaki itu menoleh ke arahku, sekarang kami berada dalam bus. Pulang menuju Jakarta.
"No problem." Dia mengeratkan genggaman, aku terkesiap.
Sepanjang perjalanan kami berbicang-bincang kecil, walaupun aku masih merasa canggung dengannya. Perjalanan dua jam dihabiskan dengan obrolan ringan layaknya seorang teman.
"Eh, gimana kabar Ko Elvan? Sekarang masih di Jakarta dia?" Aku mengangguk pasti. Nada bicaranya mulai terasa secerah biasanya.
"Baik. Koko sehat."
"Aku tau, Rea. Kamu baik, adikmu baik, dan dia baik. Yang tidak baik-baik saja adalah kita," ujarnya sambil menatap lurus ke kaca depan. Kami duduk di kursi ke pertama, seperti yang dulu kami lakukan.
"Ma-maksudnya, Dit?" Dadaku bergemuruh, sesuatu sedang melintas di pikirannya. Itu sudah pasti.
"Iya, kita. Aku, dan kamu. Sesuatu sedang terjadi. Semua sedang tidak baik-baik saja. Ada apa, Rea?" Aku terdiam, mencerna semua kalimatnya.
Seharusnya pertemuan dengan sahabat lama tidak berakhir membahas hal yang tidak menyenangkan. Seharusnya dia tidak membangunkan luka-luka di hatiku yang sedang tertidur. Seharusnya dia tidak mengungkit tentang apa yang salah di antara kita.
Mobil menepikan diri di halte biru depan kompleks perumahannya. Dia segera berdiri. "Besok aku jemput kamu. Pukul sepuluh pagi, sebelum kamu pulang ke Balikpapan. Kita harus selesaikan semuanya." Dia segera turun dari bus, meninggalkanku dalam kecemasan tersendiri.
Gerimis semakin menderas. Desember memang waktu yang tepat untuk menikmati hujan setiap hari. Di lima menit berikutnya, aku memutuskan untuk turun di depan komoleks perumahan Ko Elvan.
Hujan terus mengguyur, meratakan legamnya aspal yang lurus. Aku melepas wedges yang kukenakan, supaya lebih mudah berlari ke rumah Ko Elvan. Tidak terlalu jauh, blok A1 nomor 07, rumah ketujuh dari depan.
Ting ... ting ....
Kutekan belnya dua kali berturut-turut. Sosok itu segera keluar.
"Eh, basah-basahan." Mata kecilnya melotot. Jika dalam keadaan biasa saja, mungkin aku akan menyeringai kuda ketika dalam posisi dimarahi Ko Elvan. Tapi tidak dengan sekarang.
"Kita akan menikah," ujarku sambil menundukan wajah. Lelaki itu terpaku.
"Ada apa, Rea?" Jemari jenjangnya meraih daguku, kemudian memaksaku untuk menatapnya.
Aku bergetar menahan air mata yang terus meleleh membanjiri pipiku. Bola matanya menatap tajam bola mataku. Aku memejamkannya.
"Katakan!" Aku tetap bergeming menikmati tangis kerisauan.
Sebuah benda kenyal membasahi bibirku. Lelaki itu menciumku untuk kedua kalinya seumur hidupku. Bibirnya yang dibiarkan diam saja perlahan mulai mengulum seluruh bibirku. Aku menahan isakan, mencoba membalas perlakuannya. Sudah cukup seluruh perasaanku, aku akan segera menikah dengannya.
Lelaki itu memegang tengkukku, memperdalam ciumannya. Dia lembut sekali, berusaha membuatku menikmatinya. Aku meraih tubuhnya, mendekap dada bidangnya, tak peduli walaupun dia mungkin nanti akan memarahiku karena aku membuat pakaiannya basah.
Dia melepas ciumannya, kemudian meraihku ke dalam pelukannya. "Koko nggak maksa kamu buat mau nikah dengan Koko," katanya sambil membersihkan sisa lelehan air mata di pipiku.
"Aku mau menikah, secepatnya." Kilat bersahutan dengan petir. Tidak terlalu besar, namun cukup untuk mendukung suasana malam ini.
Segala tentangku dengannya harus segera berakhir. Aku akan menikah, melupakan segala dendam dalam hatiku. Aku akan segera menikah, memutuskan segala pengharapan yang terus muncul dalam benakku.