Kami keluar dari rumah Fei dan berjalan entah kemana. Aku yang berada di depan, tapi aku tidak tahu harus kemana. V berjalan di belakangku, entah mengikutiku atau tidak. Rasanya kalau dia menghilang sekarang juga dan aku tidak bisa melihatnya itu lebih baik.
V menyamai langkahku dan dia membuang nafas. Aku sedang tidak mood untuk meliriknya.
"Seperti dugaanku, ini menjadi jauh lebih menarik." katanya.
Aku berhenti melangkah dan dia ikut berhenti kemudian menoleh ke arahku. Kedua alisnya terangkat sambil menatapku.
"Kau tidak membutuhkanku, kan?" tanyaku.
"Apa maksudmu?" suaranya selalu tenang.
"Kau bisa menyelesaikan kasus ini sendiri, kau tidak perlu bantuanku, karena kau selalu tahu segalanya sendirian, dan aku selalu tidak tahu apa-apa, aku tidak mau menjadi orang bodoh." kataku, kusematkan seluruh kebencianku ke dalamnya.
V menyeringai.
"Kau sedang marah rupanya." ucapnya.
Sekarang aku sedang menahan emosiku untuk tidak menonjoknya.
Aku meneruskan langkahku lagi dan tidak memedulikannya. Di belakangku, aku tahu dia sedang mengikutiku.
"Aku sedang mempertimbangkan untuk memberitahumu." dia berkata.
"Kau seharusnya tidak perlu mempertimbangkannya, tapi kau harus mengatakannya. Tidak tahukah kau bahwa saat ini aku benar-benar ingin memukulmu?" aku menatapnya penuh dendam.
Lagi-lagi V menyeringai, lalu menepuk-nepuk bahuku, "Sebaiknya kau itu harus lebih bisa mengontrol emosimu." katanya.
"Sayangnya hal seperti itu sama sekali tidak berguna apabila yang sedang kuhadapi adalah dirimu." ucapku.
"Aku senang mendengarnya," dia tersenyum, "Ayo, kita harus ke kedai Jin, beri aku waktu sebentar untuk berpikir, lalu aku akan mengatakannya padamu begitu sampai di sana." katanya.
Aku ingin sekali membongkar kepalanya untuk mengetahui bagaimana cara kerja otaknya itu. Jadi, berpikirlah selama kau bisa sebelum aku benar-benar melakukannya.
"Kau ingin Ai datang juga?" tanyaku sewaktu kami sampai di sebuah halte bus.
V menggeleng, "Tidak. Kali ini aku ingin berduaan saja denganmu."
Demi celana dalam dinosaurus, dia benar-benar tidak waras!
Aku mengepalkan tinjuku.
****
Kami sampai di kedai Jin, saat itu siang hari dan entah kenapa kedai Jin sepi pengunjung seperti biasanya. Jin tidak menyambut kami layaknya pemilik kedai menyambut para pelanggannya, seolah kami ini tidak terlihat saja. Mungkin dia mengira kami tidak akan membayar makanannya lagi.
Kami memilih tempat duduk yang berada di pojok yang dekat dengan jendela. Saat itu kedai Jin sedang memutar sebuah lagu dari band indie yang tidak kutahu namanya, tapi lagunya sering kudengar akhir-akhir ini entah di mana.
"Jin, kami tidak ingin makan, minumannya saja, tolong." V memesan dengan suara agak tinggi.
Jin tidak menanggapi, menoleh saja dia tidak.
"Jin??" V memanggilnya lagi.
"Ambil saja sendiri, aku sedang sibuk!" Jin membalas dengan nada sedikit berteriak.
V bangkit berdiri dari tempat duduk dan mengambil minuman untuk kami. Aku mengamati Jin dari tempat dudukku, mungkinkah dia sedang marah pada kami? Gara-gara hutang yang tadi pagi?
"Apa yang kau lakukan?" V menghampiri Jin sebelum dia kembali ke tempat duduk.
"Menjahit kancing baju si brengsek itu, dia bilang dia harus segera memakainya, tapi kenapa harus aku? Memangnya aku ini pacarnya atau apa? Ahhh, dasar brengsek gila!" gerutu Jin sambil memukuli sebuah kemeja yang ada di tangannya.
Aku mendengus lega, untunglah dia tidak marah pada kami. Aku selalu merasa tidak enak karena telah berhutang pada seseorang.
"Siapa? Sepertinya kemeja itu sangat familier." kata V sambil berjalan kembali ke meja kami.
"Namjoon. Dia guru kalian, kan?" Jawab Jin. "Aku heran kenapa orang seperti dia bisa menjadi guru." Jin menggerutu lagi.
Namjoon? Guru Bahasa Inggris kami yang tampan? Oke dia cukup populer di kalangan murid perempuan.
"Kau berteman dengan guru kami?" aku bertanya.
"Dia punya pacar?" V bertanya.
Kami saling pandang. Kami sama-sama mengeluarkan pertanyaan, tapi intensitas pertanyaannya benar-benar berbeda. Kenapa dia harus bertanya seperti itu, sih?!
Jin tidak segera menjawab. "Ya, kami berteman cukup dekat, dia sering datang ke sini," ucapnya, "pacarnya juga." lanjutnya.
Oke, guru populer seperti dirinya justru mengherankan kalau tidak punya pacar.
"Mereka sering datang bersama?" tanya V.
Ya ampun anak ini, kenapa ingin tahu sekali dengan urusan orang lain?! Jin menoleh sebentar lalu berkata, "Mereka jarang sekali terlihat bersama, bahkan kalau mereka bersamapun orang mungkin tidak akan tahu kalau mereka sebenarnya pacaran." jelasnya.
Rumit juga hubungan mereka, apa karena Namjoon songsaenim adalah guru yang populer? Atau-
"Jangan-jangan pacarnya laki-laki?!" kataku tiba-tiba (dan dengan suara yang agak tinggi).
Sebenarnya aku kaget sendiri dengan perkataanku. V di sisi lain menyeringai sampai memperlihatkan giginya, dia sedang menertawaiku.
"Kau bisa tidak berpikir lebih normal sedikit?!" Jin menggerutu padaku.
Memangnya apa yang salah sih dari perkataanku?!
"Kau bilang meskipun mereka sedang bersama mereka tidak terlihat seperti orang yang pacaran, memangnya apalagi kalau bukan yang sedang bersamanya adalah seorang laki-laki?" belaku pada diri sendiri.
"Memangnya kalau laki-laki sedang berduaan mereka tidak mungkin pacaran?" V masih menyeringai.
"Kau gila ya?" tanyaku.
"Kalau orang itu adalah kalian mungkin aku akan percaya." Jin entah mengapa ikut menimpali.
Mereka semua sudah gila!
"Kupikir justru kau sendiri yang kemungkinan adalah pacar Namjoon sam. Lihat, kau sedang menjahitkan kemejanya, kan?" aku berteriak.
"JK, kau ingin menyatu dengan adonan ramenku, ya?!" Jin mengancam, matanya melotot sampai mau copot. Aku justru takut kalau bola matanyalah yang akan menyatu dengan adonan ramennya.
Baiklah, baiklah, aku akan mengibarkan bendera putih saja untuk saat ini. Lagipula, itu adalah masalah Namjoon sam dan pacarnya, dan mungkin juga itu adalah masalah Jin sendiri.
Aku mengamati V yang duduk di depanku. Perpaduan matanya yang cantik dan bulu matanya yang lentik sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia adalah seseorang yang brengsek minta ampun.
Aku mengangkat sebelah mataku padanya begitu dia melihatku sebagai sinyal bahwa aku ingin ia memulai penjelasannya padaku.
"Sonia tidak bunuh diri, seseorang membuatnya terlihat seperti itu." ia memulai.
Aku mengangguk. Dia sudah sering mengatakannya.
"Bukan Fei." ucapnya.
Aku juga sudah menduganya.
"Dia seseorang yang tidak akan pernah kau sangka bisa melakukannya." lanjutnya.
Aku menyeringai, persis seperti seringainya yang biasanya.
"Kau punya seseorang di pikiranmu?" tanyanya kemudian.
Sudah kuduga dia tidak akan membiarkanku mengetahuinya semudah ini. Dia selalu menggunakan cara yang rumit untuk membuatku sakit kepala.
"Kau punya?" tanyanya lagi karena aku tidak segera menanggapinya.
Aku menyeringai lagi, lama-lama aku lihai juga menirukan V, aku harap dia mulai mual melihatku yang begini, sama seperti yang biasa kurasakan saat melihat seringai di mulut merah jambunya itu.
"Kau." kataku pada akhirnya.
Dia mengalihkan perhatiannya dari gelas minumnya dan mengangkat satu alisnya padaku. Tatapan matanya yang dingin menusuk tepat ke arah mataku seperti pertama kali mata itu menatapku setahun yang lalu. Mata yang terasa seperti senyuman Mona Lisa, misterius.
"Kau." aku mengulangnya sambil menyeringai lagi.
Dia membalas seringaiku dan ini pertama kalinya aku tidak merasa jijik pada seringainya. Aku merasa tertantang. Seringainya terasa seperti labirin yang akan mengurungku selama-lamanya kalau aku tidak berhasil merobek dindingnya.
"Apa kau memang selalu hanya memikirkan aku?" dia bertanya sambil tidak menyembunyikan seringai nakalnya sama sekali.
Aku menatapnya sebentar kemudian memainkan tepian gelas minumku, "Akhir-akhir ini kuakui iya." jawabku.
Sebenarnya itu bohong. Aku tidak memikirkannya akhir-akhir ini, tapi aku sudah memikirkannya sejak setahun yang lalu sampai saat ini.
V tertawa kecil. Tawanya terasa seperti rinai hujan di telingaku, ada sensasi menggelitik yang bisa menerbangkanku pada kenangan-kenangan di masa tertentu. Aku benci sensasi semacam itu.
"Kenapa kau memikirkanku?" tanyanya.
"Karena aku merasa semua yang kulakukan saat ini selalu terhubung denganmu." jawabku.
V tertawa mencemooh kali ini, "Kau benar-benar memikirkanku sampai sedalam itu rupanya." ia berkomentar.
Sulit untuk tidak memikirkanmu, dasar bodoh. Kau ini siapa? Kau ini dari mana? Kau ini sebenarnya APA?
Aku tidak menanggapi komentarnya itu.
V mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di atas jari-jariku yang sedang memainkan tepian gelas minum. Kami saling berpandangan dan getaran itu muncul. Aku mengenal tatapan matanya itu. Tatapan mata yang dingin, misterius, tatapan mata yang seolah-olah bisa menyedotmu ke dalam dunia lain. Tatapan mata yang pernah kutakutkan waktu itu. Tatapan seorang pembunuh.
*****