LOLIPOP

By yasee__

162 17 0

Tiga cewek remaja yang baru memasuki dunia SMP dengan kepribadian berbeda-beda. Extrovert, Netral, dan Introv... More

Prolog
Awal
Jarak

Kelas VIII

32 4 0
By yasee__

Setelah libur kenaikan yang lumayan lama, plus ditambah libur lebaran, para murid Cagar akan memulai kembali rutinitas mereka. Termasuk Ryu. Hari ini dia akan berangkat sekolah lagi. Sebagai kelas VIII tentunya. Tapi yah, karena waktu itu kertasnya bertuliskan kata "SIANG", tentu saja Ryu masih berleha-leha di pukul 10.00 pagi ini. Masih dengan penampilan dekil and the kumel, cewek remaja yang satu ini duduk di depan TV. Menonton tayangan yang lumayan menarik untuk mengisi waktu luangnya sebelum bersiap.

"Gabut banget ini serius. Iva sama Hilta pasti lagi enak-enak-kan masuk pagi. Nasib.. nasib.."

Ditengah kejenuhannya sekarang, tiba-tiba mamah Ryu, Rena, datang dari arah dapur sembari menggendong Syanda. Sekitar tiga bulan lagi, Syanda akan berusia satu tahun. Dan itu menjadi momen yang sangat ditunggu oleh Ryu. Walau dia tidak tahu kenapa. Hanya saja, melihat seseorang tumbuh dari orok sampai besar dengan mata kepalamu sendiri sepertinya mengagumkan.

"Ryu, mamah mau ke warung sebentar. Jagain Syanda, ya." Ucap Rena lalu menurunkan tubuh Syanda ke samping tubuh Ryu.

"Oh, oke," balas Ryu tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi.

Syanda yang melihat kakaknya tidak menunjukkan 'kepedulian' untuknya akhirnya menangis. Berharap di ajak ikut  oleh sang ibu yang telah berada di teras rumah dibanding harus bersama kakaknya yang kayak begitu.

"HUWAAAAA!!!"

Ryu panik. Bisa-bisa jatah sakunya nanti didiskon 50% sama ibunya lagi. Segera saja Ryu menggendong Syanda dan dibawa kabur ke dapur. Biar Rena tidak bisa mendengar tangisan Syanda yang  super duper kenceng.

"Hadu hadu.. Syanda~ jangan nangis, liat twinkle twinkle aja yuk," ujar Ryu begitu sampai di dapur dan menimang-nimang Syanda.

Setelah yakin akan kepergian ibunya, Ryu kembali ke ruang tengah untuk menonton televisi. Melupakan omongannya kepada Syanda. Lagipula, sepertinya Syanda juga ikut menonton tayangan yang entah apa gunanya bersama Ryu.

Beberapa saat kemudian, Syanda mulai tertidur di atas pangkuan Ryu. Tetapi Rena belum juga kembali. Padahal waktu telah menunjukkan pukul 10.30. Ryu harus bersiap untuk sekolah. Sepertinya ada hal lain yang dilakukan ibunya selain pergi ke warung. Sebelum mencari keluar, Ryu pelan-pelan menggendong Syanda. Lalu membawanya ke kamar dan menidurkannya di atas kasur. Setelah itu, dia keluar kamar perlahan agar tidak membangunkan Syanda, dan berniat mencari ibunya itu.

"Loh, Syanda mana?"

Sebuah suara tiba-tiba terdengar di balik pintu depan. Rena muncul dengan kedua tangan menjinjing plastik berisi sayuran.

"Udah tidur. Aku mau mandi. Mau berangkat ke sekolah," balas Ryu dan segera pergi ke kamar mandi.

Selesai mandi dan bersiap, Ryu mengisi perutnya sebentar. Agar nanti rasa lapar tak menyerangnya terlalu cepat. Dan selepasnya, Ryu berangkat. Memulai hari pertamanya sebagai siswi kelas VIII.

***

Ryu menghirup nafas dalam-dalam. Kakinya perlahan memasuki gerbang sekolah. Baru satu langkah, sebuah teriakan menggema dari arah berlawanan.

"RYUUUAAAAW!"

Iva berlari menerjang Ryu. Sedangkan Hilta hanya berjalan santai.

"Aduh! Lepasin, eh! Mau nyari kelas nih."

"Lu masuk kelas.. kelas delapan... delapan berapa ya, Hil? Lupa gua," tanya Iva.

"Kata Shuza delapan tujuh," jawab Hilta kalem.

Ryu tak merespon. Langsung berjalan menuju kelas yang dimaksud. Di jendela kelas, tertempel kertas berisikan absen murid yang akan menempati kelas tersebut selama setahun kedepan. Begitu Ryu melihat namanya, dia menggerutu pelan. Namanya berada di urutan ke-4, yang berarti absennya adalah 4. Matanya kembali menelusuri siapa saja yang akan menjadi kawan seperjuangannya di ruangan ini. Dan ada beberapa anak yang dikenalnya. Itu cukup untuk membuatnya bersosialisasi. Meski Ryu tipe anak extrovert, ada kalanya dia bingung untuk langsung membaur dengan orang yang sama sekali tidak ia ketahui.

"Yaelah!" seru Ryu begitu mengetahui ada beberapa nama yang sangat tidak diharapkan untuk sekelas dengannya.

"Napa say?" tanya Iva sambil ikut melihat absen kelas Ryu.

"Oh kawan-kawanku.. doakan agar aku selalu kuat di kelas ini," ucap Ryu dramatis pada Iva dan Hilta. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi dengannya nanti.

"Lah, kenapa sih?" Hilta yang jijik melihat Ryu juga bertanya.

"Heh.. nggak ada apa-apa sih. Cuman.. ya gitu, deh," balas Ryu asal. Lalu melangkahkan kakinya masuk ke kelas.

Hilta mengernyit. Ryu jadi agak aneh sekarang. Mungkin efek depresi karena masuk siang lagi di kelas delapan ini. Entahlah, dia juga tak tahu pasti.

"Iv, udah yuk. Kelas siang udah mau masuk juga kayaknya. Balik aja kita," ajaknya pada Iva yang masih melihat daftar absen.

"Eh, tapi si Ryu gimana? Kan baru ketemu kita," Iva menunjuk Ryu yang lagi bernegosiasi tentang tempat duduk di dalam kelas dengan seorang cewek chubby.

"Dia udah gede. Besok juga ketemu lagi, elah." Hilta langsung berjalan meninggalkan Iva yang bingung hubungannya udah gede sama bertemu lagi besok. Meski begitu, kakinya tetap melangkah mengekori cewek di depannya ini.

***

Ryu kini tengah menatap ke luar kelas melalui jendela. Wali kelasnya belum datang. Dia juga telah mendapat tempat duduk setelah mencoba bertanya pada beberapa cewek di kelas ini. Teman sebangkunya bernama Zawna, cewek berjilbab dengan pipi yang chubby. Ia memperbolehkan Ryu duduk di sampingnya. Kebetulan, bangku tersebut masih kosong.

"Liatin apaan sih?" tanya Zawna pada Ryu yang kelihatannya sangat fokus melihat keluar.

"Liatin yang enak-enak," jawab Ryu tanpa memalingkan wajah.

"Yang enak-enak? Apaan tuh?" tanya Zawna lagi.

"Imajinasi gua masuk pagi sama Iva sama Hilta." Ryu menoleh, lalu menatap sendu ke arah Zawna.

"Yee..! Gua kira apaan!" Zawna menabok pelan pundak Ryu lalu memberikan deathglare pada cewek itu.

Ryu nyengir. Pandangannya teralihkan ke pintu kelas. Di sana muncul wanita yang nampak familiar baginya. Begitu dia memperkenalkan diri, Ryu benar-benar tidak menyangka hal ini bisa terjadi padanya, lagi.

"Dua tahun... sama Bu Esri. Mantap uga," gumamnya.

"Eh eh, dulu lu kelas tujuh sama Bu Esri kan? Baik nggak orangnya?" Zawna menanyakan hal yang lumrah ketika di ajar guru baru.

"Baik. Pake banget." Ujar Ryu seraya mengacungkan jempol kanannya.

Senyum mengembang di bibir Zawna. Wali kelasnya baik. Itu membuatnya lega. Mungkin dia akan bertahan di kelas ini. Mungkin saja.

***

Seminggu telah berlalu sejak hari pertama masuk. Selama seminggu itu pula Ryu duduk bersama Zawna. Tapi entah kenapa, hari ini bangku di sebelahnya kosong. Walaupun bel masuk sudah berbunyi. Tidak ada tanda-tanda cewek itu akan muncul. Ryu berpikir, mungkin dia sedang sakit atau memiliki masalah yang menyebabkan dirinya tidak bisa masuk sekolah.

Hari berikutnya masih kosong. Ryu masih berpikir Zawna sakit. Namun, ketika selama satu minggu bangku tersebut masih kosong juga, Ryu justru penasaran kemana cewek chubby itu. Kini ia duduk bersama cewek lain. Karena Bu Esri memintanya untuk pindah tempat duduk. Teman sebangkunya yang sekarang bernama Acta. Awalnya Ryu agak ragu bisa cepat akrab, namun ternyata Acta memiliki kesukaan yang sama dengannya. Sama-sama suka Anime atau kartun Jepang. Itu sudah cukup untuk membuatnya gila-gilaan bareng.

"Eh Ta, si Zawna sakit apaan sih? Kok lama banget nggak masuknya," tanya Ryu di sela-sela pembelajaran.

"Sakit? Kata siapa dia sakit? Setau gua ya, emaknya kepengin dia masuk pagi. Terus emaknya nukerin siftnya sama anak pagi yang mau masuk siang. Jadinya sekarang dia masuk pagi di delapan tiga," jelas Acta dengan tangan masih menyalin tulisan di papan tulis.

Ryu melongo. Tidak percaya dengan apa yang telinganya dengar. Jadi.. selama ini Zawna tidak masuk karena dia masuk pagi? Bukan karena sakit? Kenapa tidak ada yang memberitahunya? Ah, tidak. Sebenarnya memang Ryu yang asal menebak. Bu Esri juga sepertinya tidak mengungkit-ungkit sakit yang di alami Zawna dan telah menyuruh Ryu pindah tempak duduk. Harusnya dia bertanya dulu pada salah satu teman sekelasnya sebelum memutuskan.

"Oh, gitu." Hanya dua kata itu yang terlontarkan dari mulut Ryu.

"Jangan bilang lu nggak tau hal kayak begini?" tanya Acta. Tepat sasaran.

Ryu tersentak. Kedua matanya menolak untuk bertatapan langsung dengan mata Acta yang tengah fokus melihatnya. "Tau kok tau..... abis lu kasih tau tadi, hehe."

"Dasar. Makanya nanya, becanda mulu sih lu," ejek Acta kemudian melanjutkan menulis.

Ryu hanya menggedikkan bahunya. Lalu ikut menyalin tulisan di papan tulis. Dia sudah ketinggalan jauh masalahnya. 

***

Setelah beberapa waktu, Ryu telah memiliki teman sepermaninan di kelas ini. Tapi tentu saja, dia bisa bermain dengan semuanya. Bahkan, orang yang tadinya ingin Ryu jauhi, malah duduk di dekat tempat duduknya. Otomatis, Ryu jadi memiliki waktu yang lumayan banyak untuk berbincang dengannya. Walau begitu, kadang Ryu tetap tidak menyukai tingkah laku beberapa anak di sini. Dan teman yang telah Ryu dapatkan bernama Hafsa, Widha, Raina, dan tentunya Acta. Dibanding teman cewek yang lain, Ryu lebih sering bergerombol dengan mereka. Tapi jangan salah, ini bukan geng-gengan seperti cewek-cewek kebanyakan. Cuman sering bercanda bersama saja.

"Bentar lagi ganti baju, kan?" tanya Acta tiba-tiba.

Ryu yang tengah melamun tidak menjawab. Matanya menatap keluar jendela. Posisi duduknya di kelas ini selalu diputar bergiliran. Saat ini, Ryu mendapat tempat di pojok dekat jendela. Tempat yang ia dudukki pertama kali ketika masuk ke kelas ini. Di luar sana sedang hujan. Tidak terlalu deras, tapi juga bukan hanya gerimis kecil. Tepukan yang lumayan keras di pipi kirinya menarik Ryu keluar dari zona lamunannya.

Plak!

"Adaw! Apaan sih, Ta?" sungutnya pada Acta, cewek yang mengganggu kenyamanannya.

"Gua nanya dicuekin. Emang enak," sahut Acta.

"Lah, kan gua nggak denger," ujar Ryu ketika menyadari penyebab tepukan di pipinya itu.

"Huh, alesan. Udah mau jam olahraga. Lu ganti baju nggak?" Acta mengutarakan pertanyaannya lagi.

"Ujan," jawab Ryu.

"Iya tau,  ujan. Terus kenapa?" kebingungan melanda pikiran Acta mendengar jawaban Ryu.

"Kalo ujannya kayak begini, nggak mungkin bakal olahraga di lapangan. Soalnya kita mau praktek basket, bukan renang," jelas Ryu lalu menaruh kepalanya di atas meja. "Lagian ya, gua mager."

Acta menghela nafas. Padahal, tinggal bilang "mager" saja sudah menjawab semuanya. Tapi cewek di depannya ini justru bicara muter-muter yang tidak ada sangkut pautnya dengan pertanyaan yang ia ajukan. Ah, sudahlah, mungkin ketika Ryu melamun tadi, otaknya kesambet sesuatu atau apalah.

"Jadi lu nggak ganti baju?"

"Enggak."

Acta mengangguk. Lalu memejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Oke, gua juga nggak ganti baju."

Selesai mengatakan itu, tiba-tiba Hafsa datang. Memukul meja Ryu lumayan keras, sehingga membuat kepala Ryu bergetar dan terangkat dari meja. Mencari tahu siapa pelaku dari perbuatan yang mengganggunya ini.

"Shalat nggak?" tanya Hafsa setelah wajah Ryu melihat ke arahnya. Kalau sudah ashar begini, Hafsa memang orang yang selalu mengajak Ryu untuk shalat dahulu. Dan Ryu tidak masalah akan hal itu.

"Oh, iya iya, shalat kok. Eh tapi, udah boleh keluar emang? Belom bel kan," balas Ryu sekaligus bertanya pada cewek berkacamata pelaku perbuatan tadi.

"Boleh kok. Sekarang udah ganti jam olahraga, kata Aldo boleh shalat duluan yang mau shalat," jelas Hafsa.

Mendengar itu, Ryu membuka tasnya dan mengambil mukenah putih yang selalu dia bawa setiap hari. Ini adalah hal penting yang harus ada di tasnya selama dia masuk siang. Tidak boleh terlewatkan, apalagi ketinggalan. Setelahnya, Ryu bergegas ke masjid bersama Hafsa. Acta tidak ikut, dia sedang mendapat tamu bulanan.

"Lu ganti baju Haf?" ucap Ryu ditengah perjalanan menuju masjid.

"Enggak tau deh. Bisa ganti, bisa enggak," sahut Hafsa yang berjalan di depannya.

Ryu membulatkan mulut membentuk huruf "O" sebagai respon dari jawaban Hafsa. Di waktu hujan begini, lantai lobi kelas pasti akan terkena imbasnya. Alias jadi becek. Dan tentu saja, licin. Jika sudah begitu, Ryu harus melangkah dengan pelan agar keseimbangannya tidak goyang dan terjatuh. Kalau sampai terjatuh, bukan hanya roknya saja yang kotor, tapi juga rasa malu karena terlihat oleh banyak orang. Membayangkannya saja sudah membuat dirinya bergeridik. Sudah cukup ia terjatuh di depan khalayak umum ketika apel sore di hari jumat bersama Iva dulu.

"Lu jamaah?" tanya Ryu begitu mereka telah sampai di masjid.

"Enggak, males." Jawab Hafsa pelan.

"Dasar." Ryu menggelengkan kepalanya, lalu melihat ke arah wajah Hafsa dengan meremehkan. "Gua juga enggak, hehe."

Hafsa men-deathglare Ryu. Tangannya terangkat dan memukul punggung Ryu cukup keras.

Plak!

Ryu memekik tertahan. Dilihatnya Hafsa telah masuk ke masjid, meninggalkan dirinya yang masih mengelus punggungnya karena telah menjadi korban keganasan tangan Hafsa. Ryu tahu betul Hafsa memang suka seperti itu, bagi cewek berbingkai kacamata merah itu maksudnya bercanda. Tapi tetap saja, sakit ya sakit. Lain kali, Ryu harus menghindar sebelum punggungnya menjadi korban lagi.

Selesai shalat, mereka kembali ke kelas. Dan setelahnya, Ryu ke kantin. Sendiri. Karena Hafsa tidak ke kantin. Acta sudah ke kantin dari tadi bersama yang lain. Setelah memakai sepatu, Ryu berjalan menuju kantin dengan memutari kelasnya. Beruntung, jarak kelas dengan kantin tidak sejauh jarak kelas ke masjid. Karena itu, Ryu tidak perlu menahan rasa laparnya lebih lama. Sampai di kantin, kakinya melangkah menuju tempat ibu penjual batagor langganannya sejak kelas tujuh.

"Bu, batagor tiga ribu," ucapnya seraya memberikan uang lima ribuan.

Ibu itu menerima uang Ryu dan mengambil uang dua ribu sebagai kembaliannya. Lalu segera menyiapkan batagor pesanan cewek itu. "Nih, Ryu."

"Makasih." Ujar Ryu lalu kembali ke kelas.

Baru satu langkah memasuki kelas, sebuah suara menginstrupsi.

"Woy! Mau ngapain masuk?" tanya Rudra, cowok dengan poni menyamping itu sedang menghadang Ryu di depan pintu kelas.

"Duduklah! Sih, ngapain lagi?" tanya Ryu balik.

"Nggak bisa kalo gitu berati," ucapnya lagi.

"Lha, emang kenapa?" Ryu mencoba melihat ke dalam kelas, tapi tangan Rudra menghalangi.

"Eh eh, jangan ngintip-ngintip! Nakal deh," Rudra melayangkan tatapan jahil pada Ryu.

Ryu mengernyit. Menatap jijik pada Rudra. "Apaan sih, Rud! Udah minggir, gua mau masuk!"

"Dibilang nggak boleh, ngeyel lu ya." Rudra masih tidak mengijinkan Ryu masuk.

"Ya alesannya apa?" kesabaran Ryu mulai habis karena cowok di depannya ini.

"Yang cowok lagi ganti baju," jawab Rudra santai.

Ryu menghela nafas. Ingin sekali meninju perut Rudra. Tapi sudahlah, jika diladeni lebih lama, hal seperti ini tak akan ada habisnya. Sebab itulah Ryu memilih berbalik badan dan duduk di bangku terdekat dari kelasnya. Menunggu seseorang yang ia kenal lewat sambil menghabiskan batagor yang dibelinya tadi.

"WOOOO! RYUUU!" 

Sebuah teriakan terdengar dari arah kanannya. Ryu menengok, mendapati Shuza yang sedang berjalan ke arahnya bersama Yulia dan Narifa yang berlari kecil. Oh ya, selain Ryu, Shuza juga masuk siang kembali. Yah meski berbeda kelas, tapi tak masalah. Toh kelas mereka juga hanya bersebelahan. Sedangkan Yulia dan Narifa adalah teman sekelas Shuza yang dikenalkan kepada Ryu.Di sisi lain, Yulia dan Narifa juga menyukai anime, jadi mudah baginya untuk cepat akrab dengan kedua cewek ini.

"Sendirian aja? Jomblo banget," ejek Yulia setelah berada di depannya.

"Sorry ya, gua lagi pengen menikmati batagor sama alam. Tapi lu dateng, jadi nggak nikmat lagi," balas Ryu tak mau kalah.

"Dih, songong." Yulia memasang raut wajah menantang.

"Udah deh lu bedua, ribut mulu kalo ketemu. Bosen dengernya," Shuza yang selalu melihat kejadian ini memutuskan untuk menghentikannya sebelum berlanjut tanpa henti.

"Lu udah nonton Boruto episode terbaru?" tanya Narifa. Boruto adalah seri anime terbaru dari Naruto. Setelah Naruto tamat, Boruto muncul sebagai penggantinya. Dan sebagai fans setia Naruto, tentulah Narifa akan menontonnya juga.

"Enggak. Gua nggak terlalu ngikutin. Udah kebawa anime lain," balas Ryu. Dia juga salah satu penyuka anime Naruto, tapi setelah Naruto tamat, Ryu tidak mengikuti seri lanjutannya. Karena banyak anime yang menurutnya seru selain Naruto.

"Oh, kirain. Mau minta gua kalo lu udah download, hehe." Narifa mengangguk-angguk lalu menyengir.

"Eh Ryu, si Iva masih naksir sama itu?" Shuza membuka topik pembicaraan baru. Kali ini menyangkut Iva.

"Kayaknya iya. Lagian dia masuk pagi juga, kan. Iva pasti sering ketemu lah. Cuman ya, gitu. Nggak berani nyapa sama sekali si Iva. Padahal udah ngobrol di line," ucap Ryu kemudian memakan batagor terakhir yang dibelinya.

"Bantuin yuk! Gua juga udah ngechat doinya lewat line," Shuza nampak bersemangat membahas hal ini.

"Udah gua bantuin dari dulu kali. Yang ngasih kontaknya ke Iva aja gua," Ryu bangkit dari duduknya dan berjalan untuk membuang sampah. "Besok sebelum masuk, gua tanya Iva dah, dia mau gimana."

TENG! TENG! TENG!

"Eh, udah bel! Ah! Pelajaran Bu Rhis lagi! Males banget, gua." Yulia merutuki bel masuk yang berbunyi terlalu cepat. Bukannya dia benci dengan pelajaran Bahasa Indonesia, tapi guru yang membawakan mata pelajaran itu galaknya luar biasa.

"Do'a dulu yuk, biar kita aman," ajak Narifa iseng.

"Apaan sih, Nar.. apaan," Shuza hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan temannya itu. "Udah ah, masuk kelas gua. Baybay, Ryu."

Yulia dan Narifa mengekor di belakang Shuza. Sebelum benar-benar masuk kelas, Narifa menengok dan melambaikan tangannya pada Ryu. "DAAAAAH!"

"Nggak jelas, sumpah. Cuman bel istirahat aja kayak mau pulang. Heran gua," gumam Ryu melihat tingkah mereka yang rada-rada. Tapi yah, mau bagaimana lagi, tingkah seperti itulah yang membuat Ryu merasa senang bertemu dengan mereka.

Ketika akan kembali ke kelas, Hafsa dan Acta yang sedari tadi entah di mana muncul begitu saja. Lalu mereka bertanya kemana saja Ryu tadi. Padahal seharusnya Ryu yang menanyakan hal itu. Tapi Ryu tak ambil pusing, lalu masuk ke kelas bersama mereka.

"Masih ujan, nggak olahraga di lapangan kan berati." Ucap Ryu pada Acta ketika mereka telah duduk.

"Iya kali, nggak tau juga gua." Balas Acta sekenanya.

"Anak cowok udah tau ujan, masih aja ganti baju. Enggak mikir apa emak nyuci gimana," tiba-tiba Ryu mengungkit masalah ketika ia dihadang masuk kelas karena para anak cowok sedang berganti baju.

"Nggak tau. Suka-suka mereka aja kali," lagi, Acta menyahut ocehan Ryu seadanya.

Ryu mendengus. Lalu melihat ke arah luar lagi, tak tahu untuk yang keberapa kalinya. Tapi yang jelas, hari ini dia lumayan sering melihat ke arah luar jendela. Melihat tetesan hujan yang turun dari langit. Dalam pandangannya, semua itu begitu menarik. Bagaimana air hujan turun bersamaan, lalu membentur tanah dengan keras. Menimbulkan sebuah bunyi yang tak asing di telinganya. Selain itu, aroma tanah kering yang terkena tumpahan air hujan pun terasa menenangkan. Ada satu hal yang terlintas di memori otaknya ketika hujan begini. Kejadian yang dialaminya ketika masih berada di kelas 7.


ZRAAASHH!

Hujan turun membasahi bumi. Akhir-akhir ini selalu begitu. Rintik-rintik air akan tumpah menjelang sore hari. Dan tentu saja, suasana seperti ini menjadi pemicu rasa kantuk yang cukup berat bagi siswa-siswi yang bersekolah hingga petang. Contohnya adalah aku. Semua materi yang diterangkan oleh guru hanya mampir di otakku, tak ada satupun yang menetap. Nyaris saja alam mimpi membawaku pergi jika bel istirahat tidak berbunyi.

"Ryu, shalat ashar nggak?" tanya Iva.

"Shalat kok, sekalian nyegerin muka biar nggak ngantuk lagi," balasku sambil membuka sepatu.

Kemudian kami mulai berjalan menuju masjid yang berada tidak jauh dari ruang kelas. Sampai di sana, telah banyak murid yang ingin melaksanakan shalat ashar berjamaah. Dalam kondisi seperti itu, mau tidak mau kami harus berdesak-desakan untuk berwudhu.

"Iv, jamaah nggak?" tanyaku di sela-sela mengantri wudhu.

"Enggak deh kayaknya. Mau cepet makan, udah laper soalnya," jawab Iva seraya mengusap-usap perutnya.

Aku mengangguk lalu segera mengambil air wudhu karena giliranku telah tiba. Selesai shalat, kami bergegas kembali ke kelas. Memang benar ucapan Iva, rasa lapar telah menunjukkan pergerakannya.

"Ujannya gede banget sih! Mana lantainya jadi licin lagi, nanti kalo gua kepeleset gimana coba?!" sungut Iva begitu sadar jika hujan yang sedari tadi turun lumayan deras. Posisinya saat ini tengah berada di teras masjid sembari melihat ke arah langit, memperhatikan tetesan air hujan yang semakin banyak.

"Kalo lu kepeleset ya jatoh. Terus nanti kalo nggak bisa bangun, gua bakal bantuin kok, tenang aja." Sahutku dan berjalan mendahuluinya.

"Bantu gimana? Lu gendong gitu?" Iva mulai tertarik dengan pembicaraan. Sementara itu, kakinya bergerak untuk mengekori langkahku dari belakang.

"Enggak lah! Yang ada malah jatoh bedua kita."

"Lah, terus?"

"Ya... gua tinggal nyeret kakilu, gampang kan? Sekalian buat ngepel lantai."

"Eh, bosen idup kamu yha."

Aku hanya tertawa melihat respon Iva. Rasanya menyenangkan bila mengerjainya. Yang aku bingungkan, Iva sudah tahu betul tabiatku yang senang bercanda. Tetapi, dia masih saja masuk dalam arena kejahilanku setiap harinya. Sungguh ironis.

"Iv, lari yuk! Nanti biar kayak main ski gitu!" ajakku pada Iva begitu kelas mulai nampak.

"Licin tau! Jatoh aja, baru tau rasa lu!" sewotnya menolak ajakanku sembari menunjuk lantai yang terlapisi air hujan.

"Yaelah, bentaran doang. Cuman sekali luncur deh, lagian kelas juga udah deket." Ucapku bersikeras mengajaknya, kali ini dengan sedikit goyangan yang kubuat pada tubuhnya.

"Nggak mau ah! Bahaya ya, kalo kenapa-napa gua nggak tanggung jawab pokoknya." Iva tetap bersikukuh pada keputusannya, kemudian berjalan meninggalkanku menuju kelas.

Aku menghela nafas. Jika sudah begini, tak ada yang bisa kulakukan untuk membujuk Iva. Tetapi, niatku untuk berlari tidaklah luntur. Dengan senyum mengembang, aku mulai berlari dalam kecepatan sedang dan meluncur. Sayangnya, netraku tak menangkap adanya pecahan keramik di lantai. Otomatis kaki kananku yang berada di posisi depan ketika meluncur tersandung pecahan keramik tersebut, dan lajuku terhenti karenanya.

"Aduh!" rintihku lalu menunduk untuk melihat penyebab semua ini, yang tidak lain adalah pecahan keramik. Namun, aku tak mempedulikannya dan melangkah masuk ke kelas.

"Gimana? Enak kesandungnya?" ejek Iva begitu aku duduk disebelahnya.

Dengan cengiran aku merespon perkataannya. Lalu mulai bersiap memakai sepatu sebelum sebuah seruan menginstrupsi.

"Ih! Ada darah! Darah siapa nih!" seru Lania sambil menunjuk beberapa tetes darah yang ada di lantai tidak jauh dari tempat dudukku.

Aku terhenyak. Kaget. Kemudian mencoba melihat telapak kaki kananku. Dan ya, di sana terdapat robekan kulit yang lumayan besar dan dalam tengah mengalirkan darah cukup banyak sehingga menetes ke lantai.

"Ya Allah, Ryu! Kakilu berdarah itu!" teriak Iva panik seraya menunjuk-nunjuk telapak kakiku.

Nika yang mendengar teriakan Iva di belakangnya segera berbalik badan dan langsung memperhatikanku. "Ada apa- Eh! Itu kakilu kenapa, Ryu! Ambil obat merah gih di UKS! Cepetan, biar nggak infeksi!"

"Ada juga lu yang ambilin kali! Sono pergi cepet!" Shuza yang duduk di sebelah Nika memukul bahunya pelan melihat kelakuan temannya itu.

Nika hanya menepuk jidatnya lalu menyengir. Setelah itu, dia langsung berlari ke luar kelas untuk mengambil obat merah. Sekembalinya dari UKS, ia segera mengoleskan obat merah tersebut pada lukaku.

"Makasih ya, udah diambilin obat merah." Ujarku padanya.

"Sama-sama! Tapi eh, lu ngapain emang ampe bisa begitu dah?" Nika mengutarakan rasa penasarannya.

Sebelum sempat kujawab, Iva sudah menyerocos lebih dulu. "Ngapain katalu? Tadi ya, anak ini tuh lari-larian di lobi kelas biar kayak main ski gitu katanya. Udah dibilangin bahaya, masih juga nggak mau nurut. Terus dia kesandung keramik yang pecah, jadi robek kan kulitnya. Anak bandel emang!"

Aku hanya mengangkat bahu lalu tertawa mendengar ocehan Iva. Sesaat setelahnya, aku meminta beberapa lembar tissu pada Lania, untuk mengelap darah yang menetes di lantai.

"Mantep ya kulitnya robek. Enak itu pasti." Sindir Iva tanpa melihat ke arahku.

Kugelengkan kepalaku melihat tingkahnya. Kadang, dia memang suka bertingkah seperti ini. Dikit-dikit ngejek, dikit-dikit nyindir. Heran.  "Gua nggak bisa ke kantin nih, nitip dong kalo lu jajan."

"Sorry, tapi gua bawa bekel."

"Halah."

Tiba-tiba Nika dan Shuza yang baru dari kantin meletakkan sebungkus batagor di mejaku. "Nih buat lu, lagi nggak bisa ke kantin, kan." Jelas Shuza.

"Uwaaaw! Makasih banget! Serius!" seruku girang.

Lalu bel masuk berbunyi, dan kami melanjutkan kegiatan belajar mengajar seperti biasa. Hingga tiba waktunya untuk pulang.

"Duh, gua pulang gimana ya? Nggak bisa nyeker ini, apalagi make sepatu." Keluhku sembari merapihkan barang-barang untuk pulang.

"Kayaknya gua bawa sendal deh, di mana ya.." Iva mulai mengobrak-abrik isi tasnya. "Oh! Ini dia, gua beneran bawa ternyata! Lu pake gih, besok balikin tapi!"

Aku memandang Iva layaknya seorang pahlawan hebat. Dia memang selalu dapat diandalkan di saat seperti ini. Sedangkan Iva hanya menatapku dengan pandangan aneh, sangat aneh.

"Jijik sumpah. Udah ah, balik aja gua." Iva berjalan meninggalkanku yang masih setia menatapnya penuh cinta.

Lagi dan lagi, aku tertawa melihat tingkahnya. Kali ini hingga terpingkal-pingkal. Di luar sana masih hujan, tambah deras malah. Segera aku menyusulnya sebelum dia basah oleh hujan, karena pulang tanpa memakai payung. Sebab, payungnya ada di genggaman tanganku. Sejurus kemudian, Iva telah berada di sisiku. Kami pun pulang bersama dengan kaki Iva yang menyeker tanpa alas dan kakiku yang sedikit pincang bertahtahkan sandalnya di bawah naungan sebuah payung besar.

"Masih mau meluncur lagi besok?"

"Enggak lah!"

"Alhamdulillah, akhirnya sadar."

"Kalo kaki gua belom sembuh maksudnya."

"Aish, bener-bener. Nggak pernah kapok lu, ya."

"Nanti gua insap, kok. Do'ain aja setiap hari, hahaha!"


"Woy! Bengong mulu! Kesambet aja, baru tau rasa!"

Sebuah suara disertai tepukan pada pundaknya membuat Ryu tersadar dari lamunanya. Rupanya guru olahraga mereka telah memasuki kelas. Dan Acta ingin memberitahunya. Dari tadi Ryu memang telah larut untuk mengenang kejadian yang tak mungkin terlupakan bagi dirinya. Dan sejak saat itu, Ryu akan 'selalu' melihat ke arah lantai ketika berjalan di waktu hujan. Memiliki luka di telapak kaki sangatlah merepotkan. Dan dia tidak ingin itu terjadi lagi pada dirinya. Cukup sekali, tidak lebih.



Iyhak! Iyhak! Bagian tiga selese~~ UWOOO!!! Moga kalian suka:v Maaf lama up-nya, soalnya ini lumayan panjang dari yang biasanya, terus bingung buat nulisnya begimana:v tapi alhamdulillah bisa kelar juga:v makasi yang uda baca:v vomentnya yha woakowakak:v

121217


Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 202K 28
Arura Qirani terlambat untuk tahu, bahwa selama ini semua usahanya untuk mendapatkan hati sang suami Reygan telah sia-sia sejak awal. Mungkin saja ka...
3M 248K 49
Madava Fanegar itu pria sakit jiwa. Hidupnya berjalan tanpa akal sehat dan perasaan manusiawi. Madava Fanegar itu seorang psikopat keji. Namanya dike...
2.8M 86.7K 69
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
3.2M 159K 85
[PRIVATE ACAK, FOLLOW SEBELUM MEMBACA] __ TAHAP REVISI! Highest Rank 🥇 #1 teenfiction (09/04/22) #1 garis takdir (17/04/22) #1 romance (17/06/22) #1...