Detik berganti menit, menit berganti jam dan Didit masih setia dengan ponsel yang berada di tangannya. Sore ini sesuai rencananya bersama Ananda, Didit sudah stay di kedai warung babe Rawis menunggu kedatangan Ara. Tidak ada Gara maupun Peter di sampingnya karena ia memang sengaja ingin mempertemukan Ara dengan kakaknya.
Sesuai permintaan Ananda, Didit akhirnya bersedia menjadi perantara agar Ananda dan Ara dapat bertemu. Sebenarnya Didit tidak ingin mencampuri masalah mereka seperti ini. Namun karena ia tidak tega dengan semua masalah yang di hadapi Ananda, akhirnya Didit mau membantunya. Didit juga ingin Ara kembali akur dengan Ananda. Selama ini Didit mengira Ara hanya mempunyai masalah dengan ayahnya. Tetapi ia sangat salah. Salah besar.
Ara mempunyai berbagai macam masalah dan dia menyimpannya sendiri dengan rapat- rapat.
Entah kenapa Didit tidak menyukai hal itu. Sebenarnya ia sagat ingin membantu Ara, ia sangat ingin menjadi orang yang selalu ada disaat Ara membutuhkannya. Namun Didit juga sadar diri, selama ini Ara sudah membangun temboknya sendiri supaya Didit tidak bisa untuk menjangkaunya. Supaya Didit tidak berani memasuki zona amannya.
Ara salah. Serapat apapun ia membangun tombok, tetap saja Didit akan selalu meruntuhkannya dengan senyum menawan seperti yang saat ini dia lalukan pada Ara.
"Hai? Motor kamu macet ya? Lama banget datengnya!" Didit berujar sembari tersenyum manis menatap Ara.
"Motor gue masih di bengkel. Tadi naik ojek makanya datengnya ngaret," Ara menarik kursi yang berada di dekat Didit untuk ia tempati, "Lo udah dari tadi ya?" Tanyanya saat ia sudah berhasil menempati kursi itu dan kembali menatap Didit.
Didit menggeleng, "Engak. Gue juga baru aja kok."
Ponsel Didit bergetar singkat tanda ada pesan chat masuk. Didit hanya melihatnya sepintas, karena ia sendiri sudah tahu siapa pengirim dari pesan itu.
Didit mengabaikan pesan itu dan memilih untuk kembali mengobrol dengan Ara.
"Gue kangen Ra."
"Kangen siapa?"
"Dosa gak sih kalau gue kangen sama sahabat gue sendiri?"
Ara tertawa lucu, "Lo kangen Gara sama Peter?"
"Emang sahabat gue cuma mereka berdua ya Ra? Kan masih ada lo!"
"Terus?"
Didit mengaruk belakang lehernya dengan wajah salah tingkah, "Gak jadi deh. Gue malu." Ungkapnya.
"Apaan sih Dit. Wajah lo tuh gak cocok kalau malu- malu kayak gini!" Ara memdorong jidat Didit gemas. Tawanya mengudara, membuat hati Didit seketika menghangat.
"Iya gue tahu. Gue tuh gak cocok jadi apa- apa. Kata Bu Tri masa depan gue tuh abu- abu. Gak jelas dan gak bisa dipastikan. Gue heran, kok dia bisa tahu ya kalau masa depan gue itu abu- abu. Kenapa gak biru? Gue kan suka warna biru daripada abu- abu."
"Lo kan bandel kalau di sekolahan. Jadi mungkin Bu Tri mengira lo akan jadi anak yang gak berhasil di masa depan. Tapi dia juga gak tahu gimana esok hari. Siapa tahu suatu saat lo berubah dan lo berhasil menjadi seseorang yang membangakan, itu maksutnya Bu Tri."
"Ya walaupun gue kayak gini bentukannya, tapi gue bersyukur kok. Gue bersyukur mempunyai orang- orang yang mau membantu gue menuju masa depan gue yang lebih baik. Gue gak bisa bayangin gimana kalau hanya gue sendiri yang memikirkan semua itu. Pasti gue udah gak sanggup."
Ara sedikit tersentil dengan penuturan Didit. Ada perasaan aneh dan menganggu saat ia membayangakan berada di posisi Didit.
"Apalagi kakak gue, ya walaupun dia galaknya minta ampun sama gue tapi gue tahu kalau dia sayang banget sama gue. Dulu gue selalu ngeluh kenapa kakak gue selalu nyakitin gue dengan kata- kata kasar dan juga perlakuan kasar. Dan ya karena gue sadar, gue emang cocok untuk di perlakukan kayak gitu dengan sikap gue yang begajulan gini."
Ara menyimak semua kata yang Didit ucapkan dengan baik. Dan dengan menyebalkannya entah kenapa ia jadi teringat dengan kakaknya, Ananda.
"Gue jauh dari orang tua gue, apalagi bokap gue. Lo tahu sendiri kan gimana sifat gue? Dulu gue orangnya gak pernah perduli dengan apa yang ada di hidup gue. Gue berpikir semuanya pasti akan berjalan lancar sesuai dengan takdir yang sudah di gariskan oleh Tuhan untuk gue. Gue gak pernah mikir setelah selesai dengan pendidikan gue nanti gue mau jadi apa, hidup bagimana, karena gue merasa gue sudah mempunyai dua orang tua yang bahkan akan sangat cukup menampung kehidupan gue nantinya."
"Sampai suatu saat, gue berada di titik dimana gue emang bener- bener gak perduli akan semua itu, kakak gue berhasil menyadarkan gue. Gue ingat, dulu dia pernah bilang, boleh aja gue bergantung dengan orang tua gue, boleh aja gue bertindak semau gue dan gak perduli dengan masa depan gue, tetapi gue juga harus bersikap biasa saja ketika suatu saat nanti orang tua gue udah tua, mereka udah gak bisa lagi kerja, dan gue semakin terpuruk karena terus mengantungkan kehidupan gue ke mereka. Bahakan yang paling parah, ketika suatu saat nanti orang tua gue meninggal, gue gak akan bisa menjadi orang yang bertanggung jawab dengan kehidupan gue sendiri. Gue gak akan bisa mandiri dan hidup menjadi lebih baik."
"Lo tahu? Gue merasa sangat beruntung mempunyai kakak yang hebat seperti Dhira. Gue tahu dia memang bukan kakak yang selalu menjaga gue dimanapun dan kapanpun gue membutuhkannya, bahkan terkadang gue merasa bahwa gue lah yang seharusnya menjagga kakak gue dari apapun itu yang menganggunya. Tapi bukan itu poinnya. Bagi gue semarah apapun gue karena perlakuan atau bahkan perkataan buruk Dhira, gue tahu hal itu karena dia pengen lihat gue menjadi anak yang lebih baik lagi. Karena dia menyanyangi gue lebih dari apapun di dunia ini."
Didit menutup kalimat panjangnya dengan seulas senyum di sudut bibirnya. Deretan kalimat panjang itu membawa Ara mengenang kembali bagaimana kakaknya selama ini. Kakak yang tidak sempurna, namun amat Ara sayangi. Itu dahulu, sekarang bagi Ara kata kakak sudah ia hapus dari dalam kamus hidupnya semenjak kejadian malam itu.
"Kenapa lo ceritain semua itu ke gue?" Tanya Ara setelah lama ia berdiam diri dengan berbagai macam pertanyaan yang bersarang di kepalanya.
"Gak ada. Mungkin karena gue lagi kangen kakak gue."
Jelas saja Ara tidak akan puas dengan jawaban yang Didit berikan padanya hingga ia kembali bertanya, "Lo tahu kan kalau gue sangat anti membahas persoalaan kayak gini? Kakak, keluarga, dan semua yang berhubungan dengan itu gue sudah sangat muak untuk membahasnya Dit."
"Selama ini lo selalu memandang semua masalah lo cuma dari sudut pandang lo. Dengan mudahnya lo pergi ninggalin masalah lo tanpa mau memperbaikinya, karena menurut lo merekalah yang patut untuk lo salahin. Mereka lah yang patut menerima hukuman itu karena menurut lo mereka sudah menyakiti hati lo. Benar begitu Arkanara?"
Ara diam. Sudut matanya terasa panas dan berkabut.
"Mereka udah nyakitin gue Dit. Bahkan kakak gue yang selama ini udah gue anggap sebagai malaikat, gak pernah nolongin gue. Dia gak ada sewaktu gue hancur. Sewaktu bokap gue ngehancurin semua apa yang ada di hati gue."
"Seburuk apa pun kakak lo, dia akan tetap menjadi kakak lo Ra. Iya mungkin dulu dia memang salah, tapi manusia bisa berubah. Sekarang kakak lo bukan hanya menyesalinya, bahkan ia sempat menghukum dirinya sendiri karena sudah membuat lo sedih. Membuat lo terpuruk."
Didit menatap ragu Ara. Ia tahu mungkin setelah ini Ara akan membencinya, tetapi jauh dari itu ia hanya ingin melihat Ara kembali tersenyum. Hanya itu. Karena dengan begitu Didit akan merasa lebih tenang.
"Ada yang mau ketemu lo Ra. Gue harap lo mau menemuinya."
Ara menggeleng pelan, menatap wajah Didit dengan tatapan tidak percaya. Sekarang ia benar- benar benci dengan sikap Didit yang membuatnya kembali terjatuh karena sosok kakaknya itu.
"Gak... " Ara berdiri dari kursinya, "Gue gak mau ketemu dia." Dapat Ara rasakan cairan bening itu keluar dari pelupuk matanya tanpa bisa ia tahan. "Lo jahat Dit. Lo gak ngerti."
Detik itu juga Ara berlari. Berlari sekuat yang ia bisa. Sejauh apa pun itu agar ia tidak bertemu dengan kakaknya.
Hancur. Sudah itu saja yang Ara rasakan saat ini.
*****
Tbc