Tangan Fajar terlepas begitu suara bariton Arkan menggema. Lelaki itu berjalan tegap tanpa melirik ke kanan-kiri dengan laptop di tangannya. Nyaliku tiba-tiba menciut teringat komitmen yang sudah sama-sama kami sepakati. Tapi, bukannya tidak berlebihan apa yang dilakukan Fajar padaku. Itu sebatas bercanda sesama teman.
"Mau ke mana lo?" tanya Fajar saat aku beringsut pindah duduk ke belakang.
"Diemmm," bisikku penuh tekanan.
Sedikit menguntungkan jika duduk tepat di belakang orang yang badannya gemuk. Tubuh kecilku terhalangi jika dilihat dari depan. Artinya, sedikit kemungkinannya Arkan melihat wajahku.
"Za, gue gak telatkan?" Wulan mengagetkanku. Napasnya tidak beraturan dan keringat bercucuran di wajahnya.
"Baru masuk, kok. Kenapa lo telat, tumbenan amat?" tanyaku memelankan suara.
"Macet, cuy. Ada mobil yang pecah ban, jadinya ngehambat akses jalan kendaraan lainnya," jelas Wulan terbata-bata.
"Nih, minum. Lo kayak udah ngelihat hantu aja deh." Aku menyodorkan air mineral dalam botol yang kubeli di kantin tadi. Wulan langsung meneguknya dengan rakus.
Oke, balik lagi ke laptop.
Seperti biasa sebelum memulai menyampaikan materi, Arkan membuka daftar hadir. Aku mengintip dari celah yang kosong antara si gemuk dan Fajar yang duduk di sebelahnya. Raut Arkan begitu datar dan tidak bersahabat. Hal yang wajar kalau Arkan sedang di kelas, tetapi bagiku ekspresi itu naik dari siaga ke waspada.
"Khanza Adreena?"
Aku mengangkat tangan ragu sambil menundukan pandangan untuk menghindari aura menyeramkan dari tatapannya. "Hadir, Pak," cicitku.
PLN matikan lampu pliss! Biar ini kelas jadi gelap. Aku gak sanggup lagi.
Tarik napas, hembuskan. Tarik napas, hembuskan. Beberapa kali aku melakukannya untuk mengenyahkan gelisahku. Tenang Khanza, tenang. All is well, Arkan belum tentu cemburu. Sugestiku dalam hati.
Sumpah demi Zayn Malik putus sama Gigi Hadid terus mengajak aku nikah. Konsentrasiku kali ini benar-benar buyar. Arkan menjelaskan materi juga tidak masuk ke otak. Masuk dari telinga kanan tapi kemudian keluar lagi dari telinga kiri.
Rasanya gue ingin nyuri kantong ajaib doraemon biar bisa mempercepat waktu dan Arkan segera keluar dari sini. Yaa Allah, tolong Selena Gomez yang sedang ketakutan ini.
"Sampai di sini, ada pertanyaan?" tanya Arkan pada seluruh mahasiswa.
Plis jangan ada yang nanya plis...
DAMN!
What the fuck?!!!
Orang gemuk yang duduk di depanku malah seenak jidat mengacungkan tangan dan bertanya. Sial! Pandangan Arkan malah jadi tertuju ke arahku. Meskipun matanya memperhatikan orang yang bertanya, tapi feeling-ku tetap saja tahu bahwa ekor matanya itu sesekali berpindah kepadaku.
"Pertanyaan yang bagus," ujar Arkan setelah si gemuk bertanya.
Gue kutuk lo jadi cacing kremi deh, Ndut.
Arkan memaparkan jawabannya dengan santai. Aku menghitung berapa lama dia menjawab pertanyaan si gemuk. Tidak tanggung-tanggung empat menit dia habiskan hanya untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"Ada lagi yang ingin bertanya? Masih ada waktu sepuluh menit."
Arrrrggghh...
Kenapa waktu berputarnya lama sekali? Sisa sepuluh menit pun masih Arkan manfaatkan. Bahuku melorot lemah, ingin cepat-cepat keluar dari ruangan ini dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.
"Tidak ada?"
Seluruh nahasiswa menggelengkan kepalanya.
"Baiklah, untuk pertemuan kali ini saya rasa cukup. Sampai bertemu minggu yang akan datang." Arkan membereskan laptopnya dan keluar dari ruangan kelas. Aku mendesah lega. Pasokan oksigen yang tadinya menipis sekarang bertambah lagi setelah keluarnya Arkan.
"Za, kenapa? Gue perhatiin dari tadi lo gelisah terus. Lagi ada masalah?" tanya Wulan seraya berdiri.
Aku menggeleng lemah. "Mau ke kantin, Lan?"
"Iya, gue belum sempet sarapan tadi."
"Nih, dari Fajar," kataku mengasongkan chunky bar pemberian Fajar ke Wulan. Ekspresi Wulan langsung berubah, lantas dia melirik Fajar yang sedang mengemasi bukunya. Fajar peka kalau sedang diperhatikan, Si Tongkat Fir'aun berbalik badan dan tersenyum hangat pada Wulan.
Kentara banget kalau Wulan grogi. "Thanks, ya Jar."
"Santai aja, Lan." Fajar berdiri sambil menyampirkan tasnya di bahu. "Itung-itung permintaan maaf, karena gue gak ngebeliin lo berdua oleh-oleh," cengirnya.
"Jahanam banget kan dia, Lan. Masa abis muncak kita cuma dikasih chunky bar. Gak modal banget," cibirku sambil ikut berdiri.
"Tadi pagi lo sarapan sama bon cabe yang level 30 ya, Za?"
"Kenapa emang?" tanyaku bingung.
"Mulut lo pedasnya gak setengah-setengah," seru Fajar melenggang pergi keluar kelas.
"Kampret!"
Fajar tertawa lalu balik badan. "Lo berdua makan duluan aja, gue mau bayar UAS dulu," imbuhnya.
Selanjutnya aku mengajak Wulan pergi ke kantin seperti niat awal tadi. Wulan lebih pendiam setelah aku memberinya cokelat tadi. Kayaknya sih, Wulan masih kepikiran soal perasaan Fajar.
"Lo masih awkward sama Fajar, Lan? Padahal tuh anak berusaha banget buat bersikap kayak biasa."
Wulan mengangkat bahunya seraya menghembuskan napasnya pelan. "Gue cuma bingung harus bersikap kayak apa sama Fajar, Za. Gue ngerasa bersalah udah nolak dia. Tapi, Fajar bersikap seolah-oleh dia gak pernah nembak gue dan ya... Kayak yang lo lihat tadi," tutur Wulan sedih.
"Lan, gue sih yakin maksud Fajar itu karena dia emang gak mau persahabatannya dengan lo ataupun dengan gue hancur cuma karena di antara kita saling terlibat cinta. Lo cuma butuh waktu buat memahami semuanya, Lan. Termasuk perasaan Fajar."
Memejamkan matanya, Wulan merangkul lenganku dan bersandar tanpa menanggapi ucapan sok bijak yang keluar dari mulut wangiku. Aku percaya, Wulan mengkaji ulang ucapanku dengan cara terbaik.
"Jajan apa, Lan?" tanyaku saat sampai di kantin.
"Bakso deh," jawabnya sambil duduk di salah satu deretan bangku kantin.
"Minumnya apa?"
"Teh manis," jawabnya lesu.
Ini hari apasih? Kok Aku sama Wulan sama-sama galau sekarang. Dia galau karena Fajar, sementara aku karena lelaki menyebalkan bernama Arkan. Memesan bakso dan teh manis masing-masing dua porsi, lalu bergabung dengan Wulan. Duduk kami saling berhadapan.
Mengecek ponsel, biasanya Arkan suka mengirim pesan via WhatsApp. Nothing is nothing. Satu menit aku menatap layar ponsel yang menampilkan chat terakhir aku dan Arkan tadi malam. Nihil, chat baru dari Arkan tidak ada. Padahal statusnya online.
Kegalauanku tak terhindarkan lagi. Nafsu makan hilang ditelan kejamnya Arkan yang ternyata mengabaikanku. Aku harus bagaimana sekarang? Chat duluan terus minta maaf? Aduh, please... Gengsiku setinggi gunung susah untuk aku daki.
"Sekarang gue yakin kalau lo juga punya masalah," cetus Wulan.
"Lan, menurut lo status itu penting gak sih?"
"Status?" Wulan mengernyitkan dahinya bingung. "Maksud lo status dalam hubungan. Kayak pacaran gitu?"
Aku mengangguk.
"Kalau buat cewek, gue rasa penting. Lo tahu sendiri cewek itu mikirnya pake hati bukan logika. Cewek pasti butuh kepastian, sedangkan cowok? Kayak yang gue pernah bilang, kalau nggak taken ya fake," ujarnya. "Emang kenapa? Status lo digantung Pak... Oops, sorry." Wulan nyengir, jarinya membentuk huruf V saat aku memelototinya. "Tapi, lo udah jadian belum sih sama dia?"
"Gak tahu," lirihku, menggeleng-gelengkan kepala. "Dia cuma nawarin gue komitmen tanpa status yang jelas."
"Doi udah nembak lo belum?"
"Bukan nembak sih, dia cuma ngutarain kalau dia cinta sama gue. And then, dia bilang mau komitmen sama gue."
"Sama aja, Za. Intinya dia jujur kalau cinta sama lo. Terus jawaban lo?"
"Gue bilang, gue masih ragu tapi pengin berusaha buat membuka hati gue," jawabku.
"Gue anggap hubungan kalian udah ke tahap pacaran," ucap Wulan mengutip kata pacaran.
"Tapi, dia gak mau bilang kalau kita itu pacaran."
"Ih, ribet banget. Awas lho kalau cowok gak mau pacaran siap-siap diajak ke pelaminan." Wulan terkikik sambil mengedipkan matanya untuk menggodaku.
Aku mendengkus. Teringat saat Arkan mengeluarkan jokes receh yang membahas soal jodoh dan pernikahan. Ah, Arkan!Kenapa semenyebalkan ini?
"Terus sekarang lo sama dia berantem?"
"Nggak berantem," koreksiku. "Cuma ... anu, pas dia masuk kelas gue lagi bercanda sama Fajar. Jarak gue sama Fajar, ya gitu pokoknya. Fajar ngapit kepala gue di sikunya."
"Oh gue tahu," seru Wulan mengacungkan telunjuknya. "Lo kepikiran doi cemburu?"
"Tepat. Soalnya kita udah bahas masalah deket-deket sama cewek atau cowok lain. Dia gak ngebatasi gue buat bergaul sama cowok termasuk Fajar asal ada batasannya. Gue ciut banget tadi sampai gak mau natap matanya."
"Nah, udah kemakan omongan sendirikan, lo?" sindir Wulan sinis. "Lo uring-uringan cuma karena takut dia cemburu sedangkan dulu bilangnya gak mungkin bakal suka sama dia. Pesona dia emang gak bisa lo abaikan gitu aja kan?"
Aku mengangkat bahu. "Terus gue harus gimana sekarang?"
"Udah coba lo chat?"
"Gue gengsi kalau nge-chat duluan. Selama kita deket juga dia yang selalu mulai duluan. Biasanya jam segini dia nge-chat gaje cuma nanya gue lagi apa. Tapi, sekarang? Ah, masa iya gue mulai duluan?"
"Kan emang lo yang salah," timpal Wulan. "Udah cepet lo chat, diambil Intan baru nangis kejer lo."
Benar juga.
Me : Pak...
Me : Bapak marah ya sama saya?
Aku tunggu sampai lima belas menit, Arkan tidak kunjung membalas. Tetapi, statusnya dia online. Ya Tuhan, semarah itu dia?
"Gimana?" tanya Wulan penasaran.
Aku menggeleng. Menggeletakkan ponselku di atas meja dekat bakso yang baru diantarkan.
"Dia sibuk kali, Za. Makan dulu deh sekarang," kata Wulan dengan raut menyemangati.
"Bodo amatlah! Gue gak mau terlalu baper, lagian dia sendiri yang bilang kalau gue boleh deket sama temen cowok, ya Fajar juga termasuk temen gue."
"Wajar dia cemburu. Lo-nya aja yang gak peka. Mana ada sih orang yang gak cemburu lihat pasangannya bercanda tapi berlebihan sama orang lain."
"OH GOD! Menurut gue itu gak berlebihan."
"Buat dia itu berlebihan, beb. Sekarang ada hati yang mestinya lo jaga, Za. Dia aja bisa ngejaga hati lo, terus kenapa lo nggak?"
Skak mat! Wulan kadang omongannya lebih tajam dari silet.
"Udah, sekarang makan," titahnya.
Sebaper-bapernya gue makan mah nomer satu.
Entah kenapa balasan pesan dari Arkan adalah sesuatu yang paling aku tunggu hari ini. Namun sampai jam kuliah berakhir, aku pulang ke kosan. Tidur siang satu jam, bangun-bangun aku langsung mengecek ponsel. Dan saat itu juga aku mengacak-acak rambut sambil teriak, karena pesanku yang masih diabaikan.
"Bodo amat! Bodo amat! Bodo amat! Arkan menyebalkan! Arkan Egois! Arkan kampret!"
Ting
Tepat setelah makian-makian itu meluncur mulut dari mulutku, balasan dari Arkan masuk. Curiga kalau dia bisa mendengar umpatanku yang ditujukan padanya.
Pak Arkan Galak : knpa? Maaf saya baru buka hp
What...? Cuma gitu doang balasannya!
Me : dari mana aja sih pak?
Pak Arkan Galak : habis ngajar saya diajak ikut workshop di Telkom
Me : soal tadi pagi saya minta maaf
Pak Arkan Galak : tadi pagi?
Me : saya cuma lagi bercanda sama Fajar
Pak Arkan Galak : ya
Me : Bapak marah ya?
Pak Arkan Galak : ngga
Me : klw ngga knpa blsnya singkat2?
Karena tiap balasan chatnya selalu lebih dari tiga suku kata.
Pak Arkan Galak : saya capek baru sampai kontrakan
Me : oh yaudah, maaf saya ganggu
Tekan tombol power, klik daya mati dan banting ponsel ke kasur.
Mau dimaafkan ataupun tidak, terserah. Yang penting aku sudah minta maaf.
©©©
Thanks^^