Batas waktu pendaftarannya tak terasa tinggal satu minggu lagi. Untunglah aku sudah menetapkan pilihan bahkan tepat pada hari pendaftaran resmi dibuka. Lebih tepatnya, aku takkan mengubah pilihan yang telah kuteguhkan sejak dua tahun lalu.
Aku memandangi sejenak kartu peserta ujian yang baru saja kucetak. Nama universitas itu kembali tertera, lalu diikuti oleh jurusan yang sebenarnya sudah kumiliki gambarannya di kampusku sekarang, yaitu Ilmu Hukum. Tulisan-tulisan itu tepat bersisian dengan pas foto ukuran 4 x 6 cm yang tak pernah kuubah sejak pertama kali mendaftar. Aku masih ingat waktu itu kacamata berbingkai coklat tua yang bertengger masih sangat baru. Rasanya model rambut bergelombang kecoklatanku pun tak berubah sejak dulu. Tetapi aku yakin segala sesuatu dalam diriku selalu berkembang seiring dengan waktu.
Aku sama sekali tak mau berhenti pada satu kali percobaan. Kegagalan pertama bukan berarti harus membuatku meninggalkan impian itu selamanya. Jalan menuju ke sana masih tetap ada, dan aku masih ingin terus mengejarnya. Suatu saat nanti, almamater kampus impian itu akan membuktikan perjuanganku selama ini.
"Erik, kamu mau coba lagi?"
Seperti biasa Ayah membuka percakapan saat makan malam di ruang makan yang sunyi. Aku tahu ia mengharapkan jawaban selain sekadar mengiyakan pertanyaannya. Di balik pertanyaan itu, Ayah pasti ingin mengetes tekadku dalam mempertaruhkan impian.
"Semua ini demi Ibu juga, Yah"
Tak banyak bicara lagi, begitu selesai makan aku kembali ke kamar dengan langkah yang sedikit terburu-buru. Pasti ini yang kulakukan setiap percakapan itu terjadi dengan Ayah. Sebisa mungkin aku menghindari obrolan panjang yang akan mengulang perdebatan seperti setahun lalu.
Saat itu aku hanya tertegun di sofa ruang tamu, menunduk tak berani menatap layar laptop. Apalagi Ayah yang sedang duduk di hadapanku. Aku menelan ludah yang hampir kering, rahangku sedikit gemetar. Tak pernah sedikitpun terbayang bahwa beginilah rasanya menelan kegagalan.
"Kamu kan udah dewasa, harus tau dong kapasitas diri kamu segimana. Ngga usah maksain diri."
Sebetulnya aku tak mengharapkan rangkaian kata-kata lembut berisi penenang dan penyemangat dari mulut Ayahku. Tetapi masalahnya bukan berarti aku mengharapkan Ayah berkata seperti itu. Ucapannya justru malah membuat suasana hatiku semakin muram.
"Tapi Erik ngga mungkin langsung menyerah," nafasku sedikit tertahan ketika dalam benak langsung terbayang wajah almarhumah Ibu, "Ayah tahu kan, yang namanya janji itu harus ditepati"
Ayah seharusnya sudah tahu alasanku tetap teguh pada pilihan dan perjuangan ini. Bukankah ia selalu mengajarkanku untuk menepati janji? Meskipun itu hal kecil seperti janji untuk mengembalikan alat tulis yang dipinjam dari teman.
"Ayah kasih tahu satu hal, ngga selamanya jadi ambisius itu membawa kamu pada kesuksesan. Kalau semua orang harus jadi ambisius untuk berhasil, untuk apa Tuhan ciptakan keberuntungan?"
Untuk pertama kalinya Ayah menyebut salah satu kata terlarang dalam hidupku. Keberuntungan, kata yang kumasukkan dalam daftar hitam meniti jalan menuju masa depan yang lebih cerah. Dan kata itu pula yang menjadi pemantik emosiku.
"Erik ngga akan pernah jadi seorang oportunis. Erik percaya siapapun akan berhasil dengan berusaha dan berdoa."
"Kamu pikir bisnis Ayah bisa sukses semata-mata karena dua hal itu aja?" Ayah memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih tegap, "Kamu pikir manusia harus terus jadi idealis untuk bisa berhasil?"
Suasana pun mengeruh. Aku suka berargumen, namun bukan berarti menikmati perdebatan seperti ini. Apalagi dengan orang tuaku sendiri. Bagaimanapun egoisnya Ayah mempertahankan pendapat, mau tidak mau aku harus mengalah. Untuk saat ini, aku mengalah dalam perdebatan. Tapi tidak dengan mengejar impian masuk universitas dambaanku. Juga dambaan Ibu.
Setiap muncul kata 'Ibu', dalam pikiranku selalu tergambar senyumnya yang lembut, dan dapat melembutkan seluruh perasaanku. Munculnya wajah cantik Ibu seolah dapat menetralisir kilas balik kelam perdebatanku dengan Ayah setahun lalu.
Bagiku, yang tergambar tentang Ibu adalah sosoknya yang selalu terbaring di rumah sakit. Sesekali mampir juga dalam ingatan aroma tubuh Ibu bercampur dengan bau khas obat yang selalu diminumnya. Aku masih ingat persis seperti apa aromanya.
Lalu malamku dipenuhi oleh kilas balik tentang sosok wanita yang sangat kukagumi itu. Ibu adalah satu-satunya orang yang membuatku teguh menggenggam impian. Ia tak lepas tangan begitu saja setelah bersusah payah membesarkanku secara fisik hingga menjadi semakin dewasa. Ibu juga membesarkan semangatku. Tak peduli meski dialah yang seharusnya kuberi semangat agar tak menyerah dengan penyakitnya.
"Dulu Ibu juga pengen banget masuk universitas itu. Tapi belom pernah kesampean karena udah keburu dijodohkan sama ayahmu"
Ternyata secara kebetulan, aku dan Ibu sama-sama ingin masuk universitas nomor satu di Indonesia itu. Mungkin kalau aku tak mengungkapkan ambisi itu, aku takkan pernah tahu bahwa Ibu juga pernah merasakan hal yang sama.
Setiap mengobrol bersama Ibu, nama universitas yang kudambakan selalu muncul dalam sela-sela obrolan. Dan setiap kali itu terjadi, batinku dengan reflek mengucapkan, "Aku harus kuliah di sana demi mengukir nama Ibu dengan pengabdianku sebagai mahasiswa".
"Erik, belajar yang rajin ya. Jangan lupa berdoa. Percayalah bahwa usaha itu sejalan dengan buah yang akan kamu petik," tangan kiri Ibu yang sedikit gemetaran membelai kepalaku dengan lembut. Telapak tangannya begitu lembut menyapu pipi kananku. Perlahan ia mengukir senyum simpul sambil meringis menahan sakit yang entah terasa di mana.
Mulai saat itulah aku telah berjanji pada diriku sendiri, suatu saat nanti, tubuhku akan terbalut oleh jas almamater kampus idamanku. Logo yang terpasang tepat di tempat jantungku berada akan menggantikan Ibu membesarkan semangatku menuju masa depan .
Foto Ibu berpigura coklat gelap yang sesekali kuelus itu kembali kuletakkan di atas meja belajar.
Tak mau membuang waktu lebih banyak lagi, segera aku mengambil buku latihan soal ujian masuk universitas negeri dan melanjutkan belajarku yang sempat tertunda karena kilas balik panjang tadi.