Previous
"Honey, ini sepupuku. Namanya Kim Yoonhee." Bobby menatap calon istrinya ysng menatap objek di depannya terkejut.
"Kim Chanmi..." Bobby bisa mendengar suara lirih adik sepupunya yang menyebut sebuah nama yang familiar di telinganya.
"Kim Yoonhee..." Bobby berbalik menatap kekasihnya yang menggumamkan nama adik sepupunya.
'Ada apa ini sebenarnya?' Bobby bergumam bingung.
Happy reading!!!
Author POV
"Dunia sangat kecil ya? Kita bertemu dengan keadaan seperti ini." Chanmi memulai percakapan di antara mereka. Yoonhee mengangguk singkat.
"Benar. Lama tidak bertemu denganmu. Kau hilang seperti di telan bumi. Dan bertemu lagi sebagai calon istri sepupuku. Kau banyak berubah sekarang. Kau lebih baik." Yoonhee tersenyum ke arah gadis yang seusia dengannya itu.
"Terima kasih. Aku banyak belajar dari pengalamanku. Hidup penuh kelicikan tidak akan menghasilkan apapun. Aku sangat terkejut melihat keadaanmu sekarang. Kau sedang hamil? Apa kau sudah menikah?" Yoonhee mengangguk menanggapi ucapan Chanmi. Tangannya mengelus perutnya yang hampir membuncit.
"Ya, begitulah. Aku sudah menikah walau karena keadaan. Aku hamil. Kalau kau bertanya siapa pria itu, kau tahu pasti siapa orangnya." Chanmi menutup mulutnya. Pertanyaannya tertahan di tenggorokannya.
"Siapa? Aku tidak akan tahu siapa orangnya jika kau tidak memberitahuku." Yoonhee menghela nafas. Entah kenapa dia jadi ingin sangat terbuka pada teman masa SMP-nya ini. Padahal dulu mereka selalu bertengkar.
"Kim Doyoung." mata Chanmi membulat. Mulutnya terbuka dan membentuk huruf O. Dia tidak habis fikir Yoonhee menikah dengan sahabatnya sendiri.
"Tidak mungkin. Tuhan memang sangat adil pada kalian. Walau aku dan Jennie berusaha memisahkan kalian lima tahun lalu, Tuhan tetap menyatukan kalian dengan cara lain. Aku juga ingin minta maaf untuk kejadian lima tahun lalu. Aku menghancurkan persahabatanmu dan Doyoung." Yoonhee menggeleng pelan. Dia sekarang bisa lebih mengerti Chanmi di usianya yang cukup dewasa ini.
"Tidak perlu mengungkit masa lalu. Aku mendapat ceramah dari seorang kakak. Katanya jangan pernah berbalik ke masa lalu karena kau akan terjebak di dalamnya dan sulit untuk kembali ke masa depan. Jadi lihat saja masa depan. Masa depanmu adalah Jiwon oppa." Chanmi tersenyum melihat gadis ini.
"Kau benar. Terima kasih kau mau memaafkanku." Yoonhee hanya mengangguk.
"Apa kau... masih menyukai Hanbin?" Yoonhee bertanya dengan hati-hati. Chanmi mengulum sebuah senyum.
"Bagaimana denganmu? Apa kau masih menyukai Youngmin sunbae?" Yoonhee menggeleng kuat.
"Tidak. Aku sudah lama tidak mengingat nama itu." Chanmi malah makin tersenyum lebar.
"Begitu juga aku. Aku tidak mungkin mau berkomitmen dengan kakak sepupumu jika aku masih memiliki perasaan pada Hanbin. Dia hanya bagian dari masa remajaku yang tidak mungkin ku lihat lagi." Yoonhee mengangguk. Chanmi terlihat lebih dewasa setelah lima tahun tidak bertemu.
"Arrayo. Semoga kau bahagia bersama Bobby oppa. Kau terlihat lebih dewasa di banding aku sekarang. Apa aku yang masih kekanakkan ya?" Yoonhee sedikit bergurau pada Chanmi.
"Mungkin." mereka tertawa bersama. Sangat mustahil melihat momen ini mengingat jika mereka dulu adalah musuh bebuyutan.
***
Doyoung memasuki kamarnya dan Yoonhee pelan. Dia merebahkan diri di ranjang itu asal. Dia amat sangat lelah akan aktivitasnya hari ini. Kuliah, meeting dan lain sebagainya membuatnya lelah setengah mati. Dia hanya ingin istirahat.
Jam segini biasanya dia mengawasi Yoonhee makan malam. Setelah mengawasinya dia memberikan susu dan menemaninya hingga dia tidur. Kadang gadis itu juga terbangun di tengah malam. Kebiasaan yang memang sudah ada sejak gadis itu kecil dan tidak bisa di rubah. Entah di turunkan dari siapa kebiasaan buruk itu.
'Bisa kita bertemu besok? Aku ingin mengatakan sesuatu.'
Doyoung membaca sederet pesan yang di kirimkan Jennie padanya. Rasanya dia sangat bahagia bisa melihat Jennie lagi setelah lima tahun. Kenangan selama lima tahun yang tidak bisa terhapus begitu saja di benaknya. Atau dia yang tidak ingin menghapusnya?
Doyoung dengan segera membalas pesan yang di kirimkan Jennie. Dia harus meluruskan perasaannya yang kacau dan jiwanya yang tegang. Jiwanya tegang karena bingung. Bingung siapa yang ada di hati dan fikirannya. Di satu sisi, ia mencintai Jennie dengan segenap jiwa dan raganya. Dan di sisi lain, dia menyayangi Yoonhee melebihi rasa sayangnya kepada dirinya sendiri.
Apa yang harus di perbuatnya? Apakah ia harus mengikuti kata hatinya tanpa mengabaikan logikanya? Ataukah ia harus mengikuti kata hatinya saja? Atau ia harus bertanya pada Tuhan? Apakah Tuhan memiliki jawaban atas semuanya?
***
"MWOYA?! Jiwon oppa akan menikah dengan Kim Chanmi?!" Yoonhee mengangguk menanggapi teriakkan dua sahabatnya. Momo yang melihat dua temannya yang lain hanya menatap bingung. Siapa sih Kim Chanmi itu?
"Dia berubah banyak sekarang. Dia juga jadi makin cantik dan yah lebih dewasa. Aku juga terkejut saat melihatnya. Mereka menikah bulan depan." Hayoung dan Joy mengangguk. Jika Yoonhee berani mengatakan hal itu, berarti Chanmi memang sudah berubah.
"Tunggu dulu, siapa Kim Chanmi itu? Apa dia teman kalian?" Momo menginterupsi percakapan mereka bertiga dengan pelan.
"Dia bukan teman kami. Kami hanya satu sekolah waktu SMP. Dia dulu menyukai pria yang paling tersohor di sekolah. Ya bisa di bilang musuh Doyoung dalam bidang musik walau aliran yang mereka tempuh berbeda." Momo mengangguk mengerti.
"Dia meminta maaf padaku kemarin. Dia minta maaf karena sudah membuat persahabatanku dan Doyoung hancur. Tapi itu percuma saja bukan? Walau tanpa di hancurkan sekalipun, kami akan tetap berpisah." Yoonhee menerawang. Tatapan matanya kosong dan tidak memiliki bayangan apapun di sana.
"Jangan seperti itu. Jangan banyak fikiran. Kasihan kandunganmu. Kalau kau stres, bayinya juga ikut stres." Hayoung memperingatkan sahabatnya itu. Yoonhee mengangguk mengerti.
***
Doyoung menatap gadis di hadapannya lembut. Wajah Jennie terlihat cantik dengan polesan blush on di pipinya dan lipstick peach di bibir tipisnya. Doyoung seakan terperangkap lagi pada kecantikan abadi itu. Dia ingin tetap terperangkap di dalamnya. Tidak peduli apapun yang terjadi, dia hanya ingin seperti ini saja.
"Doyoung-ah, aku ingin mengatakan ini sebenarnya dari beberapa minggu yang lalu. Sebenarnya aku..." Doyoung dengan setia menunggu apa yang ingin di ucapkan Jennie padanya. Entah kenapa ia jadi gugup begini. Apa Jennie ingin menyatakan perasaan padanya? Mengingat hubungan mereka lima tahun yang lalu kandas di tengah jalan karena gadis itu yang memilih sekolah ke New Zealand.
"Sebenarnya aku... menyukaimu." bingo. Tebakan Doyoung sangat akurat. Dia ingin menjerit kepada seluruh dunia bahwa dia juga menyukai-tidak. Dia mencintai gadis di hadapannya ini. Seketika bibirnya melengkung ke atas, tersenyum.
"Aku juga. Aku juga menyukaimu. Tidak, aku mencintaimu. Aku mencintaimu Kim Jennie. Aku sangat amat mencintaimu." Jennie melengkungkan sebuah senyum manis. Pipinya merona merah. Blush on dan semburat merah yang berasal dari pipinya menjadi sesuatu yang menggemaskan bagi Doyoung.
"Jadi?" Jennie bertanya. Bukankah dua orang yang saling menyukai harusnya meresmikan hubungan mereka?
"Kita memiliki hubungan. Memulai seperti lima tahun lalu?" Doyoung memberikan kepastian dari pertanyaan ambigu Jennie itu. Jennie tersenyum. Pria itu cepat tanggap pada apa yang di inginkan oleh hati Jennie.
"Apa kita bisa berkencan sekarang? Aku... sangat bahagia saat ini." Doyoung tersenyum lembut. Dia mengacak rambut Jennie yang terurai. Rasanya dia amat bahagia saat ini. Dia seolah melupakan nasihat ibunya dan lebih mendengarkan kata hatinya.
Sekali lagi Doyoung terjerumus akan kesalahannya. Dia selalu kalah oleh kata hatinya. Memang seperti itulah manusia. Terjerumus pada pilihan yang salah. Andai penyesalan datang di awal bencana, tidak mungkin ada kata penyesalan dalam kamus bahasa manapun di dunia ini.
***
Yoonhee menonton acara kartun kesukaannya di temani Jongin. Mata Jongin sudah merah karena mengantuk. Ini sudah jam satu pagi dan adiknya malah mengajaknya menonton kartun yang membosankan.
"Yoongiie-yya, ayo tidur. Kau tidak lelah? Nanti bayimu mengantuk. Jangan suka terbangun di tengah malam lagi. Itu kebiasaan tidak baik. Ayo tidur." Yoonhee menggeleng. Dia mengerucutkan bibirnya dan menatap kakaknya kesal.
"Oppa! Aku masih mau nonton Astro Boy. Film-nya masih panjang dan aku belum mengantuk sekarang. Aku bosan di ranjang ini terus. Aku ingin keluar. Boleh kan, oppa?" Yoonhee menatap kakaknya penuh harap. Jongin menggeleng.
"Kau hanya boleh keluar saat Doyoung mengatakan 'ya'. Jika tidak, maaf. Kau tidak boleh keluar." Yoonhee hanya diam. Dia lebih memilih kembali menonton. Matanya sedikit sayu karena mengantuk. Jongin yang melihat adiknya menggeleng. Mungkin adiknya tersiksa dengan keadaannya saat ini.
"Yoongiie-yya, apa kau lih—" Jongin menghentikan ucapannya saat melihat adiknya yang sudah tertidur. Wajahnya sangat damai. Jongin mengelus pipi adiknya pelan dan menyelimutinya. Dia beranjak meninggalkan kamar adiknya.
***
"Silahkan masuk Doyoung-ah. Yoongiie masih tidur saat ini. Hari ini check up kandungan, ya?" Doyoung mengangguk. Terlihat ibu mertuanya menatapnya dengan senyum lembut yang mengingatkan Doyoung akan senyum Yoonhee. Ah, wajar. Dia kan ibunya. Senyumnya pasti sama persis.
Doyoung memasuki kamar istrinya. Seluruh interior kamar itu berubah. Dua bulan lalu, di pojok sana ada mini pantri dan kulkas kecil. Tapi yang ada sekarang malah lemari bayi dan spot main untuk bayi. Oh, box bayi. Apakah ini semua di siapkan untuk bayi mereka? Ah, Doyoung jadi tersipu mendengar kata 'bayi mereka'.
Yoonhee masih terlelap di ranjang miliknya. Padahal ini sudah jam tujuh pagi. Doyoung biasanya membangunkan gadis itu jam enam tiga puluh dan menyuruhnya mandi. Tapi di rumahnya, dia di manjakan seperti ini. Doyoung tidak ingin bayinya nanti memiliki masalah kesehatan. Benarkah Kim Doyoung? Kau peduli pada bayimu atau pada orang yang mengandung bayimu? Sisi baik dirinya seolah ingin memusuhinya di minggu pagi yang cerah ini. Persetan dengan siapa yang dia khawatirkan. Yang pasti tidur di pagi hari tidak baik untuk kesehatan.
"Yoonhee-yya, bangun. Ini sudah jam tujuh. Kau harus mandi dan sarapan. Ayolah..." Doyoung mengguncangkan tubuh gadis itu pelan. Sebenarnya Yoonhee sudah tidak pantas lagi di sebut seorang gadis. Dia sudah kehilangan identitasnya sebagai seorang gadis karena insiden yang melibatkan Doyoung.
"Eeeuuuhhh~" Yoonhee bergumam lirih. Mata bulat cokelatnya mengerjap pelan. Doyoung menatapnya dan berkacak pinggang seolah-olah dia marah.
"Ayo bangun. Kau tidak boleh bangun siang seperti ini. Ayo..." Doyoung menarik tangan Yoonhee untuk bangun. Yoonhee menggeleng pelan.
"Aniyo. Aku masih mengantuk. Aku mau tidur." Doyoung menarik leher Yoonhee dan merebahkan tubuh istrinya di sandaran ranjang.
"Ayo bangun. Hari ini check up kandungan. Kau harus mandi dan sarapan. Tidur di pagi hari tidak baik untuk kesehatanmu. Ayo bangun." sekarang Doyoung sedikit menepuk pipi istrinya itu. Yoonhee langsung membelalakkan matanya karena terkejut.
"Bangun. Mandi dan sarapan setelahnya check up kandungan." Yoonhee mengangguk pasrah. Tidak tahu kenapa sejak dia di nikahi oleh pria itu dia jadi wanita yang penurut. Apalagi pada setiap perkataan Doyoung.
"Hmmm..."
***
"Pergerakan bayinya sangat aktif. Lihat. Apakah anda merasakan pergerakannya, nyonya Kim? Ruang geraknya semakin sempit sekarang seiring perkembangan tubuhnya. Usianya sudah lima bulan lebih seminggu." Yoonhee menatap takjub bayi yang terlihat dari ultra sonografi itu. Matanya berkaca-kaca karena kegembiraan yang tidak bisa di definisikan.
Doyoung tidak tahu kenapa, tapi hatinya seperti akan melompat keluar karena melihat hasil USG Yoonhee. Itu bayinya. Hasil dari ketidaksengajaan kedua orang tuanya yang sekarang tengah berlindung di rahim Yoonhee. Rasanya hatinya menjerit karena saking bahagianya. Rasanya jutaan kali lebih menyenangkan daripada pertemuannya kembali dengan Jennie setelah lima tahun tidak bertemu. Ini perasaan yang bahkan mungkin tidak bisa di gantikan dengan kebahagiaan lain di dunia.
"Jaga kandungan anda dengan baik, nyonya Kim. Mengingat anda pernah terjatuh sebelumnya dan kandungan anda yang memang lemah memperparah semuanya. Anda juga harus menjaga fisik anda sendiri. Selamat menjalankan kehamilan anda." dokter pria itu tersenyum sopan pada Yoonhee.
"Baiklah dok. Terima kasih atas saran anda." Yoonhee bangun dari pembaringannya. Doyoung membantunya.
"Anda juga harus memperhatikan istri anda, tuan Kim. Istri anda sudah mengatur asupan makanan dengan sangat baik sejauh ini. Yang perlu anda lakukan adalah memberikan dukungan terhadap istri anda." Doyoung tersenyum canggung.
***
Tanpa terasa dua bulan sudah Yoonhee tinggal di rumah orang tuanya. Sejauh ini, tidak ada yang berubah. Yoonhee yang tetap tinggal di tempat tidurnya dan Doyoung yang sibuk akan tugas kuliah dan 'kencan' bersama Jennie. Ketiga sahabat Yoonhee tahu akan hal itu, tapi mereka tidak memberitahukannya kepada Yoonhee. Mereka takut terjadi sesuatu pada kandungannya dan berimbas pada Yoonhee sendiri. Ten berusaha memberikan nasihat pada teman yang sudah di anggapnya seperti kakak itu.
"Tidak bisakah kau hanya memilih salah satu saja? Jika semuanya terbongkar, Yoonhee lah yang paling menderita. Kau juga harus memikirkan bayi kalian. Kau... memiliki dua muka di depan keduanya. Kau bersikap seperti pria beristri yang penuh tanggung jawab kepada Yoonhee dan bersikap seperti pria yang di mabuk asmara di depan Jennie. Bersikaplah dewasa. Jangan sakiti salah satu di antara keduanya. Lepaslah yang mana menurutmu tidak begitu menyakitkan bagimu." Doyoung tergugu. Yang mana yang harus di lepasnya? Dia tidak bisa memilih. Sungguh ini pilihan paling berat yang pernah di sodorkan padanya. Memilih antara tanggung jawab atau cinta. Keduanya sama-sama penting.
"Izinkan aku bertanya satu hal. Apa kau memikirkan Yoonhee saat kau bersama Jennie? Apa kau memikirkan Jennie saat kau bersama Yoonhee?" itu adalah pertanyaan padu yang hanya di bolak-balik namanya saja. Apakah ia memikirkan Yoonhee saat bersama Jennie? Ya, dia memikirkan wanita itu. Wanita yang saat ini tengah mengandung benih yang di tanamkan Doyoung di rahimnya. Lalu, apakah ia memikirkan Jennie saat bersama Yoonhee? Entah, dia tidak tahu. Sejauh ini dia tidak pernah memikirkan Jennie ada di benaknya saat bersama wanita itu. Yang ada hanyalah rasa bahagia karena ia akan menjadi seorang ayah. Ya, seperti itu.
"Ya dan tidak. Aku memikirkan Yoonhee saat bersama Jennie dan tidak memikirkan Jennie saat Yoonhee ada di sisiku." Ten mengulum senyum indah. Benar dugaannya.
"Kenapa kau mengulum senyum begitu? Apa ada sesuatu yang lucu?" Ten menggeleng.
"Tidak. Tanyakan pada hati nuranimu, siapa yang lebih pantas mendapatkan perhatian darimu. Yoonhee mungkin salah di matamu, tapi dia sepenuhnya benar. Lihatlah jauh ke dasar matanya dan carilah setitik saja kebohongan dari matanya. Jika menemukannya, beritahu aku." Ten berlalu dari apartemen yang di tinggali Doyoung.
Doyoung hanya terdiam mendengar semua petuah dari Ten. Mata? Bukankah mata cerminan dari hati kita? Apakah dia bisa membaca setitik kebohongan saja dari mata Yoonhee?
***
"Oppa, ayo kita ke klub. Aku sudah lama tidak ke sana. Aku sangat rindu pada semua gemerlap itu." Jennie menarik Doyoung menuju sebuah klub di daerah Gangnam. Ah sudah hampir lima bulan dia tidak menginjakkan kaki di klub malam. Dia hanya terfokus pada Yoonhee dan bayinya saja. Tidak pernah terfikir untuk senang-senang.
Bau alkohol dan segala bau menyengat meninju hidung Doyoung. Para remaja di bawah usia tujuh belas tahun dan manusia yang mungkin seusia dengannya atau bahkan berusia di atas tiga puluhan berkumpul di sini. Para wanita penjajah tubuh yang siap menempel pada calon pelanggan mendekat padanya. Dia sedikit beruntung karena Jennie langsung menepis tangan jalang itu dari tubuhnya.
"Pergilah jalang. Cari mangsa lain." Doyoung sedikit terkejut mendengar umpatan yang di berikan Jennie pada pelacur-pelacur itu.
"Kkaja oppa." Doyoung mengangguk. Mereka duduk di kursi dekat meja bartender sekedar untuk melihat lautan manusia yang tengah berada di dance floor.
"Vodka satu." suara keras menyapa pendengaran Doyoung. Doyoung menoleh. Di dapatinya seorang gadis yang merupakan sahabat istrinya tengah memesan Vodka. Doyoung seketika menundukkan wajahnya.
"Kim Doyoung? Ini benar-benar kau? Bersama Kim Jennie?" percuma. Ternyata dia sudah di ketahui oleh Hayoung. Apakah gadis itu pergi bersama kekasihnya?
"Ini benar-benar kau. Aku tidak menyangka kau masih berhubungan dengan Jennie. Kau harus ingat, aku tidak bisa menyembunyikan bangkai ini terus menerus. Baunya akan tercium sekeras apapun kau dan bahkan kami semua menyembunyikannya. Hubunganmu dan Yoonhee bisa di ambang kehancuran. Dan kau hanya bisa meratapinya nanti. Ada Junhong di sini. Pergilah sebelum dia mengetahui ini dan memberitahukannya pada sepupunya." Doyoung terkejut mendengar nada khawatir dari Hayoung.
"Hayoung-ah, kau—"
"Aku melakukannya untuk Yoonhee. Bukan untukmu dan Jennie. Usia kandungannya sudah tujuh bulan. Dia pasti syok saat mengetahui hal ini. Pergilah!" Hayoung berteriak. Matanya nyalang menatap suami sahabatnya yang 'bermain' di belakang Yoonhee.
"Ayo Jennie-yya, kita pulang. Aku tidak bisa di sini." Jennie menatap Doyoung bingung. Ada apa ini? Kenapa sebentar sekali. Mereka saja bahkan belum minum apapun. Duduk saja baru lima menit, tapi Doyoung sudah mengajaknya keluar dari klub ini.
"Ada apa oppa? Kau tidak suka klub-nya? Bukankah kita pernah ke sini lima tahun lalu? Tapi kenapa kau seperti tidak suka begitu?" Doyoung bingung. Tidak mungkin dia bilang kalau ada sepupu dan sahabat istrinya di klub itu. Jennie bahkan belum tahu status dirinya yang sudah beristri.
"Tidak, bukan begitu. Aku suka ke klub. Tapi ku rasa tempat itu tidak cukup romantis untuk kita. Kau tahu, kan?" Doyoung memegang bahu Jennie lembut. Jemarinya merapikan helaian rambut Jennie yang kusut karena terpaan angin musim dingin.
Doyoung mempertipis jarak di antara mereka. Mata mereka yang terpejam memberikan kode satu sama lain untuk diam dan membiarkan jantung mereka berdetak. Bibir mereka menyatu sempurna. Pelan namun pasti, Doyoung melumat bibir tipis pualam milik Jennie. Menekan tengkuk gadis itu agar memperdalam ciuman mereka.
'Doyoung-ah...'
'Aku mau hotteok. Sekarang.'
'Ice cream mint. Aku mau itu sekarang.'
Bayangan dan suara-suara manja milik Yoonhee terngiang di benaknya. Matanya yang semula terpejam kembali terbuka. Lumatan pada bibir Jennie terhenti begitu saja kala suara dan kenangannya bersama Yoonhee memenuhi otaknya. Seketika semuanya buyar dan tidak tahu harus bagaimana. Hanya ada nama Yoonhee di benaknya dan hatinya terus menggumamkan nama wanita itu. Hanya dia.
Jennie menjauhkan dirinya dari Doyoung. Matanya nyalang menatap kekasihnya yang menghentikan ciuman panas mereka. Mata Doyoung yang kosong dan terlihat melamun membuat gadis berusia hampir dua puluh satu tahun itu terdiam. Apa yang di lamunankan Doyoung?
"Oppa, ada apa? Kenapa kau melamun? Kau menghentikan ciuman panas romantis kita." lamunannya baru buyar karena interupsi yang di lakukan oleh Jennie. Seketika dia kembali ke alam bawah sadarnya.
"Ah, itu. Aku hanya memikirkan tugas kuliah dan proyek yang kita lakukan. Ya, hanya itu. Kau tenang saja." Doyoung mengelus rambut blonde milik Jennie lembut. Jennie hanya mengendikkan bahu tidak peduli. Sedangkan Doyoung masih memikirkan apa yang terjadi dengan dirinya tadi. Kenapa bayangan Yoonhee dan suara Yoonhee terngiang-ngiang di otaknya? Dan kenapa di saat bersama Jennie?
***
Hanbin kembali meneguk wine yang entah ke berapa gelas. Kenapa suara gadis itu yang mengatakan bahwa dia sudah menikah masih terbayang di benak Hanbin? Kenapa gadis itu tidak mengerti sama sekali akan hatinya? Tidakkah gadis itu tahu bahwa dia mencintai gadis itu melebihi hidupnya sendiri? Dia bahkan rela menaklukkan dunia demi gadis itu. Bahkan jika gadis itu memintanya untuk memberikan harta yang tidak ada duanya di dunia ini, Hanbin siap memberikannya. Hanya untuk gadis itu seorang.
"Aku minta lagi!" dia berteriak kencang. Matanya sayu dan mulutnya bau alkohol. Seorang pelayan wanita mendekat padanya dan memberikan gelas itu dengan tidak ikhlas.
"Pulanglah tuan. Aku di perintahkan oleh bosku untuk menutup klub ini. Anda adalah pelanggan terakhir kami. Silahkan minum, bayar dan pulanglah." gadis itu berujar ketus. Bibirnya berkomat-kamit karena kesal pada pelanggan klub yang satu ini. Dia selalu pulang paling akhir karena bosnya menyuruhnya untuk menutup klub itu.
"Kenapa kau melakukan itu Yoonhee-yya? Tahukah kau bahwa aku sangat mencintaimu? Dulu aku kalah oleh Youngmin sunbae. Sekarang aku kalah oleh si ikan duyung itu. Memangnya apa lebihnya pria-pria itu? Youngmin sunbae hanya membuatmu sakit dengan penolakannya dan si ikan duyung itu menuduhmu yang tidak-tidak. Padahal dia itu sahabatmu. Kalian harusnya hanya bersahabat bukannya menikah dan sampai akan memiliki anak. Kau menyakitiku..." gadis pelayan itu hanya menggeleng. Mengigau lagi.
"Mereka menikah pasti karena saling mencintai. Kenapa anda harus marah? Gadis bernama Yoonhee itu bebas menentukan kebahagiaannya. Jika anda mengatakan bahwa apa lebihnya pria yang di sukai oleh gadis yang anda cintai maka anda berkacalah. Apakah anda sudah cukup pantas untuknya? Apakah dia pilihan terbaik bagi anda? Pasti gadis itu memiliki alasan kenapa dia menolak anda. Dia yang merasa tidak cukup pantas bagi anda atau anda yang tidak cukup baik untuknya." entah kenapa gadis itu memberikan nasihat pada Hanbin. Dia hanya ingin saja. Mendengar ocehan pria itu setiap malam membuatnya kesal sekaligus kasihan akan nasib cinta pria itu.
"Dia tidak cukup pantas untukku? Dia itu sangat ideal menurutku. Dia cantik, ramah, pintar memasak, pandai, bijaksana dan dia benci gosip murahan. Dia itu tipe ideal para pria untuk di jadikan seorang istri." gadis itu terperangah. Pelanggannya yang mabuk ini membalas ucapannya. Ya ampun. Dan yang lebih membuat gadis itu terkejut adalah sifat wanita yang di sebut-sebut itu. Cantik, ramah, pintar memasak, pandai, bijaksana dan benci gosip. Ya ampun, itu merupakan sifat gadis yang paling ideal. Itu adalah tipe gadis realistis.
"Atau mungkin anda yang tidak cukup baik untuknya?" gadis itu bertanya takut-takut. Hanbin mendengus.
"Aku tidak cukup baik? Aku ini sangat baik untuknya. Di bandingkan si ikan duyung itu, aku bahkan sudah mempersiapkan semuanya untuk Yoonhee. Kemewahan, harta, dan sebagainya. Dia hanya duduk diam dan semuanya terpenuhi dengan baik." gadis itu menggeleng.
"Kemewahan bukanlah satu-satunya yang bisa di jadikan acuan. Mungkin gadis itu bukan tipe materialistis? Jika anda menawarkan semua kemewahan itu pada gadis materialistis, itu baru berhasil. Jangan ukur semua gadis karena kemewahan dan materi. Itu membuat seorang gadis akan menjadi marah dan sensitif." gadis itu berujar pelan lalu meninggalkan Hanbin sendiri.
***
Sooyoung mengusap wajahnya kasar. Saat ini ia tengah menghadapi putrinya yang tengah berubah seperti anak taman kanak-kanak. Saat Sooyoung membawakan sarapan dan susu, putrinya meminta untuk memotong rambutnya. Ya Tuhan, itu adalah hal yang paling tidak boleh di lakukan wanita hamil.
"Eomma..." Sooyoung tetap menggeleng. Matanya mendelik agar putrinya berhenti merengek.
"Tidak bisa. Tunggulah dua bulan lagi, ya? Kau bisa memotong rambutmu sependek yang kau mau. Hanya saja jangan sekarang. Mengerti?" Yoonhee mengerucutkan bibirnya imut. Matanya mengerjap imut kala permintaannya tidak di kabulkan.
"Eomma! Hiks hiks. Aku ingin rambut pendek. Eomma..." Sooyoung tetap bergeming.
***
Ten dan Momo tengah berada di pusat perbelanjaan sekarang. Mereka harus pulang ke negeri masing-masing untuk mengunjungi orang tuanya. Ten tengah memilih tas yang cocok untuk ibu dan adik perempuannya.
"Chagi, apa ini cocok untuk mae ku?" Momo yang melihatnya menggeleng. Tas Gucci warna maroon dengan motif dan bentuk ala anak muda tidak cocok untuk ibu rumah tangga.
"Bagaimana dengan dompet ini? Ini sangat elegan. Okaa-san mu pasti suka dengan dompet ini. Warnanya hijau metalik. Bila terkena sinar matahari dia akan berkilauan. Bahannya juga dari bahan sintetis yang tidak akan rusak kalau terkena air. Yang pasti harganya pas di kantong." Momo tersenyum mengucapkan kata terakhirnya.
"Iya, kau benar. Ini sangat bagus. Bisa kau rekomendasikan hadiah untuk norng saw ku?" Momo menatap kekasihnya bingung.
"Untuk imotou-chan mu? Baiklah. Bagaimana jika pakaian saja? Itu bisa menambah koleksi pakaian untuknya selain bisa di pakai, dia bisa tahu apa mode yang paling trend di Korea saat ini." Momo menarik Ten menuju tempat pakaian wanita.
"Ini. Cocok kan untuk imotou-chan mu? Seksi tapi tidak begitu mengumbar bentuk tubuh. Walau bagaimanapun, kalian tetaplah orang Asia Tenggara yang masih memegang adat budaya melayu. Ini. Berapa ukuran tubuh imotou-chan mu?" Ten berfikir. Mungkin adiknya memiliki tubuh yang sama seperti Yoonhee?
"Dia seperti Yoonhee. Iya, perawakannya seperti Yoonhee." Momo membelalak. Dia tidak habis fikir adik Ten segemuk itu?
"Yang benar? Dia gemuk begitu? Ya ampun aku tidak habis fikir. Maaf aku salah merekomendasikan pakaian." Momo buru-buru meletakkan pakaian yang telah di pilihnya tadi. Ten bingung.
"Norng saw ku tidak gemuk. Yang ku maksud seperti Yoonhee adalah tubuhnya Yoonhee sebelum dia hamil. Tubuh norng saw ku sangat mirip sepertinya. Bahkan tinggi badannya juga. Mereka sangat mirip." Momo mengangguk. Dia fikir adik Ten itu gemuk. Secara tubuh Yoonhee sekarang sangat gemuk seiring usia kandungan yang semakin membesar.
"Oh, ku kira dia gemuk. Jika segitu ukuran pakaian ini cukup untuknya. Bagaimana kalau memberikan hadiah untuk Yoonhee dan bayinya? Kita pasti masih di negara kita masing-masing saat dia melahirkan. Bagaimana?" Ten berfikir sejenak. Ada benarnya juga. Mereka pasti ada di negaranya sendiri saat Yoonhee melahirkan.
"Baiklah. Bagaimana kalau memberikan hadiah yang berkesan untuk bayinya? Apa jenis kelaminnya? Kita juga sepertinya berhak atas bayi itu. Jika bukan karena kita, mereka tidak mungkin memiliki buah hati." Ten bergumam lirih. Sebenarnya dia sedikit menyesal merencanakan hal seperti itu pada Yoonhee dan Doyoung. Tapi cerita dari Joy dan Hayoung membuatnya tidak bisa diam saja.
Flashback
"Yoongiie dan Doyoung dulu itu sahabat dekat. Doyoung satu-satunya sahabat pria di dalam hidupnya. Pria yang dekat dengannya bisa di hitung dengan jari. Tapi karena seorang wanita hubungan mereka renggang." Hayoung berujar pelan.
"Memangnya kenapa hubungan mereka renggang? Apa ada sesuatu yang terjadi?" Ten mendengarkan cerita yang di ceritakan dua gadis itu dengan cermat. Bagaimana sabarnya Yoonhee saat dia di terpa fitnah selama tiga bulan dan diam saja tanpa perlawanan.
"Benarkah seperti itu?" Ten menunjukkan ekspresi tidak percaya. Joy dan Hayoung mengangguk pelan.
"Kau mengenalnya dan melihat sendiri sifatnya. Tidak ada yang di tutupi dari hidupnya. Dia adalah gadis yang transparan. Bahkan Youngjae dulu menyukainya sebelum menjadi kekasih Joy." Hayoung melirik Joy yang terlihat sedikit kesal.
"Banyak hal yang di diamkan Yoonhee dari kesalahpahaman ini. Dia tidak berusaha membuat Doyoung percaya akan dirinya. Aku sangat ingin mereka berdua bersama. Tidak ada wanita yang pantas mendampingi Doyoung selain Yoonhee dan tidak ada pria yang cukup baik bagi Yoonhee selain Doyoung. Mereka seperti di takdirkan untuk bersama." Ten terdiam.
Flashback END
Sejak saat itu Ten bertekad untuk mendekatkan Yoonhee dan Doyoung. Dia yakin bahwa tidak ada wanita yang lebih baik daripada Yoonhee untuk Doyoung dan tidak ada pria yang lebih pantas untuk Yoonhee selain Doyoung. Dia sangat ingin mereka berdua bahagia. Dia sudah menganggap Yoonhee seperti adiknya dan menganggap Doyoung seperti kakaknya.
"....Ten!" Ten terkejut mendengar setengah teriakkan yang di berikan Momo padanya. Dia mendongak dan menatap kekasihnya lembut.
"Ya. Maaf aku melamun. Aku hanya memikirkan hadiah apa yang cocok untuknya. Yoonhee sudah ku anggap seperti norng saw bagiku. Bagiku dia adalah norng saw kecil yang kekanakkan walau sikapnya dewasa." Momo mengangguk setuju. Yoonhee memang terkadang kekanakkan.
"Bagaimana jika mainan karet untuk mandi? Itu cukup berguna untuk menarik perhatian bayi agar mau mandi." Ten memberikan sarannya. Momo menggeleng pelan.
"Aku tidak ingin memberikan mainan karet. Itu memiliki kandungan timbal paling banyak. Kesehatan bayinya akan terganggu. Aku tidak ingin itu terjadi. Bagaimana jika sarung tangan bayi dan sweater? Itu cukup baik bukan?" Ten mengangguk pelan. Dia tidak begitu tahu tentang bayi atau apapun. Dia bahkan berencana untuk menikah di usia tiga puluh tujuh tahun.
"Baiklah. Kita beli itu saja." mereka akhirnya pergi mencari apa yang harus mereka berikan untuk Yoonhee dan bayinya.
***
Doyoung dan Jennie tengah berjalan-jalan di trotoar. Doyoung habis menjemput Jennie pulang kuliah dan mengajaknya berjalan-jalan sebentar. Tangan mereka saling bertaut satu sama lain dan tersenyum satu sama lain. Jika di tilik mereka seperti pasangan muda yang di mabuk asmara. Mereka menepi karena haus dan berjalan pelan ke sebuah kedai di dekat sana.
"Ahjumma kami pesan minuman satu." Jennie berteriak meminta di bawakan minum. Seorang wanita seusia ibu Doyoung keluar dengan nampan berisi air dan meletakkannya di atas meja tempat duduk Doyoung dan Jennie.
"Ini. Terima kas- ya ampun! Kau anak muda yang menolongku itu kan? Yang waktu itu ingin membeli hotteok di musim panas untuk istrimu yang sedang hamil? Bagaimana? Apa istrimu sudah melahirkan? Apa dia istrimu?" Doyoung terkejut setengah mati. Dia ingat bibi itu. Dia adalah orang yang memberikan Doyoung hotteok, sundubu jjigae dan bibimbap untuk Yoonhee.
Bibi itu menatap Jennie dengan senyum manis. Sedangkan Jennie hanya mampu diam terpaku. Apa maksudnya ini? Istri? Hamil? Apakah mungkin Doyoung sudah beristri? Dengan siapa?
"Dimana bayi kalian? Apa kalian tidak membawanya? Ya ampun aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu lagi nak. Kau sangat tampan dan baik. Pasti bayi kalian akan menuruni sifatmu sebagai ayahnya." bibi itu terus berujar. Dia tidak sadar akan Doyoung yang menatap Jennie sendu dan Jennie yang balas menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
To be continue
Kamus kecil:
Okaa-san= ibu (bentuk sopan)
Imouto-chan= adik perempuan
Mae= ibu
Norng saw= adik perempuan
Cepet update karena udah mau hampir chapter akhir...