Malam makin larut, aku dan yang lain masih di desa itu. "Novan? Kau tak apa?" tanyaku melihat luka di dahi Novan.
"Tak apa. Aku baik-baik saja." Ucapnya. "Nara!?" teriak Mey. "Kenapa?" tanyaku. "Ayo kita kembali." Ucap Mey.
"Bagaimana dengan warga?" tanyaku. "Mereka akan dibawa ke tempat tinggal sementara." Ucap Mey.
Aku mengangguk. "Ayo, Van..." ajakku. Novan mengikutiku. Kami kembali ke istana cepat mengingat besok adalah hari pertama kami berlatih. Lagi.
***
Sejak kejadian semalam, kami sedikit was-was dan memilih menyiapkan diri lebih cepat. Seharian penuh, aku berlatih bersama Seza di belakang Istana.
"Kau belajar banyak hari ini, istirahatlah." Ucap Seza. Baiklah, aku sudah tak tahan.
"Kenapa kau tak cerita jika Iva hanya kerasukan kekuatan kegelapan?" tanyaku.
Seza terdiam menatapku, "Kau tahu darimana?" tanyanya. Aku menatap lurus, tak menoleh ke Seza. "Aku lebih dari tahu..." ucapku.
"Kekuatan itu hanya bisa dibunuh jika kau juga kau membunuh Iva sekaligus, nak." Ucap Seza.
"Kenapa harus membunuh?? Kau mengajariku untuk jadi pembunuh?"
Seza hanya diam, "Kau akan tahu alasannya jika tiba saatnya..." ucap Seza berjalan melaluiku. Ia menjauh begitu saja.
Aku masih mematung disana. "Apa yang bisa membunuh kekuatan kegelapan itu?? Maksudku tanpa aku membunuh..." batinku.
Irza terbang mendekatiku. "Hai sayang... Bukankh seharusnya kau tidur, hmm?" ucapku tersenyum.
Baru kali ini aku melihat Irza kecilku hinggap di tanah. Aku memilih berbaring diatas tanah berumput lembut yang kupijak sekarang.
"Aku penasaran. Apa aku bisa menang jika bertarung nanti?" tanyaku pada Irza.
Irza hanya burung hantu, tentu saja ia akan menatapku bodoh. Ia menarik-narik bajuku dengan paruhnya.
"Aku lelah, Irza." Ucapku. Tak lama, Irza malah terbang kearah pohon apel yang tak jauh dariku.
"Kemana kau akan pergi!?" teriakku bangkit untuk duduk. Irza kembali membawa sebuah apel untukku.
"Waahh, burung pintar." Ucapku lalu menggigit apel itu.
***
Novan nampak terengah-engah, tak jauh beda dari Yuko.
"Kurasa cukup." Ucap Mecha. Novan langsung menjatuhkan diri ke tanah. "Ahhh, lelah sekaliiii..." celetuknya.
Yuko ikut berbaring ke tanah. "Payah... Kalian ini... Besok kita latihan lagi." Ucap Mecha berlalu pergi.
2 anak laki-laki itu terus berbaring. Padahal mereka hanya mengenakan celana pendek.
Mecha menyuruh mereka untuk melepas pakaian dengan alasan khawatir jika baju mereka terbakar.
Bukankah itu akan lebih berbahaya jika langsung mengenai kulit?
"Ini gila!?" teriak Novan tiba-tiba. "Kau tahu, ini tak lebih sadis dari pertarungan kita nanti." Ucap Yuko.
"Aku tahu..." ucap Novan bangkit. "Aku ingin mandi." Ucap Novan bangkit. "Hei!? Biarkan keringatmu hilang dulu!? Kau bisa masuk angin!?" teriak Yuko.
"Aku kepanasan, bodoh?!" teriak Novan berteriak dan terus berjalan menjauhi Yuko.
***
Aku berjalan menuju kamarku. Tak sengaja, aku berpapasan dengan Novan. "Kau sudah selesai?" tanyanya menyapaku. "Kenapa kau tak pakai bajumu." Ucapku.
"Mecha yang menyuruhku. Sudah, aku mau bersih-bersih..." ucapnya mengusap poniku langsung masuk kekamarnya.
"hanya begitu!?" umpatku dalam hati dan masuk kedalam kamar.
***
Aira mulai lemas berlatih, "Erga... Aku sudah tak kuat." Ucanya duduk di tanah. "Jangan langsung duduk!? Luruskan kakimu!?" ucap Erga.
Aira menurut dan meluruskan kakinya. "Kau melakukan pengobatan dengan baik kemarin." Ucap Erga. "Terimakasih." ucapAira.
"Kau belajar dari mana?" tanya Erga. "Aku mempelajarinya dengan melihatmu." Ucap Aira. "Hah?"
"Saat kau mengobati Nara di museum, aku memperhatikanmu." Ucap Aira. "Kau pandai. Kau akan cepat belajar."
Entah pujian atau sindiran, tapi Aira hanya tersenyum. "Terimakasih atas pujianmu itu. Aku tersanjung." Ucap Aira.
"Kau tahu, Ai? Aku berfikir akan amat sulit mengajarimu. Tapi ternyata tak seburuk itu." Ucap Erga memainkan air dengan jemarinya.
"Erga, aku mau tahu... Kenapa ibumu menginginkan penjaga-penjaga marga itu?" tanya Aira. Erga menjatuhkan airnya.
Erga POV
Apa yang harus kukatakan pada gadis ini? "Erga? Hello!!!"teriaknya membuatku tersentak.
"Aaahh, kurasa ini akan rumit. Akan lebih baik jika kau tak tahu." Ucapku.
"Lalu untuk apa aku bertarung jika aku tak tahu tujuan kenapa aku bertarung?" ucapnya.
"Nak, kumohon, bicaramu aneh. Aku tak mengerti. Dan soal Iva, cukup lenyapkan dia di Battle dan hidupmu akan kembali damai." Ucapku.
"Kau menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Aira.
Aku diam. Aku takkan membiarkannya mengetahui sesuatu. "Tidak. Aku takkan pernah menutupi apapun."ucapku.
"Sungguh?" tanya gadis itu terus mendesakku. "Kembalilah!? Ini sudah sore. Kau sebaiknya mandi!?" celetukku melangkah menjauhinya.
Erga POV End
***
Nara POV
Aku harus kembali menggunakan gaun bodoh ini lagi!? Sial!? "Kau sedang apa?" tanya Yuko muncul.
"Ooh? Kau, Yuko..." ucapku berbalik. Yuko menatap Irza yang bertengger di pundakku.
"Apa burung itu terus ada di dekatmu?" tanya Yuko. Aku menatap Irza.
"Ya... Bahkan ia juga yang menunjukkan kebakaran itu." Ucapku membiarkannya terbangke ruang makan mendahuluiku.
Yuko mengerutkan dahinya. "Benarkah?" "Iya. Dia menakjubkan bukan?" tanyaku.
Aku menoleh tanpa sadar jika gaunku membebat kakiku. "Huuuaaa!?" Sreeeeetttt!!! Yuko menarikku tiba-tiba agar aku tak terjatuh ke lantai marmer.
Degg... Satu tangan Yuko sempurna melingkar di pinggangku.
"Kau tak apa?" tanya Yuko, aku mengangguk dan mendongak menatap wajahnya. Aaahh!? Mata itu lagi. Mata Yuko masih terpaut ke mataku.
"Sedang apa kalian?" ucap Novan tiba-tiba muncul di belakang Yuko. Yuko sontak melepaskanku. Aku masih diam merapikan rambutku.
"Novan? Sejak kapan kamu disitu?" tanya Yuko. "Bukan urusanmu..." ucapnya berjalan melewati kami berdua begitu saja.
"Kenapa anak itu?" tanya Yuko.
Aku hanya diam menatap langkah kaki Novan yang makin menjauh, "Entahlah..." Ucapku berbalik berjalan kearah ruang makan.
***
Setelah makan malam, seperti biasa, aku kembali ke kamar. Tapi lagi-lagi aku ingat untuk ke perpustakaan kerajaan.
"Aku hampir lupa?" batinku mempercepat langkahku.
Langkahku terlalu cepat dan hampir membuatku beberapa kali hampir terjatuh, tak lama aku berpapasan dengan seorang pelayan kerajaan.
"Malam, Nona..." "Apa kau tahu dimana letak perpustakaan?" tanyaku. "Tentu. Nona harus lurus terus. Jika ada persimpangan belok ke kanan, ada pintu berwarna putih, itulah perpustakaan." Ucap Pelayan itu.
"Terimakasih..." Ucapku langsung bergegas ke perpustakaan. Cukup lama berjalan, aku menemukannya.
Kupikir di perpustakaan tak ada orang. Tapi seorang wanita menjaganya.
"Malam, Nona..." "Malam..." sapaku. Irza dengan senang langsung terbang dan hinggap di meja penjaga. "Apa dia jinak?" tanya penjaga itu.
"Dia memang seperti itu, dia burung yang ceria. Ia baik pada siapapun." Jelasku.
"Aaahhh, begitu... Namaku Kina." Ucap penjaga bernama Kina itu.
"Aku Nara, anak Seza." Ucapku. karena dari awal Seza mengatakan, "Di dalam kerajaan, saat kau mengenalkan diri, sebut namamu lalu katakan bahwa kau anakku."
"Ah, begitu. Apa yang ingin kau cari?" tanya Kina. "Aku ingin mencari buku tentang informasi kekuatan kegelapan." Ucapku.
"Kenapa kau mencarinya, Nona?" tanya Kina, "Aku akan bertarung, tentu aku harus mengetahui semua tentang musuhku." Ucapku.
"Kau sama cerdasnya seperti Nona Irene..." puji Kina. Entah memuji atau bagaimana, aku berfikir jika aku bisa tahu siapa Irene sebenarnya.
"Kau tahu Irene?" tanyaku. "Tentu saja. Irene adalah kekasih Pangeran Seza, Nona. Ia diculik ratu Iva dan dibawa entah kemana." Ungkap Kina.
"Ah begitukah?" tanyaku. Kina mengangguk cepat. "Mereka begitu dekat, Nona. Bahkan, Pangeran sempat beberapa kali sakit karena tak menemukan Irene yang diculik entah kemana itu." Ucap Kina lagi.
"Be-benarkah?" tanyaku. "Aku yang menjaga Pangeran selama ia sakit." Ucap Kina lagi. Aku mengangguk paham. Pasti itu menyakitkan.
"Kina... Bawakan aku silsilah keluarga kerajaan dan suruh para prajurit mengantar buku-buku yang kubutuhkan ke kamarku. Termasuk buku mengenai sejarah Ercha dan Xierra." Ucapku.
"Baik, Nona..."
***
Aku berjalan lemas ke kamarku. "Aku tak menyangka jika Seza begitu mencintai Irene??" batinku. Bruukkkk!?
"Nara!?" panik Liam. "Kenapa kau melamun, nak?" tanyanya. "Maaf Liam... Aku baru dari perpustakaan meminjam beberapa buku." Ucapku.
"Aaaahhh, begitu ya... Pintar sekali." Ucap Liam mengelus kepalaku. "Aku penasaran dengan Ercha, jadi aku memilih belajar dulu." Ucapku lagi.
"Kau memang pilihan tepat untuk seorang petarung. Ya sudah, aku harus ke ruang Khyo." Ucap Liam.
"Ada apa?" tanyaku. "Menanyakan sesuatu saja." Ucap Liam.
"Ohh, baiklah. Sampai jumpa lagi besok..." ucapku melambaikan tangan. Liam berlalu begitu cepat.
Aku segera berjalan cepat, aku sudah lelah. Tapi lagi-lagi mataku menangkap bayangan lelaki itu, Novan. "Novan?" tanyaku.
Aku melihatnya bersandar di dinding depan kamarku. "Ada apa, eoh?" tanyaku setengah berlari menghampirinya.
Tangannya terlipat di depan dada. "Aku mau bicara..." ucapnya. "Kau mau bicara apa?" tanyaku. Kenapa Novan dingin sekali?
"Jangan dekat-dekat dengan Yuko." Ucap Novan. Deegggg... "Kau bicara apa?" tanyaku.
"Aku tak suka jika gadisku dipeluk-peluk orang lain..." cetusnya. Ini soal gaun bodoh tadi!?
"Dengar, gaunku membuatku hampir tersungkur jika Yuko tidak menolongku..." "Tapi apa harus berpelukan?" Novan sukses membuatku bungkam.
"Sial. Novan... Kau bahkan pernah melakukannya pada Yura." "Aku membicarakan Yuko..." "Aku bahkan tak marah saat kau memeluk Yura!?" debatku.
"Itu bukan masalah lagi sekarang!?" teriak Novan. "Kau egois." Ucapku flat. Novan masih diam di tempat.
"Kalau begitu kau peluk saja Yuko di depan mataku tiap hari..." cetusnya menatapku tajam.
Plakkk!? Pipi kiri Novan memerah. "Bisa-bisanya kau bicara seperti itu!? Ada apa denganmu!!" teriakku.
"Aku sudah bilang jangan dekat laki-laki lain!?" Aku menahan nafasku kali ini. "Aku tak ada apa-apa!?" ucapku membela diri.
"Kalau begitu, aku yang akan menjauh!?" ucap Novan meninggalkanku di sana sendiri.
Aku masih menelaah baik-baik ucapan Novan. Aku berdecak kesal. "Egois sekali anak itu!?" umpatku dalam hati sambil memijat dahiku pelan.
TBC