Hello guys :v author baru update, soalnya baru baca komen kalian. Sebenernya si mager next :v eh tiba tiba liat komen kalian jadi langsung aku publish. Author sendiri kalo ada yang minta next langsung next ko:) jadi jangan sungkan buat komen bagi yang ingin cepet tau ceritanya.
_Ku tau, dirimu cemburu,
Ku mau itu_
Fandy Bavinsta
"Wanita mana lagi yang kau sepesialkan, pakai keju, ditaburi mesis dan susu."
Killa Arvion.
Jam 10 malam usai mengantar Alika pulang, Fandy mampir ke apartemen Sakti. Ada Aldo juga di sana, seperti biasa kalau tidak main mobile legend ya nonton bokep.
"Sak lo kenal Reza?" Fandy menaruh jaketnya di sofa dekat jendela setelah tiba di sana.
"Reza banyak, ada Reza tukang cilok, abang es cendol, Reza smash, Reza Oktavian, Reza Rahardian, Reza yang jualan pulsa juga ada itu depan rumah Sakti yang botak itu." Aldo yang menjawab sambil memakan Potato yang masih penuh di meja.
"Gue serius. Reza temennya Kevin lo tau ga?" Fandy kembali bertanya pada Sakti, yang ditanyai tetap sibuk dengan ponselnya. Malahan justru monster yang sedang makan yang lagi lagi menjawab.
"Gue, gue tau." Aldo mengajukan diri. Mulutnya penuh dengan makanan, "kalo Reza temennya Kevin itu berarti abang tukang cendol perempatan itu Fan." Katanya sambil menaik-turunkan alis.
Fandy dan Sakti langsung memberikan tatapan tajam begitu mendengar jawaban super ngawur yang keluar dari mulur Aldo.
"Bener ga? Bener kan? Lo cari Reza karena punya utang pas beli es cendolnya kan?" Lanjut Aldo sok tau. Memang seperti ini, Aldo terlalu tampan terlalu bodoh dan terlalu tidak bisa serius bahkan dengan Karin. Di saat mereka sedang jalan berdua ada saja hal hal yang membuat Karin marah entah karena kebodohan Aldo itu sendiri atau kegenitannya.
Karena pernah ada kejadian, saat mereka jalan berdua, waktu itu Karin marah karena terlat di jemput. Di tengah jalan dia minta turun, bukannya di cegah Aldo justru menurut saja dan menurunkan Karin. Akhirnya mereka berantem selama seminggu, Karin bilang break seminggu dan dalam waktu seminggu itulah mereka sungguhan break, bukannya memperjuangkan Aldo malahan manut seperti bocah bayi. Dan dalam waktu seminggu itu juga Aldo gunakan untuk menginap di warnet, demi menuntaskan level gamenya. Aldo juga pernah disindir Sakti, orang kaya mau nge game aja ke warnet, di rumah gak ada wifi? Simple aja jawaban Aldo. "Kata Karin gini, lo gausah ganggu gue kita break sana lo game aja, urusin tu game. Ke warnet aja sekalian nginep gausah pulang." Duarr dari waktu seminggu itu Aldo menginap di warnet selama 5 hari. Yang 2 harinya dia gunakan untuk ke salon cukur dan beli baju karena selama di warnet dirinya tidak terurus sekali, seketika itu pula seorang Aldo, anaknya pengusaha tambang tiba tiba jadi dekil.
Sakti sendiri tidak habis pikir, temannya itu terlalu cinta sehingga gampang menurut, terlalu polos atau terlalu bodoh. Tapi alasan Aldo cuman satu, yang penting Karin ga tambah marah.
"Do, gue ga becanda!" Muka Fandy terlihat tegang. Aldo kembali nyengir tanpa dosa.
"Gue juga ga becanda yee, orang gue liat Kevin jajan es cendol di tempatnya bang Reza." Bela Aldo kekeh pada pendiriannya. Kadang dia seperti itu, berkomitmen. Yang dia katakan harus dijunjung tinggi, walaupun salah. Aldo tetap saja ngeyel. Bahkan ketika sudah dibuktikan bahwa omongannya salah dia akan tetap membela.
"Lo tau dari mana abang yang jualan es cendol namanya Reza? Nama keren-keren ko jualan es dawet." Cibir Sakti.
Aldo mengunyah potatonya kembali. Kali ini tinggal setengah. "Eemmm," suara kunyahanya sengaja Aldo keraskan membuat Fandy menghela-jorok-
"Euumm, ya gue namain aja Reza." Jawab Aldo sekenanya. "Pokoknya dia itu Reza, kalau gamau ya gue paksa. Lagian dia gabakalan nolak gue kasi nama Reza. Kalo perlu gue bikinin KTP baru." Lanjut Aldo dengan alasan yang dibuat-buat. Seribu persen Sakti yakin ini adalah jawaban ngawurnya lagi.
"Dan SIM juga." Tambahnya. "SIM A lagi."
"Astaga!" Sakti menepuk jidatnya sendiri. "Lo mau buatin tukang cendol SIM A? Sim lo aja masih di polsek njir." Sakti mengingatkan. Baru kemarin Aldo ketilang gara gara balapan sama mantannya Karin.
"Engga lah gue bohong, emangnya dia bisa nyetir apa segala gue buatin SIM mending gue jajanjin Karin sepatu. Jajanan cewek gue kan mahal, dia ga doyan coklat," Aldo tertawa. Yang barusan itu fakta, mau romantis sama Karin jangan belikan dia coklat, kasih aja tas brand atau sepatu. Kalau dia belikan coklat 100% justru dibully.
"Untung lo cowok Do, kalo ga udah gue cipok lo dari tadi." Gemas Fandy. Dia yang bakalan kelabakan sendiri kalau Aldo udah jadi gila kayak gini.
Aldo langsung tertawa, "Bhakkk nih bang niii." Katanya sambil memonyongkan bibirnya sendiri. Secepat mungkin Fandy memalingkan muka.
"Najis!" Cibir Sakti. "Nyesel gue liat bibir lo. Monyong!" Sakti melempar kulit kacang yang berserakan di sampingnya. Aldo hanya menggunakan tangan sebagai tamengnya. Kini kulit yang tadinya ada di meja sudah berjatuhan di lantai gara gara Sakti.
"Eh lo jangan galau dong. Ga ketemu sama Reza aja cemberut." Aldo mengoda Fandy.
"Cembelut."
"Cembelut."
"Cembelut." Ulang Aldo dengan suara yang dibuat-buat.
"Lo mau Reza berapa? Model apa nanti gue downloadtin." Kata Aldo lagi sambil mencolek dagu Fandy.
"Najiss jijik." Fandy bergidik, dia langsung loncat dari sofa ketika dagunya itu tersentuh.
Aldo hanya cekikikan melihat ekspresi Fandy barusan. Sesungguhnya tiada kenikmatan selain mengoda Fandy seperti ini.
"Haha aduh eneng sudah ternoda ya!" Ejek Aldo lagi. Sakti geleng kepala. Kalo bercanda seperti ini memang kerjaannya Fandy dan Aldo, ga mungkin Aldo dan Sakti karena Sakti orangnya serius.
"Males gue ngomong sama lo ah." Tegas Fandy, dia mulai kesal dengan sikap Aldo.
Aldo menghentikan aksinya, Fandy memang sedang tidak mood. Jadi tidak pas kalau terus terusan diajak bercanda yang ada nanti malah marah. Tangan Aldo mengacungkan ponselnya pada Fandy, lelaki tersebut menoleh dengan wajah bingung.
"Apa nyuk?" Tanya Fandy tidak paham dengan hal yang dilakukan Aldo. Memberikan ponsel? Dirinya sudah punya. Bahkan sedikit lebih canggih dari barang di hadapannya ini.
"Lu biacara aja sama bebeb Karin."
Fandy melotot, "Hah, yang ada tambah gila gue bicara sama dia!" Tolak Fandy ngotot. Sumpah jangan, ngobrol sama Karin itu berat. Fandy gak akan kuat. Biar Aldo saja.
Aldo menarik lagi ponselnya. "Yaudah kalo lo gamau. Padahal gue yakin bebeb gue pasti kenal Reja."
"Reza!" Protes Sakti begitu mendengar kesalahan dari mulut Aldo.
"Eh ya biasa ae dong," sangkal Aldo tak mau kalah. Sakti sendiri paling sensi jika Aldo mengubah-ubah nama orang seperti yang barusan dia dengar. Ini masih mending hanya satu huruf yang Cina Jawa itu plesetkan, dulu mantannya Sakti yang namanya Vita dia ganti jadi Pitak.
"Gila mulu lo Do." Timpal Fandy.
"Yang penting ganteng!" Jawab Aldo enteng. "Dan calon suami idaman." Lanjutnya sambil memukulli dadanya sendiri.
"Gausah di gebug-gebug, tete lo gabakalan melar gede." Cercah Fandyy.
Sakti yang ada di hadapannya bergidik sambil terbahak. "Haha, mau lo suami idaman, ogah gue jadi istri lo Do."
Kini kentang yang tinggal setengah porsi itu Aldo lemparkan begitu saja pada Sakti. "Gue yang ogah punya istri cowok."
***
Killa membuka pagar rumahnya ketika turun dari taxi, langkahnya terhenti saat matanya melihat mobil silver terparkir di depan halaman rumah.
Dia mengambil tisu di tas, kemudian membersihkan mukanya. Jujur, Killa terlihat kucel sekali. Tidak ada cantik-cantiknya.
"Astaga." Kevin terkejut melihat Killa berjalan mendekatinya. Dia sangat khawatir.
"Lo kenapa?" Tanya Kevin sambil memegang pundak Killa. Gadis itu menunduk.
"Lo kemana aja? Dari mana?" Tanya Kevin lagi. Kini tangannya sudah membelah rambut Killa yang sedikit menutupi wajahnya.
Tidak ada jawaban. Killa masih saja diam. Kevin geleng kepala melihat kondisi Killa yang seperti ini. Jelas saja Kevin tidak tau.
Seorang gadis yang Kevin tinggalkan saat turnamen basket, tidak bisa mengantar pulang, lalu jam 9 belum sampai rumah, kemudian jam 10 pulang dengan keadaan seperti ini.
"Kasih gue penjelasan." Kata Kevin lirih, dia menganggkat dagu Killa dengan lembut hingga wajahnya terlihat.
Ada desahan napas kasar setelah Kevin melihat wajah Killa.
"Nangis kenapa? Ngomong!!!!" Suara Kevin terdegar tegas. Tidak tau, tiba tiba dia ingin langsung marah melihat mata Killa sembab seperti itu.
Tanpa menjawab Killa langsung mendekat pada Kevin dan memeluknya. Hatinya merasa sakit, kejadian tadi kembali terbayang dengan sendirinya. Uacapan Fandy yang spontan menusuk hatinya.
Killa tidak memikirkan apapun, bahkan ketika dia memeluk Kevin. Setidaknya dengan begitu dia bisa sedikit merasa nyaman.
"Ehh peluk pelukan di depan rumah." Suara Fauzan dari dalam membuat Killa menjauhkan dirinya dari Kevin.
"Lah mewek." Kata bang Fauzan begitu melihat Killa, tatapannya beralih pada Kevin.
"Lo apain adek gue?" Tanyanya.
"Ga lo perkosa kan?"
"Jangan bilang abis lo pegang pegang?"
"Atau lo jedotin ke tembok?" Cecar bang Fauzan dengan cerewetnya. Kevin hanya menghela napas panjang. Cowok yang memakan jaket navy maroon itu sama sekali tidak memberikan kesempatan untuk Kevin menjelaskan apa yang terjadi.
"Heh kenapa lo? Masih perawan kan yak?" Tanya Fauzan pada Killa, gadis itu hanya menyelonong masuk tanpa memandang kakaknya.
Fauzan berdecik. "Lagi pms kali ya." Katanya lirih.
"Bang, ijin masuk ya." Kata Kevin, mubazir kan siapa tau di dalam dia bisa mendapat pelukan Killa lagi.
Fauzan mengangguk. "Boleh, tapi jam setengah 11 lo pulang ya." Tambahnya.
"Eta ngusir bang?"
Fauzan terkekeh. "Iyeee!"
Kevin geleng kepala sambil mengikuti Killa ke lantai dua. "Eh tunggu, lo jangan anu anu ya sama adek gue. Mata gue banyak, bisa aja gue ngintip. Kalo lo mesum bakalan gue vidio. Gamau kan."
Kevin membalikkan badannya, kemudian tersenyum. "Gapapa itu mah bang, gue malah pengen kalo bisa. Tapi masalahnya adek lo gamau." Jawab Kevin sambil geleng kepala.
"Berarti adek gue pinter!" Teriak bang Fauzan dari bawah.
***
"Coba lo jelasin sama gue." Ini ke 50 kalinya Kevin bertanya pada Killa. Dan 50 kali juga pertanyaan itu tidak mendapat respond. Killa hanya merebahkan tubuhnya di kasur dan menutupi mukanya dengan boneka teddy bear warna ungu.
Kevin yang duduk di pinggir badcover mulai gerah sendiri. Sudah setengah jam mereka di sini tapi tidak ada obrolan apapun.
"Gue kayak orang gila ngomong sendiri." Lirih Kevin sambil garuk kepala. Dia melirik jam di dinding kamar Killa, sudah jam 11.
Lelaki itu bangkit dari tempat tidur dan mengambil jaket di sofa, Killa menoleh melihat apa yang dilakukan Kevin.
"Gue mau nyamperin Fandy! Mau gue ajakin berantem." Pamit Kevin, seakan dia tau apa penyebab Killa seperti ini.
Belum sempat Kevin merain gagang pintu, Killa sudah menghentikan langkahnya.
"Vin,"
"Gue tau gara-gara Fandy kan? Gue cowok lo gue berhak marah, berhak mukulin orang yang bikin ceweknya pulang nangis-nangis sampe gamau ngomong." Suara Kevin berubah menjadi lebih tinggi, dalam hati Killa rasanya ingin marah. Bisa-bisanya dia mengklaim sendiri bahwa dirinya adalah pacar.
"Tapi gue mau lo temenin." Lirih Killa, alis Kevin tertaut apakah yang Killa katakan benar, dia tidak salah dengar. Atau ini hanya akal akalannya saja supaya Kevin tidak berantem dengan Fandy. Jelas, Kevin saja bodoh mana mungkin Killa mau wajah Fandy bonyok karena berantem dengan Kevin.
Tapi, dari raut wajah Killa terlihat adanya ketulusan. Gadis itu kemudian turun dari ranjangnya menghampiri Kevin.
"Temenin gue ya." Kata Killa dengan sedikit memohon. Tangannya menarik Kevin menuju balkon kamarnya.
Killa menyuruh Kevin duduk di bangku panjang dekat jendela. Waktu itu Fandy dan dirinya pernah berciuman di sini. Ah manis sekali.
Langit terlihat mendung, tidak ada bintang di sana. Angin malam juga terasa sangat dingin. Killa merebahkan kepalanya di pundak Kevin dengan lembut, tidak ada penolakan dari diri Kevin. Pria itu hanya memandangi Killa sesekali sambil melihat sekitar. Kevin sendiri bingung harus bagaimana.
Killa tidak bisa berbohong, bahkan seorang perempuan pasti akan membutuhkan sandaran seperti ini ketika patah hati. Hanya saja kebetulan pria itu Kevin. Kalau saja ada Sakti bahkan Aldo sekalipun bisa-bisa Killa melakukan hal yang sama.
"Vin, lo ganteng. Baik, tapi gue belum punya perasaan sama lo." Killa membuka suara. Posisinya masih sama. Bersandar di pundak Kevin, dengan mata tertutup.
"Gatau kalo nanti sore?" Jawaban Kevin barusan sukses membuat Killa mengangkat wajahnya.
"Itu mah Dilan." Protes Killa sedikit tersenyum, Kevin juga.
"Jatuh cinta itu penuh resiko ya Vin,"
Kevin mengangguk, "ya, contohnya saat bertepuk sebelah tangan."
"Kayak lo ke gue?" Tanya Killa dengan polosnya, lagi lagi Kevin tersenyum. Laki laki itu memalingkan pandangannya ke langit.
"Gue juga ga bisa cegah hati gue buat cinta sama lo La." Kevin menghela napasnya. Ada rasa kecewa dibalik ucapannya tadi. "Anehnya, semakin ke sini rasa itu ga hilang. Padahal gue tau lo cuman cinta sama Fandy."
"Cinta itu aneh Vin," Killa kembali menaruh kepalanya di pundak Kevin. Entah kenapa hal seperti tiba tiba menjadi nyaman dirasakan.
"Bukan cinta yang aneh, tapi perasaan seseorang yang gampang berubah. Gaada yang lebih sakit dari pengorbanan cinta." Kata Kevin, "lo tau, saat lo tersakiti oleh cinta jangan sampai lo benci dia juga. Cinta itu ga salah."
"Orangnya yang salah?" Killa memotong ucapan Kevin.
"Bukan juga."
"Lalu?"
Kevin terlihat berpikir, "cara kita menjalaninya." Kevin membenarkan posisi duduknya. "Menjalin cinta itu harus dewasa. Tau dengan siapa harus setia, tau dimana kita nyaman singgah, kapan harus egois dan minta yang aneh-aneh dan bagaimana sikap kita saat menghadapi masalah."
"Tapi gue benci sama Fandy, Vin."
***
"Oh jadi Reza tinggal di Aussie 6 bulan yang lalu. Keren juga." Fandy bermonolog. Dia baru saja berbicara pada Karin dan menanyainya soal Reza. Ternyata, Reza adalah mantannya Karin saat SMP. Fandy sempat geleng kepala ketika tau jamannya SMP Karin sudah anu anu.
"Lo masih sehat kan?" Tanya Sakti spontan begitu melihat muka boker Fandy-
"Kenapa?"
"Biasanya lo langsung ambeien abis biacara sama Karin." Tutur Sakti.
Aldo langsung memitak kepala lelaki di sebelahnya itu. "Emang cewek gue virus zika segala bikin ambeyen." Katanya tidak terima.
"Eta Karin mah keong racun." Timpal Fandy.
"Chili juga haha."
"Dia mah paket sepesial, brended, plus limited edition." Aldo ikut-ikutan memberi label.
"Pake diskonan ga?" Sakti ngakak.
Aldo manggut manggut sambil tertawa. "Iya, 10ribu dapet tiga." Jawabnya geli.
"Apaan tu 10ribu dapet tiga?"
"Karet Jepang haha." Jawab Aldo ringan. Yang lain ikut terbahak.
"Ga cinta Indonesia lo." Protes Fandy sambil mentoyor kepala Aldo. "Karet Indonesia lah."
Aldo meringgis, "kalo bokep si jujur gue suka yang luar." Kata Aldo polos.
Sakti geleng kepala, "bangsat." Lirihnya sambil senyum-senyum.
"Eh Do," panggil Sakti, Aldo menoleh.
"Apa nyuk?" Tanyanya antusias sambil memindah posisi duduknya si samping Aldo.
Sakti meringgis. "Serem amat, kenapa nyuk malah senyum." Protes Aldo tidak sabaran.
"Gue senyum karna ada yang lucu bego, liat tu si bego." Tunjuk Sakti pada Fandy. "Dari tadi ketawa-ketawa sama HP."
"Ya terus kenapa. Orang lo aja pernah kayak gitu."
"Sialan!" Umpat Sakti.
"Fan, lo lagi liat mimi peri bugil apa ketawa ketawa ga jelas gitu?" Tanya Aldo pada akhirnya. "Bagi sih."
Tidak ada respond dari Fandy. Dari tadi selepas biacara dengan Karin Fandy memang sering asik dengan ponselnya. Sampai-sampai tidak ikut ribut dengan Aldo maupun Sakti.
"Hii asli serem Fan. Jangan-jangan lo gila beneran abis bicara sama Karin."
"Heh kurang ajar lo Sak." Aldo tidak terima. Sakti hanya mengacungkan peace pada Aldo tanda bercanda.
Fandy berdecik. "Berisik." Katanya. "Orang gue lagi liatin fotonya Killa. Lucu,"
"Mana coba gue liat." Gayap Aldo mendekati Fandy.
"Eh." Fandy menampol tangan Aldo yang memegang ponselnya. "Anak dibawah umur ga boleh liat cewek cantik." Kata Fandy sinis kemudian menaruh ponselnya ke saku celana.
Sakti garuk kepala heran. "Loh, bukannya lo jadian sama Alika ya? Kok Killa lagi?"
"Hah?" Teriak Aldo dan Fandy secara bersama.
"Whatdefak!" Tambah Aldo tidak percaya apa yang dikatakan Sakti barusan.
Gimana? Jelek ya:( ga konsen soalnya keburu buru pen update kan kalian pen baca. Hehe
Kasih aku saran. Kadang kalian bingung ga sama Alika dan Killa suka ga paham gitu? Author sendiri kadang salah ketik antara Alika sama Akilla soalnya sama bgt. Gmn kalo Alika diganti aja? Setuju ga? Kalo ganti mau jadi apa?
Komen ya :v 1 komen 1 apresiase 100 semangat buat author.
Next part mulai ke konflik yg serius