Kejadian berlangsung dari pukul 08:00 WIB – 09:00 WIB
Apartemen Permata Hijau, Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Cuaca pagi kota Jakarta tengah bersahabat kepada penduduknya, cerah namun mendung menggantung di langit kota ini. Namun, cuaca cerah tersebut berbanding terbalik dengan suasana dalam kamar apartemen di mana sepasang suami istri tengah duduk berhadapan, mereka berdua menikmati sarapan dengan dibarengi obrolan pagi.
Suami-istri tersebut bernama Naufal Arbi dan Esti Rahmawati.
"Bagaimana dengan rasa nasi goreng-nya, mas?" Tanya Esti kepada Naufal memecah keheningan di ruang makan. "Pas atau keasinan?"
"Lezat, sayangku." Jawab Naufal sambil mengunyah nasi yang telah berada dalam mulutnya.
"Beneran enak?" Kejar Esti seolah tak percaya dengan jawaban Naufal.
Dengan tetap menyantap sarapan, Naufal menganggukkan kepala untuk menyakinkan istrinya bahwa masakan nasi goreng memang benar-benar lezat dan enak.
Tapi, ternyata anggukan kepala Naufal tak memuaskan hati Esti. Esti menatap Naufal dengan intens menunggu terucapkan satu kata dua kata.
Maka, kembali Esti berkata, "Aah, paling cuma sekedar menyenangkan aku saja!"
Mendengar komentar Esti, Naufal menatap mata istrinya sembari meletakkan sendok dan garpu dan menghentikan acara makannya.
Dan, ternyata, Esti pun melakukan hal yang sama.
Hening.
"Ada apa dengan dirimu, sayangku?" Tanya Naufal membuka percakapan kembali. "Sepertinya kamu sedang ada masalah ya? Tak mungkin hanya karena ucapan enak saja dipermasalahkan?"
Esti tak segera menjawab pertanyaan Naufal, suaminya. Dia menghela napas sejenak. Huff...
Melihat Esti menghela napas, maka Naufal melanjutkan perkataannya, "Pasti kamu kepikiran sesuatu! Lebih baik ungkapkan saja, siapa tahu aku bisa membantu untuk menyelesaikan apa yang sedang kamu pikirkan!"
Setelah Naufal berucap, barulah Esti berkata, "Ya, mas. Aku memang lagi kepikiran sesuatu hal. Kok mas tahu bahwa aku sedang kepikiran sesuatu?"
Naufal tersenyum begitu mendengar ucapan sang istri, Esti.
Melihat suaminya tersenyum, Esti pun memanyunkan bibir dibarengi dengan mata indahnya melotot tajam dan berucap, "Bukannya menjawab eh malah senyam-senyum, memangnya aku ini badut ya?"
Esti merajuk.
Melihat Esti merajuk, mau tidak mau, Naufal pun menjawab pertanyaan istrinya.
"Sayangku, aku mengenal dirimu sudah bertahun-tahun bukan sekedar bulanan. Aku mengenal dirimu dari sebelum menikah di mana ibu dan bapakmu masih sehat dan masih hidup hingga sekarang. Jadi, aku sudah tahu dan mengenal banget kebiasaanmu."
Esti mangut-mangut menanggapi penjelasan Naufal.
Melihat reaksi Esti hanya mangut-mangut saja, maka Naufal kembali berkata, "Sekarang, lebih baik kamu ungkapkan saja apa yang menjadi beban pikiranmu! Siapa tahu, aku bisa meringankan beban pikiranmu."
Begitu suaminya menyuruh dirinya untuk berterus-terang apa yang tengah menjadi beban pikirannya, maka Esti menyerocos, "Aku bosan, mas. Aku bosan dengan pekerjaanku. Aku bosan dengan suasana di kantorku."
Melihat Naufal hanya diam, tidak memberikan tanggapan.
Maka, kembali Esti berkata kali ini cenderung bertanya, "Menurut mas, apa yang harus Esti lakukan?"
Dia ingin tahu apa yang disarankan oleh Naufal atas masalah yang menjadi beban pikirannya.
Melihat kejujuran di mata dan keseriusan yang terlihat di wajah Esti...
Maka, Naufal bertanya balik kepada Esti sambil menyeruput teh manis hangat yang tersaji di cangkir kesayangannya.
"Jawab jujur, sebenarnya kamu ini bosan atas pekerjaanmu atau kamu takut ketahuan atas tindakan kriminal yang telah kamu lakukan?"
"Sepertinya sih sebagian besar adalah rasa takut. Aku takut nahas-ku akan segera tiba, mas."
Naufal tidak langsung menanggapi jawaban yang diberikan oleh Esti, dia menganalisa sekejab sebelum solusi terpikirkan olehnya.
Lalu...
"Memangnya kamu sudah dicurigai oleh atasan atau kolega?" Kejar Naufal kepada Esti.
"Nggak sih, mas. Selama ini masih biasa-biasa saja, atasan maupun kolega belum mengajukan pertanyaan yang bersifat mencurigai aku ataupun bersikap berbeda. Hanya saja beberapa minggu dan hari-hari belakangan ini perasaanku tidak enak, selalu was-was dan cemas ketika bekerja." Cerocos Esti menjelaskan panjang-lebar atas beban pikiran yang tengah mengganggu dirinya.
"Aah, cuma perasaan saja, nggak usah dijadikan beban pikiran. Kecuali bila kamu tertangkap basah ketika memanipulasi dokumen oleh atasan atau ada kolega yang bertanya di luar kebiasaan yang menjurus kepada job description yang kamu emban, barulah kamu boleh stres. Ada kemungkinan kolega-mu curiga terhadap dirimu."
Celoteh Naufal sebagai tanggapan, lalu...
"Aah, mas ini nggak ngerti sih." Protes Esti terhadap tanggapan Naufal yang diasumsikan olehnya sebagai pernyataan yang menyepelekan kekhawatiran dirinya yang berpegang kepada perasaan. "Perempuan tuh tajam perasaannya."
Begitu protes terdengar maka Naufal mengernyitkan dahi sambil bertanya, "Nggak ngertinya di mana? Dan, kejadian gimana maksudnya?"
"Mas, perasaan perempuan itu sangat tajam, aku ulangi sekali lagi pernyataanku. Kalau sudah merasa was-was dan cemas, apa yang dicemaskan berujung kepada kenyataan. Contohnya, sewaktu aku merasa cemas lalu aku langsung menelepon mas ketika jam istirahat makan siang, untuk menanyakan keadaan mas eh ternyata sorenya mas menyerempet pejalan kaki kan?"
Naufal hanya bisa mangut-mangut saja atas argumentasi Esti. Dan, dia tidak mendebatnya. Hal itu dikarenakan fakta yang terjadi memang demikian dan tidak mau terpengaruh oleh bad mood istrinya.
Hening.
"Sekarang, maunya kamu gimana, sayangku?" Tanya Naufal memecah keheningan.
"Aku ingin pensiun, mas." Jawab Esti tanpa tedeng aling-aling mengungkapkan apa yang dia inginkan.
"Maksudmu, pensiun seterusnya atau pensiun sementara?" Naufal bertanya kembali mempertegas apa yang disampaikan oleh Esti.
"Aku ingin pensiun seterusnya. Dengan catatan sebelum pensiun, aku bakal melakukan aksi terakhir sebagai bekal untuk masa depan alias masa pensiun."
"Artinya kamu bakal mencairkan kembali deposito dormant milik nasabah?"
"Betul sekali, mas. Aksi terakhir ini bernilai lima milyar rupiah, mas!" Jawab Esti.
"Mantap sekali." Komentar Naufal. "Setuju banget, pensiun yang tidak rugi."
"Apakah mas setuju?"
"Tentu saja, aku sangat setuju. Aku dukung keputusanmu untuk pensiun." Jawab Naufal atas pertanyaan Esti yang meminta persetujuannya.
"Intinya, aku ingin pensiun selagi masih jaya. Selagi belum nahas." Esti menegaskan keinginannya. "Aku ingin mati dengan keadaan uang berlimpah dan tidak berada di sini, Jakarta."
"Siip, aku setuju dengan keinginanmu, sayangku."
"Terima kasih, mas. Dan, tolong dibantu ya, mas!" Todong Esti kepada Naufal dengan mengedipkan sebelah matanya, genit.
"Maksudmu, pekerjaan biasa kan?"
"Tahu aja, mas ini. Ya, tolong bantu untuk melenyapkan manusia-manusia yang menghalangi jalan kita dengan modus kecelakaan lalin atau kecelakaan kerja, seperti yang sudah-sudah." Instruksi Esti kepada Naufal, suaminya. "Kan mas terkenal dengan julukan "Accident Man"!!"
"Siip. Siap, komandan!" Naufal menyanggupi untuk melaksanakan perintah Esti.
"Ya sudah sekarang kita selesaikan sarapan sebelum beraktivitas di hari ini." Tegas Esti mengakhiri percakapan dengan suaminya, Naufal.
Naufal menganggukkan kepala menyetujui ucapan Esti. Dan, tanpa berlama-lama, dia langsung melahap sisa nasi goreng yang tersaji di piringnya hingga licin tandas.
Melihat kelakuan Naufal, Esti tersenyum dengan menggeleng-gelengkan kepala takjub dengan kelakuan Naufal, namun dalam hatinya, dia bersuka-cita dikarenakan masakannya dinikmati Naufal, suami tercinta.
= oOo =
Perumahan Bogor Raya Permai, Bogor, Jawa Barat
Tak berbeda dengan kota tetangganya, kota Jakarta. Cuaca kota Bogor cerah berawan. Suasana pagi itu tengah dinikmati oleh seorang paranormal kondang bernama Ki Tammat yang sebenarnya bernama asli Slamet Riyadi dengan putri semata wayangnya, Novi Riyadi. Mereka tengah berada di teras depan rumah. Ki Tammat mencomot pisang goreng yang tersaji di piring lalu mengunyahnya sembari menikmati pemandangan hijau di halaman depan rumah sementara Novi, putrinya sibuk menyesap segelas kopi hangat dengan penuh perasaan.
Beberapa menit kemudian...
"Bagaimana, abi sudah selesai sarapannya atau pengin tambah lagi?" Tanya Novi kepada ayahnya, Ki Tammat begitu melihat piring yang terisi oleh pisang goreng hampir habis.
"Alhamdulillah, sudah nduk, tak perlu tambah lagi. Terima kasih ya atas sarapan pisang goreng dan segelas kopi-nya."
Begitu Ki Tammat menyelesaikan ucapannya, Novi tersenyum sembari dirinya beranjak dari kursi.
"Mau ke mana, nduk? Kok berdiri?" Tegur Ki Tammat yang melihat putrinya berdiri.
Novi menjawab, "Ya, mau bersih-bersih di dapur sebelum belanja ke pasar, bi!"
"Jangan dulu, nduk. Temani abi di sini untuk menikmati cuaca pagi, ngobrol-ngobrol bentarlah sama abimu ini." Cegah Ki Tammat begitu tahu bahwa Novi hendak meninggalkan dirinya sendirian di teras depan rumah mereka.
Mendengar ucapan abinya, Ki Tammat yang mencegah dirinya untuk bersih-bersih maka Novi kembali duduk lalu dia bertanya dengan sedikit menyindir, "Memangnya, abi tidak buka praktik hari ini? Kok tumben ingin ngobrol berlama-lama dengan Novi, biasanya sibuk ngejar setoran."
"Kamu ini tajam mulutnya seperti almarhumah ibumu!" Protes Ki Tammat sambil mendelikkan matanya. "Memangnya, abi ini supir angkot, kok dibilang nguber setoran."
"La, iyalah, Aku kan anaknya ibu, istri abi. Gimana sih, abi ini! Kalau nggak mirip entar malah jadi pertanyaan! Dan, memang kenyataannya demikian, abi kan sibuk praktik paranormal sampai larut malam." Novi berargumentasi.
Tidak mau berlarut-larut dalam adu argumentasi dengan putrinya, Ki Tammat berucap, "Sudah...sudah...Pokoknya pagi ini ada sesuatu hal yang ingin abi bicarakan dengan dirimu, nduk!"
Dengan sikap antusias yang diperlihatkan oleh Ki Tammat, mau tidak mau Novi menjadi ingin tahu, penasaran.
"Memang mau ngobrolin apa, bi?"
"Ngobrolin masa depan kamu, nduk!" Jawab Ki Tammat dengan nada tegas.
"Maksudnya, bi?" Kembali Novi bertanya dengan dahi berkerut.
"Maksudnya, kapan kamu menikah?" Ki Tammat menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
Mendengar perkataan ayahnya, Novi menjadi terkejut dan dia spontanitas langsung terdiam.
Melihat anak gadisnya, terdiam, Ki Tammat berkata kembali, "Usia kamu sudah hampir 30 tahun, nduk. Kamu sudah pantas untuk menjadi istri. Apalagi usia abi sudah memasuki usia kepala tujuh. Jadi, abi ingin kamu ada yang menjaga dan merawat dirimu sebelum abi tiada."
Selanjutnya, mereka berdua terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Selang lima menit kemudian, Ki Tammat memulai obrolan lagi.
"Apa perlu, abi carikan calon suami?"
Spontanitas begitu mendengar ujaran tersebut, Novi menjawab, "Tak perlu, abi. Novi bisa cari sendiri! Lagian sekarang sudah bukan jaman Siti Nurbaya!"
"Siti Nurbaya?" Tanya Ki Tammat dengan dahi berkerut.
"Iya, Siti Nurbaya dengan Datuk Maringgih. Cerita perjodohan yang dulu sempat ibu ceritakan untuk menina-bobokan aku." Jawab Novi dengan merujuk kepada kisah perjodohan yang diceritakan oleh almarhumah ibunya semasa sang ibu masih sehat dan segar bugar menemani hari-harinya.
Ki Tammat tersenyum melihat respon putrinya, lalu...
Dia berkata dengan nada meragukan, "Serius? Kok abi lihat sehari-hari aktivitas kamu kan cuma rumah dan pasar saja selepas kamu menyelesaikan kuliah dan mengganggur!"
"Setahu abi, kan kamu bilang ingin istirahat dulu setahun sebelum melamar pekerjaan dan berkarier. Jadi, lingkungan kamu hanya seputar rumah dan pasar saja tidak pergi jauh-jauh, lalu bagaimana kamu bisa dapat calon suami?" Pertanyaan susulan dari Ki Tammat.
"Aah, abi ini kuno!" Protes Novi kembali atas ucapan panjang-lebar dari bibir Ki Tammat, ayahnya terselesaikan.
"Maksudmu, nduk?" Kali ini Ki Tammat bertanya dengan dahi berkerut penuh keingintahuan yang membutuhkan penjelasan dari putrinya.
"Sekarang kan jaman canggih, bi. Berkenalan dengan cowok tidak harus serta merta keluyuran di luar rumah, misalnya kantor, gitu."
Mendengar perkataan Novi, dahi Ki Tammat semakin bertambah kerutannya. Dia belum memahami logika perkenalan dengan lawan jenis yang dimaksudkan oleh putrinya tersebut.
Lantas, dia kembali mengajukan pertanyaan untuk bisa tahu apa yang dimaksudkan oleh putrinya tersebut.
"Jadi, bagaimana kamu bisa berkenalan dengan cowok? Kalau kamu tidak bergaul di luar lingkungan rumah."
"Sekarang kan banyak aplikasi sosial media. Jadi, cari teman apalagi cowok tidak harus keluar rumah, bi!" Novi menjelaskan teknik bersosialisasi yang dilakukan oleh dirinya.
"Maksudmu, internet sebagai cara dirimu, nduk untuk mendapatkan cowok. Lewat Facebook gitu misalnya?"
"Iya, bi." Jawab Novi dengan tegas.
"Kamu yakin bahwa cowok yang kamu kenal itu asli seperti foto profilnya?" Kembali Ki Tammat bertanya begitu Novi menyatakan perkenalan dengan sosok laki-laki melalui jalur sosial media.
Dengan lantang, Novi menjawab, "Yakin dong, bi."
"Kok bisa yakin?" Ki Tammat mendebat pernyataan Novi. "Kan kamu cuma bisa chat via inbox?"
Mendengar ucapan Ki Tammat yang mendebat argumentasinya, Novi terkekeh...
"He...he...he..."
Ki Tammat pun melotot begitu melihat tanggapan Novi.
Melihat pelototan bapaknya, tawa Novi pun mereda dan buru-buru dia berucap, "Ma'af bi...Ma'af...Abisnya abi kuno sih masa nggak tahu bahwa sekarang ada Skype!"
Mendengar istilah asing tersebut segera Ki Tammat dengan dahi berkerut bertanya dengan logat Jawa kentalnya, "Apa itu Skype? Iso buat opo?"
"Bi, Skype itu buat berbicara secara tatap muka! Jadi, aku dan cowokku bisa langsung berbicara dengan saling melihat wujud asli bukan hanya suara dan tulisan tangan saja!"
Dan, Ki Tammat pun mangut-mangut begitu logika tertangkap oleh dirinya tentang cara pertemuan dan komunikasi antara putrinya dengan sosok laki-laki pilihan hatinya.
Hening.
"Kapan kamu kenalkan dengan abi?" Tanya Ki Tammat untuk membuka kembali obrolan dengan Novi, putrinya.
Novi tersenyum sumringah, lalu dia berucap, "Novi harap sih secepatnya, bi. Tergantung kepada situasi dan kondisi. Mungkin setelah..."
"Setelah apa? Kok ngomong digantung gitu." Kejar Ki Tammat.
"Setelah abi pensiun!" Kata Novi keceplosan.
Ki Tammat terkaget-kaget atas ceplosan putrinya. Sampai dia ternganga.
Melihat ayahnya ternganga, segera Novi menegurnya, "Ma'af, bi. Keceplosan."
Tersadar dari rasa kagetnya dengan teguran Novi, Ki Tammat segera menyahuti, "Maksudmu, apa nduk? Apa hubungan antara calon suami dengan pensiunnya abi? Apa kamu tidak suka terhadap abi atau profesi abi atau apa?"
Novi terdiam, dia tidak langsung menjawab pertanyaan Ki Tammat. Dia tengah menimbang-nimbang tentang jujur dan berterus-terang atau mencoba mengelak dari cecaran pertanyaan ayahnya.
Melihat putrinya terdiam, Ki Tammat pun terdiam. Dia hanya bersikap pasif, dia memberikan waktu kepada Novi untuk memikirkan jawaban atas pertanyaan yang terucapkan dari mulutnya.
Selang sepuluh menit kemudian...
Barulah, Ki Tammat menegur Novi.
"Bagaimana, nduk? Sudah bisa kamu jelaskan apa hubungan antara calon suami dengan pensiun? Apa kamu malu ya dengan profesi abi?"
"Abi tolong jangan marah ya." Rajuk Novi ketika dia memutuskan untuk jujur dan berterus-terang tentang apa yang dia rasakan terhadap profesi ayahnya.
Ki Tammat tersenyum melihat putrinya, Novi yang tengah merajuk. Lalu, dia berkata, "Baik, abi tidak akan marah asal kamu mau jujur terhadap abi."
"Terima kasih, abi. Jujur, Novi memang tidak suka dengan profesi abi." Ujar Novi setelah Ki Tammat memberikan janjinya untuk tidak marah terhadap dirinya.
"Kenapa, nak? Abi kan tidak melakukan kejahatan? Abi hanya mengobati orang dengan ramuan tradisional atau memberikan saran atas masalah orang!"
"Jujur, bi. Buat aku sih, abi tetap melakukan kejahatan. Cuma taraf kejahatan yang ringan." Debat Novi atas perkataan Ki Tammat.
Ki Tammat terlonjak dari kursinya setelah mendengar semua ucapan yang keluar dari bibir Novi. Tangan terkepal dan mulut kembali ternganga. Dia tak menyangka bahwa Novi menuduh dirinya telah melakukan kejahatan.
Menyadari reaksi ayahnya tersebut, Novi segera menyadari kesembronoan dirinya yang tidak memperhitungkan perasaan ayahnya begitu mendengar apa yang utarakan. Maka, dengan tergagap-gagap dia berkata, "Ma...ma'af, bi. Maa...maa'af bi."
Menyadari bahwa yang telah berkata-kata adalah putrinya sendiri, maka Ki Tammat berusaha meredam gejolak emosi kemarahan. Dengan napas terengah-engah, dada naik turun, dia berkata, "Oke, sekarang tolong jelaskan dasar dari tuduhanmu, nduk! Di mana letak jahatnya, abi?"
Dengan permintaan tersebut, maka Novi mulai menjelaskan dasar dari tuduhan terhadap ayahnya sendiri.
"Begini, bi. Novi tahu bahwa abi sebenarnya tidak pandai dalam hal ilmu pengobatan. Dan, selama ini semua obat yang abi sediakan hanya diramu berdasarkan resep yang tersedia di internet hasil googling abi. Abi berikan obat kepada pasien abi berdasarkan keluhannya tanpa memeriksa lagi melalui periksa darah dan sebagainya sebagai penegasan atas penyakit yang dikeluhkan."
"Hmm...gitu ya. Lalu, di mana salahnya? Bukankah tidak salah bila abi meramu obat dari resep internet?" Sahut Ki Tammat menanggapi penjelasan Novi.
Novi tersenyum menanggapi perkataan Ki Tammat. Dia tahu bahwa ayahnya tidak akan tinggal diam atas apa yang dia ungkapkan.
"Kok malah senyum? Jawab pertanyaan abi?" Cetus Ki Tammat dengan nada tidak sabar, emosinya mulai bergejolak kembali.
"Apakah abi yakin apa yang tertulis di internet terjamin kebenarannya? Bagaimana kalau ternyata resep tersebut hanya permainan oleh orang iseng? Siapa pun bisa menjadi siapa di internet, bi!" Novi berbalik bertanya dalam menjawab pertanyaan ayahnya. "Atau dengan kata lain, resep palsu, bi."
Pernyataan Novi telah menghantam Ki Tammat sehingga dia terdiam tak tahu untuk berkata apa sebagai argumentasi.
Dan dalam hatinya, dia berkata, "Wah, aku tak kepikiran sampai ke situ. Bahwa ada kemungkinan berita palsu atau kebohongan yang diumbar. Hanya melihat peluang bisnis berhubung banyak sekali anggota masyarakat yang begitu memuja paranormal walaupun sudah memasuki era modern dan teknologi canggih."
Melihat ayahnya membisu tak berkata-kata, maka Novi meneruskan penjelasannya.
"Pernahkan kepikiran...Bagaimana kalau ternyata obat yang abi berikan justru racun untuk pasien abi? Berhubung abi tidak melakukan pengecekan ulang melalui cek darah, cek urine, dan sebagainya seperti yang dilakukan oleh dokter. Kadang apa yang diucapkan oleh pasien adalah gejala umum, bi bukan hal yang spesifik terhadap penyakit yang tengah diidapnya."
Setelah penjelasan terselesaikan, Ki Tammat berceloteh sebagai tanggapan, "Baik, abi sudah menangkap apa yang kamu maksudkan dengan kejahatan ringan untuk pengobatan yang abi lakukan. Lalu, sekarang dengan saran abi terhadap pasien abi di luar masalah penyakit dan obatnya, di mana letak kesalahannya?"
"Hmmm...untuk hal itu, abi melakukan penipuan ringan pula seperti pengobatan yang abi lakukan! Plus pencurian ringan!" Jawab Novi.
"Letak penipuannya di mana?" Debat Ki Tammat atas jawaban Novi.
"La kan abi memberikan saran juga berdasarkan kepada hasil googling, bi? Bukan atas dasar pemikiran abi sendiri! Menipu pasien seolah-olah abi pintar dan tahu jawaban atas masalah pasien padahal abi melakukan pencurian ide pikiran orang lain yang terdapat di internet yang lalu diakui sebagai ide pikiran abi."
Sekali lagi, Ki Tammat kembali ternganga dan betul-betul mati kutu dalam adu argumentasi dengan putrnya sendiri. Kalah telak.
"Jadi, Novi malu bukan karena label paranormal tapi malu karena abi adalah paranormal palsu di mana abi hanya memanfaatkan peluang bisnis dan kecanggihan teknologi dalam menjalankan profesi paranormal." Kata Novi menegaskan dasar keberatan dirinya terhadap profesi yang tengah dijalankan oleh Ki Tammat, bapaknya.
Ki Tammat hanya bisa menghela napas begitu Novi menyelesaikan perkataanya.
Hening.
"Sekarang, tolong jelaskan hubungan antara pensiun dengan calon suami!" Tegur Ki Tammat begitu dirinya menerima dan memaklumi keberatan Novi.
"Hubungannya mudah saja, bi. Novi tidak mau nanti calon suami mundur dan memutuskan hubungan percintaan dikarenakan dia tahu ternyata abi adalah paranormal palsu. Jadi, Novi baru mengenalkan calon suami ke rumah dengan syarat abi beralih profesi atau dengan kata lain pensiun jadi paranormal palsu." Cerocos Novi yang menjelaskan hubungan antara pensiun dengan calon suami.
"Jadi, kamu baru kenalkan calon suami kepada abi setelah abi pensiun dari profesi paranormal, gitu ya?" Sahut Ki Tammat sebagai penegasan atas pernyataan Novi.
"Betul sekali, bi. Novi baru mengenalkan calon suami bahkan menikah setelah abi pensiun." Tandas Novi. "Novi menikah begitu abi meninggalkan profesi paranormal atau beralih profesi."
Lantas seolah-olah ada kesepakatan di antara mereka berdua, mereka tidak berkata-kata lebih lanjut malah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ki Tammat mengambil pisang goreng yang tersisa dari piring lalu mengunyahnya perlahan-lahan sementara Novi menyeruput kopi yang masih tersisa di gelas yang dia pegang.
Lima belas menit kemudian, barulah Ki Tammat mengambil keputusan untuk kembali mengusir keheningan di teras rumah dengan menegur putrinya, Novi. Dan, hal itu juga dikarenakan tidak ada lagi yang bisa dia lakukan setelah piring yang berisikan pisang goreng kosong melompong begitu pula dengan teh manis hangat digelasnya.
"Jadi, keputusanmu sudah bulat?"
Novi hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Ki Tammat.
"Ya, sudah. Abi hanya bisa mendoakan dan mendukung apapun yang kamu inginkan, nduk!"
"Berarti abi bersedia pensiun dari profesi yang abi tekuni sekarang?" Novi mengkonfirmasikan pernyataan yang terucapkan dari mulut ayahnya, Ki Tammat.
"Iya, abi bersedia untuk pensiun tapi tidak dalam waktu dekat ini."
"Terus kapan, bi? Ya, aku sih tidak ingin abi pada suatu saat tiba nahasnya. Namanya nasib orang kan tiada yang tahu."
"Insha Allah, secepatnya. Mungkin setelah satu atau dua pasien teratasi masalahnya."
"Beneran nih, bi?" Sahut Novi dengan nada merajuk sedikit meragukan pernyataan Ki Tammat.
"Astagfirullah, buat apa abi berbohong terhadap anak sendiri? Tidak ada untungnya!"
"Ma...ma...ma'af, bi. Berhubung abi kan begitu laris dengan omzet milyaran rupiah, jadi aku sedikit meragukan. Masa mau begitu saja pensiun?"
"Boleh saja, kamu tidak percaya, nak. Abi maklum masalahnya kamu belum pernah menjadi orang-tua." Jawab Ki Tammat dengan nada keras sedikit membentak Novi. "Buat orang-tua, anak adalah segala-galanya melebihi uang dan jabatan."
Novi menundukkan kepala begitu Ki Tammat bekata sedikit keras terhadap dirinya.
Lalu, dengan tetap menundukkan kepala, dia berkata lirih, "Ma'afkan Novi, bi."
Melihat Novi sedikit ketakutan, mau tidak mau, Ki Tammat mereda emosinya bahkan trenyuh sehingga dia berkata, "Sudah abi ma'afkan. Lain kali, tolong diatur bicaramu bilamana kamu tengah berbicara dengan abi. Jangan mentang-mentang kamu sudah sarjana dan sudah pintar terus kamu berbicara yang tidak mengenakkan abi. Dan utamanya, jangan sampai kamu jadi anak durhaka!"
"Iya, bi. Lain kali aku akan lebih berhati-hati dalam bertutur-kata terhadap abi atau terhadap yang lain yang lebih tua."
"Alhamdulillah, baguslah kalau begitu." Sahut Ki Tammat.
"Sekarang, boleh aku pamit ke dapur? Aku kan harus masak untuk menu makan siang dan makan malam, bi?" Novi meminta ijin untuk beranjak ke dapur.
"Ya, sudah sana ke dapur. Abi juga harus siap-siap buka praktik." Sahut Ki Tammat.
Lantas keduanya beranjak dari teras depan rumah untuk beraktivitas. Novi menuju dapur sementara Ki Tammat ke lokasi praktik yang tak jauh dari lokasi rumahnya.
= oOo =
Rumah kontrakan, Tanah Kusir II, kawasan tanah kusir, Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Pagi yang cerah nan mendung ini, seperti hari-hari yang lalu, sepasang suami istri sedang menikmati sarapan masing-masing berupa setangkup roti bakar dan segelas teh manis hangat sembari berbincang-bincang di ruang tamu yang sempit sebelum mereka berangkat bekerja. Sepasang suami istri tersebut bernama Edi Arbi dan Rina Prameswari.
Sambil menyeruput teh manis hangat, Edi berkata, "Bagaimana kondisi kandunganmu, ma?"
"Alhamdulillah, baik pa. Terakhir check up di dokter kandungan demikian kabarnya." Jawab Rina.
"Sudah berapa bulan ya kehamilanmu, ma? Kira-kira bulan berapa akan melahirkan?" Kembali Edi bertanya kepada Rina.
"Kalau tidak salah sih, sudah lima bulan, pa."
Edi mangut-mangut menanggapi perkataan Rina.
Melihat Edi mangut-mangut tanpa ada lagi omongan dan kebetulan di pagi hari itu, sang suami mengambil topik bahasan tentang kehamilannya, maka Rina merasa dia perlu untuk mengungkapkan apa yang menjadi beban pikirannya.
Rina pun melanjutkan obrolan dengan pertanyaan, "Bagaimana dengan biaya untuk persalinan, pa?"
Edi tidak langsung menjawab pertanyaan istrinya, sejenak dia menatap mata istrinya. Dari sorot mata istrinya, dia tahu bahwa Rina tengah gelisah dan gundah gulana menghadapi kenyataan bahwa dia tidak lama lagi akan melahirkan anak mereka berdua, sementara kondisi keuangan mereka belum bisa dikatakan cukup apalagi berlebihan.
Melihat suami hanya terdiam dengan tatapan tajam kearahnya, Rina berdehem.
"Ehem...ehem..."
Edi tersadar oleh kode tersebut, Rina menunggu jawaban dari dirinya. Dia tatap wajah Rina, istrinya, terlihat raut wajah yang suram menyimpan sejuta masalah yang butuh diselesaikan. Dia genggam tangan Rina dan berkata, "Sedang dipikirkan jalan keluarnya, ma. Sabar ya, ma. Insha Allah, ada jalan keluar atas masalah kita."
Jawaban diplomatis dikemukakan oleh Edi untuk meredakan kegelisahan istrinya, Rina.
Rina tak berkata apa-apa dan tetap membiarkan tangan mungilnya digenggam oleh Edi, suaminya
Melihat Rina hanya diam, maka Edi kembali melanjutkan perkataannya, "Mama tidak usah memikirkan biaya persalinan, lebih baik mama berkonsentrasi untuk menjaga kandungan. Menjaga anak kita. Urusan biaya persalinan biar papa yang memikirkan jalan keluarnya. Insha Allah, papa yakin ada jalan keluar yang baik untuk kita, ma."
Mendengar jawaban dan ketegasan sikap yang diambil oleh Edi yaitu dia akan mengusahakan mencari dana persalinan tidak serta merta, Rina merasa sedikit lega. Dengan segera, dia menyahuti perkataan Edi, "Kalau boleh tahu, solusi apa yang sudah papa pikirkan?"
Edi tersenyum mendengar pertanyaan Rina tersebut. Dia tahu bahwa Rina tidak dengan serta merta segera tenang. Dia mengenal karakter Rina sejak Rina masih berstatus sahabat sebelum diperistri, jadi luar dalam tentang Rina pun bagaikan dia mengenal dirinya sendiri.
"Begini, ma. Langkah awal, papa akan mengusahakan pinjaman dari kakak kandung papa sendiri, mas Naufal. Selama ini kita tahu bahwa kondisi ekonomi keluarga mas Naufal jauh lebih baik daripada keluarga kita."
Mendengar solusi yang diambil oleh Naufal, Rina mengernyitkan sebelah alisnya sambal mencibir, "Papa yakin mas Naufal mau memberikan pinjaman terhadap kita? La wong dikunjungi saja ke apartemennya saja, dia sudah bersikap sinis terhadap kita?"
"La kan belum dicoba? Soal sinis, biarkan saja sinis yang penting dia mau tergerak untuk meminjamkan uang untuk kita!" Sahut Edi. "Resiko, ma...untuk orang yang mau minta tolong. Kadang memang kita diperlakukan tidak sepatutnya, tapi demi calon anak kita, ya apa boleh buat, papa harus lakukan!"
"Hmmm...gitu ya. Tapi, seandainya gagal, bagaimana?" Kembali Rina berargumentasi. "Kan kita tak begitu dekat dengan keluarga mas Naufal?"
"Ya, mungkin, papa akan coba meminta saran untuk jalan keluar dari teman papa di kantor, ma. Kan siapa tahu mereka ada kolega atau saudara yang punya kelebihan uang sehingga bisa memberikan pinjaman kepada kita."
Bisu kembali.
Lima menit kemudian...
Rina membuka pembicaraan kembali.
"Baiklah, pa. Kita berbagi tanggung-jawab, mama akan berkonsentrasi untuk menjaga kandungan sementara papa mengusahakan seoptimal mungkin penyediaan dana untuk persalinan mama kelak."
"Siap, Ma." Sahut Edi.
"Ya sudah, Pa. Mama mau mandi. Hari ini dan beberapa hari ke depan, mama dapat shift siang, jadi agak longgaran berangkat dari rumahnya."
"Wah, enak dong. Sama dong dengan papa. Ternyata kita memang jodoh." Kelakar Edi menanggapi ucapan istrinya.
"Iiih, sama-samain." Gerutu Rina dengan mendelik gemas atas gurauan Edi.
"Tapi, suka kan?"
"Eh pagi-pagi udah ngegombal. Tidak ada recehan, Pa!"
"Ya, sudah sana mama mandi. Papa mau baca koran dulu biar kekinian tidak ketinggalan berita."
"Baik, Pa. Mama tinggal dulu." Sahut Rina dengan melepas genggaman tangan suaminya lalu menggerakkan kakinya beranjak menuju kamar mandi dan meninggalkan Edi sendirian di ruang tamu.
= oOo =
Perumahan Pondok Indah, Pondok Indah, Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Di teras halaman belakang yang luas dari sebuah rumah mewah , terlihat sepasang suami istri yang berusia di atas enam puluh tengah menikmati suasana taman yang terpampang di depan mereka dan menikmati sejuknya cuaca pagi yang belum terkontaminasi oleh polusi udara. Kebiasaan tersebut sudah berulang kali dilakukan oleh suami istri bernama Kaswadi Prawirodirdjo dan Mintarti.
Tiada yang berbicara hanya keheningan dan kesunyian mencekam di mana suami istri tersebut masing-masing tengah tenggelam dalam pikirannya. Terlihat jelas dibalik kemewahan, ternyata mereka tidak bahagia.
Lantas, tiba-tiba, keheningan terhenti oleh suara teguran dari Mintarti tertuju kepada Kaswadi, suaminya.
"Apakah mas sudah tahu di mana keberadaan Sugeng, anak kita?"
Kaswadi menoleh ke arah istrinya. Dia tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap mata istrinya, mencoba menyelami kegelisahan istrinya.
Melihat Kaswadi, suaminya hanya menatap dia tanpa memberikan jawaban atas pertanyaannya, kembali Mintarti berkata, "Mas...Bagaimana? Apakah mas sudah menemukan jejak keberadaaan Sugeng, anak kita?"
Kembali Kaswadi tidak menjawab pertanyaan istrinya, malah dia mengusap wajahnya lalu menghela napas. Huff...
Mintarti bingung melihat kelakuan suaminya. Berhubung sudah mulai emosi, dengan nada keras, dia mengulangi ketiga kalinya dengan tema pertanyaan yang sama kepada suaminya.
"MAS...Apakah mas sudah tahu di mana Sugeng, anak kita sekarang berada? Jawab dong, jangan diam aja!"
Berhubung nada suara Mintarti sudah keras dan meninggi, Kaswadi terpaksa menanggapi pertanyaan istrinya.
"Aku belum tahu di mana Sugeng anak kita, bertempat-tinggal, dik. Mohon bersabar, detektif sewaanku belum memberikan hasil yang positif dan menggembirakan."
Mintarti pun melongo seolah dia tak percaya atas apa yang telah dia dengar.
Selang beberapa menit kemudian, barulah Mintarti mendebat, "Masa sih sudah sebulan dan dibayar mahal tidak mampu mencari-tahu di mana Sugeng berada?"
"Dik, Jakarta itu luas. Tidak semudah itu menemukan orang di antara puluhan juta orang yang mencari makan di sini."
Menyadari kenyataan tersebut yang tak terbantahkan, maka Mintarti mengajukan pandangan lain kepada suaminya.
"Apa perlu kita mencari solusi lain, Mas?"
"Solusi yang bagaimana, Dik?" Kaswadi balik bertanya kepada Mintarti. "Lapor polisi pun sudah kita lakukan tapi ternyata tidak ada perkembangan malah jauh lebih baik dengan orang bayaran kita yang selalu update atas hasil kerjanya!!"
"Hmmm...mungkin, kita bisa berkonsultasi dengan orang pintar, Mas."
"Apa yang kamu maksudkan dengan orang pintar, dik? Tolong diperjelas!"
"Mas tidak tahu atau pura-pura tidak tahu dengan orang pintar yang kumaksudkan?" Todong Mintarti begitu Kaswadi mempertanyakan apa yang dimaksudkan dengan orang pintar.
Kaswadi terdiam. Sebenarnya dia sudah bisa menebak ke mana maksud dan tujuan dari perkataan istrinya, dia hanya ingin mempertegas kebenaran dari tebakannya sehingga dia bertanya balik kepada istrinya.
Melihat Kaswadi hanya diam, maka Mintarti bertanya kembali, "Beneran Mas tidak tahu yang kumaksudkan? Atau sebenarnya tahu tapi takut kalau Mas kuanggap musyrik gitu bila mas menebak orang pintar itu adalah paranormal?"
Begitu terceplos kata "Paranormal" dari istrinya, Kaswadi langsung berkata, "Yups, aku sudah bisa menebak apa yang kamu maksudkan diajeng, sayangku. Aku hanya butuh konfirmasi saja."
"Terus?" Cecar istrinya begitu Kaswadi menyelesaikan ucapannya. "Apakah Mas bakal keberatan kalau kita berkonsultasi dengan seorang paranormal?"
"Jujur saja, aku memang keberatan. Dalam Islam, ada larangan untuk berhubungan dengan paranormal dan bila melakukannya akan berdosa. Tapi, berhubung kita kehilangan anak satu-satunya maka dosa terpaksa kukesampingkan. Lebih baik aku menanggung dosa tapi berujung dengan berkumpulnya kembali keluarga kita."
"Jadi, maksud Mas? Mas setuju dengan usulanku?"
"Iya, dik. Aku setuju dengan usulanmu. Tidak ada salahnya kita mencoba untuk berkonsultasi dengan paranormal untuk menemukan anak kita, Sugeng. Sekali lagi, kutegaskan. Biarlah dosa ini kelak kupertanggung-jawabkan di akhirat asalkan anak kita bisa berkumpul kembali dengan kita."
"Terima kasih, Mas. Mas mau mendengarkan usulanku bahkan mendukungku." Sahut Mintarti dengan wajah semringah.
Hening.
"Dik, apakah kamu sudah menghubungi nak Walda?" Kaswadi menegur Mintarti setelah mereka berdua sempat terdiam beberapa menit.
"Belum, Mas. Aku belum menghubungi nak Walda." Jawab Mintarti. "Yang sudah aku hubungi adalah mantan kekasih anak kita, si Yuli!"
"Terus, hasilnya apa?"
"Yuli bilang Sugeng tidak pernah menghubungi lagi sejak putus setahun yang lalu. Jadi, dia buta di mana keberadaan Sugeng."
Mendengar penjelasan istrinya, Kaswadi terdiam.
Dalam hatinya, "Berarti kecil kemungkinan Sugeng berada di kota Semarang, berhubung Yuli dan Sugeng benar-benar sudah tidak ada komunikasi di antara mereka berdua."
Melihat Kaswadi terdiam setelah mendengar jawabannya, Mintarti pun balik bertanya, "Kok tiba-tiba aku disuruh menghubungi nak Walda, Mas?"
"Yah, tadi barusan aku kepikiran. Siapa tahu nak Walda tahu keberadaan dari Sugeng. Kan mereka bersahabat sejak masa SMA bahkan hingga sekarang kulihat akur-akur saja."
"Iya...iya...betul sekali. Kok nggak kepikiran untuk menghubungi nak Walda ya? Malah kepikiran si Yuli!" Cetus Mintarti menyetujui pendapat suaminya.
"Coba saja, kamu hubungi nak Walda, siapa tahu dapat berita bagus. Sementara itu aku tetap mengusahakan pencarian Sugeng melalui detektif dan juga, melalui paranormal sesuai saranmu tadi."
"Baik, Mas. Nanti jam istirahat makan siang, biar kutelpon nak Walda."
"Terima kasih, dik." Sahut Kaswadi begitu Mintarti menyanggupi untuk menelepon Walda.
"Sama-sama, Mas. Kan semua ini demi berkumpulnya kembali keluarga kita, Mas. Nggak enak berdua saja di rumah. Sepi!!"
Kaswadi tersenyum mendengar keluhan istrinya. Dia maklum, namanya ibu walaupun anaknya sudah dewasa tetap dimatanya anak tersebut adalah anak kecil.
Melihat suaminya tersenyum, Mintarti menjadi curiga lalu dia menegurnya, "Kenapa, Mas? Kok senyum-senyum?"
"Aah, nggak papa. Aku hanya memaklumi apa yang tengah kamu rasakan sebagai seorang ibu!"
"Maksudnya, Mas?" Tanya Mintarti dengan dahi berkerut.
"Maksudku, aku memaklumi bahwa dimatamu, Sugeng tetap anak kecil walaupun dia sudah dewasa bahkan sekarang sudah menyelesaikan kuliahnya dan mungkin sekarang sudah bekerja di suatu tempat. Makanya, aku jadi senyam-senyum."
"Kok tahu apa yang kurasakan, Mas?" Mintarti bertanya kembali kepada suaminya.
"Ya, tahulah. Kamu lupa ya, aku kan anak tunggal sekaligus anak mama? Ketika kita sudah menikah pun, aku yang sudah menjadi kepala keluarga tetap saja ditelpon dan dikontrol oleh almarhumah ibuku, selain ditelpon dan dikontrol oleh dirimu, Sayangku."
"Oh ya...ya...Aku ingat...aku ingat sekarang. Dulu, aku sempat cemburu sama almarhumah. Tapi, sekarang kalau dipikir-pikir aku jadi mirip almarhumah ibumu, Mas...ha ha ha."
"Ha ha ha..."
Mereka tertawa berdua mengenang masa lalu, masa di mana awal pernikahan mereka sekaligus masa di mana kedua orang tua mereka masih sehat dan hidup.
Setelah puas tertawa, mereka berpandangan. Mereka sadar bahwa mereka sudah semakin tua dan tinggal menunggu waktu untuk dijemput oleh maut.
Lalu, Mintarti berkata, "Nggak terasa ya Mas, kita sudah tua?"
"Aah...kamu tuh bisa aja. Mana mungkin kita tambah muda pastinya ya tambah tua. Sugeng saja memasuki awal tiga puluhan. Masa kita jadi muda? Tapi, kecantikanmu tetap sama kok! Nggak berkurang walaupun sudah beruban." Canda Kaswadi menimpali perkataan Mintarti dengan dibarengi kedipan genit.
"Iih, dasar aki-aki! Malah ngegoda! Ingat, umur!" Protes Mintarti walaupun dia sadar pasti wajahnya memerah. Karena dia tahu, bahwa dia tak pernah tak bisa memerah wajahnya bilamana digoda oleh suaminya.
"Kamu tuh tetap secantik dulu, Sayangku." Kaswadi mempertegas ucapannya.
"Pagi-pagi sudah ngegombal!" Sahut Mintarti dengan manyun merajuk namun semburat merah jambu merona di wajahnya.
Dalam hatinya Mintarti berkata, "Alhamdulillah, suamiku tak berubah sejak masa mudanya hingga sekarang, tetap menyayangi dan mencintaiku yang sudah menua ini."
Kelakuan mereka berdua yang saling menggoda terhenti ketika tiba-tiba ponsel milik Kaswadi yang tersimpan di saku celana bergetar.
Langsung, Kaswadi merogoh celananya dan mengeluarkan ponselnya.
Dan, begitu tahu, siapa yang tengah menghubunginya dari layar ponsel, Kaswadi berkata, "Sebentar ya, dik. Aku harus angkat telepon ini."
Mintarti menganggukkan kepala dan membiarkan suaminya berbicara dengan seseorang melalui ponsel.
Selang lima menit kemudian, Kaswadi menegur istrinya begitu pembicaraan di ponsel berakhir.
"Dik, ada berita bagus!"
"Berita apa, Mas? Apa tentang anak kita, Sugeng?"
"Betul sekali, dik." Jawab Kaswadi sambil menganggukkan kepala.
"Di mana anak kita, Mas?" Todong Mintarti tanpa basa-basi.
"Tadi sih, detektif sewaanku hanya tahu gedung di mana anak kita bekerja, Sayangku. Secara jelasnya di lantai berapa dan perusahaan apa belum terlacak." Jawab Kaswadi. "Nanti menyusul beritanya."
"Alhamdulillah..." Sahut Mintarti.
"Ya, benar sekali, dik. Alhamdulillah, akhirnya ada titik terang."
"Tetap jadi kan? " Mintarti berkata dengan menggantung kalimat.
"Jadi apa, Sayangku?" Kaswadi bertanya balik terhadap ucapan menggantung dari Mintarti.
"Mas tetap jadi kan untuk berkonsultasi dengan paranormal?" Konfirmasi Mintarti terhadap langkah yang bakal diambil oleh Kaswadi.
"Menurutmu, masih perlukah?"
"Masih perlu, Mas. Perlu untuk memperkuat posisi kita dan sekaligus untuk membuka hati anak kita supaya tidak angkuh terhadap idealisme dirinya."
"Gitu ya? Ya sudah, nanti kucari paranormal mumpuni untuk kuajak bicara dari hati ke hati tentang masalah kita." Kata Kaswadi menyanggupi begitu Mintarti menjelaskan alasan untuk tetap berkonsultasi dengan sosok paranormal.
"Terima kasih, Mas. Terima kasih atas kesediaan mas dalam memenuhi permintaanku." Sahut Mintarti.
"Sama-sama, dik. Kamu juga jangan lupa untuk menghubungi nak Walda!" Kaswadi mengingatkan Mintarti untuk tetap menghubungi Walda, sahabat anak mereka Sugeng walaupun sudah ada titik terang terhadap posisi keberadaan anak mereka.
"Iya, Mas. Nanti siang pas jam istirahat makan siang, aku akan telepon nak Walda." Janji Mintarti.
"Ya sudah. Aku mau siap-siap ke kantor. Nggak enak sama anak-anak kalau terlambat terlalu lama walaupun aku adalah boss."
Mintarti terkekeh begitu Kaswadi menyelesaikan perkataannya.
"Ha ha ha...bisa saja, Mas ini."
"La iyalah, aku kan harus menjadi contoh untuk mereka dalam disiplin waktu kerja!"
"Iya...iya...sudah sana mandi, Mas!" Sergah Mintarti. "Masa langsung berangkat ke kantor nggak pakai mandi?"
"Siap, komandan." Sahut Kaswadi dengan beranjak dari teras belakang rumah menuju kamar mandi utama dan meninggalkan Mintarti tetap di teras belakang.
= oOo =
Kejadian berlangsung dari pukul 10:00 WIB s.d. pukul 11:30 WIB
Kantor pengacara Ali dan kawan-kawan, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Ruang tunggu kantor pengacara Ali Buana yang luas dan sejuk berkat AC ternyata tidak berpengaruh banyak terhadap suasana hati yang memanas dalam diri kedua perempuan yang berusia sama di pertengahan dua puluh tahun. Mereka berdua ibu dan anak namun bukan ibu dan anak kandung melainkan ibu tiri dengan anak perempuan tiri. Sang ibu tiri bernama Annie Subroto sementara anak perempuan tirinya, bernama Oktavia Subroto.
Mereka berdua tidak pernah akur dari almarhum ayah Oktavia, Subroto masih hidup apalagi sekarang setelah Subroto tiada bak kucing dan anjing.
Mereka tengah menunggu pembacaan surat wasiat dari almarhum Subroto. Dan, mereka ingin cepat-cepat menyingkir dan tak berharap untuk bertemu kembali setelah menerima jatah warisan dari almarhum Subroto.
Setelah menunggu selama setengah jam, barulah terdengar pintu ruang tunggu dibuka dan masuklah ke dalam ruangan, seorang pria dengan sosok tambun dan berkepala botak. Dia, sang pengacara yang mewakili almarhum Subroto, dia yang dikenal dengan nama Ali Buana, S.H., M.H.
Begitu Ali Buana mendudukkan pantatnya di sofa, langsung serempak dan seolah sepakat kedua perempuan muda, baik Annie maupun Oktavia, berkata, "Bisa kita mulai, pak?"
Terkejut karena kekompakan mereka, akhirnya mereka saling berpandangan dengan tatapan sadis. Lalu, terjadilah cekcok mulut.
"Dasar anak gadis berandalan yang tahunya cuma foya-foya!" Caci maki terucapkan dari mulut Annie.
Sebaliknya, Oktavia berkata tak kalah sadisnya, "Dasar lonte! Dasar pelacur! Sukanya cuma morotin harta bokap gue! Gue tahu elo nggak cinta sama bokap gue...elo cuma butuh duit untuk bayarin gaya hidup sosialita elo itu!!"
Lantas, keduanya berbarengan berdiri dari sofa untuk saling berhadapan dengan saling menatap buas seolah-olah hendak saling menerkam dan memakan di ruang tunggu tersebut.
Berhubung melihat kemungkinan kegaduhan makin lama dan pastinya membuat suasana kantor tidak nyaman, maka dengan nada keras dan sedikit membentak untuk melerai kedua perempuan tersebut, Ali Buana berkata, "Ibu Annie dan Nona Oktavia bila tidak bisa diam, saya terpaksa mengundurkan pembacaan surat wasiat dari almarhum Subroto!"
Begitu ancaman selesai diucapkan oleh Ali Buana, segera Annie dan Oktavia menghentikan cekcok mulut mereka. Berhubung mereka berdua sudah tidak sabar untuk mengetahui apa yang akan diterima dari almarhum Subroto sebagai ahli waris dari ybs.
"Bisakah saya mulai untuk membacakan surat wasiat dari almarhum Subroto? Sudahkah anda berdua tenang?" Tanya Ali Buana.
Baik Annie maupun Oktavia menganggukkan kepala sebagai tanda mereka sudah tenang dan bisa mendengarkan apa yang bakal dibacakan oleh Ali Buana.
Sejenak Ali Buana menatap satu per satu tamunya yang hadir di pembacaan surat wasiat yang tengah duduk di sofa dihadapannnya.
Lalu, setelah dia yakin bahwa Annie dan Oktavia tidak akan membuat keributan lagi dikantornya, barulah dia mulai membacakan surat wasiat dari almarhum Subroto yang merupakan salah satu kewajiban dirinya selaku pengacara keluarga Subroto.
Selamat siang,
Ketika surat ini dibacakan oleh saudara Ali Buana berarti saya, Subroto telah tidak ada di dunia ini. Dan, kalian yang saya tinggalkan untuk meneruskan hidup kalian akan menerima hak kalian masing-masing selaku ahli waris saya, Subroto.
Pertama, untuk anak gadis saya yang semata wayang, Oktavia.
Sebagai ayah kandungmu walaupun sering kali tindak-tandukmu mengecewakan namun saya tetap akan bertanggung-jawab atas kesejahteraanmu sebelum dirimu menikah oleh sebab itu, saya, Subroto selaku ayah kandungmu mewariskan harta berupa :
1) Perusahaan yang bernama PT. Grha Upaya Artha untuk kamu kelola (segera urus untuk ganti kepemilikan).
2) Rumah mewah yang berlokasi Perumahan Permata Hijau untuk kamu tinggali (segera urus untuk ganti kepemilikan).
3) Mobil mewah Toyota Camri tahun 2012 (segera urus untuk ganti kepemilikan).
4) Deposito senilai tiga milyar lima ratus juta rupiah sebagai simpanan hari tuamu (segera kamu urus untuk ganti kepemilikan).
Kedua, untuk istri saya, Annie.
Sebagai suami syahmu walaupun tidak sampai puluhan tahun usia pernikahan kita dan walaupun dirimu cuma bisa dandan dan goyang di atas ranjang, namun saya selaku suamimu tetap memberikan hakmu selaku istri syah untuk kesejahteraan hidupmu setelah saya tiada. Adapun harta yang kamu terima berupa :
1) Apartemen Lexington tipe Studio sebagai tempat tinggalmu (segera urus untuk ganti kepemilikan).
2) Mobil mewah Mazda CX-5 (segera urus untuk ganti kepemilikan).
Ketiga, bila salah satu di antara kalian ternyata menyusul ke alam akhirat, maka yang tersisa akan mewarisi hartanya.
Keempat, bila kalian berdua ternyata tidak berumur panjang, maka harta milik kalian berdua akan dihibahkan kepada yayasan yatim piatu.
Demikianlah semua harta saya telah saya bagi rata untuk kalian berdua sesuai dengan kedudukan dan posisi kalian masing-masing di mata saya. Dan, pembagian ini saya lakukan dalam kondisi sehat wal'afiat dan tidak dalam kondisi tekanan dari pihak mana pun.
Jakarta, 05 Maret 2017
Subroto
Hening mencekam dalam ruang tunggu setelah pembacaan surat wasiat terselesaikan. Semua yang hadir dalam ruangan tengah sibuk dengan pikiran masing-masing.
Selang sepuluh menit kemudian, barulah ada tanda kehidupan dengan bersuaranya, Ali Buana kepada kedua tamunya.
"Apakah ada pertanyaan?"
Langsung begitu diberikan kesempatan bertanya, Annie tanpa tedeng aling-aling nyerocos mengungkapkan isi hatinya.
"Pak, apa tidak salah dengan pembagian warisan tersebut?"
Ali Buana tersenyum, dia tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Annie. Dia langsung menyodorkan surat wasiat almarhum Subroto untuk dibaca sendiri oleh Annie.
Annie menerima surat wasiat tersebut lalu setelah menyatakan kebenaran berita yang didengarnya maka dia mengembalikan surat wasiat kepada Ali Buana.
Tak ada yang bisa dilakukan oleh Annie selain menghela napas kekecewaan berhubung ya memang cuma dapat jatah warisan segitu.
"Bagaimana dengan nona Oktavia? Apakah ada pertanyaan?" Tanya Ali Buana setelah menuntaskan pertanyaan yang diajukan oleh Annie.
Oktavia menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa dia pun ingin bertanya.
Ali Buana kembali berkata, "Silahkan, nona Oktavia. Apa yang perlu saya perjelas atau saya bantu?"
Begitu Ali Buana menyelesaikan ucapannya, Oktavia langsung bersuara, "Pak, apakah pengurusan pergantian nama dilakukan oleh bapak atau saya sendiri?"
"Terserah nona. Bisa saya bantu kepengurusannya atau bisa nona lakukan sendiri. Dengan catatan kalau saya bantu untuk kepengurusan tentu butuh waktu lebih lama berhubung saya juga harus mengurus klien saya lainnya."
"Owh gitu, pak. Bagaimana kalau sebagian saya urus sendiri dan sebagian bapak bantu urus?" Oktavia menawarkan solusi terhadap kepengurusan dokumen peralihan nama dari almarhum Subroto kepada dirinya selaku putri tunggal almarhum.
"Wow, usulan cemerlang dan bagus sekali nona. Baiklah, saya setuju. Sekarang, dokumen apa yang saya urus dan dokumen apa yang nona urus sendiri?" Sahut Ali Buana.
"Bagaimana, kalau untuk dokumen perusahaan dan rumah yang bapak bantu untuk peralihan namanya? Biar saya yang urus peralihan BPKB dan deposito."
"Boleh...boleh...Berarti kita deal ya. Oh ya, biaya alih nama tetap tanggungan nona lo."
"Iya, pak. Saya tanggung semua biaya tersebut." Tegas Oktavia terhadap permintaan yang diajukan oleh Ali Buana.
Sementara Annie memandang kedua orang yang terlibat obrolan dengan tatapan sebal dan bibir mengerucut manyun. Berhubung dia merasa tidak adil terhadap pembagian harta warisan ini.
"Ya sudah. Acara hari ini telah selesai. Ibu Annie dan nona Oktavia, saya persilahkan keluar ruangan. Ma'af, saya masih ada sesi untuk klien saya selain ibu dan nona setelah ini."
Baik Annie maupun Oktavia menganggukkan kepala setelah Ali Buana mempersilahkan mereka untuk meninggalkan kantornya.
Pertama, Annie-lah yang keluar ruangan baru kedua, Oktavia menyusulnya. Dan, terakhir adalah Ali Buana yang harus kembali ke ruang kerjanya untuk menyelesaikan agenda kerja di hari ini.
= oOo =
Kejadian ini berlangsung dari pukul 12:00 WIB s.d. pukul 12:30 WIB
Gedung Permata Bank, ruang staf keuangan, lantai 6, Bintaro sektor VII, Tangerang, Banten
Cuaca terik menyengat di luar gedung perkantoran tak dirasakan oleh Sugeng Prawirodidjo dan Walda Haritanto. Hal ini dikarenakan kedua sahabat tersebut tengah menikmati santap siang melalui jasa delivery order sehingga mereka tak perlu repot keluar kantor untuk mencari santap siang.
Begitu menu makan siang tersantap habis, kedua sahabat tersebut terlibat obrolan seputar masalah Sugeng dengan kedua orang-tuanya.
"Sampai kapan elo bersembunyi dari keluarga elo, nyet?" Tegur Walda memulai obrolan dengan Sugeng.
"Ya, sampai gue bisa membuktikan kepada bapak gue bahwa gue mampu mandiri dan punya karier cemerlang tanpa harus menggunakan fasilitas yang bapak gue berikan nyuk."
Begitulah kedekatan di antara mereka sehingga mereka saling menyapa dengan sebutan olok-olokan, monyet dan kunyuk.
"Wah, itu sih repot nyet. Apalagi elo di sini belum ada setahun, malah baru tiga bulan dari kontrak enam bulan masa percobaan." Sahut Walda dengan nada pesimistis. "Kalau mau berkarier cemerlang dalam tempo setahun itu, butuh mukjizat dan keajaiban, nyet."
"Tapi, bukan tidak mungkin kan, nyuk?" Timpal Sugeng dengan nada optimis berlawanan dengan Walda yang justru pesimis.
"Ya, memang sih bukan tidak mungkin. Tapi, seperti yang gue bilang butuh mukjizat dan keajaiban untuk mengantar elo sampai jenjang Supervisor paling tidak dalam tempo setahun! Gitu lo, nyet!" Ujar Walda menanggapi perkataan Sugeng, sahabatnya. "Gue aja butuh dua tahun untuk jadi Supervisor dan tiga tahun untuk mencapai posisi sebagai manajer."
"Ya, kan itu elo bukan gue." Debat Sugeng. "Gue yakin gue bisa mencapai posisi Supervisor dalam setahun ini, nyuk."
"Ya, sudahlah. Oke-oke, buat gue sih masa depan elo ya terserah elo. Tapi, selaku sahabat yang baik. Saran gue sih jangan kebanyakan gengsi. Mendingan elo gantikan posisi bokap elo dalam mengelola perusahaan milik bokap elo itu!" Saran Walda menanggapi sikap keras-kepala, Sugeng.
"Ogah. Titik." Nada tegas terucapkan dari mulut Sugeng atas saran Walda.
Walda terdiam lalu geleng-geleng kepala, takjub atas sikap keras kepala Sugeng, sahabatnya. Sudah berulang kali, dia memberikan nasehat dan saran namun tetap saja, Sugeng menolak untuk kembali berkumpul dengan kedua orang-tuanya bahkan benar-benar memutus komunikasi dengan mematikan nomor ponsel yang diketahui oleh ibu dan bapaknya.
Lima menit kemudian setelah keheningan menyapa di antara mereka berdua, Walda kembali bersuara.
"Sekarang, gue mau tanya sesuatu. Elo keberatan atau tidak, nyet?"
"Tanya aja, bro." Sahut Sugeng.
"Seandainya bokap atau nyokap elo tanya tentang elo, apa yang mesti gue lakukan? Jujur atau bohong."
Sugeng terdiam. Dia tak langsung menjawab. Dia tengah menimbang-nimbang tentang apa yang harus dilakukan oleh sahabatnya, Walda.
Melihat Sugeng diam saja. Walda kembali berkata, "Eh nyet, apa yang mesti gue lakukan? Jangan diam aja. Kan bokap dan nyokap elo kenal baik sama gue dan keluarga gue."
"Hmm...sebaiknya untuk sementara ini elo bilang elo sudah lama tidak berkomunikasi dengan gue. Ya, sedikit berbohonglah demi gue. Paling tidak sampai gue kepikiran solusi lain supaya elo tidak berada di posisi yang tidak nyaman."
"Baiklah, gue bersedia untuk bohong demi bantu elo. Tapi, jangan minta berbohong terus-terusan berhubung gue nggak mau dos ague makin banyak!" Sahut Walda.
Sugeng tertawa sambil menepuk-nepuk bahu Walda begitu mendengar kesanggupan Walda untuk berbohong kepada kedua orang-tua-nya.
"Udah...udah...sekarang tuh, elo mulai pikirkan solusi lain untuk mengatasi masalah yang melibatkan gue ini! Biar gue dan keluarga nggak terjepit posisinya antara elo dengan kedua orang tua elo. Apapun yang gue lakukan punya efek yang tidak mengenakkan buat gue, gitu lo!" Tegur Walda untuk mengingatkan Sugeng supaya tak ternina-bobokan dengan kebohongan.
Mendengar teguran tersebut, Sugeng menyahuti, "Siap, nyuk. Pokoknya bohong dulu untuk sementara ini. Nanti bila sudah ketemu solusi lain, gue kasih tahu elo."
Bisu kembali.
"Oke, gue balik ke ruangan gue." Kata Walda sembari beranjak dari kursinya setelah sempat kebisuan terjadi. "Entar selesai jam kantor, kita lanjutkan lagi obrolan. Kalau sempat lho...he he he...Nice to talk with you, nyet!"
Sugeng tersenyum sambil menunjukkan jempol atas ucapan Walda yang meninggalkan dirinya di ruangan tersebut.
Setelah Walda tidak lagi berada dihadapannya, Sugeng beranjak dari kubikel menuju ke lift yang akan membawa dirinya ke pelataran parkir. Hal ini dikarenakan dia ingin melepas stres akibat kekalutan pikiran terkait masalah keluarga dengan mengisap sebatang-dua batang rokok sebelum jam istirahat makan siang berakhir.
Sembari menunggu pintu lift terbuka, Sugeng berkata dalam hati untuk menyemangati diri sendiri, "Semoga masalahku cepat teratasi. Aamiin."
= oOo =
Kejadian ini berlangsung dari pukul 12:30 WIB s.d. pukul 13:00 WIB
Gedung Permata Bank, ruang manajer technical support, lantai 6, Bintaro sektor VII, Tangerang, Banten
Baru saja, Walda mendudukkan pantatnya di kursi empuk, ponsel dalam saku celana bergetar hebat menandakan ada telepon masuk.
Segera dirogohnya saku celana kemudian dikeluarkan ponsel tersebut.
Sebelum di-klik tombol terima, Walda melihat layar ponsel untuk mengetahui siapa gerangan yang meneleponnya tepat di jam istirahat makan siang.
Ternyata apa yang dia takutkan benar-benar terjadi. Masalah antara Sugeng dengan kedua orang-tuanya pada akhirnya melibatkan dirinya.
Hal ini dikarenakan layar ponsel tertulis nama Mintarti, sosok yang dia kenal sebagai ibu kandung dari Sugeng.
Setelah menyiapkan mental dan getar kesekian kali barulah dia klik tombol terima.
"Assalam mu'alaikum, selamat siang nak Walda." Sapa Mintarti dengan nada lembut keibuan di seberang sana.
"Wa alaikum salam, selamat siang juga, bu." Sahut Walda.
"Ma'af mengganggu jam istirahat, nak Walda. Bolehkah ibu minta waktunya sebentar?"
"Owh, silahkan bu. Mumpung masih ada sisa setengah jam sebelum memasuki jam kerja."
Begitu ada konfirmasi kesanggupan Walda untuk menerima teleponnya, maka Mintarti tanpa basa-basi mengutarakan maksud dirinya menelepon Walda, sahabat putra semata wayangnya, Sugeng.
"Bersediakah nak Walda untuk bertemu ibu di luar kantor? Biar leluasa untuk ngobrolnya dengan nak Walda. Saya tidak suka berbicara tentang sesuatu hal melalui telepon."
"Owh gitu ya, bu. Baiklah, bu...Saya setuju saja untuk bertatap muka dengan ibu di luar kantor saya. Kira-kira kapan ya waktunya?" Walda bertanya balik kepada Mintarti sebagai tanggapan atas maksud Mintarti menelepon dirinya.
"Bagaimana kalau besok siang tepat jam istirahat makan siang?" Mintarti menawarkan pembicaraan antara mereka berdua dilakukan keesokan hari.
"Boleh-boleh, bu. Lokasinya di mana, bu? Dekat rumah ibu-kah?"
"Karena saya yang butuh bantuan nak Walda, sebaiknya di Bintaro Plaza, nak Walda. Kan biar nak Walda tidak terlalu lama meninggalkan kantor!" Jawab Mintarti.
"Owh, oke-oke, bu." Sahut Walda. "Baik, bu."
"Ya, sudah. Terima kasih atas kesediaannya untuk ngobrol sejenak dengan ibu dan tentunya kesediaan nak Walda untuk meluangkan waktu bertemu dengan ibu di luar kantor."
"Nggak jadi masalah kok, bu. Kan ibu sudah saya anggap sebagai ibu saya sendiri juga."
"Kembali ibu ucapkan terima kasih. Ya sudah, sampai bertemu besok siang. Wassalam mu'alaikum."
"Wa alaikum salam." Sahut Walda sebelum nada putus sambungan terdengar.
= oOo =
Kejadian ini berlangsung pukul 14:00 WIB s.d. pukul 14:30 WIB
PT.Raga Wacana Satya Nugraha, Ruang Direktur Utama, Skyline Building, lantai 9, Thamrin, Jakarta Pusat, DKI Jakarta
Sore itu, dalam ruang direktur utama yang lapang dan lega serta dilengkapi dengan AC yang menyejukkan ruangan tersebut terlihat dua sosok laki-laki yang tengah duduk berhadap-hadapan untuk membicarakan sesuatu hal.
Mereka adalah Kaswadi yang merupakan Direktur Utama dari PT.Raga Wacana Satya Nugraha dan Soegiyono yang merupakan salah satu pengawal pribadi yang disewa oleh Kaswadi sebagai tenaga pengaman dan pelindung untuk dirinya dan keluarga.
"Saudara Nyono, boleh saya panggil dengan nama tersebut?" Tanya Kaswadi membuka obrolan dengan staf security-nya tersebut.
"Boleh...boleh, pak. Siap, pak."
"Nggak usah terlalu tegang begitu." Canda Kaswadi melihat respon dari Soegiyono yang begitu tegang dan kaku.
Dengan senyum sedikit dipaksakan, Soegiyono menimpali candaan Kaswadi, "Ya, tetap saja tegang, pak. Aura dan kharisma bapak selaku pimpinan begitu kentara."
Kaswadi tersenyum sambil menatap tajam kepada Soegiyono. Dia mencoba menyelami kejujuran dari staf-nya tersebut.
Melihat diamnya Kaswadi bahkan menatap dirinya, Soegiyono semakin salah tingkah dan sedikit grogi sehingga dia memberanikan diri untuk bertanya, "Apakah ada kesalahan yang saya perbuat selama bertugas mengawal bapak?"
Mendengar pertanyaan tersebut dan dirinya tidak menemukan kebohongan dalam diri staf-nya tersebut, Kaswadi menyahuti, "Pertama-tama, saya ucapkan terima kasih atas pujian saudara Soegiyono. Dan, kedua, anda bertugas sangat baik dan tidak melakukan kesalahan apapun."
Begitu mendengar pernyataan dari Kaswadi, Soegiyono langsung bergumam, "Alhamdulillah."
Baru, kemudian dia kembali bertanya, "Kalau demikian, ada apa gerangan bapak memanggil saya untuk menghadap di ruangan bapak ini?"
Mendengar pertanyaan tersebut, Kaswadi tanpa tedeng aling-aling langsung menjawab, "Saya butuh bantuan saudara! Bisakah saudara membantu saya untuk menyelesaikan masalah rumah tangga saya?"
"Serius, pak?" Soegiyono bertanya balik kepada Kaswadi sebagai jawaban atas pertanyaan Kaswadi. "Bapak serius meminta bantuan saya?"
"Maksud saudara? Kok saudara bertanya saya ini serius atau tidak dalam meminta bantuan kepada saudara?"
"Begini, pak. Bapak tuh punya segala-galanya. Uang, jabatan, rumah, mobil, istri, bahkan gelar pun berderet-deret di belakang nama bapak kok masih butuh bantuan dari saya. Yang tidak punya apa-apa yang bisa dibanggakan." Soegiyono menjelaskan pernyataan yang diucapkannya kepada Kaswadi.
Kaswadi tersenyum setelah mendengar penjelasan dari Soegiyono, lalu dia pun menimpali ucapan Soegiyono.
"Iya, saya sangat serius untuk meminta bantuan kepada anda. Walaupun terlihat di mata anda seolah-olah saya punya segala-galanya tetap saja saya tidak sempurna. Saya tetap membutuhkan orang lain untuk membantu saya dalam hal tertentu."
Hening.
"Baiklah, pak. Apa yang bisa saya bantu?" Soegiyono menyatakan dirinya siap membantu Kaswadi dan membuka obrolan kembali.
"Tolong carikan saya seorang paranormal yang mumpuni untuk bisa membantu mengatasi masalah keluarga saya." Jawab Kaswadi.
"Paranormal, pak?" Konfirmasi Soegiyono. "Apakah saya tidak salah dengar, pak?"
"Iya, saya butuh paranormal. Apakah ada yang salah bila saya ingin berkonsultasi dengan Paranormal?"
"Begini, pak. Bapak kan berpendidikan tinggi dan seorang muslim, apakah bapak masih percaya kepada hal-hal yang bersifat mistik? Dan, apakah bapak tidak takut dosa?" Celetuk Soegiyono mengkritisi keinginan boss besarnya tersebut.
Mendengar kritik dari Soegiyono, Kaswadi pun menimpali, "Saudara sudah punya anak?"
Soegiyono menggelengkan kepala sambil berkata, "Menikah saja belum pernah, pak. Bagaimana mau punya anak?"
Kaswadi tersenyum atas tanggapan dari Soegiyono, lalu dia berkata, "Nah, disinilah posisi saya sekarang. Saya adalah bapak dari seorang putra yang minggat dari rumah. Jadi, saya akan mengusahakan segala macam cara termasuk yang bersifat mistik dan bertentangan dengan ajaran Islam untuk bisa mengembalikan keutuhan keluarga saya. Biarlah saya tanggung dosa tersebut kelak sepadan dengan berkumpulnya kembali keluarga saya."
Begitu Kaswadi menyelesaikan ucapannya, Soegiyono langsung mengkonfirmasikannya, "Jadi, bapak berani berkonsultasi kepada paranormal berhubungan dengan menghilangnya Mas Sugeng ya, pak? Atas dasar tersebut maka bapak melanggar larangan agama dan bersedia dicibir oleh masyarakat modern, gitu kan pak?"
Kaswadi menganggukkan kepala sambil mengacungkan jempol sebagai jawaban atas pertanyaan Soegiyono.
Sepi dan hening kembali.
"Jadi, bagaimana? Bisakah anda membantu saya untuk mencarikan sosok paranormal yang mumpuni?" Konfirmasi Kaswadi mengakhiri kebisuan di ruang kerjanya.
"Siap, pak. Saya akan usahakan seoptimal mungkin untuk mendapatkan paranormal yang bisa membantu bapak." Soegiyono menyanggupi permintaan Kaswadi.
"Terima kasih atas kesediaan anda. Kalau boleh tahu, berapa lama waktu yang anda butuhkan untuk bisa mempertemukan saya dengan paranormal tersebut?"
"Siap, pak. Insha Allah, dua hari. Dalam dua hari, bapak sudah bisa bertemu dengan paranormal tersebut." Sahut Soegiyono.
Mendengar pernyataan Soegiyono, Kaswadi termenung sejenak untuk menganalisa kemudian dia bertanya untuk konfirmasi atas analisanya tersebut, "Jadi, anda sudah punya hubungan atau koneksi dengan paranormal tersebut? Kok bisa dalam dua hari, anda bisa mempertemukan saya dengan beliau, sang paranormal?"
"Bukan koneksi sih, pak. Lebih tepatnya hubungan keluarga. Kebetulan paman saya yang tinggal di kota Bogor buka praktik konsultasi masalah kehidupan dan pengobatan alternatif. Siapa tahu berjodoh dengan bapak." Sahut Soegiyono.
Kaswadi mangut-mangut setelah mendengarkan penjelasan dari Soegiyono.
Melihat Kaswadi tidak lagi berbicara begitu mendengar penjelasannya, maka Soegiyono bertanya, "Pak, apakah ada lagi yang bisa saya bantu?"
"Ooh, tidak...tidak...sementara ini cukup itu saja. Silahkan saja lanjutkan tugas anda sesuai job description yang diberikan oleh atasan langsung anda."
"Iya, pak. Siap, pak. Mohon ijin kembali ke pos komando."
"Baik. Dan, sekali lagi terima kasih." Kaswadi menyahuti perkataan Soegiyono.
"Wassalam mu'alaikum." Salam terucapkan dari bibir Soegiyono sambil membuka pintu untuk keluar dari ruangan.
"Alaikum salam." Sahut Kaswadi menanggapi salam Soegiyono.
Selanjutnya, Kaswadi kembali tenggelam dalam aktivitas menganalisa laporan-laporan yang diberikan oleh jajaran managerial yang berada di bawah komando-nya selaku direktur utama.
= oOo =
Apartemen Permata Hijau, Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Suasana sore itu dengan langit cerah tak berawan dengan angin bertiup menyejukkan, tengah Naufal nikmati sembari menyeruput segelas capucinno di balkon kamar apartemen mewah miliknya.
"Betapa nikmatnya hidup ini. Tanpa perlu terikat jam kantor dan mikir rumit tapi bisa beli apa saja yang aku maui." Kata Naufal kepada diri sendiri dengan tatapan mata menembus awan di langit kota Jakarta.
Tiba-tiba saja di tengah-tengah kesendirian untuk menikmati me time, ponsel miliknya yang tersimpan dalam saku celana bergetar.
Segera dia merogoh saku celana lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya tersebut.
Terpampanglah nama Edi di layar ponsel. Edi, adik kandung semata wayang.
"Mau apa adikku tak diri ini? Nggak tahu apa kalau aku lagi mau santai, ganggu saja!" Gerutu Naufal begitu tahu ternyata Edi yang menelepon dirinya.
Walaupun menggerutu dan tidak suka dengan adanya telepon dari Edi yang mengganggu kegiatan bersantainya, ternyata Naufal tetap memutuskan untuk mengangkat telepon.
"Assalam mu'alaikum, selamat sore, Mas." Sapa Edi dari seberang sana.
"Wa alaikum salam. Sore juga, Di." Sahut Naufal dengan nada datar.
"Ma'af ya ganggu. Apa kabarmu, Mas?" Edi berbasa-basi sejenak sebelum dia mengutarakan maksud dan tujuan dirinya menelepon kakaknya, Naufal.
"Alhamdulillah, baik. Sudahlah hentikan basa-basi, lebih baik langsung kepada pokok pembicaraan." Todong Naufal to the point karena dirinya memang tak suka banyak basa-basi terhadap apapun yang bakal dibicarakan .
"Ha ha ha...Mas ternyata nggak berubah. Baiklah, apakah besok ada waktu untuk bertemu sama adikmu ini?"
"Kenapa harus bertemu? Bilang saja langsung lewat telepon." Timpal Naufal terhadap ajakan Edi untuk bertemu muka.
"Aah, kurang leluasa. Lagian aku kangen dengan Mas-ku. Masa sih nggak pengin ketemu muka dengan adikmu satu-satunya ini?" Rayu Edi supaya Naufal mau meluangkan waktu untuk bertemu muka dengan dirinya. "Kan sudah setahun lebih kita tidak pernah bertemu muka hanya sekedar say hai lewat telepon, padahal sama-sama tinggal di Jakarta!"
"Oke...oke...Sebutkan saja jam berapa dan di mana tempatnya!" Sahut Naufal yang pada akhirnya mengalah dan memberikan kesempatan Edi untuk bertemu muka dengan dirinya.
"Bagaimana kalau jam makan siang, Mas?"
"Boleh. Lalu, tempatnya di mana?" Naufal bertanya balik kepada Edi.
"Di apartemen mas saja, kalau tidak merepotkan!"
"Maksudmu, apartemenku?"
"Iyalah, Mas. Memang apartemen siapa lagi?" Canda Edi menyahuti ucapan Naufal. "Nggak keberatan kan Mas? Daripada nanti pakai cari-carian kalau bertemu di tempat lain."
"Nggak kok. Baiklah. Deal."
"Siiip. Makasih, Mas. Wassalam mu'alaikum. Sampai ketemu besok siang."
"Alaikum salam. Iya, sampai berjumpa besok siang." Sahut Naufal sebelum nada sambung terputus.
Begitu telepon terputus, Naufal bergumam kepada diri sendiri, "Mau apa tuh anak? Tumben mau kangen-kangenan sama kakaknya."
Demikianlah. Naufal bertanya-tanya tentang apa yang akan dibicarakan oleh Edi dengan dirinya keesokan harinya. Bagaimana tidak sudah hampir setahun tak pernah saling berkunjung hanya sesekali say hello via telepon kok tiba-tiba saja, Edi, adik semata wayang meminta bertemu muka dengan dirinya.
Namun berhubung di sore ini tak mau berpikir rumit pada akhirnya Naufal hanya mengendikkan bahu kemudian dia kembali menikmati suasana langit sore kota Jakarta sambal menyesap segelas Capucinno dengan perlahan-lahan. Dia ingin menikmati indahnya kehidupan dirinya pada sore hari ini, jadi, dia memutuskan biarlah rasa ingin tahunya terjawab esok hari oleh Edi bukan mencari tahu sendiri.
Lantas, terdengarlah...senandung lirih dari bibir Naufal untuk mengusir kebosanan sekaligus kesendirian di apartemennya yang seolah-olah mencerminkan apa yang tengah dipikirkan setelah percakapan dengan Edi, adik kandungnya.
"Que Sera Sera...What ever will be...will be..."
= oOo =
Kejadian ini berlangsung dari pukul 19:00 WIB s.d. pukul 20:00 WIB
Perumahan Graha Bintaro, Bintaro sektor IX, Bintaro, Tangerang, Banten
Suasana langit malam dengan cuaca cerah dengan bintang bertaburan gemerlap tengah dinikmati oleh sepasang suami istri, Walda Haritanto dan Vivi Sunarti di teras belakang rumah setelah mereka menyelesaikan acara makan malam.
Mereka berdua hanya diam dan sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Walda dengan membaca lembaran kertas laporan sedangkan Vivi tengah asyik bersama novel roman kegemarannya.
Setelah sepuluh menit keheningan pecah.
Walda membuka obrolan dengan Vivi, istrinya.
"Bu, bisakah dirimu bantu aku?"
"Ya, pasti bisalah, pak. Bagaimana to bapak ini, aku kan istrimu!" Jawab Vivi.
Walda tersenyum mendengar komentar istrinya tersebut, lalu dia kembali berkata, "Iya...ya...Aku tahu bahwa kamu tuh istriku. Makanya, aku butuh saran dan nasehatmu tentang sesuatu hal."
Tatapan curiga dari Vivi terarah kepada Walda dari ujung kaki hingga ujung rambut, begitu terdengar kata saran dan kata nasehat, yang kemudian tercetuskan dalam cecaran pertanyaan, "Wah...wah...apa ada masalah gawat di kantor, pak? Apa bapak terlibat penyelewengan wewenang di kantor? Atau jangan-jangan bapak selingkuh lalu sekarang selingkuhan bapak minta bapak bertanggung-jawab?"
Mendengar cecaran pertanyaan dari Vivi dengan mengulum senyum, Walda menjawab, "Owh, bukan aku yang bermasalah, bu. Tidak ada masalah dengan pekerjaanku. Dan, aku juga tidak selingkuh. Jadi, semua kecurigaan ibu salah semua!"
Ternyata Vivi tak puas dengan jawaban Walda sehingga dia kembali mengajukan pertanyaan beruntun, "Terus, siapa yang bermasalah, pak? Kok malah bapak yang pusing kalau bukan bapak yang bermasalah?"
"La iyalah, aku pasti ikut pusing la wong sosok yang punya masalah adalah sosok yang kukenal sangat dekat. Sahabatku sendiri, Sugeng." Seru Walda sebagai respon atas rentetan pertanyaan dari Vivi.
"Hah? Mas Sugeng? Apa dia tersangkut kasus gitu, pak?" Spontan Vivi berteriak histeris begitu mendengar berita dari suaminya tersebut. "Gawat ya kasusnya? Resiko dipecat gitu ya, pak?"
"Sugeng tidak bermasalah di kantor tapi di luar kantor, bu. Dan, masalah dia tetap pada akhirnya menyeret bapak berhubung bapak adalah sahabatnya sejak masa SMA. Jadi, mau tidak mau ya suka maupun duka selaku sahabat ya ikut merasakannya."
Sejenak Vivi termenung untuk memikirkan apa yang disampaikan oleh Walda, baru kemudian dia menimpali pernyataan suaminya tersebut.
"La masalahnya apa? Kok bisa-bisanya menyeret bapak? Coba bapak ceritakan dari awal mumpung aku belum ngantuk jadi bisa fokus mendengarkan cerita bapak."
Walda menatap wajah Vivi sejenak baru kemudian dengan menghela napas, dia mulai bercerita kepada istrinya.
"Begini bu. Sugeng, sahabat bapak sudah tiga bulan keluar dari rumah atau minggat. Ada masalah dengan bapaknya. Selama menghilang, Sugeng wanti-wanti kepada bapak supaya tidak memberitahukan keberadaannya bilamana ada telepon dari salah satu orang-tua-nya. Nah, sebelum-sebelumnya bapak sih tenang-tenang saja dengan permintaan Sugeng tersebut, tapi tadi siang setelah jam makan siang, ibunya Sugeng menelepon bapak dan meminta pertemuan dengan bapak."
Setelah cerita dari Walda terselesaikan, Vivi terdiam, baru lima menit kemudian berkomentar, "Apakah bapak menyanggupi untuk bertemu dengan ibunya Mas Sugeng? Dan, Mas bingung untuk mengambil sikap di pertemuan tersebut?"
Mendengar kesimpulan yang diambil oleh Vivi begitu jitu dengan segera Walda menganggukkan kepala sambil mengacungkan jempol.
Kemudian barulah dia menimpali, "Iya, bu. Betul sekali kesimpulan ibu. Menurut ibu, langkah apa yang paling tepat yang bisa bapak lakukan dalam pertemuan dengan ibunya Sugeng? Besok siang, aku berjanji untuk bertemu beliau."
"Jadi, besok siang bapak mau bertemu dengan ibu Mintarti, ibunya Mas Sugeng?" Konfirmasi Vivi untuk menegaskan acara pertemuan antara suaminya dengan ibu sahabat suaminya.
Walda menganggukkan kepala dibarengi dengan ucapan, "Iya, bu. Tadi siang selepas makan siang, beliau menelepon aku. Dan, ironisnya Sugeng sudah meminta bapak untuk berbohong bilamana ada keluarganya yang bertanya tentang keberadaan dia sekarang tepat sebelum ibunya menelepon bapak."
"Wah...dosa tuh. Menyuruh bapak untuk berbohong kepada orang-tua tuh kan dosa!" Sahut Vivi atas permintaan Sugeng kepada Walda, suaminya.
"Ya, aku tahu, bu. Hal tersebut adalah dosa, tapi berhubung Sugeng adalah sahabat bapak ya bapak tidak bisa menolak permintaannya untuk berbohong kepada orang-tua-nya."
"Payah juga, mas Sugeng, pak. Kok masalah keluarganya harus membawa-bawa bapak." Cibir Vivi.
"Sudah-sudah, nggak usah bahas dulu kelakuan Sugeng terhadap orang-tuanya. Sekarang yang terpenting, solusi terbaik untuk bapak apa? Membiarkan kebohongan terus-menerus atau apa? Mungkin kalau sekali berbohong untuk besok sih masih dimaklumi tapi kalau bapak harus berbohong terus ya menyiksa batin bapak sendiri, bu."
Demikianlah, Walda mengungkapkan apa yang menjadi beban masalah yang berada dalam pikirannya kepada istrinya.
Hening.
Lima menit kemudian, Vivi memecah keheningan dengan berkata, "Kenapa bapak tidak memberikan saja nomor ponsel milik Mas Sugeng kepada ibu Mintarti?"
Walda menatap istrinya begitu usulan tersebut selesai terucap. Dan, kemudian, dia termenung. Dia menimbang-nimbang baik dan buruknya atas usulan tersebut.
Melihat Walda masih terdiam untuk memikirkan usulannya, maka Vivi melanjutkan perkataannya, "Maksudku gini, pak. Dengan menyerahkan nomor ponsel milik mas Walda, maka bapak tidak perlu berbohong kepada Ibu Mintarti. Dan, dengan demikian bapak juga tidak mengingkari janji bapak terhadap Mas Sugeng. Berhubung bapak tidak memberitahukan apapun yang berkaitan dengan informasi keberadaan Mas Sugeng kepada ibu Mintarti hanya menyerahkan nomor ponsel. Dan, bukankah Mas Sugeng juga tidak menyebutkan tentang larangan memberikan nomor ponsel miliknya kepada Ibu Mintarti melainkan larangan untuk memberitahukan keberadaan dirinya di mana tinggalnya dan bekerja di mana?"
Begitu Vivi menyelesaikan penjelasannya, Walda berkata, "Owh gitu ya, bu. Boleh juga untuk bapak coba. Besok pagi, bapak sarapan di luar saja. Bapak akan ajak Sugeng untuk sarapan sekaligus meminta ijinnya untuk memberikan nomor ponsel miliknya kepada ibu Mintarti."
"Nah, gitu dong, pak. Jadi, bapak kan berada di posisi yang enak. Bapak tidak berbohong terhadap Ibu Mintarti dan juga bapak tidak mengingkari janji terhadap Mas Sugeng untuk tidak memberitahukan di mana dia sekarang berada serta di mana dia bekerja."
"Iya, bu. Terima kasih atas saran ibu." Sahut Walda sambil tersenyum sumringah.
"Sama-sama, pak. Apa bapak masih ada kerjaan setelah acara bersantai ini?"
"Aah, nggak kok..." Jawab Walda.
"Syukurlah, bagaimana kalau kita tidur, pak? Bukankah besok bapak harus bangun pagi-pagi untuk bertemu dulu dengan mas Sugeng?" Vivi mengingatkan Walda untuk aktivitas keesokan hari.
"Oh iya...ya...Ya, udah, ibu duluan ke kamar nanti bapak susul. Bapak mau kirim berita dulu kepada Sugeng tentang kedatangan bapak ke rumah kontrakannya!"
"Oh gitu, pak. Ya sudah, ibu duluan ke kamar ya, pak?" Kata Vivi sembari beranjak meninggalkan teras belakang rumah.
"Iya, bu." Sahut Walda.
Begitu Vivi meninggalkan dirinya, Walda pun mengirimkan pesan singkat melalui fasilitas what's ap ditujukan kepada Sugeng, sahabatnya.
Bro, entar malam jam 9'an atau lebih dikit, gue telpon elo. Ada yang mau gue omongin.
Setelah mengirimkan pesan, barulah Walda menyusul istrinya ke kamar tidur utama.
= oOo =
Rumah kontrakan sederhana, Bintaro sektor III, Bintaro Jaya, Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Selepas menunaikan ibadah sholat Isya dan menyantap menu makan malam yang dibeli dari warteg, Sugeng memutuskan untuk menikmati suasana malam hingga mengantuk dengan mengajak kekasih yang belum pernah dia temui secara nyata untuk mengobrol via telepon.
Kekasihnya diperoleh melalui sosial media, perempuan itu bernama Novi.
Sebelum menelepon, Sugeng menghubungi Novi dengan mengirimkan sms.
Assalam mu'alaikum, met malam. Bisa ngobrolkah?
Tak lama kemudian, ada balasan.
Wa alaikum salam, bisa mas. Mau ngobrol pakai apa? sms atau telepon? Atau sekalian Skype seperti biasa?
Begitu ada kesediaan untuk mengobrol, maka Sugeng memberikan balasan atas pertanyaan Novi.
Pakai telepon. Angkat ya!
Setelah muncul status sms telah dibaca, maka Sugeng langsung menelepon Novi.
"Assalam mu'alaikum, cantik!" Sapa Sugeng membuka obrolan.
"Wa alaikum salam. Iih, malam-malam ngegombal." Sahut Novi di seberang sana.
"Biarin, kan ngegombal terhadap kekasih sendiri. Lagi apa?"
"Bisa aja alasannya. Aku lagi nonton tv aja walaupun acara ngebosenin tapi ya mau ngapain lagi. Mas sendiri, lagi apa?"
"Baru selesai sholat Isya dan makan malam lalu berhubung belum mengantuk, aku menelepon kamu."
"Mas kerja atau kuliah?" Tanya Novi begitu Sugeng menyelesaikan penjelasan tentang aktivitas malam harinya.
"Alhamdulillah, aku sudah bekerja. Saat ini, aku bekerja di bank permata, cantik."
"Wow, mantap dong. Berarti banker dong." Novi berseru antusias setelah Sugeng menyebutkan profesinya.
"Aah, biasa saja cantik. Baru juga kerja tiga bulan di sini, belum layak disebut banker. Banker tuh kalau sudah tahunan bahkan puluhan tahun bukan anak kemarin sore seperti aku ini."
"Cie cie merendah nih. Aku tahu kok untuk diterima sebagai karyawan bank tuh sulit, mas. Jadi, tak usah terlalu merendah. Aku sih bersyukur aja, ternyata aku tidak salah pilih."
"Maksudmu, apa? Kok tidak salah pilih?" Tanya Sugeng terhadap pernyataan yang terucapkan dari mulut Novi.
"Iya, tidak salah pilih calon suami. Selain mas cukup ganteng, kan mas sudah ada penghasilan? Masa kelak aku dihidupin cuma dengan cinta?" Novi menjelaskan apa yang telah ucapkan sebelumnya.
"Ha ha ha..." Meledaklah tawa Sugeng atas pernyataan Novi.
"La malah ketawa." Protes Novi.
"Bagaimana aku tidak ketawa, cantik? La kamu ternyata realistis, memang hidup itu bukan sekedar butuh cinta tapi butuh juga uang. Jadi, kamu tidak hanya memandang penampilan dan rasa cinta itu sendiri tapi memandang juga penghasilan untuk masa depan."
"Yups, setuju kan dengan pendapatku?"
"Iya, aku setuju, cantik. Kamu sendiri kerja atau kuliah?" Sekarang Sugeng balik bertanya kepada kekasihnya, Novi.
"Saat ini aku belum bekerja, mas. Tapi, aku sudah menyelesaikan kuliahku. Lagi pula aku masih ingin istirahat saja." Jawab Novi.
"Terus, untuk kebutuhan hidup sehari-hari, bagaimana?" Kembali Sugeng bertanya dengan nada antusias.
"Masih ditanggung oleh orang-tua. Kebetulan aku adalah anak satu-satunya. Aku tidak punya saudara."
"Wah, sama dong." Sahut Sugeng begitu mendengar penjelasan Novi.
"Maksudnya sama apa ya, mas?"
"Maksudnya adalah aku dan kamu merupakan anak tunggal, tidak punya saudara." Sugeng menjelaskan perkataan dia sebelumnya.
"Berarti aku beruntung ya. Dengan mas sebagai anak tunggal tentu mas akan berkonsentrasi terhadap aku dan anak kita kelak tidak akan terganggu oleh urusan membantu saudara."
"Ha ha ha..." Kembali Sugeng tertawa begitu Novi menyatakan kegembiraan dirinya terhadap status anak tunggal. "Bisa aja, kamu tuh cantik."
"Ya, bisalah mas. Aku kan berpikir ke depan. Kalau ada saudara baik di pihakmu atau pihakku ya mau tidak mau pas saudara kesusahan kita harus membantu. Bukankah pernikahan adalah satu paket!"
"Maksudmu dengan satu paket, apa?"
"Kata temanku yang sudah menikah. Menikah itu bukan berarti hanya menikahi suami atau istri saja tapi juga menikahi keluarganya dalam artian menerima adik dan kakak dari suami atau istri."
"Betul banget itu, cantik!" Sahut Sugeng menyetujui apa yang diungkapkan oleh Novi.
"Besok kerja, mas?"
"Iya, cantik. Kan dalam seminggu, aku harus bekerja selama lima kerja."
"Ooh, gitu."
"Aktivitas sehari-hari apa?" Tanya Sugeng.
"Rutinitas sehari-hari cuma ke pasar setelah itu masak. Paling kalau udah selesai masak ya nonton atau tidur aja."
"Nggak tertarik untuk bekerja?"
"Nantilah, lihat situasi dan kondisi dulu." Jawab Novi diplomatis.
"Maksudmu?"
"Ya, kalau kelak keuangan mas sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari aku dan anak kita, aku tidak akan bekerja, aku cukup jadi ibu rumah tangga saja. Tapi, kalau ternyata penghasilan mas tidak mencukupi, ya aku bantu dukung keuangan keluarga dengan bekerja."
"Boleh juga pemikiranmu. Aku suka. Ternyata selain cantik, kamu tuh realistis dan cerdas."
"La, iyalah. Siapa dulu dong, Novi gitu lo!" Sahut Novi.
"Kapan kita bisa bertemu secara nyata?" Tanya Sugeng begitu Novi menyelesaikan ucapannya.
"Terserah, mas. Kan sewajarnya, mas yang aktif bukan aku kan?" Sindir Novi.
"Waduh, nyindir nih? Sekarang pun aku bisa berangkat untuk jumpai kamu asalkan kamu kasih alamat lengkap di mana kamu tinggal, cantik!" Sugeng menjawab sindirian Novi dengan nada tegas.
"Nantilah, aku kasih tahu di mana aku tinggal mas. Tapi, untuk sementara ini, cukup telepon atau sms dulu ya. Aku butuh waktu."
"Baik...baik...Pokoknya, bila kamu sudah siap, kamu kasih tahu saja kapan dan di mana lokasi pertemuannya. Aku bakal sempatkan waktu untuk berkunjung menemui kamu."
"Terima kasih, mas."
"Terima kasih untuk apa, cantik?" Tanya Sugeng setelah Novi mengucapkan kata terima kasih.
"Ya untuk kepercayaan mas. Kesediaan mas untuk menunggu kesiapanku." Jawab Novi.
"Iya, cantik. Aku ijin dulu ya."
"Ijin apa, mas?"
"Ijin untuk pamit mau tidur. Aku sudah mengantuk. Kamu nggak marah, kan?"
"Nggaklah, mas. Aku maklum kok. Kan besok pagi, mas harus kerja! Dan, jangan pernah bosan ya sama aku."
"Terima kasih, cantik. Nggak akan bosan. I Love You. Sampai ketemu besok. Wassalam mu'alaikum." Sugeng berpamitan.
"I Love You, too. Alaikum salam." Sahut Novi.
= oOo =
Perumahan Pondok Indah, Pondok Indah, Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Selepas menikmati sajian menu makan malam sembari mengisi waktu luang sebelum rasa kantuk datang, Kaswadi dan Mintarti menikmati sajian acara televisi di ruang keluarga. Namun, tiba-tiba saja, Mintarti tergelitik untuk mengajak Kaswadi, suaminya mengobrol sekedar menghilangkan kebosanan terhadap acara televisi yang ternyata tidak menarik sama sekali.
Maka, Mintarti menegur Kaswadi memecah kebisuan.
"Mas, bagaimana?"
"Apanya yang bagaimana? Kalau terkait dengan berita lokasi keberadaan Sugeng, belum ada konfirmasi ulang dari orang sewaanku." Jawab Kaswadi. "Besok, kucoba tanyakan!"
"Bukan itu. Maksudku tentang paranormal!"
"Ooh, kalau soal itu, aku sudah minta tolong kepada salah satu staf untuk mencarikan apa yang kamu mau!"
"Alhamdulillah. Ya semoga saja semua jalan yang kita tempuh memberikan hasil yang positif agar kita bisa berkumpul kembali."
"Iya, dik. La kamu sendiri sudah menelepon nak Walda?"
"Sudah, Mas. Insha Allah, besok aku mau bertemu muka dengan nak Walda untuk membicarakan Sugeng." Jawab Mintarti.
"Nak Walda bersedia menemui kamu di mana? Dan, jam berapa ketemuannya?" Sahut Kaswadi begitu mendengar kabar kesediaan Walda untuk berbicara dengan Mintarti, istrinya.
"Besok kami akan makan siang bersama di Bintaro Plaza. Baru setelah acara tersebut, aku bakal bertanya-tanya kepadanya."
"Baguslah, tapi ingat, jangan seperti menginterogasi ya. Takutnya entar berabe, kesannya malah memojokkan nak Walda. Bukannya dapat informasi malah putus tali silaturahim kita dengan nak Walda." Saran tercetuskan dari bibir Kaswadi tertuju kepada Mintarti.
"Iya, Mas. Semoga saja agenda besok siang berjalan lancar dan dimudahkan oleh Allah SWT."
"Amin. Ya, sudah besok setelah mengantar aku berangkat ke kantor, biar pak Temon kembali ke rumah untuk jemput kamu lalu mengantarkan kamu ke Bintaro Plaza."
"Iya, Mas."
"Kalau gitu, bagaimana kalau sekarang kita berangkat tidur? Bukankah besok kamu bakal ada acara? Simpan energi untuk besok." Ajak Kaswadi kepada istrinya untuk tidur.
"Ayo, Mas. Kebetulan aku memang sudah mengantuk dan capai sekali. Mungkin faktor umur." Mintarti mengiyakan ajakan suaminya.
"Ha ha ha...iya, betul sekali. Yuk!"
Lalu, mereka berdua beranjak meninggalkan ruang keluarga menuju kamar tidur utama untuk beristirahat dan menyimpan energi untuk aktivitas esok hari khususnya untuk meeting penting terkait dengan urusan mengupayakan kembalinya anak mereka ke rumah.
= oOo =
Kejadian ini berlangsung dari pukul 21:00 WIB s.d. pukul 21:30 WIB
Rumah kontrakan sederhana, Bintaro sektor III, Bintaro Jaya, Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Setelah puas mengobrol dengan Novi, kekasihnya, Sugeng memutuskan untuk beristirahat berhubung esok hari, dia harus kembali bekerja tentu tidak baik untuk tidur terlalu larut. Maka, seperti kebiasaan di rumah, sebelum beristirahat, dia terbiasa untuk berwudhlu. Lalu, dia menjejakkan kaki di kamar mandi mengambil wudhlu.
Kemudian, begitu keluar dari kamar mandi setelah melakukan wudhlu.
Tiba-tiba terdengar dering telepon yang berasal ponsel yang tergeletak di atas meja kerjanya.
Kriiiing...kriiing...
Sengaja nada panggil bunyi telepon jaman dulu dipasang oleh Sugeng, karena dia adalah pria yang suka dengan hal-hal yang bersifat klasik seperti halnya dering telepon dari pesawat telepon jaman kabel.
Sejenak Sugeng kepikiran untuk tidak mengangkatnya berhubung telepon tersebut menghubungi dia tepat pada jam istirahat malam. Tapi, rasa ingin tahu tentang siapa yang meneleponnya dan ada apa gerangan sehingga perlu menelepon tepat di jam istirahat, membuat dirinya memutuskan untuk mengangkat telepon.
Begitu dering berikutnya, segera Sugeng mengangkat teleponnya tanpa lagi melihat nama penelepon yang terpampang di layar ponsel.
"Halo? Lama amat, angkatnya, nyet!" Protes Walda di seberang sana begitu telepon diangkat oleh Sugeng.
"Yee...Mana gue tahu kalau elo yang telepon, nyuk! Lagian elo pake telpon jam segini! Coba kalo bukan elo, nyuk, udah gue putus sambungannya." Protes balik Sugeng begitu tahu siapa yang telah meneleponnya.
"La gimana to? Gue kan udah kirim pesan sama elo bahwa gue akan telepon elo maleman!" Debat balik Walda terhadap komentar Sugeng.
"Kapan elo kirim pesan, nyuk? Rasanya di inbox nggak ada deh!"
"Inbox? Gue kirim pesan sama elo via WA, nyet bukan sms!"
"Yee, ya salah elo! Masa elo lupa bahwa gue jarang pakai WA, gue lebih suka pakai sms!" Tegur Sugeng dengan nada pedas terhadap Walda.
"Oops, sorry, my mistake. Gue lupa. Ya, udah singkat aja sebelum elo berangkat ke pulau kapuk, ada yang mo gue sampaikan." Sahut Walda.
"Oke, nyuk. Ngomong aja langsung."
"Besok pagi, gue ke kontrakan elo ya!"
"Oalah...nyet, kalau cuma mo kasih tahu bahwa elo mo ke tempat kost gue ngapain telpon? Kan mendingan sms aja! Gue pikir elo telepon memang ada hal yang penting yang mo diomongin makanya sampai telepon gue malam-malam gini!" Nyinyir Sugeng terhadap Walda, sahabatnya.
Berhubung dia merasa rugi waktu meladeni telepon yang cuma sekedar pemberitahuan kedatangan Walda esok hari.
"Protes aja elo! Memang tadinya gue mo obrolin hal yang penting lewat telepon tapi kok tiba-tiba gue merasa lebih tepat diobrolin secara langsung bukan lewat telepon!" Sanggah Walda menanggapi protes Sugeng.
"Ya, sudahlah. Ada lagi nggak?" Tanya Sugeng. "Mumpung mata gue masih betah melek, belum mengantuk!"
"Udah nggak ada. Sekarang elo udah bisa bobo' deh. Sampai ketemu besok pagi. Gue juga mo bobo' tapi sambi ngelonin bini gue beda sama elo yang Cuma ngelonin guling doang...Ha ha ha..." Sahut Walda dengan sedikit mengejek status Sugeng.
Mendengar bullying sahabatnya, Sugeng mengancam, "Eh malah ngejek gue...Gue putus nih telepon dan besok gue biarin elo berdiri di depan pintu sampai kering!!"
"Jangan dong boss...sorry kan gue cuma bercanda, masa jadi baper sih?" Protes Walda terhadap ancaman Sugeng.
"Udah...udah...udah ah...Gue udah ngantuk...besok kan kita harus kerja? Masa jam segini malah ngajakin bercanda sih nyuk?" Kali ini Sugeng menegur kelakuan Walda untuk mengingatkan. "Besok aja puas-puasin bercandanya, kalo sekarang bisa telat bangun besok pagi!!"
Teguran tersebut ditimpali oleh Walda, "Siap nyet. Sampai ketemu besok pagi ya. Wassalam mu'alaikum."
"Siip deh, nyuk. Alaikum salam." Sahut Sugeng menanggapi pamitan tersebut.
Setelah itu terdengar bunyi tuuut panjang menandakan telepon telah diputus, dan Sugeng pun meletakkan kembali ponsel di atas meja kerja walaupun sempat kepikiran tentang apa yang bakal diobrolkan oleh Walda, namun berhubung sekarang dia adalah karyawan bukan boss besar maka dia memutuskan untuk tidak memusingkan apa yang bakal diobrolkan oleh Walda dan memilih untuk tidur.
= oOo =
Kejadian ini berlangsung dari pukul 23:00 WIB s.d. pukul 00:00 WIB
Gerai Seven Eleven, Gandaria City, Gandaria, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Malam semakin larut namun untuk kedua perempuan berusia pertengahan dua puluhan yang tengah menikmati santapan tidaklah demikian justru masih sore. Buat mereka berdua, malam yang larut baru dimulai setelah jarum jam menunjukkan pukul 02:00 WIB dini hari.
Dan, sambil menunggu kelab malam mulai eksis dan ramai, kedua perempuan tersebut biasa menunggu dengan menikmati cemilan di gerai Seven Eleven yang buka 24 jam.
Kedua perempuan tersebut adalah Annie Subroto dan sahabatnya, Astuti Panjaitan. Keduanya telah bersahabat sejak SMA dan awet hingga sekarang. Dan, uniknya, mereka berstatus yang sama, yaitu janda. Bedanya, Annie adalah janda tanpa anak sementara Astuti adalah janda dengan anak satu.
"Wah, mulai tadi pagi, elo jadi salah satu sosialita papan atas sekaligus milyader baru dong, say!" Kata Astuti kepada sahabatnya, Annie Subroto yang sepengetahuannya tadi pagi memperoleh jatah warisan dari almarhum Subroto, suaminya.
"Selamat ya, cin. Harus dirayakan dengan minum sepuasnya nanti di kelab!" Kembali Astuti bercuap-cuap.
Annie hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan dari mulut Astuti.
Melihat Annie tidak merespon apa yang dia katakan, Astuti ikut terdiam.
Hening.
Setelah sempat sepuluh menitan diam-diaman, Astuti tidak tahan sehingga kembali dia bersuara.
"Kenapa elo, cin? Apa elo nggak kebagian jatah warisan sehingga kayak orang patah hati gitu!"
Mungkin kasihan terhadap Astuti yang bercuap-cuap terus, pada akhirnya Annie menanggapinya.
"Gue dapat warisan kok, say!"
"Dapat warisan kok malah manyun dan sedih kayak orang habis putus cinta? Atau jangan-jangan elo jatuh cinta ya sama tua bangka, Subroto itu sehingga walaupun dapat warisan dari dia, elo juga sedih?" Tanya Astuti dengan tatapan curiga ke arah Annie.
"Ha ha ha...nggaklah." Tertawa ngakak-lah, Annie, begitu dia dituduh telah jatuh cinta kepada almarhum suaminya, Subroto.
Melihat Annie tertawa terbahak-bahak, Astuti semakin bingung, lalu dia kembali mencecar Annie dengan pertanyaan.
"La, terus kenapa? Bukankah seharusnya harta dia itu jatuh ke tangan elo sebagai istri syah-nya?"
Mendengar pernyataan dari Astuti yang tetap ngeyel dan kekeuh untuk mengetahui penyebab dia galau dan kecewa sekaligus bertingkah aneh, mau tidak mau Annie berhenti tertawa.
Dia pun berkata, "Gue sedih berhubung harta yang jatuh ke tangan gue porsinya sedikit dibandingkan dengan porsi yang diterima oleh anak semata wayangnya, Oktavia!"
"Dan, gue ketawa karena tuduhan elo terlalu mengada-ada, kan dari awal pernikahan gue sama Subroto bukan atas nama cinta melainkan saling membutuhkan. Gue butuh duitnya untuk support kebutuhan hidup gue yang glamour sementara Subroto butuh tubuh gue buat pelampiasan nafsu birahinya." Kembali Annie berkata sebagai penjelasan atas sikapnya di malam ini.
Setelah penjelasan dari Annie terselesaikan, Astuti yang telah memahami kondisi yang menimpa Annie pun mangut-mangut saja. Berhubung dia pun tak tahu untuk berkomentar apa?
Kebisuan kembali tercipta.
"Eh Elo mo nambah lagi?" Tegur Annie menawarkan makanan dan minuman kepada Astuti, begitu menyadari bahwa makanan dan minuman yang tersaji di meja telah habis.
Rupanya dalam keheningan, mereka tanpa terasa telah menyantap habis makanan dan minuman yang mereka pesan.
"Nggak, cin. Cukup." Jawab Astuti. "Memang elo sendiri mo ngemil lagi?"
"Ya, nggaklah, say! Entar kalo gue endut, gue nggak laku lagi di mata pria hidung belang yang bakal gue porotin hartanya!"
"Aah, elo bisa aja. Memang elo belum puas ya dengan harta yang elo punya dari hasil ngumpulin sejak pernikahan pertama hingga pernikahan sekarang?"
"Yee...elo tuh kayak nggak tahu aja. Sekali kita keluar dugem, kan tahu berapa duit yang keluar, say? Paling sedikit, untuk mabok, gue harus keluar duit 5 juta, say! Mana cukup kalau cuma ngandelin harta dari kedua mantan suami gue! Gue butuh sasaran baru selain itu gue juga butuh untuk..."
Begitu menceploskan kata untuk..., Annie langsung terbelalak dan menutup mulutnya.
Dia terkejut bahwa dia kebablasan dalam berucap di malam itu.
Mendengar kata untuk yang menggantung dan bahasa tubuh Annie yang menunjukkan keterkejutan, langsung Astuti menodong Annie dengan pertanyaan, "Untuk apa, cin? Jangan ngegantung kalimat dong! Jujur aja sama gue, rahasia elo aman tersimpan sama gue!"
Kepalang basah telah keceplosan, maka Annie berkata, "Iya, rencana gue selanjutnya adalah mencari suami baru dan melenyapkan Oktavia, anak tiri gue!"
"Maksud elo dengan melenyapkan Oktavia, apakah elo ingin bunuh dia?" Tanya Astuti menegaskan apa yang telah diucapkan oleh Annie. "Beneran gitu niat elo itu?"
Annie menganggukkan kepala sebagai jawaban.
"Hah? Elo gila ya!" Bentak Astuti begitu Annie menganggukkan kepala.
"Psst, nggak usah histeris gitu dong!" Protes Annie.
"Abis elo memang gila. Memang kita bukan orang suci, kita memanfaatkan orang dengan cinta palsu tapi nggak segitu ya kalee, sampai bunuh orang!" Argumentasi Astuti terhadap rencana yang dikemukakan oleh Annie.
"Ya, udah kalo elo nggak mo dukung ya nggak papa. Suka-suka gue dong!" Ujar Annie dengan bersungut-sungut setelah respon sahabatnya tidak seperti yang dia harapkan.
Berhubung bahasa tubuh dan ucapan dari Annie menunjukkan bahwa dia tetap kekeuh untuk melenyapkan Oktavia, maka Astuti mengkonfirmasi ulang rencana tersebut kepada Annie.
"Elo beneran mo bunuh Oktavia? Elo beneran serius dengan ucapan elo? Dan, siap dengan resikonya?"
"La, iyalah." Jawab Annie dengan nada tegas. "Gue nggak main-main, say."
"Oke...oke...I see. Tapi, tolong sebutkan alasannya, sebelum gue support elo selain memang elo adalah sohib gue!"
"Berhubung elo adalah sohib gue, okelah, gue blak-blakan ada dua alasan yang bikin gue ingin bunuh anak tiri gue."
Astuti terdiam dengan mengernyitkan alis menunggu penjelasan Annie.
Melihat kelakuan Astuti yang demikian, Annie tidak langsung melanjutkan penjelasannya.
Dia sengaja menggoda sahabatnya agar semakin penasaran.
Sikap Annie yang diam dan acuh dengan tidak melanjutkan penjelasannya, membuat Astuti menjadi dongkol sehingga dia pun bersuara.
"Woi...Gue jangan dikacangin! Lanjutin!"
"Ha ha ha..." Annie tertawa.
Melihat sahabatnya tertawa, Astuti mendengus masam tapi dia tak nyerocos untuk memarahi Annie malah diam menunggu Annie untuk kembali menjelaskan motivasi atas rencana melenyapkan Oktavia, anak tirinya.
Setelah puas tertawa, barulah Annie berkata, "Oke...oke...gue lanjutkan. Alasan pertama, gue dongkol banget terhadap Oktavia, bayangin saja selama Subroto sakit yang ngerawat adalah gue bukan Oktavia. Dia nggak jelas keberadaannya. Tapi, begitu surat wasiat dibacakan eh tahu-tahu dialah yang paling banyak dapat bagian. Nggak adil menurut gue! Dan, alasan kedua, gue memanfaatkan peluang yang ada soalnya jelas-jelas diperbolehkan dalam surat wasiat bahwa siapa pun yang meninggal duluan di antara gue atau Oktavia maka pihak yang hidup akan mewarisi harta milik yang meninggal."
Begitu Annie selesai menjelaskan apa yang menjadi motivasi dirinya untuk melenyapkan Oktavia, Astuti langsung mangut-mangut.
Lima menit kemudian...
"Terus, apa yang bisa gue bantu untuk melancarkan rencana elo?"
Astuti menawarkan bantuan kepada Annie.
Sejenak Annie menatap tajam ke arah Astuti, dia mencoba menyelami keseriusan sahabatnya dalam menawarkan bantuan.
Melihat Annie hanya diam dan menatap dirinya, Astuti kembali bersuara.
"Gue serius mau bantu elo. Gue rasa elo tak perlu turun tangan sendiri untuk melenyapkan Oktavia!"
"Jadi, gue bayar orang untuk bunuh Oktavia?" Annie menegaskan ucapan yang keluar dari mulut Astuti.
Astuti menganggukkan kepala.
"Apa elo punya relasi yang berprofesi pembunuh bayaran?" Tanya Astuti.
Astuti kembali menganggukkan kepala.
"Serius lo?"
"Serius, neng." Jawab Astuti dengan nada tegas.
"Kenal di mana?"
"Kan selama ini gue punya pelanggan tetap, dan selama kedekatan kami, dia berterus-terang apa profesinya!" Jawab Astuti.
"Wow...terus elo nggak takut apa kalau dia bakal bunuh elo karena elo tahu rahasianya?"
Astuti menggelengkan kepala.
Melihat Astuti menggelengkan kepala, Annie menjadi penasaran oleh rasa ingin tahu sehingga dia kembali bertanya, "Yakin?"
"Yakinlah."
"Kok bisa gitu, say?"
"Ya, karena dia memberikan pekerjaan sampingan sama gue. Dia pengin gue carikan dia kontrak untuk membunuh orang. Dan, bila ada kontrak tertanda-tangani maka gue dapat komisi sebesar sepuluh persen dari nilai kontrak tersebut. Dan, kami telah bekerja sama setahun belakangan ini."
Annie ternganga. Dia tak menyangka bahwa sahabatnya yang berprofesi sebagai high class call girl ternyata merangkap sebagai marketing freelance dari seorang pembunuh bayaran profesional.
"Bagaimana, cin? Mau nggak gue hubungkan elo sama dia?" Tegur Astuti kepada Annie yang masih ternganga takjub.
Teguran Astuti menyadarkan Annie dari keterkejutannya, maka dia pun berkata, "Oke, tolong atur saja pertemuannya. Kabari gue kalau sudah fix!"ue
"Oke...mantab, cin." Jawab Astuti.
"Terus acara malam ini, kita ke mana?" Annie bertanya kepada Astuti setelah mereka sepakat untuk menggunakan jasa pembunuh bayaran dalam melenyapkan Oktavia.
"Gimana kalo kita keliling klub sekitar Kemang aja!" Usulan terucap dari mulut Astuti terhadap pertanyaan Annie. "Di sana kan club-nya lebih elit dibandingkan kawasan Kota!"
"Yakin? Cozy nggak? Plus aman nggak dari razia BNN, nggak? Ogah aja kalo muka gue masuk TV kena razia! Masa calon direktris mukanya nonggol di TV akibat razia narkoba?"
"Gue yakin banget pasti cozy dan aman dari razia BNN, say!" Kata Astuti menyakinkan Annie. "Suer deh!"
"Oke deh, gue percaya sama elo. Caz cuz yuk! Biar dapat parkiran yang enak di sana!" Ajak Annie kepada Astuti.
"Yuk...Siap, boss."
Sebutan untuk anak perempuan
Iso buat opo? = Bisa buat apa?