Bukan hanya jagoan jagoan Thian-te-pai yang mencari jejaknya, bahkan tokoh-tokoh besar dari semua golongan juga mencari maling yang telah melarikan pusaka itu. Bahkan juga dari istana muncul jagoan-jagoan yang berkeliaran mencari pusaka itu. Seolah-olah terjadi perlumbaan untuk memperebutkan benda pusaka itu.
Setelah kini benda pusaka itu bukan lagi menjadi pusaka Thian-te-pai, karena sudah berhasil dicuri orang, maka semua golongan mencarinya dan kini siapa yang berhasil merampasnya dari si pencuri, berarti berhak untuk memiliki pusaka keramat Giok-liong-kiam atau Pedang Naga Kemala.
Inilah sebabnya maka Sin-touw yang merasa hidupnya terancam, ketika bertemu dengan Phek-Kiat yang sudah lama dikenalnya sebagai seorang penjahat yang cerdik dan licik, dia mengadakan perjanjian dengan orang itu. Dia yang sudah ketagihan candu, setuju untuk menukarkan benda pusaka itu dengan tigapuluh kati madat murni.
Tigapuluh kati! Jumlah yang tidak sedikit dan mahal sekali harganya. Dan bukan itu saja. Juga Phek Kiat berjanji untuk mencukupi semua kebutuhannya akan madat kalau yang tigapuluh kati itu sudah habis. Berarti selama hidupnya dia tidak akan kekurangan candu.
Kesenangannya terpenuhi, keselamatannya tidak terancam lagi. Dan selain itu, yang lebih penting lagi, dia tahu dimana adanya pusaka itu. Dia seperti menitipkannya saja kepada Phek Kiat, mengalihkan bahaya yang mengancam kepada orang she Phek itu. Dan kalau sewaktu-waktu dia hendak mengambil kembali benda pusaka itu, apa sukarnya baginya untuk mencari Phek Kiat?
Bahkan, kalau keadaan memaksa, dia dapat menjual orang itu kepada tokoh pandai yang mengejar, dan untuk keterangan bahwa dia tahu dimana adanya benda pusaka itu, tentu dia akan memperoleh hadiah yang amat besar pula. Dia harus dapat mengeduk keuntungan sebanyaknya dari Giok-liong-kiam tanpa membahayakan keselamatan diri sendiri.
"Srrrr.....!"
Sebatang jarum hitam halus menyambar dari sebuah lubang rahasia di bawah cangklong. Karena jaraknya amat dekat, jarum yang tiba-tiba meluncur itu dengan tepat sekali mengenai tenggorokan Phek Kiat yang sama sekali tidak menduganya dan tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak.
Tahu-tahu jarum itu telah menusuk tenggorokannya. Dia terkejut dan merasa tenggorokannya panas dan perih sekali. Dia terbelalak memandang pencuri itu.
"Keparat.....! Kau.....kau.....!"
Phek Kiat menerjang ke depan, mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghantam. Akan tetapi, Sin-touw sudah bersiap siaga, sekali menggerakkan kakinya dia sudah meloncat jauh ke belakang sehingga tubrukan A Ceng atau Phek Kiat mengenai tempat kosong dan tubuh itupun terguling.
Phek Kiat bukanlah seorang lemah, akan tetapi jarum yang menancap hampir seluruhnya ke dalam tenggorokannya itu bukan jarum sembarangan, melainkan jarum yang mengandung racun amat keras, sehingga begitu tempat yang lemah itu tertusuk, racun dalam jarum itu sudah terbawa oleh darah dan menjalar amat cepatnya. Leher itu seketika menjadi bengkak dan Phek Kiat merasa kepalanya pening berputar sehingga dia roboh dan berkelojotan.
Sin-touw tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha..... baru engkau tahu akan kelihaian Sin-touw, ha-ha-ha!"
Dia merasa girang sekali. Akal ini baru diperolehnya tadi ketika dia menanti munculnya Phek Kiat di bawah jembatan. Dia teringat bahwa Phek Kiat adalah seorang penjahat yang amat licin dan keji, dan mulailah dia merasa menyesal mengapa dia memilih Phek Kiat sebagai orang yang akan menyimpan Giok-liong-kiam.
Bagaimana kalau kelak dia ditipunya? Bagaimana kalau Phek Kiat di luar tahunya menjual pusaka itu dengan harga yang amat tinggi, beberapa kali lipat dari sekedar tigapuluh kati candu? Dan hal ini amat boleh jadi mengingat bahwa Phek Kiat adalah seorang yang berwatak rendah.
Lebih baik mencari orang lain yang lebih dapat dipercaya, demikian timbul pikirannya dan diapun mencari akal untuk membatalkan jual beli itu dengan membunuh Phek Kiat. Dan candu tigapuluh kati itu akan menjadi miliknya, dengan gratis karena pusaka Giok-liong-kiam masih akan tetap berada padanya.
"Ha-ha-ha-ha!"
Si Maling Sakti tertawa lagi, lalu merenggut buntalan dari pundak tubuh Phek Kiat yang sudah kaku tak bergerak lagi. Dibukanya buntalan itu dan ketika dia melihat candu sebanyak itu, kembali dia tertawa girang.
"Aku harus memberi selamat kepada diri sendiri dengan mengisap sepuasnya!"
Dia lalu menyeret tubuh tubuh Phek Kiat yang sudah tidak bernyawa itu ke bawah jembatan. Kemudian diapun mengikat dua bungkusan itu menjadi satu dan menggendongnya di punggung.
Setelah duduk di dekat mayat Phek Kiat, dia lalu menyalakan tembakau di mulut pipa cangklongnya dan mulailah dia mengisap tembakau madat. Wajahnya berseri gembira dan matanya terpejam ketika dia menyedot asap candu itu sampai memenuhi paru-parunya. Terasa nikmat sekali dan dia menghisap terus-menerus dan sambung menyambung.
Akan tetapi tiba-tiba dia tersentak kaget, pipa cangklong itu dibuangnya dan diapun meloncat bangun, menekan dadanya. Akan tetapi, dia terguling roboh dan muntah-muntah, kedua tangannya mencengkeram ke arah dadanya dan ditarik-tariknya bajunya sehingga robek-robek. Mukanya kini berobah kehitaman, tidak lagi berseri-seri melainkan penuh ketakutan dan kemarahan.
"Celaka.....! Jahanam keparat.....!"
Dia memaki dan dengan marah, dia menendang mayat Phek Kiat. Akan tetapi baru dua kali dia menendang, tubuhnya terguling dan berkelojotan, dan tak lama kemudian nyawanya menyusul Phek Kiat.
Kiranya tembakau madat yang oleh Phek Kiat dimasukkan ke dalam pipa cangklong itu bukanlah tembakau biasa, melainkan tembakau madat yang sudah dicampuri racun yang jahat sekali. Baru menyedot satu kali saja, sudah cukup untuk membunuh orang, apalagi Sin-touw yang menghisapnya berkali-kali sampai paru-parunya penuh!
Setelah tubuh Sin-touw tidak bergerak lagi, muncullah sesosok bayangan hitam yang gerakkannya gesit. Dia meloncat turun ke bawah jembatan, sejenak berdiri memandang dua mayat itu dan dia tertawa terkekeh. Suara ketawanya aneh menyeramkan, seperti ringkik kuda dan perutnya yang gendut bergoyang-goyang.
"Manusia-manusia hina, kalian memang tidak pantas untuk hidup lebih lama lagi di dunia ini. Orang-orang macam kalian mana pantas menjamah Giok-liong-kiam?"
Dia lalu menggerakkan tangannya dan tahu-tahu buntalan kain hitam persegi panjang itu sudah direngutnya dari punggung mayat Sin-touw. Dibukanya buntalan itu dan ketika dia membuka tutup peti, matanya bersinar-sinar melihat pedang kemala yang berkilauan kehijauan itu. Ditutupnya kembali peti itu dan tiba-tiba dia memandang ke kanan kiri seperti orang khawatir.
Hati siapakah yang tidak merasa gelisah setelah berhasil memperoleh Giok-liong-kiam? Benda pusaka ini diinginkan oleh semua orang di dunia persilatan, baik dari golongan sesat maupun para pendekar. Bahkan orang-orang dari istana juga menginginkannya. Belum lagi diingat orang-orang dari Thian-te-pai yang ingin merampas kembali benda pusaka perkumpulan mereka.
Para tokoh dunia persilatan, baik dari golongan hitam maupun golongan pendekar, ingin menguasai Giok-liong-kiam karena benda pusaka ini menjadi lambang dari keunggulan seseorang, menjadi bukti ketinggian tingkat kepandaiannya dan bahkan sebelum benda itu terjatuh ke tangan Thian-te-pay, pernah Giok-liong-kiam dianjurkan oleh para datuk persilatan untuk menjadi tanda kuasa seseorang Bu-lim Beng-cu (Ketua Dunia Persilatan) yang diakui oleh semua orang di dunia kang-ouw!
Ada pula golongan sesat yang menginginkan benda itu bukan karena kekeramatannya, melainkan karena harganya. Benda itu amat berharga, karena selain batu kemala hijau kemerahan itu merupakan kemala pilihan yang sukar didapatkan di dunia ini, juga ukir-ukiran berbentuk pedang naga itu amat halus dan indahnya, kabarnya dilakukan oleh seorang ahli ukir di jaman Tang, ahli ukir dari istana yang kenamaan, seribu tahun yang lalu. Sukar dinilai berapa harganya benda itu dan agaknya orang-orang yang kaya raya akan berlumba membelinya dengan harga yang paling tinggi sekalipun!
Tidaklah mengherankan kalau terjadi pembunuhan-pembunuhan keji semenjak orang tahu bahwa A Ceng atau Phek Kiat sedang melakukan urusan yang ada kaitannya dengan Giok-liong-kiam. Mula-mula dengan matinya Si Kaki Besi dan tiga orang kawannya yang hendak merampas tiga puluh kati madat dari tangan Phek Kiat, kemudian kematian Phek Kiat dan Sin-touw yang saling membunuh untuk memperebutkan Giok-liong-kiam dan madat yang banyak itu.
Dan kini, si Gendut berpakaian serba hitam itu dengan jantung berdebar penuh ketegangan menggendong Giok-liong-kiam baik-baik dan merasa cemas. Akan tetapi diapun lalu mengambil buntalan madat, karena madat sebanyak tigapuluh kati itu merupakan harta yang amat banyak pula. Sambil menyeringai puas dan girang, si gendut berpakaian hitam itu melompat ke luar dari bawah jembatan, setelah merasa yakin bahwa tempat itu sunyi dan tidak ada orang lain kecuali dia yang menyaksikan perkelahian antara Phek Kiat dan Sin-touw yang mengakibatkan keduanya tewas itu.
Setelah kedua kakinya dengan ringan sekali hinggap di atas jembatan, dia celingukan lagi dan makin legalah hatinya ketika melihat kesunyian sekeliling jembatan itu. Malam itu juga dia harus dapat keluar dari kota Kanton, pikirnya. Dia tidak akan merasa aman sebelum meninggalkan Kanton.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, si gendut baju hitam itu dapat lolos dari kota dengan jalan melompati pagar tembok kota di bagian yang sunyi tidak terjaga. Setelah meloncat ke luar dari tembok, dia lalu mempercepat gerakan kakinya, berlari seperti terbang menuju ke utara. Tujuannya adalah ke kota Sau-koan, dimana dia mempunyai seorang sahabat yang dapat dimintai tolong agar membantunya menyembunyikan diri untuk sementara.
Menjelang pagi, selagi dia menuruni sebuah bukit kecil, tiba-tiba dia mendengar derap kaki kuda dari belakang. Dia terkejut sekali. Akan tetapi setelah dia mendengarkan dengan teliti dan ternyata yang datang dari belakang itu hanya seekor kuda saja, hatinya menjadi tenang.
Kalau hanya menghadapi seorang lawan saja, dia tidak takut. Apalagi yang datang dari belakang itu belum tentu seorang musuh, mungkin sekali hanya orang yang kebetulan lewat saja. Karena itu, setelah mempererat gendongannya, dia melanjutkan perjalanan dengan jalan seenaknya agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Tak lama kemudian, setelah derap kaki kuda itu semakin keras suaranya, muncullah seorang penunggang kuda yang membalapkan kudanya mendahului si baju hitam. Si gendut baju hitam ini melirik dan dia melihat seorang laki-laki tinggi besar menunggang kuda yang besar pula. Seorang laki-laki biasa saja yang pandai menunggang kuda dan agaknya tergesa-gesa. Akan tetapi ketika si gendut itu melihat baju orang itu, jantungnya berdebar tegang, Baju Kulit Harimau!
Teringatlah dia akan nama Lam-hai Ngo-houw (Lima Harimau Laut Selatan) yang terkenal di Kanton, lima orang kakak beradik yang ditakuti, karena mereka adalah orang-orang kuat yang kadang-kadang mengandalkan kekuatan dan kepandaian silat mereka untuk memaksakan kehendak mereka kepada orang-orang atau golongan yang lebih lemah. Ciri khas mereka adalah baju harimau mereka. Biar dalam musim panas sekalipun, mereka tak pernah menanggalkan baju harimau mereka.
Akan tetapi, penunggang kuda ini hanya seorang saja, pikir si gendut baju hitam. Dan khabarnya, Lam-hai Ngo-Houw selalu maju berlima. Mungkin bukan mereka, dan andaikata benar orang ini seorang di antara Lima Harimau itu, takut apa?
Orang itu tentu tidak tahu apa isi dua buntalan di punggungnya. Juga dia tidak pernah berkenalan dengan Lam-hai Ngo-houw dan tidak mempunyai urusan apapun juga. Tanpa sebab, tidak mungkin Lam-hai Ngohouw mau mengganggu dirinya. Hatinya lebih tenang melihat betapa penunggang kuda itu membalap terus dan agaknya sama sekali tidak memperhatikan dirinya.
Karena hatinya lega, si gendut itu lalu beristirahat di dalam sebuah hutan dan pada keesokan harinya, setelah matahari mulai mengusir kegelapan malam, diapun melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Dia tahu bahwa setelah dia keluar dari dalam hutan ini, kota Sau-koan tinggal belasan lie saja lagi jauhnya.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba dia mendengar suara auman harimau dari depan! Seekor harimau! Dia merasa heran sekali karena dia bukan seorang asing di daerah ini dan dia tahu betul bahwa di hutan ini tidak pernah orang bertemu harimau. Akan tetapi auman itu jelas merupakan auman harimau.
11. ..................