Title: You're My Alpha!
Pair: Markhyuck!
Cast: Lee Haechan
Mark Lee
And other member
Genre: Romance
Disclaimer:
Cerita milik saya sendiri, Cast milik diri sendiri, orangtua, dan Tuhan YME
A/B/O Gender, Alternative Universe (AU)
Warning: YAOI! BOYSLOVE!
DON'T BASH MY STORY! DON'T LIKE DON'T READ!
-YOU'RE MY ALPHA!-
Cinta.
Sebuah rasa yang akan membuat siapa saja seperti bukan dirinya. Tidak tahu seperti apa pada akhirnya. Cinta tidak selalu mujur seperti yang dikira. Tidak peduli pada siapa ia akan berlabuh. Perasaan yang tidak bisa dicegah ataupun dihilangkan begitu saja. Tidak ada yang bisa menyalahkannya.
"Tapi, aku mencintaimu. Tidakkah kau merasakannya?" ujarnya dengan suara lembut tapi terdengar serak. Sesuatu seperti menyumbat tenggorokannya kini.
Lucas, alpha jangkung dengan sejuta pesona pada dirinya. Sosok yang menyenangkan itu terlihat berubah berbanding terbalik dengan sifat aslinya. Semuanya yang dekat dengan alpha itu pasti mengerti dengan jelas apa yang menyebabkannya seperti itu. Lucas melirik kearah Jungwoo yang menatapnya penuh harap.
"Apa kau yakin itu cinta? Jangan gunakan frasa cinta jika kau belum mengerti dengan benar apa yang kau rasa, hyung." Ujarnya pelan sembari menepuk pundak Jungwoo.
Jungwoo menghela nafas sekian kali, apa memang sesakit ini? penolakan bertubi-tubi yang dilakukan Lucas untuknya seolah tak ada bandingannya daripada rasa rumit yang dimilikinya. Jungwoo menatap Lucas sendu, ada siratan kesedihan yang besar dari sorot matanya. Omega tinggi itu menyingkirkan tangan Lucas dari pundaknya.
"Itu cocok untukmu. Apa kau benar mencintainya? Apakah kau hanya terobsesi pada omega itu?"
Lucas tertohok. Ucapannya dibalik dengan mudah oleh Jungwoo. Lucas menatap Jungwoo datar. Lucas tahu dengan baik apa yang dirasakannya pada omega itu. Omega yang selalu berada dalam bayangannya dan membuatnya lupa diri. Lucas paham! Ini memang cinta!
"Aku sepenuhnya paham. Lidahku kelu saat berhadapan dengannya, mataku tak bisa beralih pada sosoknya." Ada jeda untuk keduanya. Lucas terlihat memghela nafas untuk menetralkan rasa sakit yang tiba-tiba datang dihatinya.
"...Sosok indah yang selalu kudamba. Seribu kali penolakan yang dilakukannya membuatku kesakitan tapi tidak membuat menyerah begitu saja. Aku terlihat bodoh dimatanya. Aku ingin menyerah dan berbalik melupakannya. Tapi... hanya dengan memikirkan kalau ia akan menjadi milik yang lain membuatku seperti mati."
Lucas menerawang jauh pada ingatannya tentang pertemuan pertama mereka. Dimana Lucas saat pertama kalinya kikuk berhadapan dengan seseorang. Membuatnya gagap dan salah tingkah. Suaranya yang mengalun membuat Lucas seolah seperti berada dalam pusaran yang dibuat oleh sosok yang tidak ingin Lucas ucap namanya. Sosok yang menyakitinya dengan dalam sekaligus sosok yang paling diinginkan di dunia.
"Tapi... tidakkah kau melihatku? Rasaku sama sepertimu. Tidakkah kau kasihan padaku? Mengemis cinta pada seorang alpha bodoh yang mencintai omega milik yang lain. Tidakkah kau membuka celah hatimu untukku?" sekian kali Jungwoo mengemis.
Tangan Jungwoo mengepal erat. Wajahnya memerah padam, perasaannya berkecamuk. Antara marah, sedih, kecewa dan malu. Jungwoo tak ingin mengemis perhatian pada sosok jangkung yang kini memunggunginya. Hembusan angin kencang membuat perasaan Jungwoo semakin rumit. Daratan di bawah sana seolah memanggilnya untuk terjatuh. Jungwoo rasanya ingin menerjunkan diri dari the best view gedung pencakar langit ini.
"Apa kau mencintaiku karena aku yang menangani heat pertamamu?"
Pertanyaan bodoh!
Lucas sadar akan pertanyaannya. Lucas juga paham dengan benar ucapan sosok yang dianggapnya hyung itu. Lucas tahu bahwa rasa sepertinya sangat indah namun menyakitkan. Lucas tidak tahu sampai kapan ia akan bertahan pada rasa yang menggerogotinya perlahan ini.
"Tidak. Aku mencintaimu karena itu kau! Karena kau Lucas Wong! Alpha biadab yang tidak bisa menjaga perasaan orang lain!"
Pecah sudah airmata yang sedari tadi ditahannya. Tak ada yang menyakitkan dari semua ini. jungwoo merasakan ketidakadilan akan cintanya. Lucas mengejar Haechan, Haechan memiliki mate, ia yang mengemis cinta sosok biadab di depannya. Tubuh Jungwoo bergetar dalam tangisnya. Tidak ada yang menyakitinya sedalam ini kecuali sosok yang menatapnya datar, namun Jungwoo tahu dari ada binar jijik yang disiratkan Lucas padanya.
"Penolakan memang menyakitkan, hyung. Jangan pernah berharap banyak padaku. Dan tentang hubungan badan ketika kau heat, aku ingin kau tidak menganggapnya lebih. Itu hanya fuck buddies."
Fuck buddies?
Jungwoo benar-benar hancur saat ini. Apakah memang semurahan itu Jungwoo dimata Lucas? Jungwoo tumbang dalam keadaan berlutut. Tangisannya kencang, tapi itu tidak membuat Lucas menoleh padanya. Jungwoo menatap sendu pada punggung lebar yang menjauhinya. Berjalan meninggalkannya dengan sukses menghancurkan hatinya dalam sekali hentak. Jungwoo tidak tahu harus apa.
"Apa aku memang harus berbalik dan membencimu?" gumamnya lirih seorang diri. Suaranya tertelan angin kencang dari gedung pencakar langit yang menjadi the best view. The best view miliknya—Lucas—benar-benar sudah membuatnya buta akan segalanya.
.
.
.
"Umma, dia akan kembali. Minhyung sudah dalam perjalanan menuju ke Korea. Dia memintaku tinggal di mansion milik keluarganya." Ujarnya riang memeluk tubuh ibunya manja.
Kyungsoo menghela nafas, tangannya mengusak surai merah anaknya. Apa secepat ini ia kehilangan sosok manja anaknya? Kyungsoo benar-benar belum siap melepas Haechan pada alphanya.
"Kau harus izin appa. Tapi, bukankah lebih baik kalian tidak tinggal dalam satu atap bersama? Kau tidak takut diapa-apakan lagi, eoh?" ujarnya dengan sedikit godaan untuk anaknya yang kini menatapnya malu-malu.
Haechan malu sebenarnya. Namun, ia menahannya dengan sangat. Ia menggeleng menjawab pertanyaan ibunya. Kepalanya ia usalkan pada leher ibunya yang kini terkikik geli.
"Tentu saja tidak. Kan sudah pernah, sampai menjadi bayi pula." Ujarnya menggoda anaknya yang kini semakin mengeratkan pelukannya pada tubuhnya.
"Umma~ andwae. Jangan menggodaku, eoh?" ujarnya dengan suara tertelan karena ia mengusalkan kepalanya pada dada ibunya. Haechan sedang malu. Lucu sekali melihatnya seperti kucing kecil.
.
.
.
Hujan memang menyebalkan. Jaemin tidak suka hujan. Sangat tidak menyukainya. Karena hujan kini supirnya tidak bisa menjemputnya. Membuatnya terdampar di halte. Tanpa payung dan mantel. Jaemin semakin membenci hujan. Salahkan teman-temannya yang meninggalkannya mengerjakan tugasnya seorang diri. Apalagi, berteduh dengan sosok yang sangat Jaemin tidak sukai.
"Yak! Jangan menatapku! Aku memang tampan. Pergi saja kau!" pekik Jaemin pada sosok yang menatapnya seolah ia adalah makhluk langka.
Jeno.
Ia mendengus malas mendengar pekikan nyaring dari omega yang kini menghentakan kakinya kesal menatapnya. Jeno berpaling dan menatap jatuhnya air langit yang membasahi jalanan raya dihadapannya. Di halte hanya tersisa dirinya dan sosok omega cerewet yang terus menerus menggerutu kesal karenanya.
Jaemin sebenarnya senang akan sosok yang membuatnya tidak merasa kesepian di halte yang mulai sepi ini. tapi, mengingat bagaimana pertemuan pertama dan terakhir mereka membuatnya kesal setengah mati dengan ucapan sosok sipit yang—sok—tampan ini.
"Selain berisik, kau juga cerewet bukan main." Gerutu Jeno tanpa menatap Jaemin.
Jaemin melotot kesal pada sosok tampan yang sama sekali tidak menatapnya. Jaemin terdiam, ia tidak lagi membuka kata tentang kekesalan tanpa alasan miliknya. Jaemin hanya tidak ingin dianggap berisik oleh sosok Jeno yang biadab ini. tapi, dengan tujuan apa ia membuat Jeno senang?
Jeno melirik Jaemin yang kini memainkan sepatunya sendiri. Tak banyak kata ia menatapi ujung sepatunya sendiri, membuat Jeno yang ada di sampingnya mengernyit heran. Jeno senang mendengar omelan atau gerutuan Jaemin. Meskipun tidak memungkiri kalau itu juga mengganggunya.
"Jaemin, kau boleh berisik. Aku tidak suka melihatmu murung seperti itu."
Tangannya terulur menepuk kepala Jaemin beberapa kali. Mencoba menghibur sosok yang terlihat murung itu. dalam hati, Jeno juga merasa bersalah telah berkata kasar pada Jaemin.
Detakan jantung Jaemin menggila. Seperti akan keluar dari tempatnya. Tapi, Jaemin suka dengan ini. detakan yang membuat pipinya memerah seperti itu. Jaemin sampai tidak sadar bus terakhir sudah berada di depannya.
Jaemin kembali tersentak kala tangan lebar dan hangat itu menggenggam tangannya. Menuntunnya masuk ke dalam bus. Tangan Jeno yang hangat meskipun cuaca sedang dingin-dinginnya. Jeno menariknya ke dalam bus, kemudian mencarikan Jaemin bangku penumpang yang kosong.
Jeno menepuk kepala Jaemin lagi. Tersenyum sehingga matanya menyipit. Sangat tampan.
"Jangan tertidur, arra? Jangan lupakan alamat rumahmu, manis. Sampai jumpa!" ujar Jeno sambil berjalan turun dari bis yang bahkan belum berjalan.
Jaemin melongo. Berarti Jeno hanya menemaninya menunggu bus? Bolehkah Jaemin terbang saat ini?
"Yak! Kau tidak naik?" pekik Jaemin tak percaya dengan apa yang dilihat. Jaemin melongokan kepalanya pada jendela bus.
"Tidak. Rumahku dekat dari sini. Bye, Jaeminie."
Jaeminie?
Jaeminie?
Jaeminie?
Apa itu panggilan sayang?
.
.
.
Cahaya remang-remang itu menampakan sosok yang masih bergelung dalam selimut tebal. Ruangan luas dengan ranjang king size membuatnya terlihat kecil. Tidurnya nyenyak sampai tidak terbangun saat ada manusia lain masuk ke dalam.
Sosok jangkung itu mendekat kearah omega yang bergelung nyaman dengan selimut tebalnya. Sosok itu menyingkap selimut yang dipakainya. Menatap penuh kerinduan pada sosok yang bergelung seperti kucing pada buntalan selimut tebal itu.
Dengan perlahan ia naik ke ranjang king size itu. menatap pahatan omeganya yang tertidur lelap. Melegakan sekali menatap sosok pengisi sisa hidupnya kelak.
Mark.
Ia mendekat kearah wajah lelap Haechan. Bagaimana bibir berbentuk hati itu sedikit terbuka saat tertidur. Dengkuran halus miliknya. Semuanya Mark rindukan.
Bibirnya mendekat mengecup mesra bibir setengah terbuka itu. menyesapnya pelan hingga menyebabkan lenguhan tak nyaman keluar dari bibir Haechan.
Haechan membuka matanya perlahan. Tidurnya terganggu karena sesuatu yang basah dibibirnya. Haechan tersenyum dan mulai merangkulkan tangannya kembali pada leher kokoh yang pernah menaunginya.
"Welcome back, my alpha."