Ku gatau ni nulis apa, so enjoy your reading!
Disebuah rumah sakit, Singto mondar – mandir tidak jelas. Ia menatap cemas pada pintu UGD yang tertutup rapat. Sesekali ia mengacak rambutnya frustasi. Ia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi.
Arthit yang awalnya baik – baik saja tiba – tiba tumbang didepan matanya. Pemuda itu pingsan setelah ia menceritakan siapa Arthit yang sesungguhnya. Dengan dibantu pelayan restorant itu, Singto mengangkat tubuh Arthit dan membawanya kerumah sakit tempat Yoan bekerja.
Ia begitu panik tadi dan saat perjalanan ia menghubungi Yoan dengan penuh kepanikan. Beruntunglah Singto, malam itu Yoan masih berada di rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Yoan dan beberapa perawat membawa Arthit menuju UGD.
Dan disinilah Singto sekarang, duduk di bangku tempat tunggu depan UGD setelah ia capek mondar – mandir sedari tadi. Sudah setengah jam berlalu tapi Yoan belum juga keluar dari UGD. Ia semakin mencemaskan keadaan Arthit.
Bagaimana jika itu tadi ingatan Arthit kembali sepenuhnya?
Pikiran seperti itulah yang sedari tadi bersarang di kepala Singto. Ia takut jika Arthitnya mengingat semua jati dirinya dan meninggalkannya. Dalam hati Singto berdoa agar semua ini tak terjadi. Ia baru saja mendapat kebahagiaannya kembali bersama Arthit setelah Arthit meninggalkannya.
Singto bersandar pada tembok belakangnya, kepalanya mendongak dan memejamkan matanya lelah. Pikirannya kembali melayang pada kejadian saat di restaurant tadi.
---
"P'Sing.."
"Iya?"
"Siapa Arthit?"
Deg....
Jantung Singto berdegup kencang dan matanya membelalak terkejut. Namun itu tak bertahan lama karena sorot matanya kini menjadi sendu.
"Arthit...dia adalah....adikku"
Arthit mengernyit mendengarnya, ia tidak pernah tau soal ini. Setaunya Singto memiliki satu orang adik saja yaitu Windy.
"Kandung?" Tanya Arthit penasaran.
"Iya, kandung.." Arthit terdiam menunggu kejelasan lebih lanjut dari Singto. "Dia kakak Windy, anak kedua orang tua kami. Kau tau dari mana tentang Arthit?"
"Aku tau dari di album foto kalian, diruang kerjamu laci paling bawah. Maafkan aku yang lancang tak sengaja mengetahuinya"
Singto terdiam sesaat kemudian ia tersenyum mencoba menutupi kegugupannya pada orang didepannya ini. ia tahu suatu hari nanti pasti Arthit akan menanyakan ini. Tidak mungkin juga ia menyembunyikan hal ini pada orang yang kini dicintainya. Arthit berhak tau, tau jika ia memiliki seorang adik lagi.
"Kau tampak sangat menyayanginya.." Lanjut Arthit.
Singto mengangguk. "Ya, aku sangat menyayanginya.." Ucap Singto. "Dan sangat mencintainya" batin Singto. "Kakak mana yang tak menyayangi adiknya euh?" Lanjut Singto dengan senyumnya.
"Iya kau benar. Tadinya kukira ia adalah kekasihmu. Konyol sekali aku ini, bisa berfikiran seperti itu" Arthit terkekeh dengan pemikirannya ini. Ada perasaan lega saat dirinya tau jika pria yang bersama Singto difoto tersebut adalah adik kandung Singto.
Namun tanpa Arthit sadari, ucapannya barusan membuat mimik wajah Singto perlahan berubah. Seperti tepat sasaran, Singto merasa tersindir dengan itu. Konyol ya... seorang kakak yang mencintai adik sendiri. Lebih gilanya lagi mereka sama – sama saling suka dan menjalin hubungan.
"Lalu dimana dia sekarang? Kenapa aku tidak pernah melihatnya?" Tanya Arthit sembari menyeruput minuman milkshakenya.
Seketika suasana hati Singto menjadi mellow, ekspresi wajahnya menyiratkan kesedihan disana. Sorot matanya semakin berubah sendu. Arthit yang melihatnya pun mengernyitkan dahinya.
Apakah ia salah bertanya?
"P'Sing kenapa?" Tanya Arthit perlahan.
Singto menatap kedalam bola mata Arthit yang memandangnya penuh rasa penasaran. Singto berusaha untuk mengatur mimik wajahnya, ia tersenyum lembut pada Arthit.
"Dia....meninggal"
Arthit bungkam, merasa bersalah pada Singto. Pasti Singtonya saat ini kembali mengingat kejadian dimana adiknya meninggal dan itu akan membuat suasana duka dihati Singto kembali timbul. Itu kentara sekali dengan pandangan Singto yang tampak kosong seperti menerawang.
"Ma-maaf Phi, aku tidak bermaksud untuk.."
"Tidak apa – apa, lagipula aku sudah mengikhlaskannya"
"Kau pasti sangat merasa kehilangannya, apalagi kau sangat menyayanginya. Apakah saking sayangnya, kau memberiku nama Arthit?"
"Kau begitu mirip dengan adikku.."
"Ya, aku tau..."
"Tapi sifat kalian sangat bertolak belakang.."
"Benarkah?" Singto mengangguk sembari tersenyum mengingat sifat adiknya itu.
"Lalu...kenapa dia meninggal? Apakah dia sakit?" Tanya Arthit dengan hati – hati, entahlah ia tak mengerti kenapa justru pertanyaan ini yang keluar dari mulutnya. Tak dipungkiri, Arthit penasaran dengan hal itu.
"Dia mengalami kecelakaan mobil lima bulan lalu.."
"Ke-kecelakaan mobil?"
Tiba – tiba peluh membasahi pelipisnya, kepalanya terasa berat dan pandangan matanya tak fokus lagi mendengar kata – kata itu. Kecelakaan mobil lima bulan lalu?
Arthit memegangi kepalanya yang teramat pusing. Dadanya naik turun seperti sesak nafas. Singto tak melihat keadaan Arthit sekarang karena ia setengah menunduk setengah melamun saat menceritakannya.
"Saat itu kejadiannya di Bangkok, dia mengendarai mobilnya.........."
Arthit sudah tak bisa mendengar suara Singto. Telinganya mendengung, wajahnya seketika menjadi pucat. Ia sudah tak fokus lagi dengan sekitarnya.
Singto yang tak mendapat respon dari Arthit pun mendongak, seketika wajahnya menjadi panik saat melihat keadaan Arthit yang terlihat tak baik – baik saja.
"Arthit, apa yang terjadi denganmu?!" Singto berdiri memposisikan dirinya disebelah Arthit dan merengkuh kedua bahu Arthit.
Arthit mencoba memandang Singto, namun yang terjadi pandangan matanya mengabur dan ia pun pingsan dalam dekapan Singto.
"Arthit..bangun, Arthit!!" Teriak Singto sembari menepuk pipi Arthit. Orang disekitarnya pun memandang mereka dengan cemas.
"Pelayan!! Pelayan!!" Panggilnya yang tak lama kemudian datanglah dua orang pelayan. "Bantu aku membawanya ke mobilku" Ucap Singto pada pelayan tersebut.
Singto mengeluarkan beberapa lembar uang untuk billnya di atas meja, kemudian dengan dibantu pelayan tersebut Singto membopong tubuh Arthit yang tak berdaya tersebut menuju mobilnya.
---
Didalam UGD, Yoan memandang Arthit yang terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit. Arthit baru saja siuman setelah Yoan memeriksanya. Didalam ruangan itu kini hanya ada mereka dan satu orang perawat saja yang tengah sibuk sendiri.
"P'Yoan, apa yang terjadi?" Tanya Arthit saat menyadari dirinya terbaring di rumah sakit.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, apa yang terjadi denganmu?" Tanya balik Yoan.
"Kecelakaan mobil.." Lirih Arthit.
Yoan mengernyit mendengar perkataan Arthit.
"Maksudmu?"
"P'Sing menceritakan tentang kecelakaan mobil" Jelas Arthit.
Yoan mengangguk paham, ia pun mengambil hasil pemeriksaannya dan mengamati berkas tersebut.
"Sepertinya trauma di kepalamu kambuh, otakmu tegang saat menerima informasi yang sangat ingin kau hindari. Maka dari itu akan menimbulkan rasa nyeri di kepalamu. Ini terjadi karena adanya benturan dikepalamu dan pancingan suatu kejadian yang pernah kau alami yang dapat menganggu keadaan psikologismu"
"Ya, ini terjadi beberapa kali tapi sebelumnya aku tidak pernah sampai pingsan seperti ini"
"Kecelakaan yang kau alami, pasti membuatmu trauma.."
Arthit terdiam mendengar ucapan Yoan. Kemudian ia memandang dokter yang sudah seperti kakaknya sendiri itu dalam.
"P'Yoan masih mau membantuku kan?" Tanya Arthit. Yoan mengangguk mengiyakan.
.
Singto masih menunggu keluarnya Yoan dari ruang UGD tersebut. Ingin rasanya ia menerobos masuk dan mengetahui keadaan Arthit didalam sana. Tak lama kemudian Yoan keluar dan segera Singto berdiri menghampiri Yoan.
"Bagaimana keadaannya?" Tanya Singto to the point.
"Dia mengalami trauma ringan di kepalanya makanya dia merasa sakit kepala" Jawab Yoan dengan senyuman untuk meredakan kekhawatiran Singto.
"Trauma ringan? P'Yoan, apakah itu berpengaruh dengan ingatannya?" Tanya Singto penuh kekhawatiran.
"Keinginan mengingat atau tidaknya, itu tergantung pasien Sing...aku tidak tau harus mengatakan apa padamu sekarang, yang mengerti keadaannya saat ini adalah dirinya sendiri" Jelas Yoan. Singto mengangguk paham.
****
Singto memapah Arthit memasuki rumahnya. Mereka baru saja pulang dari rumah sakit setelah dinyatakan bahwa Arthit baik – baik saja. Singto mengantarnya sampai ke kamar dan membantu kekasihnya itu merebahkan tubuhnya diatas ranjang.
Singto duduk di pinggiran ranjang dan mengelus kepala Arthit dengan sayang. Sedangkan Arthit menatap Singto dan menikmati setiap sentuhan telapak tangan Singto membelai rambutnya.
"Istirahatlah, sebelum itu jangan lupa ganti pakaian dan gosok gigi. Oke?"
Arthit bergeming. Singto menganggap Arthit mengiyakan perintahnya. Ia pun bangkit dari duduknya hendak keluar dari kamar Arthit namun tangannya ditahan oleh pemuda itu. Singto menoleh pada Arthit.
"Ada apa?"
"P'Sing, aku ingin menonton film denganmu sampai larut malam. Bisakah?"
"Kau harus istirahat sayang..."
Arthit menggeleng, dengan puppy eyesnya ia menatap Singto dengan tatapan memohonnya. Singto menghela nafasnya, jika sudah seperti ini ia tidak akan tega menolak permintaan Arthit.
"Baiklah, ayo kita kebawah.." Ajaknya.
"Ayo, tapi aku mau berganti baju dulu Phi.." Singto mengangguk dan ia pun keluar dari kamar Arthit menuju ruang tengah.
Setelah berganti baju dengan setelan piyama, Arthit menyusul Singto ke ruang tengah. Ia dapat melihat Singto sedang duduk sembari memilih channel di TV nya. Arthit duduk disebelah Singto, merasa ada seseorang disebelahnya Singto menoleh.
"Kau ingin menonton film apa?"
Arthit berfikir dan menimang – nimang film apa yang ingin dilihatnya.
"Ice Age? Ratatoullie? Atau Wall E juga boleh" Celetuk Arthit.
"Astaga kenapa tontonanmu seperti anak – anak?"
"Itu untuk semua umur asal P'Sing tau saja.."
"Ya ya ya..baiklah kita akan nonton salah satunya saja"
"Apa ada Finding Nemo?"
"Sebenarnya apa yang ingin kau tonton?"
"Apa saja asal denganmu.."
"Baiklah kita akan menonton Finding Nemo saja" Singto pun meraih tablet yang tergeletak diatas meja depannya dan mulai mendownload film tersebut.
Setelah menunggu beberapa saat, ia mulai memindahkan file film tersebut kedalam hardisknya kemudian menyambungkannya pada layar televisinya. Singto mulai memutar film tersebut. mereka duduk berjajar. Tak ada yang berbicara diantara mereka berdua. Arthit sibuk menonton dan sesekali tertawa saat ada adegan yang menurutnya lucu. Singto tidak fokus pada layar depannya, ia fokus pada orang disampingnya. Tatapan matanya tak beralih sedikitpun. Suara tawa dan wajah bahagia Arthit mengalihkan semua perhatiannya.
Film terus berjalan, Singto kini sudah fokus pada layar didepannya. Finding Nemo yang ditonton oleh mereka sudah berakhir sejam lalu, sekarang sudah berganti dengan film lain. Masih bertemakan animasi, mereka sedang menonton Ice Age sesuai permintaan Arthit.
Pluk..
Singto merasakan kepala Arthit jatuh ke bahunya. Dilihatnya pemuda itu, Singto tersenyum saat mengetahui Arthit terlelap. Singto melirik jam dinding diruangan itu, pukul 1 malam. Ia pun mematikan televisinya.
Kemudian ia memposisikan tangannya di belakang lutut dan punggung Arthit. Diangkatnya tubuh itu kekamar Arthit. Singto meletakkan tubuh Arthit dengan hati – hati keatas ranjang. Lalu menaikkan selimut hingga dada Arthit. Ia mengecup dahi, hidung kemudian bibir Arthit.
"Good night.." Bisiknya kemudian ia meninggalkan kamar tersebut.
****
Dikediaman Sangpotirat, Yui duduk dimeja rias dalam kamarnya. Ia memandang wajahnya sendiri disana. Tangannya menggenggam ponselnya dengan erat. Dari mimik wajahnya jelas terlihat ada suatu kekhawatiran disana.
Tok..tok..tok...
"Masuk.." Titahnya.
Seseorang masuk kedalam kamarnya, Yui melihat orang itu dari pantulan kaca didepannya.
"Ada apa mae memanggilku?" Tanya orang itu.
"Mark kembali, dia sudah bebas" Ucap Yui.
"Maksud Mae, Pho dia sudah bebas dari penjara?" Yui mengangguk.
"Peck, apa yang harus kita lakukan sekarang? Dia sudah tau semuanya. Dia mengancam kita akan menyebarkan pada media jika Krist hilang. Dan saat itu terjadi, kita semakin sulit untuk mendapatkan balik nama harta warisan itu. Sebelum media tau, kita harus segera menemukannya Peck. Mae yakin, stempel ada padanya karena Mae sudah mencari dikamarnya tapi tak ada apa – apa disana. Paksa dia untuk membubuhkan stempel itu pada surat kuasa yang sudah tersedia. Buat seolah – olah itu murni keinginannya."
Orang itu, Peck terdiam. Ia mencerna apa yang dikatakan ibunya. Krist hilang dan hal ini akan menimbulkan banyak spekulasi dari berbagai pihak. Apalagi Theeradej, pengacara pribadi keluarga Sangpotirat akan sangat curiga pada mereka, karena mereka pernah berkonsultasi mengenai surat kuasa ahli waris.
"Seharusnya saat itu Mae tidak gegabah dengan memaksanya hingga menyakitinya seperti itu, lihatkan...dia kabur"
"Kau menyalahkan Mae?"
"Mae maksud Peck-"
"Kurasa kau masih mencintai anak bodoh itu Peck, sudah Mae peringatkan padamu hilangkan perasaanmu padanya"
"Kau yang menyuruhku untuk menikahinya, tapi kau tidak menyukainya. Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu Mae" Ujar Peck.
"Jika saja Jack, tidak menulis surat wasiat yang mengatakan bahwa Krist akan mendapat bagian paling banyak dan akan sah saat dirinya sudah menikah. Aku tidak akan menikahkanmu dengannya, aku lelah berpura – pura baik padanya selama ini demi stempel sialan itu!"
"Mae, kenapa kau begitu membenci Krist?" Tanya Peck penasaran.
"Karena dia mendapatkan hampir seluruh harta warisan.."
Peck kurang puas dengan jawaban ibunya. Ia yakin pasti tidak hanya faktor harta warisan. Ada hal lain yang disembunyikan oleh ibunya.
"Apa ada hal lain?"
Yui terdiam, tangannya mengepal kuat.
"Karena wanita yang melahirkannya, merebut semua yang seharusnya menjadi milikku!" Jawab Yui dengan wajah penuh kekesalan.
****
Seminggu berlalu, Arthit benar – benar dianjurkan untuk bed rest selama seminggu penuh oleh Yoan. Daya imunnya melemah, apalagi setelah menonton film sampai larut membuat tekanan darahnya menurun.
Kini badannya sudah pulih dan segar kembali, bahkan ia sudah beraktivitas seperti biasanya. Arthit menyirami bunga – bunga dihalaman depan rumah Singto. Dari arah belakang, Singto melangkahkan kakinya dengan mengendap – endap mendekati Arthit.
Grep..
Singto memeluk tubuh itu dan meletakkan dagunya diatas bahu Arthit. Sejenak Arthit berjengit terkejut, tau itu Singto ia meneruskan kegiatannya.
"Kau sudah sehat?" Tanya Singto dengan suara sedikit parau karena memang ia baru saja bangun dari tidurnya. Arthit mengangguk.
"Arthit, nanti kemungkinan aku akan ke Bangkok. Kau mau ikut?"
Arthit terdiam seperti tengah memikirkan sesuatu. Kemudian dengan senyuman ia menggeleng.
"Hmm...padahal aku berharap kau ikut, aku tidak ingin meninggalkanmu disini sendirian" Ucap Singto.
"Aku tidak akan sendirian Phi, kan ada P'Off dan P'Gun. Memang Phi ke Bangkok ada acara apa?" Tanya Arthit.
"Ada reuni sekolah, sayang sekali jika melewatkan acara itu"
Arthit mengangguk kemudian ia menghentikan kegiatan menyiram bunganya dengan mematikan kran air setelah ia melepas pelukan Singto. mereka memasuki rumah, Arthit mengambil air minum dan meminumnya.
"Memangnya, P'Sing dulu bersekolah dimana?"
"Suankularb Wittalayai School.."
"Uhukk..uhukk.." Arthit yang mendengar nama sekolah itu pun tersedak minumannya.
"Kau tak apa – apa?" Tanya Singto khawatir. Arthit mencoba tersenyum dan menggeleng seolah mengatakan jika dirinya tidak apa – apa.
Lagi – lagi kepalanya pening dan peluh membanjiri pelipisnya. Tubuhnya menegang, ia menahan rasa sakit dikepalanya. Arthit tak ingin Singto mengetahui keadaannya sekarang dan membuat lelaki itu membatalkan acaranya.
"Ehmm..P'Sing, lebih baik kau segera mandi dan bersiap. Perjalanan menuju Bangkok cukup jauh kan?"
"Ah iya kau benar, yasudah aku mau mandi dulu.."
Arthit mengangguk. Setelah kepergian Singto, ia memegang meja sebagai tumpuannya agar tubuhnya tidak limbung. Ia tidak mengerti kenapa sakit dikepalanya terjadi lagi. Yoan mengatakan jika hal itu terjadi kemungkinan karena saraf diotaknya menegang dikarenakan informasi yang ingin ia hindari.
"Suankularb Wittalayai School.." gumamnya dengan tatapan menerawang.
TBC or END?
Ada apa dengan Arthit? Ada apa dengan Yui? Ada apa dengan Suankularb Wittalayai School?
Ada yang ngeh ga sama cerita ini XD
Tiba - tiba ku pengen bikin satu chapter tentang keluarga Sangpotiran dan satu chapter lagi tentang keluarga Ruangroj, gimana enaqnya rekan? Mohon masukan. Thx. Wq.