Aludra

By Gyaaargh

969 151 43

Aludra, gadis pindahan yang dingin nan cuek ini mempunyai kisah hidup yang misterius. Diam-diam ia memiliki r... More

PROLOG
O N E
T W O
T H R E E
F O U R
F I V E
S I X
S E V E N
N I N E
T E N
E L E V E N
T W E L V E
T H I R T E E N
F O U R T E E N
F I F T E E N
S I X T E E N
S E V E N T E E N
E I G H T E E N
#KENA TAG

E I G H T

29 6 0
By Gyaaargh

     Seharusnya Aludra tidak mengikuti kata hatinya jika ia tidak ingin sakit. Ia bodoh.

"Serius gak mau ke rumah gue, Dra?" tanya Nina dari sambungan telepon.

Tanpa sadar Aludra menggeleng. Ia berkata bahwa ia tidak apa-apa dan membutuhkan waktu sendiri. Nina mengerti lantas ia mematikan telpon tersebut.

Aludra menaruh handphonenya di sampingnya. Ia memeluk lututnya lalu kepalanya ia benamkan disana. Ia sangat ingin menangis, tapi entah kenapa air matanya tidak keluar.

Suara anak kecil berlarian di sepanjang rumah. Aludra mengangkat kepalanya. Ah iya, saudara tirinya baru sampai kemarin malam dirumah ini.

Aludra suka mempunyai saudara. Tapi ia tidak suka situasi ini. Dimana ia hanyalah seorang anak adopsi sedangkan saudaranya memang benar-benar anak mereka.

Aludra menghela napas beratnya. Hidupnya sangat sulit. Ia membenamkan kembali kepalanya lalu pikirannya mulai melayang.

Kenzie.

Kenzie.

Kenzie.

Kenapa harus Kenzie yang mengambil alih pikirannya saat ini? Ah, dia benar-benar dibutakan oleh cinta kali ini.

"Kak Zarine! Ayo main!" teriak seseorang sembari mendobrak pintu kamar Aludra.

Aludra terkejut lalu mendongakkan kepalanya. Ia tersenyum miring lalu turun dari kasur.

"Baiklah. Main apa kita kali ini?" Ia berjongkok agar setara dengan tinggi saudaranya.

"Clarine mau main di halaman depan!" ucapnya. Anak kecil memang selalu heboh.

Aludra mengangguk lalu menggenggam tangan Clarine dan membawanya ke halaman depan rumah.

Begitu sampai Clarine langsung menghambur ke tempat permainan yang kebetulan sampai saat Clarine sampai dirumah ini juga.

Clarine melambai-lambaikan tangannya menandakan bahwa ia memanggil Aludra untuk kesana.

Aludra menghela napas lalu tersenyum. Untuk kali ini saja, ia ingin harinya bahagia.

<<>>

     Kenzie kecil memakai jaketnya lalu bersiap untuk pulang sekolah. Ia mengeluarkan sepedanya dari halaman parkir lalu menuju gerbang. Baru saja ia sampai depan gerbang, air hujan turun.

Kenzie mendesah kecewa. Mau tidak mau dirinya harus menunggu sampai hujan reda. Ia memakirkan sepedanya di depan gerbang yang kebetulan ada atapnya untuk berteduh.

"Kenzie!" teriak seseorang. Kenzie menoleh dan menemukan seorang gadis membawa payung berwarna pink. Deniza.

"Kamu belum pulang?" tanya Deniza sembari menurunkan payungnya. Kenzie menggeleng.

"Hujan. Gimana Aku mau pulang?" Kenzie menatap datar ke arah genangan air dihadapannya.

Deniza menutup payungnya. "Kan kamu naik sepeda, ngebut bisa dong?"

Kenzie terkekeh. "Aku gak boleh main hujan-hujanan sama Bunda, nanti sakit."

Deniza tertawa. "Yaudah, Aku temenin kamu ya sampai hujan reda." ucapnya demikian sembari tersenyum.

Kenzie termangu. Ada apa dengan gadis satu ini?

"Kamu serius?" tanya Kenzie yang dibalas dengan anggukan Deniza.

"Dua rius malah," tawa Deniza kembali pecah.

"Tapi, aku ramal hujan ini bakal awet."

"Kamu bukan peramal," Deniza membuka payungnya kembali. "Nih satu payung aja sama Aku."

Kenzie terdiam. Bagaimana bisa dirinya dan Deniza didalam satu payung yang sama? Apakah muat?

"Ayo! Mau gak?"

Kenzie mengerjapkan matanya lalu menuntun sepedanya. "Sepedanya gak apa-apa kali kehujanan,"

Kenzie tersenyum. Deniza mengangkat lebih tinggi payungnya agar Kenzie bisa masuk ke dalamnya.

"Biar aku yang pegang, kamu pendek sih."

Deniza memukul lengan Kenzie. "Nanti aku bakalan tinggi kok! Liatin aja!"

Kenzie tertawa. Ia mengangkat payungnya sembari menuntun sepedanya.

Kenzie berharap hujan reda agar dirinya bisa kembali menaiki sepedanya dan meluncur ke rumahnya dengan cepat. Tapi, realita tidak seindah ekspetasi. Hujan makin deras.

Ditatapnya Deniza di sampingnya. Yang ditatap sibuk menampung air hujan yang menetes dari sisi-sisi payung.

"Kita hujan-hujanan aja!" Deniza menoleh ke Kenzie secara tiba-tiba. Kenzie kaget lalu mengalihkan pandangannya ke arah yang berlawanan.

"Ayo! Pasti seru!" Deniza mengambil kembali payungnya lalu menutup payung tersebut.

Kenzie tersenyum miring. Gadis ini benar-benar racun. Kenzie menaiki sepedanya lalu menyusul Deniza yang berada beberapa langkah di depannya.

"Kalau kamu gak lari, hujan makin deras, kamu akan kejebak disini. Naik sini." ajak Kenzie. Deniza mengangguk.

Model sepeda Kenzie tidak mempunyai tempat duduk untuk Deniza duduk disana. Terpaksa Deniza harus berdiri dan kakinya menginjak step yang ada di kedua sisi sepeda tersebut.

"Pegangan, awas terbang." Deniza tertawa. Ia berpegangan pada bahu Kenzie.

Kenzie mulai mengayuh sepedanya dengan sekuat tenaga. Menerobos hujan yang deras.

Kalau saja Kenzie tidak mengantarkan Deniza pulang, mungkin dirinya bisa sampai lebih dulu. Tapi perumahan Kenzie dan Deniza berbeda.

"Makasih, Zi." Deniza turun dari sepeda Kenzie dengan senyuman yang mengembang.

"Yaudah, sana masuk. Nanti sakit."

Deniza mengangguk lalu melambaikan tangannya. Kenzie membalasnya dengan senyuman lalu ia memutar balik sepedanya dan mulai mengayuh kembali.

Dan entah mengapa sekarang degup jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Senyuman Deniza saat itu terus terbayang di pikiran Kenzie. Tanpa sadar Kenzie tersenyum.

     Esoknya Kenzie pikir Deniza akan masuk sekolah. Nyatanya tidak. Ia sakit demam. Kenzie merasa amat bersalah. Dirinya harus menjenguk Deniza saat pulang sekolah nanti.

Bel yang di nanti-nanti pun berbunyi. Kenzie segera berlari menuju parkiran sepedanya lalu mengeluarkan sepedanya secepat mungkin. 

Kenzie mengayuh sepedanya cepat dan berbelok ke arah perumahan Deniza. Tanpa sadar, Kenzie menabrak seseorang di hadapannya.

Gadis itu jatuh. Begitupun Kenzie.

"Maaf, maaf" Kenzie sadar lalu langsung berdiri untuk membantu gadis itu untuk berdiri.

Dilihatnya lutut dan pipi gadis itu terluka akibat goresan saat ia terjatuh.

Gadis itu menolak dan berkata kalau ia tidak apa-apa, ia hanya terkejut.

Kenzie mendesah lega. Ia meminta maaf lalu kembali mengayuh sepedanya. Dan Kenzie tidak pernah tahu siapa yang ia tabrak tersebut.

Ia sampai di rumah Deniza. Ia memakirkan sepedanya dan memencet bel rumah Deniza dua kali.

Tidak lama kemudian, Christyn-Ibu Deniza- membukakan gerbang.

"Kenzie? Kenapa nak?" tanya Christyn saat melihat Kenzie datang dengan seragamnya yang kotor.

"Mau jenguk Deniza, Tan." jawabnya sembari tersenyum.

Christyn mengusap tengkuknya. "Tapi, Denizanya gak mau di jenguk siapa-siapa. Dia lagi pengen sendiri. Maaf ya, Kenzie." Christyn tersenyum kaku sembari mengelus rambut Kenzie.

Kenzie terdiam. Oke, dirinya memang kecewa. Tapi kecewanya tidak boleh ia tunjukkan di hadapan Christyn.

"Ehm, iya gak apa-apa kok, Tan. Aku titip salam aja buat Deniza. Semoga cepet sembuh." Kenzie berbalik lalu menaiki sepedanya kembali.

Kalau tahu Deniza tidak mau dijenguk, Kenzie akan menolong gadis yang tadi ia tabrak. Sekarang perasaan bersalahnya bertambah. Ia mengayuh sepedanya kembali tanpa bersemangat.

Tidak apa, setidaknya Kenzie sudah berusaha menjenguk Deniza. Walaupun akhirnya ditolak.

     <<>>

      Deniza menatap ke sekeliling kamarnya. Kosong. Yang tersisa hanya beberapa kardus berwarna coklat yang berisi barang-barangnya. Dirinya akan pindah keluar kota besok.

"Sudah semua?" tanya Christyn sembari membawa spidol. Deniza mengangguk. "Kamu nama-namain kardusnya, biar gampang." ujar Christyn.

Deniza mengambil spidol di mejanya lalu mulai menamai satu-satu dari kardus tersebut.

Ia sampai di kardus ke tiga, tapi ia lupa apa isi kardus tersebut. Ia membuka dan menemukan pigura foto. Ia mengambilnya dan menemukan foto dirinya bersama seorang laki-laki yang diketahui ia adalah Kenzie.

Disana ia dan Kenzie berpose menunjukkan kedua tangannya membentuk peace. Senyumannya lebar.

Deniza tersenyum. Ia mengusap foto tersebut lalu kembali memasukannya kedalam kardus.

Tidak lama kemudian Christyn masuk untuk mengecek Deniza.

"Setelah dinamain, kardus kamu bawa ya, masukin ke mobil beberapa." ucap Christyn.

Tidak lama kemudian bel rumah berbunyi. Deniza melihat dari jendela kamarnya dan menemukan sepeda yang familiar. Sepeda Kenzie.

"Siapa itu?" tanya Christyn yang pandangannya masih fokus ke kardus-kardus. "Kenzie, Ma."

Christyn menangkat kepalanya dan mengode agar Deniza membukakan pintu untuknya. Tapi Deniza menolak.

"Aku gak enak, Ma. Aku bilang ke sekolah kalau Aku sakit, pasti Kenzie nganggep Aku beneran sakit. Tapi nyatanya Aku pindah. Aku gak mau buat Kenzie kecewa."

Christyn mengangguk paham. Ia segera membuka gerbang dan menemukan Kenzie dengan seragamnya yang kotor.

Deniza melihat semuanya dari balik jendela kamarnya. Saat Christyn mengusap tengkuknya, wajah Kenzie berubah murung.

Deniza menggigit bibir bawahnya. Ia merasa amat bersalah. Tapi dirinya tidak mungkin untuk keluar dari kamarnya lalu mengucapkan selamat tinggal begitu saja dengan Kenzie.

Akhirnya Deniza memutuskan untuk tinggal diam di kamar sampai Christyn masuk dan memberi tahu bahwa Kenzie kecewa.

Deniza menautkan alisnya. Ia menyesal, mengapa tadi dirinya hanya diam di kamarnya. Seharusnya tadi ia keluar dan mengucapkan selamat tinggal.

Christyn mengelus puncak kepala Deniza dan mengatakan bahwa keberangkatan 3 jam lagi. Ia harus buru-buru menyiapkan semuanya. Tidak ada waktu untuk berpikir tentang Kenzie.

Maafin Aku, Kenzie.

<<>>

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 54.5K 57
-please be wise in reading- ∆ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ∆ Tentang Vanila yang memiliki luka di masalalu dan tentang Vanila yang menjadi korban pelecehan...
256K 800 10
Affair | warning konten dewasa 21+ Yumi, wanita yang kesepian karna sering di tinggal suaminya, merasakan godaan dari Dimas, tetangga barunya yang t...
1M 30.8K 43
Ivander Argantara Alaska, lelaki yang terkenal dingin tak tersentuh, memiliki wajah begitu rupawan namun tanpa ekspresi, berbicara seperlunya saja, k...
272K 20K 31
Ratu Azzura, anak ketua mafia pecinta kedamaian yang hobinya menolong orang-orang dengan cara membully nya balik. Protagonis atau Antagonis? Entahlah...