Fake Friends

By lemonangis

24.8K 1.3K 354

Sepanjang 14 tahun Banzai hidup, dia belum pernah mempunyai teman. Apakah kamu mau menjadi temannya? More

Hari Baru
Hari Baru (2)
Hari Baru (3)
Teman?
Teman? (2)
Teman? (3)
Aku Hanya Ingin Teman
Aku Hanya Ingin Teman (2)
Aku Hanya Ingin Teman (3)
Tarik Ulur
Tarik Ulur (2)
Tarik Ulur (3)
Tarik Ulur (4)
Tarik Ulur (5)
Bencana
Bencana (2)
Ancaman
Ancaman (2)
Ancaman (3)
Sebuah Misi
Mereka Pulang
Penasaran
Penasaran (2)
Penasaran (3)
Ano
Ano (2)
Ano (3)
Kejutan
Kejutan (2)
Prolog
CAST FAKE FRIENDS
VOTE dan SARAN CAST
VERSI CETAK
COVER BARU
CASE BANZAI
CASE ANO
GAMBAR REAL 1
CASE ANO
SEKUEL FAKE FRIEND
SEKUEL FAKE FRIEND (2)
Ceritaku
Ada Ide?

Bencana (3)

319 31 0
By lemonangis

Memang benar di hari itu Banzai terlihat cuek dan tidak mempedulikan apa yang terjadi pada dirinya. Dia menerima hukumannya tanpa bantah. Dia bahkan hingga pulang sekolah sama sekali tidak mencoba berbicarakan tuduhan yang menimpanya dengan Geng Juara. Namun justru disitulah sampah-sampah yang menumpuk di hati Banzai akan keluar berwujud dalam bentuk yang berbeda.

Di hari itu, saat dia dipanggil ke BK, guru BK lagi-lagi tidak ingin mendengar penjelasan apapun yang keluar dari mulut Banzai. Guru yang hampir pensiun tersebut langsung menghentikan pembelaan Banzai lagi-lagi ketika murid baru ini menyebut nama Zimmy. Disinilah Banzai baru menyadari bahwa Zimmy tidak hanya berpengaruh di kalangan para siswa saja, tapi juga di kalangan para guru.

Banzai semakin tidak percaya kepada siapapun yang ada di dunia ini. Tidak ada yang mau mendengarkan penjelasan dari pihak dirinya. Semuanya membela Geng Juara termasuk para guru. Mereka seperti sama sekali tidak mau mendengarkan laporan kesalahan dari pihak geng yang paling populer di antara murid-murid sekolah ini.

Banzai merasa benci kepada semua orang.

Orangtuanya juga tidak peduli kepadanya. Tadi malam dia berusaha menghubungi mereka melalui nomer ponselnya, tapi sama sekali tidak diangkat. Setidaknya dia ingin bercerita tentang ini dan ingin meminta pindah sekolah. Akhirnya dia meminta Bi Unah yang menghubungi mereka melalui telepon rumah, ternyata diangkat. Banzai sudah biasa kecewa setiap saat dia berusaha menelepon orangtuanya. Dan kali ini pun dikecewakan. Sebelum Bi Unah sempat berbicara bahwa anak majikannya ini ingin berbicara langsung dengan mereka, ibunya langsung menjawab bahwa mereka tidak bisa diganggu sekarang dan mereka mempercayai Bi Unah untuk mengurus segala keperluan anak semata wayang mereka.

Banzai menendang kerikil yang dia temui di tengah jalan dengan keras. Dia sangat kesal. Hatinya semendung awan gelap yang sekarang menggelayut di langit.

Hari ini dia berangkat jalan kaki. Dia tidak peduli jika harus menghabiskan waktu sekitar 40 menit perjalanan. Dia juga tidak peduli jika terlambat masuk sekolah. Tadi Bi Unah sempat memaksanya berangkat diantar naik mobil saja jika majikan mudanya ini sedang malas naik sepeda atau bis. Tapi ditolak mentah-mentah oleh Banzai. Bi Unah juga tidak mengerti dengan jalan pikir Banzai, tidak mengerti mengapa selama ini bocah yang sudah dia rawat bertahun-tahun ini jarang mau naik mobil. Apakah traumanya saat masih kecil dulu masih melekat di dirinya?

Banzai menendang kerikil kecil di jalan berikutnya. Suara klakson berbunyi tidak jauh di belakangnya.

"Zai! Bareng yuk!"

Oh, Mala. Cewek itu mengeluarkan sebagian kepalanya dari jendela.

"Tidak!" jawab Banzai dengan lantang. Tadi dia sempat menatap tajam ke arah Mala, lalu kembali melihat ke bawah.

"Ayolah Zai. Kamu bisa terlambat kalau jalan kaki begini..." ucap Mala lagi dengan nada merajuk.

Banzai menghentikan langkahnya dan menghentakkan kakinya. "Kubilang tidak ya tidak! Pergilah sana!"

Perasannya sedang tidak enak hari ini. Dan mungkin ini akan berlangsung cukup lama. Dia sudah tidak percaya kepada siapapun. Siapapun. Semuanya jahat.

Mala mengerut di kursinya. Tidak menyangka akan dibentak seperti itu. Dia bergumam pelan, "Jalan Pak."

Jelas Banzai terlambat. Saat datang gerbang telah ditutup. Pak Satpam sedang berada di dekat gerbang, jadi Banzai tidak perlu memanggilnya.

"Oi Oi Oi... Kamu lagi kamu lagi. Hari ini terlambat, kemarin merokok, besok apa lagi?" celoteh Pak Satpam sambil membuka gerbang. Banzai hanya diam tanpa ekspresi.

Cih. Bapak tua yang seenaknya menuduhku sembarangan.

Dia berjalan menuju ke kelas. Pak Satpam berteriak di belakangnya, "Siap-siap buat dapat hukuman berikutnya..."

Sesampainya di kelas, gurunya belum datang ternyata. Sebuah keberuntungan untuk Banzai? Ah, apa itu keberuntungan? Nama kue? Ini sudah lewat 30 menit dari bel masuk, dan gurunya belum datang, itu tandanya gurunya ada halangan.

Mala telah berada di tempat duduknya di belakang. Tidak ada pilihan lain bagi Banzai selain duduk di kursi sebelah Mala. Hanya itu yang tersisa. Hei, memangnya ada tempat terbaik lain bagi Banzai di kelas ini? Ada. Yaitu sendirian.

Seorang guru terburu-buru masuk ke dalam kelas. "Maaf ya murid-murid. Tadi mobil saya sempat mogok di jalan..." selanjutnya guru itu pun menceritakan pengalamannya di pagi hari ini yang bagi semua murid di kelas ini biasa saja dan membosankan.

Saat pelajaran Banzai tidak ingin menghiraukan penjelasan dari guru di depan. Kepalanya terus menempel di meja. Dia lebih memilih melihat pohon yang menjulang tinggi di luar, yang terlihat dari jendela. Untuk apa belajar. Apa sih fungsinya belajar? Untuk menyenangkan orangtuanya?

Mereka saja tidak pernah membuatku senang.

"Yang di belakang itu, tegakkan kepalamu!"

Mala terlonjak kaget. Sedari tadi dia diam-diam terus memperhatikan cowok di sebelahnya ini. Dia merasa prihatin.

Efek yang dialami Banzai sepertinya lebih parah dariku.

Saat Mala bersikap lebih siap menerima pelajaran, guru tersebut kembali berseru, "Bukan kamu. Sebelahmu itu loh! Jangan tidur di kelas! Tidur itu di UKS."

Banzai sama sekali tetap tidak berkutik.

"Zai," bisik Mala.

"Zai. Kamu yang dipanggil guru." Kini Mala menepuk-nepuk bahu Banzai dengan pensil. Sayangnya, Banzai sama sekali tidak berkutik. Padahal dia tidak tidur, manik matanya masih fokus menatap pohon di luar.

Guru itu pun turung tangan langsung. Dia berjalan ke bangku paling belakang, masih memegang penghapus papan tulis yang busanya sudah berwarna hitam kelam.

"Hei, kamu kalau tidak niat belajar, keluar saja!" tegur guru ini kepada Banzai. Lalu menepuk-nepuk penghapus papan tulis ke pipi Banzai.

"Bersihkan wajahmu di kamar mandi dan jangan masuk kelas sampai pelajaran usai! Itu hukuman untukmu."

Banzai akhirnya bangkit, sama sekali terlihat tidak peduli dengan pipinya yang cemong, menatap tajam sekilas ke guru tersebut dan keluar kelas dengan santai dan diam seolah tidak terjadi apa-apa. Dia merasa tidak bersalah. Dia muak sekali degan sekolah ini. Baguslah jika disuruh keluar. Pandangan Mala melihat terus ke Banzai sampai tubuh bernyawa itu keluar kelas.

Segitu parahnya ya anak itu? Sebelumnya dia sudah murung. Sekarang dia berkali-kali lipat murungnya.

Continue Reading

You'll Also Like

10.5M 785K 56
Alika Syakilla, gadis polos dan ceroboh yang terpaksa tinggal di rumah keluarga Devin karena sebuah perjodohan. Devin Arya Mahesa, sepupu jauh sekali...
7.7M 1M 69
🚫 SEBAGIAN CHAPTER DI PRIVATE; FOLLOW AUTHOR TERLEBIH DAHULU 🚫 "Kita putus." "Hah? Oh, oke." "Gue bakal punya cewek baru Athena, lo jangan berharap...
5.9M 600K 75
"Gue udah bilang, gue gak mau jadi pacar lo Galak!!" Pekik Gisha menolak tegas. "Gue gak peduli. Intinya, lo pacar gue! Dan lagi, Siapa yang lo maksu...