Ganesa menatap Jean yang saat ini juga tengah ikut menatapnya. Ada tatapan terluka di sana, dan Ganesa benar-benar merasa tak suka dengan tatapan itu. Tatapan kasih sayang yang selalu ditunjukkan oleh Jean kini seolah menghilang.
Ganesa kembali melirik ke arah mami yang kini mengalihkan tatapannya dari Febi ke arah Ganesa. Kening Ganesa sampai mengerut bingung.
Sebenarnya ada apa ini? Dan kenapa ada Febi di sini?. Pikir Ganesa.
Mami berjalan tergesa ke arah Ganesa dan seketika pipi kiri Ganesa terasa panas.
PLAK!
Mami menampar pipi Ganesa dengan cukup keras, membuat kepala Ganesa seketika tertoleh ke kanan. Ganesa memegang pipi kirinya dan menatap maminya dengan tatapan bingung.
"Mi, ada apa sih? Kenapa Mami nampar Gaga?"
Mami berdecih. "Menurut kamu? Bagaimana perasaan Mami saat Mami tau ada calon anak kamu di dalam rahim perempuan lain. Hah??! Mami kecewa sama kamu, Ga! Mami nggak pernah ngedidik kamu jadi anak yang kurang ajar begini!!" Mami kemudian berlalu sesaat setelah ia mengeluarkan semua perasaan kecewanya pada sang anak.
Ganesa bahkan masih bingung. Anak? Anak siapa?
Ganesa kembali menatap Jean yang sudah tak menatapnya lagi. Perempuan itu tertunduk dengan tatapan kosong. Ganesa bahkan sudah berniat untuk melangkah mendekat ke arah istrinya itu, namun tangan Radit menahannya.
"Jangan. Kamu akan semakin membuat Jean terluka, Ga," ujar Radit mengingatkan.
"Mas! Sebenarnya ada apa sih ini? Aku nggak ngerti!" teriak Ganesa frustasi.
Bagas mendekat ke arah Ganesa dengan kedua rahang yang mengetat. "Kamu pura-pura nggak tau ya, Ga?"
Kening Ganesa mengerut. "Plis, Mas. Tolong jelasin."
"Perempuan itu bilang dia hamil anak kamu, Ga! Puas kamu?!" teriak Bagas dengan lantang.
Ganesa tersentak. "Kebohongan macam apa itu? Mas, jangan percaya itu. Aku nggak pernah–"
"Kamu jangan ngelak lagi, Mas! Waktu kita di Bali, kamu pikir kita sedang apa selain menghabiskan waktu berdua, hah?" sela Febi sambil mencoba untuk berdiri dari posisinya. Ia masih terisak dan menatap Ganesa dengan tatapan penuh harap.
Bibir Jean sedikit terbuka karena terkejut dengan pernyataan Febi. Kedua tangannya bahkan sudah mencengkeram erat gamis yang digunakan untuk menyembunyikan perasaannya yang sudah hancur.
"Kamu..." Ganesa menggantungkan ucapannya. Ingin menyela tapi itu benar adanya.
"Kenapa, Mas? Kamu mau mengelak?" tantang Febi.
Ganesa terdiam dan menunduk cukup dalam. Ada rasa aneh yang tiba-tiba menyusup di dadanya, apalagi melihat tatapan kecewa dari Jean yang ditujukan kepadanya.
"Jadi benar?" tanya Bagas dengan nada bergetar. Ia benar-benar tak bisa menerima kenyataan ini. Seorang adiknya telah melukai perasaannya, perasaan mami, keluarganya, dan terutama Jean.
Bagas menggeleng pelan seakan tak percaya. "Mas kecewa sama kamu, Ga."
Bagas berlalu tanpa menunggu penjelasan lanjutan dari Ganesa. Untuk apa? Toh semuanya sudah jelas. Apalagi pernyataan Febi didukung dengan bungkamnya seorang Ganesa, semakin membuat Bagas dan yang lain merasa tak perlu mempertanyakan lebih lanjut.
Beberapa menit setelah kepergian Bagas, Jean ikut melangkahkan kakinya guna meninggalkan ruangan itu. Seperti biasa, awalnya Jean ingin membela Ganesa. Tapi apa? Buat apa? Menyembunyikan kebenaran?
"Je..." panggil Ganesa pelan.
Jean menghentikan langkahnya dan sedikit berbalik ke arah Ganesa. Jean tersenyum tipis dan kembali melanjutkan langkahnya.
Ganesa tidak bisa membiarkan ini terjadi. Ia segera bebalik ke arah Febi yang tangisnya sudah mereda.
"Apa maksud kamu, Feb? Aku tidak pernah menghamili kamu!" setak Ganesa tak terima.
Febi tersenyum sinis. "Jangan pura-pura lupa kamu, Mas. Apa harus aku jelasin semua hal yang kita lakukan selama di Bali?"
"Kamu mengada-ada, Feb."
"Terserah apa kata kamu, Mas. Yang jelas aku mau pertanggungjawaban dari kamu." tegas Febi dan kemudian berlalu meninggalkan Ganesa yang mematung.
Apa-apaan itu? Bagaimana bisa ia bertanggung jawab? Sementara ia merasa tak pernah menyentuh Febi selama berada di Bali.
***
Ganesa menatap pintu kamarnya yang tertutup rapat. Ia ragu, antara ingin membuka pintu itu atau tetap membiarkannya tertutup. Tapi tak ada keinginan yang lain selain ingin menjelaskan semuanya pada Jean dan kembali mendapat kepercayaan dari istrinya itu walau tak sepenuhnya. Tapi dalam keadaan yang masih bersitegang ini, Ganesa memutuskan untuk diam. Kalau situasi sudah membaik, ia akan berusaha untuk membuat keluarganya tak percaya begitu saja dengan ucapan Febi. Bisa saja kan Febi hanya mengada-ada? Apalagi kemarin ia sempat memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan perempuan itu.
Ya, pasti karena hal itu. Pikir Ganesa yakin.
Ganesa memegang kenop pintu dengan tangan gemetaran. Bayangan seorang Jean terisak di dalam kamarnya membuat hatinya sedikit tercubit. Diam-diam Ganesa bahkan sudah menarik napas dan mengembuskan melalui mulutnya secara perlahan.
Saat daun pintu sudah terbuka lebar, yang dilihat Ganesa bukanlah apa yang ada dibayangannya, melainkan sosok Jean yang tengah merapikan sprei kasurnya.
Ganesa masih mematung saat Jean menyadari kehadirannya. Perempuan itu bahkan menepuk pelan bantal Ganesa sebagai isyarat agar Ganesa segera berbaring di sana.
"Ayo, Mas. Istirahat dulu. Biar cepat pulih," ujar Jean seraya mendekat ke arah Ganesa.
Ganesa masih bergeming, menatap wajah Jean yang entah mengapa sama sekali tak menunjukkan wajah sedih. Apakah perempuan itu sedang berakting?
"Mas tidur ya, aku mau ambil air minum dulu."
Sebelum Jean berlalu dari hadapan Ganesa, laki-laki itu menahan lengannya. Kening Jean pun mengerut bingung.
"Ada apa, Mas? Mau nitip sesuatu?"
Ganesa menggeleng pelan lalu menarik Jean mendekat ke arahnya. "Je. Jangan percaya omongan Febi."
Jean tersenyum tipis lalu perlahan melepas pegangan Ganesa pada lengannya.
"Nanti kita bicarain ya, Mas," ujar Jean kemudian berlalu.
Rahang Ganesa mengeras. Entah mengapa penolakan Jean barusan melukai sedikit hatinya.
Lantas, apa yang telah kau lakukan pada istrimu menurutmu tak melukai hatinya?
***