Warning, part ini sedikit hot...
Udah Yui ingetin ya...😘😘😘😘
.
.
.
.
-
Sruuuuppppp!!
"Ihhhh! Nih anak ya!" aku menoleh menatap Ira yang baru saja mencabut gelas ice creamku yang sudah kosong.
"Geli gue dengernya! Ice cream tuh di sendok bukan di sedot gitu!" kembali Ira mengomeliku.
"Hei, sorry lama. Tadi ada meeting bentar sama big bos baru..." aku melirik Janu yang baru datang dan menarik kursi di samping kiriku.
"Bentar lo udah buat Ayyang habis tiga cup ice cream!" ketus Ira lagi.
"Kenapa dia?" aku melirik Janu saat menanyakan keadaanku pada Ira.
"Gue baik-baik aja Janu... cuma hati gue yang nggak baik..." gumamku pelan dan kemudian mengangkat tanganku memanggil pelayan.
"Lo mau apa?" tanya Ira sambil melotot padaku.
"Patah hati nggak segitunya juga kali sampai mau bunuh diri makan ice cream sebanyak-banyaknya!" dumel Ira kesal.
"Siapa yang patah hati?" Janu meninggikan suaranya.
"Dia?" tanya Janu sambil menunjuk padaku.
"Elo? Patah hati?" tanya Janu tak percaya.
"Kok bisa? Emang cowok mana yang bisa buat lo patah hati? Damon?"
Plak!
Ira memukul kepala Janu, aku hanya mendengus lemah dan kembali mengangkat tanganku.
Kenapa juga tuh pelayan nggak lihat gue ya?
Masak iya gue nggak boleh pesen ice cream lagi?
"Nih anak kenapa?" kembali Janu bertanya pada Ira.
"Lo tuli?" tanya Ira balik pada Janu.
"Udah di bilang patah hati... pakai nanyak lagi!" kembali Ira bersuara keras pada Janu.
"Guys... guys... gue-"
Deg.
Mataku menangkap siluet seseorang melintas sedang berjalan dengan wanita.
Aku segera menegakkan tubuhku saat kudengar denting pintu cafe berbunyi, tanda ada pelanggan yang masuk atau keluar.
"Napa lo?" tanya Janu dan Ira bersamaan.
"Hm? Nggak ada..." aku meringis dan geleng kepala.
Mana mungkin dia berjalan sama wanita? Dia kan gay.
"Bisa dibantu kak?" seorang pelayan datang sambil tersenyum.
"Eh..." aku tersadar ternyata tanganku masih terangkat ke atas.
"Umm, mbak aku pesen ice-"
"Ay lo udah habis banyak lo!" pekik Ira kesal.
"Biarin aja kali' Ra' orang dia patah hati... jelas deh..." Janu menyambung.
"Kalo' gue jadi Ayyang juga cemburu lah!" sahut Janu kesal. Aku dan Ira saling pandang. Kenapa dengan cowok melambai ini? Kenapa tiba-tiba marah?
"Lo kesambet?" tanyaku sambil menaikkan alisku.
"Kesel!" sahut Janu ketus.
"Mbak gue pesen ice cream jumbo ye..."
"Lo patah hati?" tanyaku pada Janu.
"Gue sebagai sahabat elo, gue tahu rasanya Ayy!" aku semakin mengerutkan keningku. Bingung dengan kemana arah pembicaraan Janu ini.
Aku menatap Ira dan dia hanya geleng kepala.
"Ada pesan tambahan kak?" kaki bertiga pun menatap kearah pelayan yang ternyata masih saja disamping meja kami.
"Enggak mbak" sahut Ira sambil meringis.
"Eh, ice cream jumbonya dua ya mbak!" aku menambahkan.
"Ay!" hardik Ira.
"Gue baik-baik aja..." aku menenangkan Ira.
"Mulut lo baik-baik aja! Hati lo udah nangis darah deh liat Segara bawa cewek!" ketus Janu.
Aku menarik tanganku dan tiba-tiba perasaanku tidak enak saat nama Segara muncul dalam pembicaraan ini.
Tadi itu...
Benar Segara yang ku lihat ya?
Bukan ilusiku karena aku memikirkan Segara ya?
Tadi pagi saat bertemu dia bilang sangat sibuk sekali.
Lalu Tata? Suara-suara desahan itu?
Tadi pagi setelah kembali makan bubur juga aku bertemu Tata sebentar sebelum dia masuk kembali ke kamar Segara.
Bagaimana bisa pria itu melamarku lalu membiarkan wanita lain menempati kamarnya?
Dia bukan wanita lain, tapi cinta pertamanya Segara, bahkan mungkin cinta matinya kan?
Kenapa juga aku harus sedih, gelisah dan tidak senang setiap melihat Tata ada disekitar Segara?
Aku cemburu?
Tidak, tidak...
Aku menggelengkan kepalaku.
"Astaga!" pekik Ira yang membuatku ikutan kaget dan menatapnya.
"Ada apa?"
"Nggak ada apa-apa Ayy!" ucap Ira cepat dan menahan wajahku saat aku akan menoleh kearah yang membuat Ira terkejut tadi.
"By the way gimana kabar Bian?" tanya Janu cepat sambil melirik Ira aneh.
"Kendranata gimana? Masih ngikuti elo?" tanya Ira bergantian.
Ok, mereka berdua mencurigakan.
Aku menarik tangan Ira.
"Kalian berdua..." aku mengarahkan telunjukku pada mereka berdua.
"Kalian-"
Deg.
Kepalaku yang dengan cepat menoleh ke belakang, mencari sumber kekagetan Ira pun seketika melebar.
Jatungku berdesir cepat, saat mataku bertumpu pada meja di ujung yang agak sudut.
"Duh... pusing kepala gue..." aku meringis. Sebenarnya aku meringis untuk menutupi rasa sesak di dadaku.
Segara, kenapa dia ada disini dengan Tata?
"Gue ke toilet dulu ya... perut gue tiba-tiba sakit..." aku berpura-pura memegang perutku.
"Ayy... lo..."
"Gue baik-baik aja... gue nggak liat apa-apa..." sahutku cepat.
Segera ku geser kursiku dengan cepat sampai menimbulkan keributan dan beberapa pengunjung menoleh padaku.
Ku harap dia tidak tahu aku ada disini.
"Gue ke toilet dulu..." aku segera meraih tas ku dan juga handphoneku.
Sebenarnya aku mau kabur saja, itu akan lebih baik kalau aku tidak bertemu dengannya.
"Awww!" aku meringis saat kepalaku membentur sesuatu.
"Ini apaan sih..." aku menggosok keningku.
"Lagi makan ice cream nggak ajak-ajak?"
Deg.
Aku mendongak dan mataku menatap sosok pria yang beberapa hari ini terlihat aneh di mataku dan juga kini sosok pria ini selalu membuat jantungku berdebar keras sejak dia menyematkan cincin berlian di jariku.
"Segara..." suaraku tercekat ditenggorokan.
"Hai..." sapa Segara yang melambaikan tangannya dan tersenyum pada Ira dan Janu.
"Eh, ada dia juga. Kalian janjian?" aku menoleh ke arah sumber suara. Dan wajah cantik Tata berdiri disamping Segara.
Segara...
Aku memejamkan mata, berusaha mengenyahkan suara yang tadi pagi ku dengar.
"Aku menyerah!" gumamku cepat.
Aku menarik cincinku dan menyerahkan pada Segara.
"Jangan bercanda denganku Segara..." aku menarik napas panjang, menggigit bibirku dan kemudian berdesis.
"Berikan itu pada cinta pertamamu..."
"Ini baru hari ketiga Yang..."
Aku menatap Segara kesal.
"Bagimu ini hari ketiga, tapi bagiku ini seakan sudah berminggu-minggu..."
"Kalian berdua ini bicara apa sih?" tanya Tata jengah menatapku.
"Segara, urusan kita belum selesai. Masih banyak yang harus diurus!" seru Tata sembari melingkarkan lengannya pada lengan Segara.
"Ok, aku juga masih punya banyak pekerjaan..." aku menggantungkan tas dibahuku.
"Yang..." Segara menahan lenganku.
"Satu minggu... dan kita sudah lewati tiga hari..." gumam Segara.
Aku menangkis tangannya, berusaha lepas dari cengkeramannya.
"Gue udah nyerah Segara! Gue nyerah!" pekikku kesal dan menghempaskan tangannya dengan kesal.
Aku paling benci Sinetron dan kenapa hidupku yang jadi seperti sinetron sih?!
Di kejar-kejar artis, dilamar pengacara sukses dan pada akhirnya ini cuma main-main.
"Yang!" aku kaget saat Segara dengan keras menghardikku sehingga membuatku kaget dan terdiam.
Baru kali ini dia membentakku.
"Menyerah?" tanyanya padaku.
"Kalau begitu kembalikan aku ke Segara sebelum mengenalmu..."
"Eh?"
"Jangan pernah melepasnya..." aku menatap tanganku yang diangkat Segara dan kembali dia menyematkan cincin yang tadi ku kembalikan padanya di jari manisku.
"Sekali lagi kamu lepas lihat saja yang akan aku lakukan padamu..."
Aku membuka bibirku dan hanya mampu mengedipkan mataku tanpa mampu bersuara.
Dihadapanku ini benar-benar Segara?
"Segara!"
Segara menoleh menatap Tata dan kembali menatapku.
"Aku harus kembali ke kantor..." kembali dia mengusap pucuk kepalaku.
"Jangan banyak-banyak makan ice cream, nanti bajumu tidak cukup..." gumamnya sambil tersenyum.
"Aku benci padamu Segara..." gumamku lirih saat Segara akan berbalik.
Segara menatapku dan mendekatkan wajahnya padaku dan spontan aku menoleh menghindar.
"Nanti malam kita ketemu... aku kangen banget sama kamu..." bisik Segara di telingaku.
Dia menegakkan tubuhnya dan tersenyum.
"Tidak mau!" tegasku keras seolah memberitahukan pada Segara seberapa kesalnya aku padanya.
"Urus saja wanitamu itu!" ucapku yang kemudian pergi meninggalkan Segara dan yang lainnya.
Menyebalkan!
-
Stres?
Iya, aku stres memikirkan rasa kesalku pada Segara.
Lo itu cemburu!
Pesan dari sepupuku itu semakin membuatku kesal.
"Gue cuma perlu tidur! Mumpung off!" aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke laci. Mengambil botol obat dan mengamatinya.
"Satu? Pasti tidak mempan... tiga aja deh..." aku mengambil tiga butir obat tidur yang biasa aku minum saat aku stres dan tidak bisa tidur.
"Eh, yahhh... jatuh lagi... ishhh. Mau tidur aja juga susah... eh, tadi gue udah kunci rumah belum ya?"
Aku berjalan ke pintu rumah memastikan semua pintu sudah aku kunci, menyalakan lampu meskipun hari masih sore bahkan penjual bakso yang biasa lewat saat ini belum lewat.
Aku merogoh kantong baju tidurku, melihat siapa yang menelfonku.
"Ada apa Bi?" aku menguap. Cepet banget ya efeknya.
Dimana?
"Gue di rumah... kenapa?"
Kok masih di rumah? Kan hari ini pesta lepas lajang?
"Maksud lo?" aku kembali menguap.
Gue baru tahu kalau abang gue beneran serius!
"Soal?" aku berjalan ke dapur mengambil sebotol air dan berjalan kembali ke kamarku.
"Wait, tadi lo bilang pesta lepas lajang? Lepas lajangnya siapa? Abang lo?"
Iyalah! Masak iya gue!
Aku memutar mataku jengah.
"Dasar pria brengsek!" makiku pelan.
Aku membanting tubuhku di tempat tidurku.
"Nyaman..." gumamku pelan sambil memejamkan mata.
Ayy... ntar kalo' kesini beliin gue koyo' ya...
"Hmm, emang lo kenapa?"
Semalam gue nggak bisa tidur gara-gara bang Segara!
"Emang resek tuh orang!" aku mengangguk dan menguap.
Lo lagi kesel sama bang Segara ya?
"He-em... pengen gueee..."
Apa? Lo pengen apa?
"Pengen gue cium dan gue peluk kalo' dia disini..." gumamku sambil memeluk gulingku.
"Tapi gue lagi kesel! Dia lamar gue tapi bisa-bisanya dia memuaskan nafsunya sama Tata wanita lintah itu!" aku menarik napas panjang.
Ngawur kamu! Semalam bang Segara itu...
"Hmm..." mataku sudah berat dan aku berbalik. Masa bodohlah dengan handphoneku.
-
Segara Pov
Aku kembali menatap jam tanganku, waktu sudah menunjuk hampir pukul delapan dan dia belum juga muncul disini.
"Segara..." aku menoleh ke arah Mama yang menepuk bahuku.
"Ayyang mana? Kok belum kelihatan? Kalian lagi berantem?" aku meringis.
"Ummm, nggak kok Mom!" aku kembali meraih handphoneku, memeriksa apakah pesanku sudah di baca. Tapi lagi-lagi nihil.
"Bang..." aku menoleh menatap Bian yang datang sambil membawa piring cemilan.
"Ayyang kemana sih?" aku menggigit bibirku saat Bian menanyakan hal yang sama seperti pertanyaan Mama.
"Mama kok jadi kawatir ya..." Mama mengerutkan dahinya dan terlihat cemas.
"Bang...," Bian menggerakkan kepalanya kesamping memberi isyarat.
"Hayoo, apa nih yang dirahasiain dari Mama?"
"Nggak ada Mom. Apaan sih Bi?" tanyaku sambil mencoba menelfon Ayyang.
Mungkin ini panggilanku yang ke sepuluh kalinya.
"Bang Segara lagi ribut sama Ayy ya?" aku menaikkan alisku saat mendengar pertanyaan Bian.
"Tadi Mama udah nanyak Bi!" seru Mama yang ikutan nimbrung percakapanku dengan Bian.
"Soalnya nih Ma, tadi sore pas Bian telfon Ayyang dia jengkel sama Bang Segara..." aku menghela napas panjang. Ku goyangkan gelas berisi es buah ditanganku dan ku teguk isinya.
"Bang, Ayyang bilang katanya lo muasin nafsu sama Tata, itu bener ya?"
"Uhukk!" spontan aku tersedak mendengar pertanyaan Bian, apalagi disini ada Mama.
"Nahh... nah..." Mama segera mengambil air dan menggosok punggungku.
"Pelan-pelan minumnya..." aku menatap Mama, mataku pun sampai berair karena tersedak.
"Kamu selingkuh?" tanya Mama setelah aku mulai berhenti batuk-batuk.
"Kamu ya Segara, sekalinya lurus malah langsung selingkuh! Mama kan udah bilang kalau Mama nggak suka kamu deket-deket sama Tata!" aku kembali terbatuk.
Dari awal aku mengenal Tata, Mama memang tidak suka. Entah karena apa yang pasti Mama tidak suka.
Memuaskan nafsu?
Pacarku yang galak itu sepertinya salah paham dan mulai cemburu.
Cemburu?
Aku tersenyum sesaat, ini hari ketiga dan dia sudah cemburu.
"Segara jemput Ayyang dulu Ma..."
"Lohhh... Segara!"
Aku mengabaikan panggilan Mama dan segera menuju keluar.
Pasti dia sembunyi di rumahnya.
Ayyang... Ayyang...
-
Ayyang Pov
Aku mengerjapkan mataku yang terasa berat. Aku membuka sebelah mataku untuk melihat jendela kamarku dan masih gelap. Astaga ini jam berapa ya?
"Apa gue tidur berhari-hari ya?" aku memijit kepalaku yang terasa berat.
"Ihh...kok terasa sempit sekali tempat tidurku?" aku berusaha bergerak tapi terasa sulit sekali.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang terasa berat.
Saat aku menoleh ke kiri aku mengerutkan dahiku. Ku kedipkan mataku beberapa kali untuk memperjelas penglihatanku.
Aku menggosok mataku, dan kembali menatap sosok disampingku yang tidur lelap.
"Segara..." gumamku.
"Mimpi? Astaga, gue sampai mimpiin nih orang..." aku mendesah panjang.
Aku memiringkan tubuhku dan menatapnya.
"Aku pasti mimpi, tadi aja kan gue minum obat tidur. Jadi mana mungkin gue udah bangun dalam beberapa jam kan?" gumamku sendiri.
"Hhh, kenapa gue berdebar-debar kalo' liat kamu Segara?" bisikku pelan.
Kurapikan rambut Segara yang menjuntai ke depan. Aku menarik napas panjang. Ku gerakkan jari telunjukku menyentuh alis Segara.
"Alis kamu tebel banget..." aku meringis.
Aku menggigit bibirku saat melihat bibir Segara.
"Hhhh..." aku mendesah panjang.
"Kenapa aku mimpiin kamu dan kamu ada di mimpi aku?" tanyaku padanya yang masih memejamkan mata.
"Kenapa juga setelah melamarku kamu menghilang? Apa kamu nggak tahu aku sangat kawatir?" aku kembali berdecak kesal.
"Dan kenapa kamu selingkuh dengan Tata kalau kamu melamar aku?!" ku gerakkan tanganku mengusap wajah Segara.
"Yang, kamu tahu, aku cemburu saat tadi pagi dengar Tata sebut nama kamu setelah aku dengar suara desahan-desahan seperti di film-film dewasa itu dari kamar kamu..." aku cemberut.
Tanganku bergerak turun memainkan kerah kemeja putih Segara dan jari telunjukku berhenti di dadanya. Dia terlihat sexy saat mengenakan setelah jas dan kemeja putih ini.
"Hhh, menyenangkan bisa ketemu kamu di mimpi..." aku tersenyum dan pandanganku jatuh pada dada Segara yang naik turun saat dia menarik napas.
Pandanganku kembali terfokus pada bibir Segara. Kenapa otakku hanya fokus pada bibirnya ya?
"Ini kan mimpi..." gumamku sambil tersenyum.
"Aku hanya bisa mengatakan ini di dalam mimpiku Segara..." gumamku pelan.
"I love you Segara..." aku mendekatkan wajahku dan aku mengecup bibir Segara dengan pelan. Merasakan hangat dan lembut bibirnya meskipun ini hanya mimpi.
"I love you too..." bisik Segara dengan suara serak sambil membuka mata.
Senyum mengembang dari wajahnya dan aku hanya mampu mengedipkan mataku.
"Eh..." aku kaget saat Segara menarik tubuhku lebih dekat padanya.
Deg
Deg
Jantungku kembali bergemuruh.
Ini hanya mimpi Ayyang, lo nggak perlu takut.
Iya ini mimpi...
"Aku minta maaf..." bisiknya lagi.
"Saat Tata tidur di kamarku waktu itu, aku tidur di kamar Bian..." aku mengedipkan mataku.
"Pagi-pagi sekali dia menelfonku. Dia bilang dia mimpi buruk. Mungkin yang kamu dengar itu DVD milik Bian dan saat Tata menyebut namaku saat dia menelfonku..." aku mengangguk mengerti.
"Ohh..." aku tersenyum menatapnya.
"Sorry, udah buat kamu kawatir..." Segara menatapku dan merangkum wajahku dengan tangan kirinya.
Aku mengangguk dan tersenyum. Segara mendekatkan wajahnya dan menciumku dengan pelan dan lembut seakan aku akan hancur jadi abu kalau dia menciumku dengan cepat.
Jantungku berdebar keras saat merasakan ciuman Segara kali ini. Ciuman ini terasa nyata sekali bagiku dan aku menyukainya. Saat Segara kembali menciumku akupun membalas ciumannya.
"Berjanjilah padaku..." ucap Segara saat kami berhenti berciuman.
"Jangan membuatku kawatir lagi..." ucapnya yang kembali menciumku.
Aku tersenyum dan menikmati ciuman ini. Akupun melingkarkan tanganku di pinggang Segara.
"Mimpi ini, adalah mimpi ku yang paling indah" gumamku pelan diantara ciuman kami.
"Yang..." aku menatap Segara yang tiba-tiba mengubah posisinya menjadi diatasku. Dia pun menggerakkan kedua tanganku supaya melingkar dilehernya dan dia kembali menciumku, ciuman yang lama dan dalam.
"Yang..." aku menarik leher Segara dan menciumnya lagi sampai kudengar dia menggeram saat aku dengan nakalnya menggigit bibirnya. Aku terkikik melihatnya, dia sangat sexy.
"Jadi sekarang kamu berani ya?" aku meringis.
"Ini mimpiku Yang..." gumamku sambil terkikik.
Segara tersenyum dan menciumku dan akupun kembali membalasnya.
"Tapi ini bukan mimpi Yang..." bisik Segara pelan sambil mencium leherku.
Aku tertawa pelan mendengar bisikan Segara.
"Aku tahu kamu bercanda dan menakutiku..." balasku berbisik.
Segara berhenti mencium leherku dan menatapku.
"Aku tidak bercanda..." aku terdiam menatap Segara. Senyumku yang tadi mengembang tiba-tiba hilang.
Saat Segara kembali mendekat dan menciumku aku hanya mampu diam tanpa membalas.
"Aww!" aku meringis saat kurasakan Segara mengigit leherku.
"I-ini... bukan mimpi?" tanyaku pada Segara.
"Ini-" Segara kembali menciumku sebelum aku sempat memprotes.
"Bang... ups... sorry..." aku menoleh saat pintu terbuka bersamaan dengan Bian dan beberapa orang yang masuk.
Aku membulatkan mataku saat melihat bosku dan sahabatku yang sama-sama kagetnya denganku.
Kembali ku pandang Segara, "ini bukan mimpi?"
Oh My God...
-
Hallo...
Ada yang kangen?
Semoga part kali ini menghibur ya...
Peluk cium
Ayyang Segara😘😘😘😍