Baiklah para wali murid, diharapkan berbaris di sisi kanan. Karena akan diadakan pengecekan tempat duduk.
Diharapkan berdoa dahulu supaya kebagian tempat duduk di kursi, bukan di dasar sungai apalagi pelaminan orang.
Pelaminan orang?
Gue memicingkan mata.
Ni kucing nyindir apa nyinyir?
" ayolah, kawand. Jangan susah hati begitu. Walaupun ini kunjungan pertama kau, kau harus tetap tersenyum.
Tenanglah kau, kami di sini tak akan makan kau orang semua. Daging kau kan haram, jadi kami jauhilah makanan macam itu.
Dosa kalau dilanggar. "
Hiu Banteng itu menyeringai. Memperlihatkan gigi tajamnya yang berkilauan.
Wah,...
Itu gigi apa gigi?
Ni Hiu pasti odolnya kalau bukan klos ap, pepsoden, ciptaden, enzim, lifboy, citra, lux pasti downi.
Gue musti tanya juga ni, kiat-kiatnya biar gusinya terawat kayak gitu.
Gue terkekeh.
Kagum sebentar, sirine di kepala gue lantas meraung-raung menyalakan tanda bahaya. Benar juga, kenapa gue bisa lupa?
Ukuran tubuh Hiu Raksasa ini kan sungguh amajing. Sempat gue teliti sebentar, panjang tubuhnya kira-kira 3 meter-an lebih.
Mata gue menatap sekeliling dengan pandangan nanar mengingat masa depan gue, yang mungkin terancam punah karena kunjungan ini.
Lihatlah di belakang sana. Beberapa Aligator sibuk menata kabel yang terhubung dengan mikrofon dan pengeras suara. Serta lima ekor ikan Piranha yang sibuk dengan gitar, drum, dan beberapa alat musik lainnya.
" teman! "
Sebuah suara besar menggema di telinga gue yang kecil, mungil dan elegan ini.
" uhuk! Bau lo kok beda sih? Lo mandi pake sabun, kan? Bukan odol? "
Suara itu terdengar lebih keras. Namun bukan masalah volumenya.
Tapi kumohon, bacalah kembali.
Dia menghinaku telah memakai odo ketika mandi? Yang benar saja.
Aku itu mandi dengan sabun cuci piring, bukan odol.
Oh benar, ditambah sedikit pemutih juga.
" janganlah kau begitu. Wardoyo ini datang untuk menggantikan si Eduard. Teman lama kita itu sedang haus uang. Jadi kita harus sedikit pengertian. "
Balas Hiu Banteng itu sambil tertawa. Manik matanya menatap belakang tubuhku dengan ramah. Ditambah seulas senyum simpulnya yang mematikan.
" oh, benarkah? Pantas saja aromanya berbeda. Maaf Wardoyo. Kupikir kau itu Eduard. Jadinya aku begini, agak sedikit sok kenal sekarang. "
Seekor apapun itu lantas berjalan ke hadapanku dan berhasil membuatku berjingkat. Jikalau aku punya penyakit jantung, pastilah sekarang aku sudah di Indonesia dan masuk rumah sakit.
Buaya Caiman Hitam!
Hewan ini ada dan... sungguh besar!
" janganlah kau tatap aku begitu. Kau tak percaya jika aku nyata? Kau pasti terbiasanya dengan ikan Cupang dan Kecebong saja. Makanya kau terkejut begitu.
Kau pernah mendengar kata gumiho, si rubah ekor 9? "
Tanyanya dengan suara rendah.
Mata gue yang melotot hendak jatuh karena terkejut lantas menyipit.
Kenapa dia bertanya tentang hal seperti itu?
Gue mengangguk. Samar tapi pasti.
" kenapa ada orang yang mau capek-capek mengilustrasikan hewan serumit itu jika sebenarnya mereka pernah melihatnya. "
" jadi maksudmu, gumiho itu nyata? "
Balasku.
" begitulah. Tapi itu hanya pendapatku. Tentang itu nyata atau tidak, aku tak begitu yakin. Karena memang, aku tak pernah bertemu dengannya.
Tetapi jika gumiho itu hanya ilustrasi, pastilah hal itu seperti kau menggambarkan bagaimana lambang cinta yang tengah kau agungkan sekarang. Kau yakin bentuknya begitu, padahal kau tak pernah melihatnya.
Hanya terpaku pada satu pendapat. ' setengah lingkaran yang pesok. Saling ditautkan, jadilah lambang cinta '
Dan kau tahu, Jatuh cinta itu membunuh. Jatuh cinta itu melukai. Jatuh cinta itu pengorbanan.
Jatuh cinta tak selamanya indah. Walaupun itu sudah terikat dengan kuat, semisal pernikahan. Akan tetap ada ombak yang mengombang-ambing perjalanan keduanya. Jatuh cinta itu terikat. "
Buaya Caiman itu menarik nafas panjang.
" jadi kau tak mempercayai adanya cinta, tuan Aya? Setelah kufikir, sepertinya makna cinta menurutmu itu sangat memilukan. "
Tanya gue heran.
Terhipnotis dengan cara pandangnya yang nyeleneh. Tapi dengan cara penyampaiannya yang manis itu, mampu membuat gue kagum.
Buaya itu lantas tertawa.
" sungguh, War. Sebenarnya aku tak suka dipanggil depan panggilan macam perempuan. Tapi setelah aku mendengarnya dari kucing tulus sepertimu, lumayan manis juga ternyata. "
Gue memutar mata jengah.
" aku percaya, nak. Aku sangat mempercayainya. "
" tapi aku tak pernah membiarkan rasa itu mengelabuhi pikiranku. Dia akan tetap disini, dihati. Dan tidak akan berganti posisi.
Aku akan tetap mengurungnya, dan tidak akan membiarkannya menguasai bagian yang lain. Itulah untungnya membatasi diri untuk mengangungkan rasa itu.
Jika nanti kau terluka, kau tetap bisa berpikir jernih. Dan ketika kau jatuh karenanya, kau masih punya otak untuk tetap berdiri. "
Mata Buaya tua itu menatap jauh ke dalam sungai. Mengorek dasarnya dan menemukan banyak tulang berserakan.
Mungkin inspirasinya datang dari para korban yang hendak dimakannya.
Pasti sebelum perih menyambar lehernya, para mangsanya itu mengucapkan banyak kata mutiara untuknya.
" kau benar. Aku mendapatkan kata itu dari seekor rusa yang kebetulan lewat. Dia takdirku, "
Aku menganga. Ternyata cinta memang buta. Sangat buta! Buaya ini mempunyai takdir dengan seekor rusa? Apa jadinya dunia?
" takdir makanan maksudnya, "
Aku kecewa.
Ini kucing satu kemana lagi?
Tuan Eduard?
Anda dipanggil kepala sekolah.
Sekarang.
Gue merutuk dalam hati.
' kenapa pula gue dipanggilnya pakai mikrofon begitu? '
Dan begitulah. Semuanya berakhir dengan ratusan pasang mata yang menghujani gue dengan pandangan,
' oh, itu namanya pak Eduard? Duh! Ganteng banget sih? '
________________
Gue menatap Idoy, Surakum, Aceng dan Dadang bergantian.
" cepetan dong, om. Rangking kita berapa nih? "
Suarakum mengotot minta ingin tahu dari jauh-jauh waktu. Namun gue lebih memilih diam.
" menurutmu? "
" bagus. "
Gue menepuk jidat. Ni anak kucing tingkat kepercayaannya tinggi banget, deh.
" Oke. "
Gue menarik nafas, lantas membuka raport pertama.
" Surakum, rangking 4 dari 3 siswa. "
Gue tersenyum samar.
" tiga ratus maksudnya. "
Lanjut gue sambil tertawa. Sendirian.
" ampun deh, om. Garing banget. "
Balas mereka berempat secara serempak. Terdengar seperti paduan suara.
Nyengis sebentar, gue akhirnya membuka raport kedua.
" Aceng, rangking 7 dari 500 siswa. "
Mata Aceng membulat, tidak percaya. Mulut Surakum, Dadang dan Idoy terbuka lebar. Takjub.
" 700, "
Lanjut gue diikuti tawa yang kencang. Yakin sekali jika ini terdengar lucu.
" ampun deh, om! Mendingan om jangan ngelawak deh. Ntar pembaca kita ilang semua, lagi. "
Idoy angkat bicara.
Oke. Raport ke tiga.
" Dadang. "
Gue menarik nafas.
" rangking 1,- "
" whooooooo! "
Ucap mereka serempak kegirangan sambil menepuk bahu Dadang bergantian. Ikut bahagia.
Mungkin, pikir mereka kalau gue bercanda pasti cuma ditambah angka nol satu. Yaitu 10. Dan angka itu cukup fantastis. Masuk sepuluh besar adalah cita-cita mereka yang sering tertunda.
" dari berapa siswa, om? "
Tanya Idoy ingin tahu.
" nggak ah, nanti dikira garing lagi. "
" udahlah, om. Berapa? "
Idoy semakin memaksa.
" 3 siswa. "
Hening.
" 300, huahahahaha... "
Krik, krik, krik
Gue cengengesan karena beberapa pasang kucing dan hewan lain yang lewat memandang gue heran karena tertawa sendirian.
Apalagi sepasang Arapaima itu. Mereka bahkan sempat menyebut nama sebuah rumah sakit jiwa ternama di Indonesia sambil menunjuk gue.
Dia pikir gue adalah salah satu lulusannya, kali ya?
Raport ketiga.
" Idoy. Rangking 700 dari 702, "
" wahhhhhh! "
Kami bertepuk tangan bersama. Memberi sorak sorai pada Idoy yang sekarang,-
Semua pasang mata mencari sosok Idoy yang sekarang hilang entah kemana. Kursinya tiba-tiba kosong.
" daritadi tak lihatin, kamu kok paling cantik sih. Boleh tahu siapa namanya, mbak? "
IDOY!?
Sejak kapan kau disana, hah?
TBC
___________
Jangan dimarahin ya teman.
Itulah pandangan saya sendiri tentang cinta.
Tidak perlu diagungkan.
Cukup dirasakan sewajarnya, agar nanti ketika jatuh, kamu tidak akan terluka terlalu dalam.
Punyailah pegangan ( Iman ) yang kuat. Maka kau akan semakin tabah menjalaninya. Yakini jika kamu tak sendiri.
Selamat pagi!