#Small_Hours part 26
"I have not broken your heart - you have broken it; and in breaking it, you have broken mine..."
"Aku tidak menghancurkan hatimu - kau lah yang menghancurkannya; dan dalam proses penghancuran itu,kau menghancurkan hatiku..."
(Wuthering Heights, Emily Bronte)
"A! Aa! Ini bungkus, ya."
Aa penjual dan orang yang tengah dia layani sama-sama menengok.
"Iya siap, Neng." jawab si penjual.
"Iva??" kata si pembeli.
Iva celingukan melihat mereka bergantian. Dan matanya membesar saat menyadari siapa pembeli yang memanggil dia.
Ryo!
"Ryo??"
****
Dari semua orang yang menghuni dunia, pada hari ini, kenapa harus bertemu dengan dia. Orang paling akhir diharapkan bisa bertemu.
Sungguh, sebetulnya berapa persen sih kemungkinan kita berpapasan dengan orang yang sama sekali tidak ada kesamaan aktivitas dengan kita? Iva bahkan tidak pernah bertemu orangtuanya tanpa sengaja, di suatu tempat yang random seperti ini.
Memplester senyum lebar, yang tidak mewakili isi hatinya sama sekali, Iva melambai lemah pada Ryo. Dia sangat berhasrat kabur dari situ, namun kakinya terasa seperti agar-agar yang terlalu banyak air.
Ryo mendekat, matanya bersinar antara senang, terkejut, dan entah apa lagi, tidak bisa tertebak. Kalau Iva boleh geer, terlihat agak sulit menahan diri.
"Wow, lama banget kita ga ketemu ya, Va..." katanya lambat-lambat, namun terdengar penuh emosi. Iva mengangguk. Tenggorokannya juga tercekat.
"Apa kabar, Iva?" tanya Ryo lagi, melangkah lagi lebih dekat.
"Alhamdulillah, baik. Kamu, Ryo?" akhirnya bisa bersuara.
"Baik." dia berhenti mendekat, berdiri sekitar tujuh puluh sentimeter dihadapannya. Iva bisa melihat bulu halus di dagu Ryo. Rasanya cowo ini bertambah tinggi dari terakhir mereka bertemu : apakah itu mungkin? Dia terlihat dewasa.
Iva mundur sedikit, mencari zona nyaman.
Mereka hanya berdiri berhadapan selama beberapa waktu, tersenyum canggung sama lain.
"Sama siapa ke sini, Va?" akhirnya Ryo kembali membuka percakapan.
"Temen. Kita berpencar dulu, nanti jam 1 ketemu lagi di depan." jawab Iva, lalu mengarahkan telunjuknya pada Ryo, "Kamu sendiri?"
"Bareng temen juga. Sama, berpencar juga." dia tidak berhenti tersenyum saat bicara.
Iva merasa kebingungan harus membicarakan apa lagi, mengingat terakhir kali bertemu, mereka berpisah dalam keadaan tidak terlalu baik.
Suara Aa penjual buku mengalihkan perhatian Iva, "Neng, ini aja? Masih ada buku yang lain da. Mau liat-liat lagi, Neng?"
"Eh, iya, A..." Iva agak linglung. Dia ingin melihat buku tentang fotografi yang lain, namun teringat bahwa itu bisa membuat dia harus tinggal lebih lama di sini. Bersama Ryo.
Dan Iva tidak yakin apakah dia menginginkannya. Tinggal bersama Ryo, lebih lama.
"Ga, A. Udah itu aja. Ini uangnya." Iva mengulurkan uang.
"Dari aku aja, Va. Sabaraha, A?" Ryo mendahului menyerahkan uangnya. Iva tercekat.
"Eh, jangan! Jangaan...!" terburu-buru, Iva mengulurkan tangan sejauh mungkin mendekati tangan Aa penjual. Si Aa tampak bingung, namun melihat keteguhan dalam wajah Iva dan sorot matanya yang memaksa, dia memilih mengambil uang yang Iva sodorkan.
Ryo tampak kecewa. Tapi kemudian dia seperti mendadak mendapat ilham.
"Oke, sebagai gantinya, udah ini kita harus nongkrong dulu, ya. Udah jam makan siang, jalan yuk. Kita nonton juga. Dari dulu ga pernah jadi."
Iva melenguh pelan.
Tentu saja, Iva langsung teringat masa-masa mereka di SMA dulu. Terbayang lagi kedekatan mereka. Tas kanvasnya yang mempunyai flap suede, coklat ulang tahun, bertemu di mall, memaksa pindah kelas, berulang kali mengantar pulang, Tiana, Jayagiri, Ajie, percakapan telepon. Betapa dinamis naik turunnya hubungan dengan Ryo. Ryo remaja yang pemarah, yang sulit mengungkapkan dengan benar apa yang dia rasakan. Ryo yang sering ketahuan memandangi Iva diam-diam.
Ryo, yang mematahkan hatinya.
Ryo, cinta pertamanya.
Iva merasa sulit bernafas. Otaknya seperti berkabut. Dia butuh pergi dari sini.
"Aku ga bisa, so sorry. Temen-temen pasti udah nunggu, Ryo."
Ryo tampak tidak ingin menerima penolakan, "Ayolah, Va... Kita catching up, kita hampir tiga tahun ga ketemu."
"Aku -yaa- begini-begini aja, Ryo. Ga ada yang baru. Ga ada yang seru. Dan temen-temen udah nunggu, sekarang."
"Va..."
"Sorry, Ryo. Aku ga bisa." diangkatnya kedua tangan, sebagai tanda bahwa dia benar-benar tidak ada pilihan. Seketika, mata Ryo melirik tas plastik di tangan Iva, yang berisi buku fotografi yang barusan dibelinya untuk Kautsar.
Ryo tampak tercenung sebentar, raut wajahnya berubah perlahan, lalu bertanya dengan hati-hati, "Kamu belajar fotografi, Va?"
Iva selama beberapa detik tidak paham, sampai kemudian menyadari objek pandangan Ryo.
"Oow, -emh- ow, ini... ini..." bagaimana cara menerangkannya? Iva masih celingukan, bingung menjawab apa, dan terpikir menjawab : titipan teman, tepat pada saat Ryo bertanya kembali.
"Kamu... masih kontak sama -siapa namanya?-, kecengan kamu yang dulu sering diceritain itu?"
"Kautsar."
"Ya, itu."
"...iya, masih..." Iva pikir jawaban itulah yang paling aman.
Ryo memalingkan wajah, tidak melihat ke arah buku tadi lagi. Seolah buku itu menyakiti matanya.
"Tetap kontak sebagai apa?"
"Hah?" Iva mengeryit.
"Kamu sama dia, tetap kontak sebagai apa?"
Oowh. Mungkin maksudnya ; apa hubungan Iva dengan Kautsar sekarang?
Iva menunduk. Ini pertanyaan sulit. Maka dipilihnya kalimat, "Does it matter?" sebagai jawaban.
Kecanggungan akut menggelayuti atmosfir di antara mereka.
Iva mundur lagi selangkah, "Ryo, sorry. Tapi temen-temenku pasti udah nunggu. Aku duluan, ya."
Cowo itu menoleh memandangi Iva. Matanya yang sedikit sipit, disipitkan lagi. Mirip seperti orang yang kesilauan. Dia menarik nafas panjang. Wajahnya berubah-rubah, diwarnai beberapa emosi yang berbeda.
"Jadi, kita begini aja, Va?"
Iva tidak paham maksudnya. Tapi sesuatu memberitahunya, jawaban tercepat adalah mengiyakan saja.
"Ya, kita begini aja, Ryo."
Ryo menunduk menatap sepatu, jempolnya masuk ke dalam saku. Gaya Ryo saat ini mengingatkan Iva pada saat terakhir melihat dia, di malam ulang tahun Lia, tiga tahun lalu.
Mundur lagi dua langkah, Iva kembali bicara, tanpa bisa ditahan suaranya ternyata bergetar, "Oke, bye, Ryo..."
Ryo tidak menjawab, hanya mengangkat wajahnya sedikit menatap Iva, dengan mata yang masih tampak kesilauan itu.
Ada denyut sedih di dada Iva, yang meyakinkannya untuk segera membalikkan badan. Mulai melangkah, menjauhi Ryo. Lagi.
Ryo tidak memanggilnya. Juga tidak menyusulnya.
Di angkot, Iva memandang keluar jendela yang dibuka lebar. Diam-diam meneliti hatinya, apa yang dia rasakan setelah bertemu Ryo barusan.
Tya dan Sofi sedikit heran mungkin, melihat Iva mendadak diam. Tapi mereka cukup bijaksana untuk tidak mengajukan pertanyaan apa pun.
Dia kaget, tentu saja, dengan pertemuan ini : Iva mulai menelaah. Gelombang rasa kagetnya masih terasa. Mengguncang Iva cukup kuat. Sebab, selama berusaha bertahan dalam 'hubungan tertunda' dengan Kautsar yang cukup menguras energi, Ryo hampir tidak pernah mampir di benaknya. Sejak malam terakhir mereka bertemu tiga tahun lalu, dia tanpa sadar 'melepaskan' Ryo sepenuhnya. Iva sudah memahami betul, dia dan Ryo tidak akan pernah berjalan di koridor yang sama.
Tadi, ketika dia berusaha mengakhiri pertemuan mereka, apakah karena kesetiaannya pada Kautsar? Iva kembali menelaah.
Tidak.
Bukan karena kesetiaannya pada Kautsar. Ini lebih karena kesetiaan Iva pada dirinya sendiri.
Ryo dan Kautsar adalah dua hal yang berbeda, tidak ada titik singgung sama sekali. Keputusan Iva dulu menutup cerita dengan Ryo bukan karena kehadiran Kautsar. Keputusan itu karena Iva mengizinkan dirinya untuk tidak lagi punya ikatan terhadap Ryo.
Kautsar, adalah keputusan yang Iva lakukan dalam kebebasan yang diperolehnya.
Seperti juga hari ini, Iva tidak mengizinkan Ryo memasuki kehidupan dan hatinya, bukan karena Kautsar. Tapi karena dia tidak ingin kembali dalam sebuah kondisi yang hanya akan mengisap daya hidupnya. Menanti sebuah ketidakpastian adalah kebodohan, sebuah kebersediaan akan terampasnya kebebasan.
Kautsar, di lain pihak -bahkan dengan janji mereka untuk menunda hubungan-, selalu terasa membebaskan. Dengannya, Iva tahu bahwa dia mempunyai tempat untuk pulang.
Dipejamkannya mata. Membayangkan kedua lelaki itu bergantian.
Tidak, dia tidak merasa Ryo menyakitinya. Ryo justru ibarat 'sekolah', yang mendidik dia menjadi kuat dan mampu menjalani hubungan dengan Kautsar.
Kautsar adalah masa depannya. Mungkin sedikit terasa menakutkan karena hingga kini belum bisa dideklarasikan, tapi Iva selalu yakin atas dia.
Dan Ryo. Ryo akan selalu menjadi kenangan indah bagi Iva. Sampai kapanpun.
{Hey Ryo, the neverending story, has an ending after all...}
Setitik airmata di sudut matanya, mengering dengan cepat oleh angin yang bertiup melalui jendela angkot yang terbuka.
****
Masalahnya, masa lalu terkadang seperti lalat yang masuk begitu pintu atau jendela rumah kita buka. Datang satu ekor, lalu teman-temannya mulai mengikuti.
Sejak bertemu Ryo tempo hari, Iva merasa sedikit murung. Lebih karena dia sangat kangen Kautsar. Memang sih, ini waktu-waktu dia mengalami PMS. Namun pertemuan itu dan rasa kangen pada Kautsar, membuat gejala PMS Iva terasa makin parah.
Lalu hari ini, sepulang dari kampus, Iva dan yang lain memutuskan makan siang di kedai bakso BSS. Suasana sedikit sepi, entah kenapa. Padahal biasanya kedai ini ramai sekali.
Baksonya datang duluan. Mereka tengah menunggu jusnya diantar sambil membicarakan pertemuan kedua orangtua Donna dan Bang Joe kemarin dulu, ketika ada dua orang cowo masuk dan duduk di meja sebelah. Tanpa sengaja Iva menoleh, dan menemukan pandangan yang sama terkejutnya dengan dia, dari cowo di meja sebelah.
"Ajie!!" pekik Iva tanpa sadar.
"Iva..." Ajie yang sekarang gondrong tertawa lebar. Iva tahu Ajie juga kuliah di sini. Namun karena mereka tidak pernah berpapasan sama sekali, Iva pun melupakan sosoknya begitu saja.
"Hey, Va." yang di sebelah Ajie ikut menyapa. Iva makin surprise karena ternyata Ajie bersama Agung, ketua kelas mereka pada jaman SMA dulu.
Agung ini, tidak kuliah di sini setahu Iva. Mungkin dia sedang mengunjungi Ajie. Dan dia bisa dibilang termasuk salah satu yang akrab dengan Ryo ketika di SMA, seperti juga Dani yang dulu sering diseret Ryo untuk ikut mengantar Iva pulang ke rumah.
Melihat kedua orang itu, mau tidak mau kenangan atas Ryo terasa makin bocor, menggenangi benak Iva makin tinggi. Tapi anehnya, tidak terasa mengganggu lagi.
Iva akhirnya meminta izin untuk pindah ke meja mereka, agar bisa mengobrol lebih banyak. Tya dan yang lain tidak keberatan.
"Iva, kok ga pernah dateng lagi kalo ada acara kelas?" tanya Agung.
"Ga ada yang ngasi tau." jawab Iva enteng. Ini bukan bohong, awalnya Lia sering menelepon mengabari. Namun karena penolakan Iva yang terus menerus, Lia mungkin akhirnya menyerah.
"Emang kalo dikasi tau, mau dateng?" tanya Ajie, cengirannya jail. Iva mengangkat bahu saja, tidak tahu apa jawaban yang harus dia berikan.
"Ryo juga lama-lama ga pernah dateng." Agung berkata lagi.
Deg!
Kenapa Agung secara spesifik menyebut Ryo?
"Sibuk, kalii..." timpal Iva berusaha cuek. Tapi cara Ajie dan Agung saling melirik tidak bisa diabaikan. Maka Iva menatap mereka bergantian, "Kenapa? Kok, mencurigakan gitu deh kalian ini."
"Gaa..." Ajie cengengesan.
Iva kembali menyuapkan bakso.
"Dulu Ryo pindah kelas karena kamu, Va."
Uhuk!
Iva tersedak. Dan setelah menguasai diri, dia menunjuk pada Agung yang mengatakan kalimat mengagetkan tadi, "A-apa? Apaan barusan?"
"Kamu ga tau emang?" Agung ikut cengengesan seperti Ajie.
"Gimana caranya aku tau?" kilah Iva. Yaa walaupun memang banyak dugaan ke arah sana dari teman-temannya dulu, tapi Iva tidak pernah merasa yakin.
"Eh, aku sebenernya penasaran loh, Va, dulu kamu sama Ryo itu gimana, sih? Pacaran, ga?" tiba-tiba Ajie bertanya dengan nada menyelidik.
"Ga pacaran." jawab Iva jujur.
"Kalo gitu, apa, dong? Masa pedekate doang? Segitu kamu dianter pulang terus." kejar Ajie.
"Loh, emang kalo dianter pulang harus berarti apa?"
"Cowo nganter pulang itu ibarat kucing pipis nandain teritori. Bikin semacam pengumuman : ini milik gue. Dan kalo cewenya okeh, mau dianter sampe berkali-kali, itu ibarat proklamasi tanpa kata-kata."
"Waks! Ngarang banget!" Iva ngakak keras-keras.
"Eh, serius!" kata Agung menimpali, "Aku jadi sama Wiwid juga begitu. Anter pulang teruus..."
Iva mengangkat alis, "Heh? Iyakah? Tapi Ryo ga pernah ngomong apa-apa ah."
Ajie memutar mata sambil berdecak tidak sabar, "Masa harus ngomong sih, Va? Kamu ga mungkin ga ngerti maksud dia waktu itu, kan?"
"Ga." kembali Iva menjawab jujur. Agung dan Ajie membelalakan mata, raut wajah mereka antara heran dan : kamu kok bego amat ya, Va. Iva memilih mengabaikan saja.
"Kamu tau kan kalo dia intimidasi aku berkali-kali selama aku pedekate ke kamu dulu?" dan kemudian banyak kejadian-kejadian lain yang mereka ceritakan. Iva mendengarkan dengan seksama. Sesekali tertawa. Hatinya mekar oleh perasaan gembira.
Bukan, bukan. Bukan bergembira karena dia masih ada harapan pada Ryo. Gembira karena ternyata akhirnya dia mengetahui sisi lain cerita antara dia dan cowo itu. Pembaca tahu, kan? Perasaan bahwa seolah-olah misteri sudah terpecahkan?
Walaupun kalau Iva menarik ingatannya ke belakang, ternyata dia sudah memahami Ryo sejak lama. Hatinya yang jujur, sudah memberitahunya. Itulah kenapa dia kembali bertanya pada cowo itu, apa perasaan dia sebenarnya terhadap Iva. Berharap bahwa Ryo akan menjawab sama jujurnya.
"...dia bilang : awas ya berani deketin Iva. Berkali-kali." Ajie menutup ceritanya.
"Oya? Ngapain dia begitu?"
"Jeleess!!" kesal sekali tampaknya mereka saat mengatakan itu. Iva tersenyum merasa bodoh.
"Iya aku tau dia jeles. Tapi kenapa dia begitu, kenapa ga bilang aja ke aku, secara langsung gimana perasaan dia." lalu Iva diam sejenak, "Dan o iya, kalo memang dia begitu karena jeles - yang bisa diartikan itu karena dia suka aku-, kenapa waktu aku bilang suka, dia malah bilang kalo kita cuma temen, ya? Coba, kira-kira itu kenapa?"
Ajie dan Agung kembali saling berpandangan. Keheranan.
Iva mengangkat alis sambil tersenyum, "Yeah, exactly! Aku juga bingung. Dan aku ga suka berlama-lama bingung."
Setelah menyesap sisa jusnya, Iva berdiri, "Oke, nice to meet you. Tapi aku harus pulang sebelum warnet penuh. Masih banyak kerjaan. Salam buat Ryo kalo ketemu ya."
Dia berlari keluar menyusul Donna dan yang lain. Melambai sekali lagi ke arah Ajie dan Agung, lalu berjalan pergi.
Masa lalu memang menyenangkan untuk dikenang, ketika kita bisa mengenang tanpa merasakan sakitnya.
Langit cerah sekali, namun udara sejuk. Iva berharap bisa bertemu Kautsar secepatnya. Kangen sekali.
Sambil melangkah lebar-lebar dan tertawa dengan ramai bersama ketiga temannya, batin Iva berbisik ; semoga kamu bahagia, Ryo...
****
Semesta mendukung Iva.
Begitu memasuki warnet, ada Kautsar tengah membungkuk di kubik paling ujung. Seperti tengah mengetik sesuatu sambil berdiri.
Iva tidak bisa menahan senyum senang. Ngapain sih Kautsar ngetik sambil berdiri, kan biasanya disediakan kursi.
Dia berjalan mendekat dengan semangat. Hampir saja memanggil cowo itu, saat matanya menangkap alasan kenapa Kautsar berdiri.
Ada seorang perempuan berkulit putih dan berambut ikal dengan bulu mata lebat alami tengah duduk di kursi itu. Perempuan cantik itu tampak tersipu-sipu terus, melirik bolak balik dengan bahasa tubuh yang salah tingkah, pada Kautsar yang asyik mengetik dengan wajah konsentrasi itu.
"Va..." Sofi menyenggol lengannya. Tya dan Donna juga langsung menyentuh Iva dengan gerakan kaku. Mereka berempat berdiri berjejer terpaku pada pemandangan yang disuguhkan dari kubik paling ujung itu.
Tiba-tiba, Iva merasa langit tidak begitu cerah lagi.
****
...You could be my unintended
Choice to live my life extended
You could be the one I'll always love
You could be the one who listens
To my deepest inquisitions
You could be the one I'll always love
I'll be there as soon as I can
But I'm busy mending broken
Pieces of the life I had before...
Before you...
(Unintended, Muse)
****