Moonsilvaheart93
July 6th 2018
MARC'S POV
Aku melangkahkan kaki ku tergesa-gesa setengah berlari masuk ke dalam Vila setelah menerima telpon dari Martin. Sepi tidak ada orang disetiap ruangan. Apa Ann ada di Vila? Atau dia memang masih tidur? Aku segera membuka pintu kamarnya. Dan....
Astaga, apa yang aku lihat?
Dia berbalik dan kami sama-sama teriak.
"MAAAAARRRRRRRCCCCCC!!!!" Pekikan suaranya memekakkan telinga.
Aku membelakangi dia secepat kilat sambil menutup kedua mataku.
"Sumpah, aku tidak melihat apa-apa!" Aku menaikkan jari telunjuk dan tengahku seperti mengucapkan tanda swear ke atas.
Aku yang salah karena nyelonong masuk ke kamarnya. Aku bersalah karena tidak mengetuk pintu terlebih dahulu sehingga aku tidak sengaja melihat dia hampir tanpa busana. Dia hampir saja menanggalkan handuknya dan aku menangkap wajahnya di tutupi sedikit rambutnya yang basah. Dia terlihat seksi. What the hell, aku mikirkan apa?
"Don't move!" perintahnya.
Aku mengangguk dan tanganku masih saja menutup wajahku. What the hell, aku tahu posisi badanku membelakanginya namun aku tetap saja menutup wajahku seolah dia ada di hadapanku. Tanganku gemetar. Aku tidak suka suasana seperti ini, sangat tidak nyaman. Pada akhirnya Aku mencoba menenangkan diri.
"A-aku tunggu di luar." Secepatnya aku melangkah menuju ruang tengah. Setelah berada di ruang tengah, aku baru bisa melepaskan nafasku yang sedari tadi sesak. Aku duduk di sofa berwarna krem yang lembut. Perasaanku sudah berangsur tenang dan aku sudah bisa menguasai diriku kembali. Begitu banyak alasan untuk membuat debaran itu menghilang, yaitu ketika aku ingat dia itu gebetan Alex, ingat dia hanya sahabatku, dan terakhir yang membuatku lebih kuat, dia itu sahabat yang sama dengan sahabat sahabat yang lain, dia sama dengan sahabat laki-laki ku. Aku mengangguk sendiri memantapkan diri bahwa semua unsur ketidak sengajaan itu tidak berefek apapun bagiku.
"Ayo kita berangkat!" Dia berjalan keluar tanpa menatapku. Aku tahu kami sama-sama malu, lucunya seharusnya itu tidak berefek apapun bagi kami, aku hanya melihat sesuatu yang wajar bahkan kala itu dia masih memakai handuk, bagian atasnya hanya terlihat sedikit bahkan itu lebih sopan dari pada wanita-wanita yang hanya memakai bikini. Hanya saja aku merasa jika dia memakai handuk berarti dia tidak memakai sehelai benangpun kecuali handuk itu, dan bisa dibayangkan jika handuk itu jatuh atau dilepaskannya, aku bisa membayangkannya. Damn!
Got little bit nervous around you
Get a little bit stressed out when i think about you.
Get a litlle bit excited, baby when i think about you
(Nervous- shawn mendes)
Kami terdiam selama berada di atas Jeep. Aku bingung bagaimana memulai percakapan dengannya setelah kejadian tadi. Ditambah lagi lagu berengsek ini yang sedari tadi mengalun selama kendaraan kokoh ini melaju. Aku tahu siapa yang menyanyikannya, aku sadar banyak yang mengatakan si Penyanyi mirip wajahnya denganku, biasanya aku senang mendengar lagunya, namun kali ini aku gusar mendengarnya. Ruh lirik lagu itu seakan menjerat leherku. Perasaanku semakin tidak karuan. Tenanglah, Marc. Kejadian tadi itu biasa, kejadian tidak sengaja selalu terjadi padamu dan itu sudah biasakan? Ya...ya sudah biasa.
"Ehm, apa kau sudah membawa alat ski?"
"Eh,bawa apa aja emangnya, Marc?"
Aku menatapnya sementara tanganku masih mengendalikan stir.
"Kamu serius bertanya padaku? Don't make any jokes, please!"
"I am serious!"
"What?" Aku melihatnya dengan mimik kesal. Dia niat nggak mau main ski? Masak dia di gunung es hanya diam tanpa peralatan ski. Dia lebih parah dari yang aku kira.
"Aku lupa bawa peralatan ski ku."
Aku menarik nafas pelan dan menghembuskannya lebih pelan. Menahan emosiku yang mulai meluap. Aku mulai takut kehadirannya lah yang menyebabkan tensi ku naik bukan masalah aku yang belum bisa menundukkan Desmosedici. Dia lebih berbahaya dari motorku.
Aku memarkirkan Jeep di sebuah toko yang menjual peralatan ski.
"Mau kemana kita?" Tanya Ann dengan polosnya yang membuat aku memicingkan mataku seolah tidak percaya pertanyaan konyol itu keluar dari mulutnya.
"Mau ke salon," ujarku sewot sambil membuka pintu Jeep dan menutupnya kasar. Aku berjalan cepat menuju toko itu dan ia menyusul dari belakang.
"T-tapi mobil mu kok diparkirkan di depan toko ini? Apa kamu mau beli alat ski? Mana salonnya?"
Aku menatapnya sinis lalu berjalan membuka pintu kaca toko tersebut yang ditengahnya tergantung papan kecil bertuliskan "open".
Aku mulai memilih peralatan ski, tanganku memegang papan ski. Ponselku berdering, di layar tertera nama Martin. Aku mengangkat telponnya.
"Dimana kau, bro? Lama sekali."
"Sorry, aku bentar lagi ke sana. Duluanlah mainnya."
Aku menutup calling dari Martin.
"Berapa tinggimu?"
Dia menatapku heran.
"Jawab saja!"
"Hmmm...155 cm."
"What? Ya ampun kau pendek sekali. Hahahha."
Dia menatap sinis.
"Kayak nggak nyadar aja."
"What?"
"Nggak ada. Eh kenapa nanya tinggi ku?"
"Kalau mau beli papan ski harus diukur dengan tinggi kamu. Biasanya tinggi papan sampai batas hidung saja. Nah berapa berat mu?"
"Aku gemukan, bro."
I don't care anyway.
"Katakan saja."
"Untuk apa, Marc?"
"Kamu banyak nanya ya!"
"Kamu nanya bukan mau meledekku lagi kan?"
"Nggak. Aku mau beli binding. Beli papan ski harus barengan dengan bindingnya. Ntar penjual itu yang mengatur grafik binding ini sesuai dengan berat badan. Paham nggak?"
"Gunanya?"
"Hhhh," - aku mendengus mulai berasa asap keluar dari kedua telingaku-"kalau pas setelan binding nya, ketika jatuh kamu tidak akan banyak cedera dikarenakan papan ski akan mudah lepas sendiri. Jadi berapa beratmu?"
"45 kg."
"Oh ya udah. Aku tanya dulu ke Penjualnya."
Setelah mengurus papan ski dengan penjual, aku membeli sepatu ski sekaligus kaus kaki tebal dan terakhir beli tongkat ski.
aku membayar semua lalu kami berjalan keluar dari toko. Kami mengobrol sambil berjalan menuju parkiran mobil.
"Kamu pake ini semua nanti ya."
"Kamu?"
"Semua peralatan ski untukku ada di jeep."
"Apa jaket ini cukup untuk aku main ski, bro?"
"Yah tidaklah. A-apa kamu cuma memakai jaket ini? Jangan katakan itu benar!" Aku mulai mengawasinya.
Dia mengangguk tulus. Dios!
"God!" Aku menutup wajahku dengan sebelah tanganku. Gemas bercampur kesal. Rasanya ingin kutelan papan ski ini. Tuhan, kenapa engkau pertemukan aku dengan makhluk senaif ini?
"Aku nggak paham harus bawa apa apa saja. Apa aku salah?"
"Tidak...kamu tidak salah. Aku yang salah!"
"Lho kok kamu?"
"Yah..karena menjemputmu."
"Ya sudah...kamu saja yang pergi main ski. Aku pulang saja."
Kami berada di depan Jeep. Aku sudah meletakkan peralatannya di dalam Jeep. Aku menatapnya. Apa aku tega membiarkannya pulang?
"Ya sudah, balik ke toko lagi."
Aku berjalan ke toko perlengkapan ski itu lagi. Di depan pintu aku mencarinya. Aku melihatnya diujung parkiran. Dia masih terdiam menyandarkan badannya di depan Jeep dengan kedua tangan yang dilipat di atas dadanya. Sepertinya dia merajuk. Ahh, aku lupa kalau dia wanita. Bukankah hanya wanita yang selalu merajuk. Aku teringat Judith, sepupuku yang selalu merajuk kalau aku tidak membelikan oleh oleh untuk anjing kesayangannya sepulang dari balapan MotoGP.
Aku bisa saja membeli sendiri outfit untuk ski tapi aku tidak tahu pasti ukuran badannya. Daripada salah ukuran, lebih baik aku jemput dia untuk ikut mengepaskan outfit ski sesuai dengan ukuran badannya.
Dia menatapku kesal. Aku serba salah.
"Ayo. Kalau kamu tidak masuk, aku takut nantinya membeli pakaian yang nggak sesuai dengan ukuranmu."
Dia masih diam sambi menunduk. Ya ampun, i hate a woman for this reason!
"Ya udah. Aku belikan saja terserah aku. Biar saja salah ukurannya, aku akan belikan walaupun tidak ada satupun harga dari benda benda ini yang murah."
Aku menatapnya tajam, berharap dia mengerti dengan kalimat sarkasku. Aku melangkah cepat, mulai memilih baju dalaman berlengan panjang aku mulai bingung memilih warna hitam atau indigo.
"Aku mau indigo saja."
Aku terhenyak mendengar suara itu. Aku membalikkan tubuhku. Ann ada di belakangku. Dia mengambil baju dalaman itu dan mengukur sendiri, sepertinya dia menerka-nerka apakah dalaman ini muat untuknya atau tidak.
Aku tahu dia pasti datang juga karena aku yakin dia termasuk wanita yang peka. Setelah itu kami membeli thermal underwear atau celana Long John khusus. Kemudian membeli outfit lapis sweater berbahan fleece, celana ski, atasan jaket ski, sarung tangan thinsulate, helm dan kacamata.
Setelah memilih dan membayar semua peralatan ski, kami langsung menuju ke perbukitan es, salah satu tempat rekreasi favoritku.
****
Sekarang kami berada di tengah kulkas raksasa dengan suhu minimal 8 derajat celcius. Ketika aku dan Ann menjejakkan kaki di atas es ini, Alex menghampiri.
"Hey, lama sekali sampainya. Aku kira kalian sudah tenggelam ditelan bumi." Dia tergelak setelah meledek kami.
"Too much," ejekku."Ann, kamu pasang sepatunya ya. Aku mau langsung meluncur." Aku pergi tanpa menatap mereka. Aku yakin saja Alex akan mengurus dia dan semua kebutuhannya. Bukannya seharusnya begitu.
Aku mengejar Martin yang sedang bermain ski bersama Nuria. Mereka kelihatan girang ketika bertemu aku. Seperti yang terlihat, aku bermain di papan ski meluncur dengan kecepatan tinggi. Apalagi aku bermain di track hitam yang memang diperuntukkan untuk pemain ski mahir.
Aku kejar- kejaran dengan Martin dan permainan ski ini menjadi seru. Kami meluncur hingga menghabiskan waktu hampir satu jam dan ketika aku merasa lelah, aku berhenti sejenak. Aku meluncur pelan menuju track hijau dan disambut oleh banyak penggemar yang berkali-kali meminta berfoto denganku. Setelah mereka pergi, aku melihat dari jauh Alex dan Ann. Lucunya, Alex menuntun Ann. Aku yakin Ann sama sekali tidak bisa bermain ice skating. Aku tersenyum sendiri melihat mereka. Alex sabar menuntunnya, hingga hampir saja Ann terjatuh tapi langsung ditarik Alex, secara spontan naluriku juga ingin segera menolong Ann, namun jarakku jauh darinya. Aku melihat mereka mematung sejenak, ahh tidak lama lagi bunga bunga cinta akan bersemi di hati mereka. Namun seketika ingatanku tertuju pada saat aku tidak sengaja mendapatinya hampir saja membuka handuknya di kamar tadi pagi. Sungguh yang tertanam dibenakku ekspresinya yang sangat shock dengan wajah yang tertutup sebagian rambutnya yang basah dan itu membuat dia benar benar terlihat seksi dimataku, belum lagi tubuhnya yang terlihat lembut dan indah dengan hanya separuh tertutup balutan handuk. Aku masih bisa merasakan debaran yang sama dengan detik insiden pagi itu.
Aku melihat mereka tertawa dan Alex sangat gembira. Bagaimana bisa saat ini aku merasakan takut dengan kegembiraannya? Tanpa aku sadari tubuhku terjatuh seketika aku merasakan ada yang menubrukku dan dia jatuh di sampingku, kami sama-sama terjatuh dengan posisi duduk.
"Maaf, Marc!"
Aku spontan melihat pada seseorang yang duduk disampingku.
"Paoli?"
_________--------------__________
Hola todos!
Leave your vote n best comment below ya.
Semoga masih menanti kelanjutan cerita ini.
Miss you n love you, good readers.
Muchas gracias
👋👋
MSH93
# MM93
#IAM93
#IAMWITHYOUMARC
#MARCMARQUEZ