Hai hai!
Saya gak tau ini berita bagus apa gak, tapi saya bahagia buat nyampein berita ini wkwk.
Saya bikin cerita baru lho judulnya Destraya.
Silahkan cek lapak sebelah, siap menerima krisar(;
HAPPY READING!
^^^-^^^
Mentari pagi menunjukkan batang hidungnya sembunyi-sembunyi. Mungkin Mentari malu, untuk menunjukkan diri saja harus berlindung di belakang gumpalan awan-awan hitam. Ini masih pagi, tapi tak ada yang menyambut hari dengan hangat. Langit pun enggan.
Dinginnya cuaca saat ini membuat seorang gadis berambut cepol memanjangkan tangan jaketnya hingga jari-jarinya tak terlihat. Sesekali badan itu menggigil merasakan hawa dingin yang merasuk ke tulang-tulang.
"Mau hujan," ucapnya seraya mengepalkan kedua tangannya menahan rasa dingin.
Matanya menoleh ke kanan, arah datangnya bis. Tak lama kemudian datanglah bis berwarna putih kuning. Tak mau mengulur waktu, segera ia menaiki bis itu bersama 3 penumpang lainnya. Lantas mencari bangku kosong belakang untuk ia tempati.
Mungkin kamu bertanya mengapa Nara naik bis dan tidak berangkat bersama Ayah dan juga saudara tirinya. Mr. Reyhan ada tugas kantor yang katanya sih mendadak alias emergency. So, Fishah berangkat sekolah bersama sopir dan dia berangkat sendiri. Namanya juga kesempatan, kan sayang kalau tidak dimanfaatkan dengan benar.
Setelah 20 menit menghangatkan pantas di bis. Sekarang waktunya untuk beranjak dan menunaikan kewajibannya sebagai pelajar. Disingkapnya tangan jaketnya yang tadi ia panjangkan untuk melihat pukul berapa sekarang.
Masih jam segini, batinnya tenang.
Tersisa waktu lebih kurang 10 menit sebelum bel masuk. Tapi jangan khawatir, ia tidak akan telat. Gerbang sekolah sudah di depan mata. Tak mungkin kan untuk sampai ke kelas memakan waktu 10 menit?
Nara melewati beberapa siswa yang tersebar di koridor sekolah. Ada yang pacaran pagi-pagi, melaksanakan piket kelas, dan ada yang kebut PR. Nara telah menginjakkan kaki di ruang pojok sebelah tangga, ruang D104. Mata indahnya berpencar mengamati sebagian temannya yang sudah datang.
"Vinnaraaa.. Kakak ipar Kang Asep.." sapa Asep bernada ceria.
Nara menyipitkan mata sinis kepada Asep. "Kakak ipar?" tanya Nara.
Asep berkacak pinggang dengan salah satu tangannya memegang sapu ijuk. "Iya Nara yang cantik. Good Morning... Sugeng Enjing (selamat pagi).." kata Asep tanpa meninggalkan suara medoknya yang khas.
Nara menggebrak meja pelan. "Tendang atau tonjok?" tawar Nara.
"Piye to (Gimana sih)? Kok Kang Asep disuruh milih hehe. Ndak ah, Kang Asep ndak mau milih," jawab Asep menyengir.
"Go away!" suruh Nara dengan volume keras. Alhasil Asep yang berdiri di sampingnya berjengkit kaget.
Asep memutar blangkonnya ke belakang, jadi terbalik. "Eleh eleh.. Kang Asep cuma pengen nyambut sampeyan (kamu) aja. Kan sampeyan (kamu) kakaknya Fishah.. permaisuri Kang Asep.." ucap Asep menjelaskan.
"I don't care. Piket sana.. yang bersih.. Kalo udah bersih ntar gue restuin," kata Nara dilembut-dilembutkan agar moodnya tidak hancur karena terbawa emosi.
Asep melebarkan matanya, "Bener? Sampeyan (kamu) gak bohong?"
Malas meladeni Asep yang terus cuap-cuap, Nara segera menyumpal pendengarannya dengan earphone putih.
Asep mengangkat sapu ijuk tinggi-tinggi bak pendekar. "YES! MASYA ALLAH! ASEP DIRESTUIN! ASEP DIRESTUIN!"teriak Asep bangga memamerkan kepada seisi kelas.
"Direstuin siapa, Sep?" sahut Ardi duduk di samping kembarannya, Aldi.
Tak menjawab, Asep malah membuka suara untuk Nara . "Ya wes (Ya sudah).. Kalo gitu Asep piket dulu yo? Oke?" tanya Asep bersemangat lalu berjalan ke depan kelas untuk menyapu.
Nara hanya mengangguk tanpa bersuara. Karena ia sendiri pun tak dengar Asep berbicara apa sebab volume earphone yang cukup keras. Sejatinya, Nara tak peduli tentang Fishah, Asep dan lain-lain, ia hanya mau ruang kelasnya bersih karena ia juga piket pada hari yang sama dengan Asep, Hari Selasa. Percayalah, selama menjadi pelajar Nara tidak pernah melaksanakan piket. Dia terlalu malas mengerjakan itu. Hanya sekali atau dua kali piket, itu pun jika kepergok guru.
Tepat 10 menit kemudian, bel masuk berbunyi. Dalam waktu 10 menit itu pula kelas terisi penuh. Bu Joko guru mata pelajaran Sains datang dengan wajah kalemnya yang menua termakan usia. Bu Joko adalah istri dari Pak Joko guru Olahraga. Bu Joko juga sang pemenang nominasi guru terfavorit di kelas X IPA 3. Because what? Sifat beliau yang lembut dan tidak segarang guru lainnya sering dijadikan peluang untuk berbuat curang saat ujian.
"Assalamualaikum anak-anak.." salam Bu Joko dengan tangan dikaitkan di depan perut.
"Wa'alaikum salam bu.." jawab seisi kelas.
Bu Joko tersenyum hangat. "Hari ini kita belajar bab baru ya? Karena kita sudah selesai yang bab pertama--" Blablabla.
Nara, cewek itu mendengarkan materi dari Bu Joko dengan suara samar-samar. Ini yang ia benci dari pelajaran Bu Joko, suaranya yang kelewat kalem tak sampai hingga ke bangku belakang. Mungkin hanya yang duduk di depan yang kedengaran. Beberapa kali ia menutup mulutnya karena menguap bosan. Matanya mulai terasa berat, perlahan ia mulai tergabung dalam dunia mimpi.
"Anak-anak kerjakan hal 39-44 ya? Jawabannya ditaruh di buku tulis aja biar gampang ngoreksinya.." perintah Bu Joko seraya membolak-balik lembar buku paket Sains.
"Iya bu. Dikumpulkan kapan?" tanya Arlan.
"Minggu depan aja. Jadikan satu terus taruh di meja ibu.. ruang guru. Ibu mau ke kelas XII IPA 1, jadi guru piket," jawab Bu Joko lalu keluar kelas tanpa membawa tasnya.
Seperginya Bu Joko, kelas berubah riuh. Mereka merasa bebas saat ini. Apalagi tugas tersebut dikumpulkan minggu depan. Mereka lebih mengutamakan bersantai ketimbang pusing mengerjakan soal-soal yang dipenuhi rumus kimia.
Suara bising tersebut tertangkap indra pendengaran Nara. Tidur nyenyaknya sedikit terusik karena suara yang mengganggu. Nara membuka buku paket Sains yang ia jadikan penutup. Seketika cahaya silau menyerbu kedua matanya yang sayu. Nara mengedarkan pandangannya mengamati teman-temannya yang berlomba-lomba berbicara dengan suara keras. Lantas mengalihkan atensinya pada meja pojok paling depan.
Nara menoleh ke belakang. "Bu Joko mana?" tanya Nara dengan suara serak.
Arlan mengangkat sebelah alisnya, mengamati muka bantal Nara, "Tidur lu ye?"
Nara mengangguk singkat dan kembali bertanya, "Bu Joko?"
"Keluar, piket buat anak kelas XII," sahut Sammy kawan sebangku Arlan.
Arlan berdiri mengangkat tasnya. "Sekarang!" ajak Arlan kepada Sammy.
Sammy melongo. "Sekarang nih?" tanya Sammy kepada Arlan.
"Yoi. Lama lu ah!" ucap Arlan berjalan ke atas meja karena Sammy tak berdiri menghalangi jalan Arlan.
Nara memperhatikan 2 cowok di belakangnya yang saling melempar kode. "Kemana?" tanya Nara penasaran.
Sammy menyeringai, "Ngikut yuk! Dijamin mantep."
"Cabut," sahut Arlan sedikit berbisik.
SWIWIIITTT!
Sammy bersiul memberi kode pada lainnya. Tapi Nara tak tahu siapa yang dikode Sammy. Sesaat kemudian Ardi dan Aldi bangkit menggendong tas ranselnya namun tetap berdiri di tempat.
"SIAP BROOOO.." kata Aldi.
"YUK!" ajak Ardi ikut berteriak.
"Ayo!" jawab Arlan bersiap melangkah namun Nara menarik lengan seragam Arlan mencegahnya.
"Gue ikut," jawab Nara membuat Arlan dan Sammy speechless.
"Yakin lo?" tanya Sammy tersenyum remeh.
Tak mau banyak kata, Nara segera berdiri menggendong tas ranselnya di bahu sebelah kanan dan berjalan mendahului Arlan dan Sammy yang mematung di tempat.
"Bacot," jawab Nara pelan tapi bisa didengar Arlan dan Sammy.
"WEHEHEHE WAGELASEH.. NARA DABEST DAH!" sorak Arlan petakilan.
^^^-^^^
Di sini lah Nara sekarang, di sebelah gudang belakang sekolah bersama keempat teman cowoknya. Ardi mengambil potongan batu bata lalu menempatkannya di bawah kaki bangku kosong patah agar tidak goyah. Setelah itu Aldi mengangkat balokan kayu untuk ditumpuk dijadikan tangga ditaruh di atas bangku. Pijakan yang tinggi akan semakin memudahkan mereka untuk mencapai ujung tembok. Sementara Sammy berjaga-jaga menyembunyikan diri denan wajah kewaspadaan kalau-kalau ada yang lewat.
Sammy mendekati teman-temannya. "Aman aman.." kata Sammy tanpa suara.
Ardi segera memanjat tembok dengan pijakan yang telah mereka siapkan. Yup! Ardi berhasil turun dengan sukses.
Arlan menoleh kepada Nara, "Lo dulu."
Nara menggeleng, "Gue terakhir."
Aldi menyahut, "Lo cewek. Buruan! Ntar kalo lo jatuh biar ada yang nangkep."
Nara meniup dahinya yang tak berponi. "Ntar lo ngintip. Lo dulu!" sahut Nara menahan emosi.
Tak mau banyak cekcok, Aldi yang selanjutnya memanjat, diikuti oleh Sammy.
Arlan menaikkan sebelah kakinya di atas bangku lalu menoleh kepada Nara. "Gue dulu nih. Kalo lo gagal jangan salahin gue. Jangan aduin kita juga.." Arlan memperingatkan. Nara berdehem.
Tinggalah Nara sendiri di sini. Ia menoleh kesana-kemari, dirasa masih aman, dengan cekatan ia menaiki pijakan dan memanjat tembok dengan mudah. Tak lupa ia tendang pijakan yang tertata itu agar tidak dicurigai orang lain sehingga bangku, batu bata dan balok kayu berserakan memencar.
HAP!
Nara sukses mendarat seperti empat cowok di depannya ini. Keempat temannya kagum dengan Nara. Cewek itu bisa memanjat tanpa bantuan siapa pun. Tak terjatuh atau pun gagal.
"Lo hobi cabut ye?" tanya Ardi tertawa.
Sammy bersendekap dada. "Bener! Lo kayaknya ahli panjat-memanjat gitu.."
"Udah-udah! Yok! Keburu ketahuan," sahut Aldi.
Nara memperhatikan sekelilingnya yang dipenuhi rerumputan dan ilalang yang tak terlalu tinggi, seakan-akan habis dipangkas. Pelu diketahui bahwa SMA Garuda bersebelahan dengan lahan kosong. Selama menjadi pelajar, tak pernah sekali pun ia coba-coba cabut. Dan ini menjadi eksperimennya yang pertama.
Setelah berjalan keluar dari area lahan, kini kelimanya berdiri di pinggir jalan raya. Nara menoleh ke kanan dan ke kiri mengamati keempat temannya tengah sibuk berbagi rokok dan pemantik.
Arlan mengambil 2 rokok untuk ia selipkan di telinganya dan satunya lagi di antara belahan bibirnya. "Korek korek," minta Arlan kepada Sammy.
Sammy menyalakan pemantik pada ujung rokoknya tergesa, "Sabaaarrr."
"Gue juga bawa," ujar Ardi menunjukkan korek api yang ia keluarkan dari saku jaket. Dan segera direbut Arlan.
"Dari tadi kek," kata Arlan seraya membakar rokoknya dengan pemantik Ardi.
"Mau?" tawar Aldi menyodorkan kotak berisi beberapa gulungan tembakau kepada Nara.
Nara menggeleng menolak. "Thanks. Kalo cabut lagi, kabarin gue," pesan Nara dan berjalan menjauhi Arlan dan kawan-kawan.
"LO MAU KEMANA RA?" teriak Aldi penasaran. Nara menoleh sekilas tanpa berniat menjawab.
Sammy memasukkan pemantiknya ke saku celana. "Tuh cewek gak ketebak emang," sahutnya denga mata tetap mengamati Nara yang semakin menjauh.
Ardi menyahut, "Biarin. Ayo!" ajaknya dan keempatnya meninggalkan tempat berjalan berlawanan arah dengan Nara.
^^^-^^^
Nara berjalan dengan mata menyipit karena silau cahaya yang dipantulkan jalanan. Ia pikir hari ini akan turun hujan, mengingat tadi pagi langit nampak suram dengan awan hitam di mana-mana. Nyatanya hanya sekedar mendung dan kembali cerah seperti biasanya. Nara membelokkan langkahnya menuju mini market.
"Selamat datang," salam karyawan laki-laki mini market dan dibalas anggukan oleh Nara.
Nara mengambil sekeranjang belanja berwarna merah. Lantas menghampiri rak tempat camilan dan makanan ringan bersemayam. Dengan cekatan ia mengambil kripik singkong 3 bungkus, makanan ringan 3 bungkus, roti isi cokelat 5 bungkus. Ia meneruskan langkah membuka lemari pendingin mengambil 4 teh botol, 4 yoghurt cair, 4 kotak susu cokelat, dan 4 kaleng cola. Nara mengamati keranjang belanjanya yang memberat dan dipenuhi bermacam-mcama camilan.
"Segini cukup?" tanyanya pada diri sendiri seraya mengobrak-abrik isi keranjang. "Cukup kayaknya," jawabnya sendiri.
Segera ia mendekati meja kasir. Walau mini market tak begitu ramai tapi di depannya sudah ada 2 orang berbaris mengantri. Sembari menunggu, Nara menoleh ke berbagai arah tak sengaja ia melihat obat merah tertata rapi bersama kawanan obat lainnya. Ia beralih menatap lututnya yang lumayan mengering, seketika air mukanya berubah sendu. Mengingatkannya pada kejadian semalam bersama Gerald.
"Selamat datang Mbak. Belanjaannya?" tanya pegawai kasir perempuan memecahkan lamunannya.
"Iya ini.." ujar Nara seraya menyerahkan keranjang belanjaannya.
"Semuanya Rp. 89.500," ucap pegawai kasir.
Nara menyodorkan selembar uang seratus ribuan yang langsung disabet pegawai kasir untuk mengambil uang kembalian.
Pegawai kasir memberikan uang kembalian, "Ini kembaliannya."
"Makasih," singkat Nara seraya mengambil uang kembalian dan sekantong plastik lumayan besar belanjaannya.
"Terima kasih kembali," balas pegawai kasir ramah.
"Selamat datang Ibu. Belanjaannya ya Ibu?"
"Ini Mbak."
Nara berjalan keluar dari mini market. Ia menoleh ke kiri mendekati 3 orang ojek yang berteduh di bawah pohon.
"Ojek dek?" tawar salah satu tukang ojek.
"Iya Mas," jawab Nara.
Tukang ojek memberikan helmnya kepada Nara dan langsung dipakai Nara.
Butuh waktu 20 menit untuk sampai pada tujuan. Sebenarnya jarak yang ditempuh tak terlalu jauh. Tapi keadaan jalanan Jakarta yang bertambah macet saat siang hari malah mengolor-olor waktu.
"Berapa mas?" tanya Nara kepada tukang ojek.
"Dua puluh rebu (Dua puluh ribu)," jawab tulang ojek dengan logat khas Bandung.
"Nih. Makasih Mas," ucap Nara sembari menyerahkan selembar mata uang berwarna hijau.
"Sama-sama dek," ramah tukang ojek.
Nara mendekati gerombolan anak-anak kecil dan juga cowok yang tersenyum kepadanya di bawah rumah kayu super sederhana. Rumah itu pula yang mejadi pencaharian Rendra sehari-hari. Ia membuka usaha bengkel motor. Rendra terpaksa putus sekolah karena sang Ayah yang berprofesi sebagai tukang ojek belum mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Mau tidak mau ia harus mengorbankan sekolahnya.
"Ra? Kok lo bisa kesini?" tanya Rendra sembari berdiri.
"Bisa lah teleportasi," jawab Nara bergurau.
Rendra memegang bahu kanan Nara, "Ra yang bener. Apa jangan-jangan.. lo cabut?"
"Seratus juta rupiah buat Mas Rendraaa.." jawab Nara riang.
Dahi Rendra berkerut, "Ra.. gue gak mau lo kena masalah lagi. Bokap lo-.."
"Udah ah! Jangan cerewet gitu deh. Gue kesini karena kangen sama Dino dan temen-temen. YA KAN TEMEN-TEMEN?"
"IYAAA.." jawab anak-anak kecil di depan Nara serempak.
"MAU INI GAK? KAK NARA BAWA CAMILAN LHOO.." teriak Nara menteng keresekan camilan.
"MAUUUU.." teriak keempat anak-anak di depannya menyerbu keresekan camilan Nara.
"Jangan berebut adek-adek! Jangan ambil kaleng cola ya? Kalian yang susu dan yoghurt aja.. Gak baik buat tubuh kalo kalian minum soda.." nasihat Nara.
"Iya Kak Nara.. Kak Nara baik banget. Makasih ya. Susunya enak hehe.." ucap Dino bertubuh gendut dengan kotak susu yang hendak ia coblos dengan sedotan.
Nara mengambil alih kotak susu Dino untuk ia bantu memasukkan sedotan di lubangnya. "Iya sayang sama-sama.." katanya ramah memmberikan susu ke Dino.
Rendra menatap wajah riang Nara menghibur anak-anak. Dan Nara sadar akan hal itu.
"Woi! Lo ngapain ngeliatin gue gitu?" Nara menoel-neol bahu Rendra. "Terpesona ya sama kecantikan gue?" lanjutnya percaya diri.
"Ge-er," cibir Rendra.
Nara duduk di kursi plastik namun dihalangi oleh Rendra.
"Bentar-bentar," cegah Rendra.
"Lho kenapa?" tanya Nara tak paham.
"Gak papa. Ini kotor ada bekas oli. Ntar seragam lo kotor," kata Rendra seraya mengelap kursi dengan kain.
"Yaelah gue kira kenapa. Olinya cuma dikit," sahut Nara tertawa.
"Sama aja. Dah. Duduk sini," suruh Rendra.
Nara menduduki kursi tersebut. "Enak ya jadi lo, bisa hidup bebas tanpa kekangan. Semua selalu ada buat ngedukung lo. Sedangkan gue? Gue.. bukan apa-apa."
Rendra mengambil kaleng cola di kresek yang Nara pegang dan meneguknya. Matanya merem melek merasakan sensasi cola.
"Orang tua mau yang terbaik buat anaknya. Tapi.. kalo orang tua yang terlalu ambisius kayak bokap lo malah menyakiti perasaan dan mental anaknya," ucap Rendra.
Nara mengganti posisi menyamping menghadap Rendra, "Ren, lo ada kost cewek gak? Yang murah gitu, pokoknya aman & nyaman.."
Rendra mengerutkan dahi, "Kost?"
Nara mengangguk, "Iya kost."
"Buat siapa?" tanya Rendra.
Nara menunduk tersenyum miris, "Gue Ren.."
Rendra menegakkan tubuhnya, "Buat lo?! Maksudnya?"
Nara mengangguk lagi, "Panjang ceritanya Ren. Untuk saat ini gue gak sanggup ngejelasin semuanya ke lo. Terlalu menyakitkan.. akan lebih baik gue keluar dari rumah itu. Semua yang ada pada diri gue gak bisa bikin Ayah bahagia. Walaupun.. gue berusaha sebaik mungkin dengan cara gue sendiri untuk nyenengin Ayah. Tapi itu semua gak ada apa-apanya buat Ayah.." ucapnya sendu dengan mata berkaca-kaca.
Rendra menggenggam tangan Nara yang menggenggam kresek plastik, "Gue akan bantu lo.."
Nara tersenyum, "Makasih Ren."
Rendra membalas senyuman Nara, "Sama-sama. Udah gak usah mewek gitu.."
Nara memukul bahu Rendra pelan, "Apa sih? Gue gak mewek kali hahaha.."
--TBC--