"Jae..." lirih Taeyong lemah. Jaehyun mentatap Taeyong tetap dengan tatapan tajamnya.
Tak menanggapi tatapan Taeyong yang memohon. "Hentikan Jae..."
Jaehyun menghentikan pergerakannya. Walaupun matanya tetap menatap Taeyong tajam. Taeyong bernafas lega. Pemuda itu kembali menurunkan kausnya yang sempat Jaehyun naikkan.
Namun tak beberapa lama, Taeyong terbelalak. Tangan Jaehyun bergerak untuk membuka kancing kemeja yang dipakainya.
"Jae?"
Jaehyun tersenyum miring. Tangannya kembali menggenggam erat kedua tangan Taeyong. "Nikmati saja. oke?"
Lalu pemuda itu mulai mencium bibirnya kembali. Taeyong meringis. Ciuman Jaehyun lebih kasar kini. Dengan lumatan, gigitan, dan hisapan yang semakin keras. Membuat Taeyong melenguh tak nyaman. Ditambah dengan aroma alkohol yang tadi diminum pemuda itu.
Taeyong menangis. Lagi. Pemuda itu berdoa, kalaulah memang dia harus berakhir seperti ini, beri dia kekuatan.
Taeyong kembali melenguh saat tangan Jaehyun mulai menjalari tubuh bagian depannya lagi. Meremas dadanya kuat dan mencium bibirnya kasar.
Tiba-tiba tubuh pemuda itu berhenti bergerak. Lalu terjatuh dengan bibir yang saling bersentuhan, menindih tubuh Taeyong yang berada dibawahnya.
"Hei."
Dengan mata yang masih mengabur, Taeyong mendongak. Tubuhnya yang tadi menegang, kini mulai melemah. Lega.
Taeyong tak tahu kapan Yuta dan Winwin masuk dan kini berdiri disamping ranjang Jaehyun. Yuta menarik lengan Jaehyun dan menghempaskan pemuda itu ke tempat tidur. Membebaskan Taeyong dari kukungan ketakutannya.
"Winwinie..." lirih Taeyong lemah.
"Kau tak apa-apa kan Taeyongie?" Winwin duduk di sisi ranjang dan mendudukkan tubuh Taeyong. Saat itu pula Taeyong langsung memeluk pemuda berkulit putih susu tersebut. Menangis tersedu-sedu di bahu sahabatnya.
"Shhh... Sudah tidak apa-apa Taeyongie," ucap Winwin menenangkan. Diliriknya Yuta yang kini sedang memperbaiki pakaian Jaehyun dan menyelimuti pemuda itu.
Yuta duduk di sisi lain Taeyong dan menepuk kepala pemuda itu pelan. "Maaf kan dia ya?"
Taeyong melepas pelukannya pada Winwin dan mengangguk. Ditolehkannya kepala kebelakang dan mendapati Jaehyun sudah tertidur. Tak lagi mengigau apalagi berbuat nekat seperti tadi. "Apa yang kau lakukan padanya?"
"Yuta menekan salah satu titik syaraf Jaehyun. Sebenarnya tidak terlalu berdampak apa-apa, seandainya dia tidak mabuk seperti itu," jelas Winwin.
Taeyong bernafas lega dan memperbaiki pakaiannya. Pemuda itu terlalu shock untuk mengatakan apa-apa.
"Kuantar kau ke kamarmu ya?"
Sejak malam itu, Taeyong lebih sering berdiam diri. Diperlakukan seperti itu oleh seseorang yang mabuk, walaupun itu kenalanmu, cukup membuat pemuda itu terkejut. Taeyong tak lagi datang ke aula untuk sarapan bersama.
Pemuda itu menghela nafasnya berat. Ditolehkannya kepala dan menatap Ten yang sedang tertidur di pembaringan rumah sakit. Kini dia lebih sering mengunjungi Ten di rumah sakit daripada harus berada di asrama. Berdekatan dengan Jaehyun membuat dia panas dingin dan tak nyaman. Sudah tiga kali pemuda itu melakukan hal yang tak mengenakkan.
Keadaan Ten sendiri semakin membaik. Jika dia tak salah dengar, Johnny tadi mengatakan bahwa lusa Ten sudah bisa pulang ke asrama. Mata pemuda yang tadi terpejam itu perlahan membuka. Memperlihatkan sepasang mata bermanik coklat tua di balik kelopak indahnya.
"Sudah bangun Tennie?"
Ten menoleh kearah sumber suara dan mendapati Taeyong duduk dan tersenyum di samping ranjangnya seraya mengelus pelan punggung tangannya. Ten pun ikut tersenyum. "Kau disini Taeyongie?"
Taeyong mengangguk.
Ten mengedarkan pandangannya dan merasakan ada seseorang yang pergi. "Dimana Johnny hyung?"
Taeyong membantu Ten untuk bersandar dikepala ranjang ketika pemuda itu bergerak bangun. "Dia menemui dokter. Kau tahu lusa dirimu sudah bisa pulang?"
Ten mengangguk. "Ya."
Taeyong mengambil segelas air putih dan membiarkan Ten meminumnya habis.
"Kau terlihat sedih belakangan ini Taeyongie. Apa terjadi sesuatu?" Ten bertanya seraya mengelap pinggiran bibirnya yang basah karena air yang tadi diminumnya.
"Eh?" Taeyong terkejut. Tak menyangka Ten dapat membaca raut wajahnya.
Ten mengangguk, "ya. Kau terlihat sering murung. Ada yang mengganggu pikiranmu?"
Taeyong menunduk. Mungkin menceritakan kejadian itu pada Ten sedikit bisa mengurangi bebannya.
Ten menganga tak percaya saat Taeyong bercerita. Bahkan pemuda itu tak sanggup mengatakan apa-apa saat Taeyong terdiam menunggu tanggapannya.
"Tennie..."
Ten gelagapan. "Jaehyun melakukan itu padamu?!"
Taeyong mengangguk.
"Oh, Taeyongie," direngkuhnya teman sekamarnya ke dalam dekapannya, "aku mengerti kenapa kau sering diam belakangan ini."
Taeyong mengangguk. Menikmati pelukan sayang dari sahabat pertamanya yang nyaman.
"Kau tak apa-apa sekarang?" Ten melepas pelukannya dan memandang mata Taeyong dengan rasa kasihan.
"Aku tidak apa-apa. Hanya saja belum siap untuk bertemu dia." Taeyong tersenyum kecut.
Ten mempoutkan bibirnya. Terlihat kesal. "Mungkin aku harus meminta Johnny hyung untuk mencabut peraturan tak jelas mengenai alkohol itu."
Taeyong diam tak menanggapi.
Jaehyun merebahkan kepalanya di atas lipatan tangannya. Membaringkan tubuhnya di bawah pohon di taman asrama. Tampat favoritnya. Berada di taman asrama di sore hari memang menyenangkan. Sinar matahari harus berusaha keras untuk menembus jalinan dedaunan rimbun dari pohon-pohon besar disana.
Pemuda itu termenung. Tak mengerti dengan beberapa kejadian beberapa hari belakangan ini. Dimulai dari hangover saat pagi ketika malamnya berada di pesta yang diadakan Seungcheol. Jaehyun membodohi diri sendiri saat itu. Sudah tahu tak kuat minum, dia nekat meminum banyak alkohol malam itu.
Lalu Taeyong yang kini kembali menghindarinya. Jaehyun heran sekali, pemuda itu sama sekali tak pernah ada di aula lagi saat sarapan. Jikapun mereka bertemu berpapasan, Taeyong akan memutar balik arah jalannya, menghindari Jaehyun.
Pernah suatu kali Jaehyun mengejar pemuda itu. Namun dengan cepat pemuda itu menghilang dari pandangan matanya. Menelepon? Tak diangkat. Mengirimi pesan? Tak dibalas. Apa yang membuat Taeyong kembali menghindarinya?
Hingga puncaknya adalah tadi siang. Doyoung menerobos memasuki kamarnya dan mengamuk. Mengata-ngatai Jaehyun bahwa pemuda itu memang brengsek. Jaehyun tak heran dengan omongan kakak sepupunya itu. Kadang pemuda itu marah dengan cara mendiamkannya, namun tak jarang pula pemuda itu memarahinya dengan galak.
Jaehyun mengelus lengan atas sebelah kanannya. Kakak sepupunya itu menyerangnya dengan ganas tadi. Memukul lengannya, dadanya, bahkan kepalanya. Dia sendiri? Hanya bisa memandangi sepupunya bingung. Satu kata yang diingatnya ketika tadi hyungnya sebutkan saat mengamuk.
"Taeyong."
Jaehyun yakin, ada sesuatu yang terjadi padanya dan Taeyong. Tapi apa?
Ponselnya berdering. Masih dengan berbaring, Jaehyun merogoh saku celana pendeknya dan mengambil handphonenya.
"Siapa ini?" gumamnya saat mendapati nomor asing yang menghubungi ponselnya.
"Halo?"
"Jung Jaehyun." Terdengar suara berat seorang pemuda disana.
"Ya?"
"Apa kabarmu?"
"Siapa ini?"
Jaehyun menjauhkan ponselnya saat suara tawa menggelegar yang memasuki gendang telinganya.
"Kau tak ingat aku?"
"Jika tak ada perlu denganku, aku tutup," ucap Jaehyun dingin. Pemuda itu malas berbasa basi.
"Ya ya ya. Jaehyun! Jangan seperti itu pada hyungmu sendiri."
Dahi Jaehyun mengernyit. Hyung? Selama ini yang dianggapnya hyung hanyalah Johnny, Yuta dan Taeil. Oh, mungkin Seungcheol juga. Tapi suara pemuda ini jelas bukan salah satu dari mereka.
"Aku tak kenal siapa kau."
Kembali suara tawa itu terdengar. "Sombong sekali kau Jaehyun-ah! Aku Chanyeol."
Seketika Jaehyun menegang. Raut wajahnya berubah mengeras. Diapun segera mengubah posisi menjadi duduk.
"Mau apa kau?"
"Mauku?"
Ten telah pulang ke asrama. Setelah seminggu lebih menjalani perawatan di rumah sakit, pemuda itu akhirnya kembali ke asrama dengan diantar kedua orang tuanya beserta ayah Johnny. Terlihat wajah bahagia Ten saat kembali menapaki lantai gedung asramanya.
Meskipun dia dan Johnny baru saja melewati masa-masa terberat sebagai remaja, Ten tak menyerah. Itu semua menjadi pelajaran yang harus bisa dipahami olehnya dan Johnny sendiri.
Ten membaringkan tubuhnya di ranjang milik Johnny. Ya. Pemuda itu belum bisa membiarkan Ten diluar pengawasannya. Jadilah beberapa hari -atau mungkin minggu- kedepan Ten akan berada sementara dikamar besar milik pemuda Chicago itu.
"Apa aku harus berdiam di kamar hyung?" Pemuda itu menutupi sebagian wajahnya dengan selimut. Sedikit merasa malu saat melihat kekasihnya yang sedang menyusun pakaian miliknya di lemari milik Johnny. Oh, wajah Ten kini memerah. Baru saja Johnny memasuki pakaian dalamnya, bercampur dengan pakaian dalam milik pemuda itu. Orang tua mereka sudah pulang. Teman-teman mereka pun sudah kembali ke sekolah.
"Ya." Johnny kembali membenahi pakaiannya dan Ten. Dirinya pun ikut menginap di rumah sakit menemani kekasihnya. "Kau akan berada disini untuk beberapa waktu."
"Tapi kau kan harus sekolah juga hyung!"
Johnny menyimpan tas besar yang mereka gunakan kedalam lemari. "Aku sudah meminta izin pada Paman Lee. Beberapa guru juga akan sesekali datang kemari mengajarimu. Akupun akan mengajarimu supaya kau tak ketinggalan pelajaran baby."
Ten mencibir, "ya. Paman Lee memang selalu mendukungmu. Aku heran, kenapa kita bisa mempunyai kepala sekolah seperti Lee Sooman."
Johnny tersenyum kecil. Lalu mendekati kekasihnya dan membelai rambutnya sayang. Ten sempat merona mendapati senyum Johnny dan perlakuan lembut kekasihnya. "Karena dia itu pamanku, baby."
Ten kembali merubah wajahnya menjadi kesal. "Lalu kenapa jika dia pamanmu?"
Johnny menggedikkan kedua bahunya. "Tentu saja dia harus mendukung keponakannya."
Ten menggerak-gerakkan bibirnya kesal. Tahu begini, sama saja seperti dia masih berada di rumah sakit.
"Jangan seperti itu." Johnny mengecup singkat bibir yang sedang mengerucut itu. "Aku harus memastikan kau baik-baik saja."
"Aku baik-baik saja, hyung. Mungkin hyung yang sekarang sakit. Hyung semakin cerewet saja."
Johnny menaikkan kedua alisnya. "Apa aku cerewet?"
Ten mengangguk.
"Kau ingin aku seperti dulu lagi?"
Ten berpikir seraya menatap dinding kamar didepan matanya. Seketika itu pula dia bergidik. Wajahnya berubah ngeri. Samurai yang pernah Johnny pakai saat mengamuk menggantung disana.
Johnny mengikuti arah pandang kekasihnya. Pemuda itu terkekeh kecil. Kembali dikecupnya bibir kekasihnya. "Aku tak akan seperti itu lagi."
"benarkah?"
Johnny mengangguk . "Sekarang, istirahatlah."
Malam ini begitu sepi dan dingin. Pemuda itu berjalan pelan di koridor-koridor gedung asrama. Waktu sudah menunjukkan jam malam dimana penghuni sudah harus berada di kamar. Pemuda berambut coklat itu menghela nafasnya.
Masih diingatnya tadi siang, saat pujaan hatinya mengantar teman sekamarnya yang kini berada di kamar hyungnya, pujaan hatinya tetap menghindar darinya. Pujaan hatinya tak sekalipun membiarkan mereka berdekatan ataupun berpandangan.
Pemuda itu mengeratkan jaketnya. Masih diingatnya saat mereka berdua berjalan bersama malam itu. Saling terbuka dan membicarakan banyak hal. Yang berakhir dengan tak terduga. Dia kehilangan kepercayaan dari pemuda mungil itu.
Ia tersentak. Langkahnya terhenti. Terakhir kali pujaan hatinya itu menghindar darinya karena perlakuannya yang sedikit melenceng. Mungkinkah kini pemuda manis itu menghindar karena dia kembali seperti itu? Tapi kapan?
Tak perlu lama berpikir, ia memukul dahinya. Hanya satu jawaban yang memungkinkan. Saat dirinya mabuk. Ya. Saat dia hilang kesadaran.
Mengacak-acak rambut coklatnya, Pemuda itu berbalik. Berjalan cepat menuju ruang keamanan. Menemui penjaga asrama. Memberikan laporan malam rutin mengenai keadaan asrama dan sedikit urusan. Meminjam kunci sebuah kamar di asrama mereka.
Pintu itu terbuka. Seseorang masuk dan kembali menutup pintu. Kamar itu gelap. Mungkin tidak terlalu gelap karena masih mendapat bias cahaya dari lampu koridor.
Sesosok tubuh berbaring disalah satu ranjang. Sedangkan ranjang lainnya terlihat kosong. Masih rapi tak tersentuh.
Pemuda itu melangkah makin dalam memasuki kamar. Lalu berjongkok disamping ranjang yang sedang ditiduri seseorang. Bisa diciumnya wangi lavender dari sana. Wangi yang diketahuinya sebagai aroma terapi yang membuat tenang. Pemuda itu tersenyum. Salah satu tangannya terangkat membelai rambut halus dan tangan lainnya menggenggam salah satu tangan milik seseorang didepannya.
Wajah yang sedang tertidur itu begitu damai. Begitu alami dan natural. Begitu cantik. Manis. Ia seorang lelaki tetapi wajahnya begitu lembut seperti wanita. Dan masih banyak kalimat agung yang dipikirkan Pemuda itu mengenai wajah pujaan hatinya. Hanya wajahnya. Jika sudah menyangkut kepribadian pemuda itu, beribu-ribu kata pujian dan kekaguman yang bisa menggambarkan makhluk indah ini.
Wajah pemuda itu mendekat. Mencium kening Taeyong lama. Menyalurkan permintaan maaf dan sayang yang belum sempat tersampaikan secara langsung. Masih bisa diingatnya, pemuda itu merona saat dia mengatakan bahwa pujaan hatinya itu mirip sekali dengan ibunya. Dia yang sudah kehilangan sosok ibu juga ayah sejak beberapa bulan yang lalu, kembali menemukan gairah hidup dalam menyayangi seseorang sepenuh hati.
Diturunkannya wajah tampannya itu. Senyum terus melekat dibibirnya. Matanya terpejam dan menempelkan kedua hidung mereka. Menyesap hembusan nafas yang baru saja pemudanya keluarkan. Hembusan nafas pemudanya adalah nafas baru baginya. Nafas baru untuk kelanjutan hidupnya.
Wajah itu sedikit bergerak miring. Mengecup pelan bibir yang terkatup itu. Butuh beberapa saat hingga dirinya melepaskan kecupannya lalu kembali menempelkan hidung dan kening mereka. Senyumnya merekah lebar ketika merasakan bahagia yang membuncah dari dalam dirinya. Ingin rasanya kedua lengannya merengkuh tubuh yang tertidur tenang itu.
Mungkin setelah ini dia akan menduplikat kunci kamar Taeyong. Persis seperti apa yang dilakukan salah satu hyungnya pada kekasih hyungnya itu. Agar dia bisa masuk setiap malam dan memandang wajah tenang pemudanya yang sedang tertidur. Menatap kembali wajah didepannya, pemuda itu sadar. Dia tak bisa lepas dari Taeyong.
"Doyoung sangat marah padamu."
Jaehyun tak merespon apa yang baru saja Taeil ucapkan. Pemuda itu hanya berdiri diam dibalkon kamarnya.
"Jaehyun."
"Aku bisa apa hyung?"
Taeil menghela nafas berat. "Kau tahu kenapa dia marah padamu?"
Jaehyun mengangguk. "Aku bisa menebaknya."
"Kau sudah minta maaf?"
Jaehyun menggeleng. "Taeyong bahkan menghindariku."
Menepuk bahu adiknya, Taeil berucap, "kau sudah dewasa. Jangan sampai salah melangkah. Lagi."
Jaehyun mengangguk. "Aku mengerti."
Taeil berjalan keluar. Meninggalkan Jaehyun entah dengan apa yang sedang dipikirkan pemuda itu.
Mata Jaehyun terpejam kala sinar matahari sore menyinari balkon kamarnya. Inilah yang dilakukannya jika ingin menenangkan diri.
Ponselnya bergetar tanda sebuah panggilan masuk. Jaehyun merogoh ponsel yang ada disaku celana pendeknya.
Chanyeol
"Dia lagi," gumamnya kesal. Ingin rasanya menolak panggilan itu. Namun percakapan mereka ditelepon saat itu memberikan kesan penasaran akan kalimat gantung yang diucapkan pemuda bernama Chanyeol itu.
"Ada apa?" ketus Jaehyun.
"..."
"Aku tidak akan menjawab panggilanmu jika aku menghindarimu."
"..."
"Ucapkan saja keperluanmu. Jangan terlalu lama berbasa-basi."
"..."
"Bantuanku?"
"..."
"Aku tidak mau." Suara Jaehyun terdengar tegas.
"..."
Mendengar nama Doyoung, rahang Jaehyun mengeras. "Jangan sekalipun menyentuh hyungku."
Tawa terdengar dari seberang. "..."
Namun bukan hanya Doyoung, nama lain pun Chanyeol ucapkan. Membuat Jaehyun meremas keras pinggiran pagar balkonnya. "Aku. Akan. Membunuhmu. Jika. Kau. Menyentuh. Lee. Taeyong."
Panggilan itu terputus.
Kepalan tangan Jaehyun memukul besi pagar didepannya dengan keras. Tak dipedulikannya rasa sakit yang menjalar tiba-tiba akibat kelakuannya itu. Matanya terpejam erat menahan emosi. Nama terakhir yang diucapkan Chanyeol membuatnya tak bisa mengendalikan amarah. Dari mana pemuda itu tahu mengenai Taeyong?
Pusing memikirkan apa yang harus dilakukannya, Jaehyun berjalan turun menuju taman asramanya. Berjalan-jalan di suasana sore yang tenang dan cerah mungkin bisa menghilangkan kekesalannya.
Dengan kedua tangan yang tersembunyi didalam saku celana pendeknya, Jaehyun terlihat sangat mempesona. Beberapa kali nama pemuda itu dipanggil oleh beberapa wanita yang sedang bersantai bersama ditaman asrama mereka.
Kebanyakan adalah teman kencan Jaehyun dulu. Menatap Jaehyun dengan tatapan menggoda dan mengharap. Namun Jaehyun hanya menanggapinya dengan menaikkan sedikit salah satu sudut bibirnya. Sudah tak berminat dengan wanita-wanita itu. Tentu saja. Dia sudah punya pujaan hati.
Langkah kakinya berjalan menuju tempat favoritnya. Pohon besar yang ditanam di pojok taman. Tempatnya untuk sekedar berbaring dan memejamkan mata menikmati ketenangan.
Matanya memicing saat mendapati sudah ada orang lain yang menempati rerumputan di bawah pohon favoritnya. Orang itu tertidur miring. Beberapa buku dan sebuah tas ransel tergeletak didekatnya.
Dengan menebak-nebak, Jaehyun berjalan pelan. Penghuni asrama tahu bahwa di sana adalah tempatnya. Tempat milik seorang Jung Jaehyun. Tak pernah ada penghuni yang mengambil alih tempat itu. Kecuali satu kemungkinan. Orang baru.
Berjongkok di depan tubuh yang tertidur itu, Jaehyun tersenyum. "Taeyong."
Pemuda itu ikut membaringkan tubuhnya. Mengambil posisi kesukaannya. Menempelkan hidung mereka berdua dan menggenggam salah satu tangan Taeyong. Matanya ikut terpejam.
Cukup lama mereka berbaring berdampingan. Jaehyun tak tidur. Dia tak bisa tidur. Hanya sekedar mencari ketenangan batin dengan menatap wajah pujaan hatinya. Taeyongnya.
Jaehyun paham betul dengan Taeyong yang menghindarinya. Namun Jaehyun tak bisa memaksa Taeyong untuk kembali menerimanya berada disamping pemuda itu. Dengan sedikit tak rela, Jaehyun bangkit dari pembaringannya sebelum Taeyong terbangun.
Sebuah benda yang dibawa Jaehyun terjatuh. FN Five-Seven. Pistol favoritnya itu terjatuh dari belakang celana tempat Jaehyun menyimpannya. Menimang-nimang benda itu sebentar, Jaehyun memantapkan pemikirannya.
Diletakkannya pistol itu disisi Taeyong. Merobek kertas dari salah satu buku milik pemudanya, Jaehyun meninggalkan pesan. Lalu pemuda itu berlalu.
Taeyong berjalan bolak balik dikamarnya. Sesekali berhenti dan memandangi benda yang baru saja ditemukannya tadi sore. Benda hitam yang kini tergeletak di atas meja nakas disamping tempat tidurnya. Bersamaan dengan secarik kertas berisi pesan dari seseorang yang dia tahu pasti.
Jaehyun.
Simpan ini. Untuk berjaga-jaga.
Taeyong memijat pelipisnya pelan. Bagaimana bisa pemuda itu meninggalkan benda itu padanya? Taeyong merasa dirinya tak memerlukan senjata itu. Untuk apa? Apa nyawanya terancam? Tidak 'kan?
Malam semakin larut. Berniat menutup tirai jendela kamarnya, Taeyong berjalan kearah jendela. Tak sengaja matanya menatap lantai 3. Saat itulah Taeyong melihatnya.
Jaehyun berdiri dibalkon kamarnya. Memandang lurus kearahnya. Taeyong terdiam. Saling bertatapan.
'Kau menghindariku lagi?'
'Kau yang membuatku seperti itu.'
'Aku minta maaf.'
'Kau membuatku takut padamu. Lagi.'
'Lupakan saja masalah itu. Kau makan dengan baik? Aku tak pernah melihatmu diaula saat sarapan. Makan siang dan makan malam pun kau jarang ada.'
'Aku makan bersama Ten dikamar Johnny. Ada Johnny juga disana.'
'Tidurmu nyenyak?'
'Ya.'
'Syukurlah. Jaga dirimu.'
Entah kenapa, dengan bertatapan seperti itu Taeyong merasa mereka sudah saling mengutarakan apa yang masing-masing mereka rasakan. Cepat Taeyong menutup tirai jendelanya. Bergidik dengan apa yang baru saja hinggap dipikirannya. Dikiranya mereka berdua bisa bertelepati, eh?
"Aku bisa gila."
Berkali-kali Taeyong memimpikan hal yang sama dalam tidur malamnya. Pemuda itu mengernyitkan kening. Dia tahu dia sedang tidur sekarang. Namun kenapa rasanya sangat nyata?
Bibir sedikit dingin yang kenyal itu menyentuh bibirnya. Ehm, ya, mencium. Walaupun hanya saling menempelkan bibir. Taeyong menikmatinya. Dia akui itu. Rasanya nyaman. Membuat dadanya membuncah karena detak jantung yang tak beraturan.
Ingin menikmati mimpinya, Taeyong menggerakkan sedikit bibirnya. Namun, bibir yang menciumnya malah diam tak merespon. Membuat Taeyong kembali berpikir, bahwa ini bukanlah mimpi yang menyenangkan.
Tapi beberapa detik setelahnya, Taeyong bisa merasakan. Bibir itu bergerak. Walaupun sangat pelan. Meski begitu, Taeyong kembali menggerakkan bibirnya. Mencoba mengimbangi pergerakan pelan dari lawannya.
Ciuman manis itu kini terlepas. Taeyong tersenyum senang dan bahagia dalam tidurnya. Malam ini, dan malam-malam lainnya, mimpinya sangat indah.
"Apa kolom yang ini juga harus diisi, guru Kim?"
Taeyong mendongak bertanya pada guru cantik yang duduk didepannya. Gurunya itu sengaja memanggilnya di saat jam pelajaran terakhir yang kebetulan diisi oleh guru itu sendiri. Meninggalkan murid-murid, teman sekelas Taeyong, dengan belasan soal matematika sedangkan Taeyong sendiri malah diculik oleh gurunya sendiri.
Kim Heechul mengangguk. "Ya. Itu harus diisi. Form aplikasi ini untuk melengkapi datamu, Lee Taeyong."
Taeyong mengangguk patuh. "Baiklah."
Ruang guru itu sepi. Tentu saja. Sebagian besar guru sedang mengajar pelajaran yang diampunya dikelas-kelas. Sedangkan beberapa guru lain entah kemana dengan urusan pekerjaannya masing-masing. Hanya ada seorang guru pria yang Taeyong kenal sebagai guru Choi yang duduk dimeja kerjanya. Sedangkan guru Kim dan dirinya sendiri duduk saling berhadapan di sofa yang ada di ruang guru tersebut.
Pintu diketuk dari luar. Guru Kim menoleh kearah pintu. Begitu pula Taeyong. Tiga orang pemuda berpakaian jaket hitam berdiri didepan pintu. Guru Choi bergegas bangkit dan menghampiri.
"Selamat siang," sapa guru Choi ramah seraya membungkukkan badannya. Sikap sopan dan hormat seorang tenaga pengajar.
Pemuda yang berdiri paling depan membalas salam guru muda itu. "Selamat siang. Kami detektif kepolisian. Bisa bertemu dengan kepala sekolah Lee?"
Dahi Taeyong mengernyit. Begitu pula guru Kim dan guru Choi. Polisi?
Guru Choi tetap berusaha senang. "Tentu saja. Mari saya antarkan."
Guru Choi mengajak ketiga polisi itu untuk masuk ke dalam ruang guru. Ruang kepala sekolah memang ada di dalam ruang guru. Membuat kepala sekolah bisa memantau dengan langsung pekerjaan bawahannya.
Taeyong memandang guru Kim. Guru matematika itu terus mengikuti pergerakan polisi-polisi itu dan guru Choi. Hingga guru Choi kembali keluar setelah mengantarkan tamu keruang kepala sekolah dan kembali kemeja kerjanya.
"Ada apa, Won?" Guru kim bertanya.
Guru Choi menggeleng. "Entahlah Chullie."
Guru Kim mengalihkan pandangannya pada Taeyong yang masih terdiam. "Taeyong-ah, bisa kau menyelesaikan mengisi formulir dengan cepat?"
Taeyong mengangguk. Paham akan situasi yang dialami diruang guru. "Saya usahakan, guru Kim."
Kepala sekolah Lee berjalan keluar dari ruangannya. Wajahnya terlihat khawatir. "Siwon, bisa panggilkan Jung Jaehyun?"
Taeyong menegang. Perlu beberapa detik baginya untuk berpikir. Menyerap informasi yang baru saja diterima dan menganalisisnya. Impuls otaknya sempat terhenti saat menyambung beberapa informasi yang ada. Jung Jaehyun dan polisi? Oh, hanya pemikiran negatif yang ada dibenak Taeyong.
Pemuda itu baru saja memasuki ruang guru bersama guru Choi. Sempat saling menatap dan mengacak pelan rambut Taeyong kala pemuda itu melewatinya sebelum memasuki ruang kepala sekolah. Sentuhan yang mampu membuat Taeyong merona. Mengesampingkan kekhawatirannya pada lelakinya. Eh, lelakinya?
Tak lama, pintu ruang guru kembali terbuka. Kini terlihat Johnny yang memasuki ruangan. Tanpa banyak bicara, Pemuda itu hanya menganguk sebentar pada guru Kim dan guru Jung. Lalu menyempatkan diri tersenyum kecil pada Taeyong dan melesat masuk keruang kepala sekolah.
Setelahnya, berturut-turut Yuta, Winwin, Doyoung beserta Taeil yang memasuki ruang kepala sekolah. Oh, Taeyong hampir gila. Tak dapat dipungkirinya, dia tak tenang melihat sahabat-sahabatnya berwajah cemas seperti itu. Bolehkah dia ikut masuk kesana?
Pintu ruang kepala sekolah itu akhirnya terbuka. Taeyong beserta kedua gurunya refleks berdiri. Tubuh Taeyong melemah. Dari ruang itu, Jung Jaehyun berjalan keluar didampingi ketiga polisi. Pemuda itu menyunggingkan senyumnya. Menggerakkan bibirnya tanpa suara yang dibalas dengan anggukan Taeyong. 'Aku akan segera kembali.'
Doyoung berjalan menghampirinya Taeyong. Kedua gurunya sudah masuk kedalam ruang kepala sekolah. Berempat bersama Johnny dan kepala sekolah Lee, entah apa yang mereka diskusikan.
Yuta dan Winwin yang Taeyong pikir akan ikut menghampirinya, malah berjalan cepat menyusul Jaehyun dan polisi-polisi itu. Wajah mereka terlihat tegang dan gusar.
"Apa yang terjadi?" Taeyong menghadap Doyoung dan Taeil yang duduk didepannya. Kedua orang itu tak menjawab. Taeil terlihat murung. Sedangkan Doyoung memijat pelipisnya.
"Young? Pergi kemana Yuta dan Winwin?"
Doyoung menghela nafasnya berat. "Mereka berdua akan mendampingi Jaehyun. Sebagai saksi."
"Apa maksudmu mendampingi? Saksi apa? Apa yang Jaehyun lakukan?" Taeyong mulai tak sabar.
Doyoung menoleh menatap Taeil yang masih terdiam. "Taeil?"
Taeil menoleh. Saling bertatapan lama dengan Doyoung sebelum berucap, "hubungi ayahmu. Katakan Jaehyun di kantor polisi."