Rasanya sakit, ketika diasingkan oleh keluargamu sendiri.
🍃🍃🍃
Setelah berjalan cukup jauh, Aldino dan Nara berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Rumah Anara.
Nara segera melepaskan genggaman tangannya yang tadi masih tertaut dengan Aldino. Lalu melepaskan juga jaket yang tadi sudah menghangatkan tubuhnya selama perjalanan di tengah cuaca malam yang sedikit dingin.
Gadis itu memberikan jaket itu kembali kepada Aldino, dan Aldino tersenyum sambil mengambilnya.
"Makasih"
Setelah mengucapkan kata itu, Nara segera berbalik dan masuk ke dalam rumahnya. Tanpa mengucapkan basa basi apapun, Nara menutup pintu rumahnya. Sedangkan Aldino masih setia berdiri sambil tersenyum menatap ke arah rumah Nara.
Entah apa yang membuatnya bisa sebahagia ini. Hanya hati kecilnya yang tau.
Tersadar dari lamunannya, Aldino segera mengeluarkan ponselnya dan menelfon seseorang,
"Dan, jemput gua ya. Motor gua ketinggalan di supermaket"
🍃🍃🍃
Malam itu, Nara merebahkan badannya di kasur. Air matanya tak lagi mengalir, seakan ia sudah tenang. Walau sakitnya masih sedikit terasa, tapi setidaknya ia tak harus menangis lagi.
Dan ketika ia berbaring, ia kembali mengingat kejadian yang membuatnya sangat malu. Mengapa ia begitu menurut saat Aldino memeluknya? Padahal mereka baru saja kenal.
Mengapa ia diam saja ketika Aldino memakaikan jaketnya kepada Nara?
Mengapa ia tak menepis saat kedua jari mereka mulai bertaut?
Hal sederhana itu membuat Nara semakin pusing. Mengapa dirinya terlalu mudah untuk di kontrol oleh Aldino malam ini?
Malas untuk memikirkan hal itu lebih lanjut, Nara memilih untuk memejamkan matanya. Seakan berusaha melupakan semua kejadian hari ini, dan besok bangun menjadi sosok Nara yang lebih kuat dari yang sebelumnya.
🍃🍃🍃
"Din, lo udah ngerjain PR yang halaman 56?"
Aldino menoleh dan menatap Rahel yang berdiri di depan mejanya dengan buku paket di tangannya.
"Oh, itu. Udah kok. Kenapa?"
Rahel segera tersenyum, lalu menyodorkan buku paketnya ke arah Aldino.
"Ajarin dong, Din"
Aldino terkekeh lalu menepuk kursi sebelahnya yang kosong.
"Duduk sini"
Rahel tersenyum lalu segera duduk di samping Aldino. Aldino mengambil pensilnya dan mulai menjelaskan mengenai PR yang tidak di mengerti oleh Rahel.
Tak lama, suara deret pintu berbunyi. Aldino dan Rahel sama-sama mendongak, dan melihat seorang gadis yang di kuncir kuda tengah masuk.
Anara.
Gadis yang memakai headseat itu sedikit melirik ke arah Aldino sebelum membuang muka. Sedangkan Aldino hanya tersenyum kecil.
Ketika Nara sudah duduk, Aldino kembali fokus ke bukunya, sedangkan Rahel sudah mulai menunjukkan sikap bahwa gadis itu tak nyaman lagi.
"Setelah rumusnya di—"
"Sebentar Din" potong Rahel ketika Aldino ingin melanjutkan pembahasannya. Aldino mengangguk.
Rahel segera berdiri, dan berjalan ke arah Nara. Nara masih asik dengan novelnya, dan headseat masih terpasang di telinganya.
Rahel segera melepaskan satu headseat dari telinga Nara, membuat Nara menoleh. Bukan hanya Nara, melainkan Aldino dan beberapa anak di kelas.
"Gue mau bicara sama lo. Berdua." ujar Rahel dengan penekanan di setiap katanya.
Nara hanya bisa menghembuskan nafasnya kesal lalu menjawab, "Malas."
"Gue mau bicara sama lo, Anara." ujar gadis itu. Kali ini semakin di tekankan, dan nadanya juga tak lagi ramah.
Nara kesal. Gadis itu bangkit berdiri, menggebrak meja sebelum berjalan keluar kelas.
Aldino kaget. Sempat ingin mencegah Rahel keluar, namun pria itu melihat Rahel tengah emosi. Aldino tidak tau apa yang tengah terjadi, tapi pria itu khawatir dengan Nara.
🍃🍃🍃
"Lo buat mama gue sedih kemarin. Maksud lo apa sih main pergi gitu aja?!"
Rahel tak dapat lagi menahan amarahnya. Melihat sang Ibu sudah memasakkan banyak makanan, namun pada akhirnya sang tamu pergi begitu saja.
Nara hanya diam.
"Lo gak kasihan sama mama gue? Mama gue udah bener-bener capek tau ga!" teriak Rahel lagi.
Nara sudah sekuat hati menahan amarahnnya, namun emosinya tak terbendung. Gadis itu menatap Rahel dan mengatakan,
"Lo kuat makan bareng jika suatu saat ayah lo balik lagi sama mama gue? Lo kuat di jadikan tamu sama ayah lo sendiri?" tanya Nara dingin
Rahel terkesiap. Gadis itu membisu.
"Lo gak di posisi gue, Rahel. Dan lo ga bisa nyamain posisi gue sama tamu-tamu lainnya. Sekarang jawab pertanyaan gue. Lo kuat kalau makan bareng sama ayah lo? Yang udah menganggap lo asing dari hidup dia?"
Rahel masih terdiam.
"Jawab! Lo tadi minta gue jawabkan? Sekarang gue mau lo yang jawab."
Perlahan, Rahel menggeleng.
Nara terkekeh. "Kalau lo aja gak sekuat itu, gak usah marah-marahin orang."
"Gue punya alasan kenapa gue pergi begitu aja. Lo tau karna apa? Karna gue sama kaya lo. Gue gak kuat lihat ayah gue udah bahagia sama keluarga barunya dan gue? Hanya orang asing di hidup dia."
Setelah mengatakan hal itu, Nara segera berlalu. Biarlah gadis itu mengeluarkan isi hatinya. Ia sudah terlalu muak dengan semuanya. Walau hatinya kembali hancur saat mengatakan hal tadi, setidaknya isi hatinya sudah tersampaikan.
Walau tak jauh dari tempat Rahel dan Nara berbicara, seorang laki-laki mendengarkan semua pembicaraan mereka dengan jelas.
🍃🍃🍃
Hai:)
Vote+comment ya!
Luv u all,
Negita.