Perlahan mataku mulai terbuka, hari pun sudah berubah menjadi gelap, atau memang ruangan ini yang kekurangan jendela. Aku masih belum tersadar seratus persen dan masih terluntang – lantung menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Tertidur lagi Ardhi?"
Aku sontak kaget bukan main dan segera terbangun dari tempat tidur yang empuk sekaligus berdebu ini, hingga jatuh ke dari tempat tidur itu dengan kepalaku terbentur terlebih dahulu. Aku kemudian tersadar kalau aku masih berada di rumah tua itu dan pingsan hingga malam hari, ditambah lagi, Cella sudah duduk dengan senyuman manis di depan mataku.
"S-Siapa kamu sebenarnya!?" tanyaku sedikit ketakutan sekaligus terkejut.
"Aku Cella! Kenapa kamu tanya hal yang aneh seperti itu?" tanya si perempuan mungil ini balik padaku.
Mendengarnya berbicara seperti Cella yang biasa kukenal, aku bisa sedikit lega dan menghilangkan sedikit rasa takutku, meskipun aku harus mengerutkan dahiku karena pertanyaanku yang dianggapnya bodoh.
"Aku tahu kamu tetaplah Cella yang ceria di setiap waktu, namun aku hanya ingin tahu apakah kamu itu manusia?"
"Aku tidak paham maksudmu yang sebenarnya. Kenapa kamu menanyakan hal yang membingungkan seperti ini Ardhi?" ucapnya yang seketika berubah menjadi wajah bengong dengan tatapan kosong padaku.
"Aku hanya ingin tahu Cella..." kataku dan mulai beranjak dari tempat tidur berdebu ini menuju sebuah podium di mana terletak sebuah buku yang baru saja kubaca. "Buku... buku itu... ke mana perginya?" ucapku ketika melihat buku misterius itu hilang dari atas podium maupun di sekitar podium itu berdiri.
Aku menoleh tajam ke arah Cella, memfokuskan mataku ke mata perempuan kecil itu dan mulai mendekatinya perlahan. "Aku ingin tahu... ke mana kamu sembunyikan buku itu Cella?" ucapku dengan nada yang sedikit mengancam meskipun aku tahu kalau aku tidak begitu pandai dalam hal introgasi dan semacamnya.
"Tidak ada buku apapun di kamar ini, kamu pasti hanya bermimpi Ardhi. Mungkin kamu harus lebih banyak istirahat." ujar Cella dengan senyuman manisnya lagi.
Aku sedikit menghela nafasku, sembari mempersiapkan pertanyaan yang masih membuat kepalaku terus menerus memikirkannya.
"Kalau begitu, bagaimana caramu membawaku ke atas tempat tidur? Aku sangat yakin kalau tadi aku pingsan di lantai kayu ini."
Cella terdiam sesaat, wajahnya memang masih tersenyum, namun tidak semanis sebelumnya dan lebih tepat kalau disebut sebagai senyum kecut, matanya kembali menatapku dengan tatapan kosong. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya selama hampir lima menit, namun kesunyian malamlah yang mampu membuatku mendengar seluruh nafas yang tidak beraturan dari Cella dibalik mulutnya yang masih membungkam. Dan karena itulah aku yakin kalau dia menyembunyikan sesuatu dariku.
"Well? Diam tidak akan menyelesaikan apapun kan, Cella?" tanyaku memecah kesunyian.
"Benar sekali Ardhi, aku rasa sudah waktunya... lagipula kamu juga sudah mengerti sedikit sejak kamu datang ke tempat ini."
Setelah ia mengatakan itu, Cella beranjak dari kursi tempatnya duduk. Ia berjalan ke sebelah kananku dengan perlahan sambil menghentikkan jarinya sekali, menciptakan sebuah ruangan yang cukup terang karena lilin – lilin yang berada di setiap sudut kamar tidur ini mulai menyala. Layaknya dongeng sebelum tidur, Cella mulai menunjukkan suatu hal yang diluar akal sehat manusia. Serpihan besi yang bersinar yang berada di sakuku perlahan keluar dari saku bajuku dan terbang perlahan menuju ke tengah dan berhenti di antara kami berdua sesaat setelah Cella melakukannya dengan tangan kanannya.
"Kamu tahu tentang ini?" tanya Cella singkat.
Aku hanya menggeleng – gelengkan kepalaku, aku masih tidak tahu apa sebenarnya sepihan besi yang menyala itu.
"Lalu apa yang kamu ketahui tentang luka di kakimu itu?"
"Aku... tidak ingat." ucapku sedikit ragu – ragu. Kepalaku pusing ketika berusaha mengingat peristiwa yang menimpa kakiku ini.
"Lalu apa itu syzygy?" tanya Cella untuk yang ketiga kalinya.
"Salah satu bagian dari ilmu astronomi, dan dalam bahasa Yunani disebut sebagai bersama – sama. Aku tidak ingin menjelaskannya karena penjelasannya sangat panjang." ujarku menatap Cella tajam dengan maksud membuatnya mengerti dengan apa yang aku pikirkan.
Cella mengangguk saja, namun dia tidak menunjukkan sedikitpun ekspresi wajah pada setiap jawaban yang kuberikan. Cella yang sebelumnya ceria secara tiba – tiba berubah tidak ekspresif. Belum lagi dia masih mengeluarkan kemampuan anehnya di hadapanku. Memang ini sedikit menakutkan kalau kupikir – pikir, berhadapan dengan seseorang yang punya hubungan dengan hal – hal gaib seperti ini. Namun kalau aku bisa mengetahui tentang rahasia ini, mungkin aku bisa tahu maksud dari setiap perkataannya, misteri yang menimpa kakiku, dan mungkin tentang dirinya.
Serpihan besi itu kemudian berjalan ke arah kakiku secara perlahan, aku menjauh sebisaku karena aku tidak tahu apa yang diinginkan oleh serpihan terbang itu. Cella memberikan gestur padaku untuk tetap diam tanpa mengeluarkan satupun kata – kata. Aku segera diam dan membiarkan serpihan itu terbang ke arah kaki kananku perlahan, memunculkan sebuah bentuk yang samar seperti sebuah rantai yang biasa kulihat pada narapidana yang kakiknya dirantai oleh sebuah bola baja yang berat.
"A... Aduh!" teriakku, kakiku mulai merasakan hal – hal yang sangat nyeri dan yang luar biasa hebat. Namun kali ini kepalaku tidak sakit seperti sebelumnya.
"Aku tahu kamu sangat bingung saat ini Ardhi... aku tahu itu. Namun maafkan aku, pengertian syzygy itu bukanlah sebuah ilmu astronomi. Kamu harus tahu maksud syzygy itu bagaimanapun caramu." ucap Cella dengan tatapan dingin.
Aku segera menenangkan diriku, meskipun aku harus merelakan diriku berlutut di lantai kayu ini, membersihkan pikiranku yang kacau balau dan mulai menarik nafas dalam – dalam.
"Begitu saja? Padahal kamu berjanji akan mengatakan semuanya padaku. Jangan pergi begitu saja Cella, aku perlu tahu saat ini juga!" ucapku sambil dibarengi dengan erangan kesakitan pada kakiku.
Cella diam seribu bahasa, ia menggeser sedikit topi berwarna putih itu sedikit ke depan hingga mata dan hidungnya tidak mampu kulihat lagi. Tak lama berselang, Cella mulai menggoyang – goyangkan jari telunjuknya sambil berbicara suatu kata - kata yang bisa kuanggap sebagai kalimat sihirnya.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyaku heran.
"Memberimu halaman dari buku yang membuatmu pingsan tadi, itu akan jadi petunjukmu yang berharga." seusai Cella mengatakan itu, sebuah lembaran kertas muncul dan jatuh tepat di hadapanku, begitu pula wujudnya yang ikut terhapus berbarengan dengan lembaran itu.
Rasa sakit di kakiku hilang, perlahan aku bisa berdiri kembali dan mengambil selembar kertas yang tergeletak di atas lantai kamar ini. Rantai misterius yang mengikat kaki kananku masih bisa kulihat, hanya saja kali ini sudah tidak bisa kusentuh dengan tanganku maupun dengan bantuan berbagai benda yang ada di rumah ini.
Aku segera keluar dari rumah tua ini sambil membaca kertas itu, kalimat tetang syzygy masih tertulis dengan jelas di halaman pertamanya, namun di halaman kedua, muncul sebuah kalimat baru.
"Mereka yang tidak terkutuk tidak perlu mencari tahu apa itu kutukan ketika mereka yang terkutuk merasakan perbedaan daripada mereka yang tidak terkutuk."
Satu lagi kalimat yang membuat otakku terasa terbakar habis hanya untuk memikirkan setiap maksud di dalamnya. Setelah apa yang kualami barusan, aku lebih memilih untuk segera pulang ke rumah dan melupakan rasa sakit yang mengerikan ini.
Tapi jauh di dalam hatiku, aku masih mengkhawatirkan tentang Cella dan maksud perkataannya barusan.