"Roni, Bedu apa kalian sedang sibuk?" Pak Ambar tersenyum lebar. Ia sepertinya sengaja datang ke lantai dua untuk menemui kami berdua.
"Gak, pak," kataku.
"Aku juga," kata Bedu ikut menjawab. Kami berdua berdiri melihat pak Ambar di pintu masing-masing.
"Kalian tidak sedang mengerjakan tugas, kan?"
"Gak pak, ada keperluan apa, Pak?" kataku penasaran.
"Jika kalian tidak keberatan, apa kalian bisa membantu bapak membersihkan gudang di ujung sana? Aku tidak memaksa, jika kalian sibuk tak apa biar aku sendiri yang membersihkan." Pak Ambar menunjuk pintu kusam dekat kamarku.
"Aku tak sibuk, Pak. Jadi di sana itu gudang ya, Pak? Aku selalu penasaran dengan pintu itu, kenapa selalu dibiarkan?" Aku semakin tertarik untuk membantu Pak Ambar.
"Boleh-boleh, Pak. aku juga akan membantu Bapak. Ngomong-ngomong kenapa tiba-tiba akan membersihkan gudang, Pak?" kata Bedu ikut bersemangat.
"Wah, saya sangat berterima kasih pada kalian, mau membantu bapak yang sudah tua ini. Ya ini adalah gudang, sudah setahun belum saya bersihkan. Maaf, kalau saya jorok. Gudang ini akan saya bersihkan untuk dijadikan kamar lagi. Sayang kalau gak kepake," Pak Ambar terkekeh sepertinya bahagia sekali mendengar kami akan membantunya.
Kami berdua manggut-manggut mengerti. Pak Ambar memimpin kami dan membuka pintu kusam itu terlebih dahulu. Sebelumnya pak Ambar memberikan masker kepada kami berdua supaya debu yang beterbangan tidak terhirup oleh kami.
Krieet!
Pintu kusam itu akhirnya dibuka, isi gudang ini tak terlalu berantakan malah bisa dibilang agak rapi untuk ukuran gudang seperti ini. Didalamnya ada sofa yang ditutup kain putih, nakas dan kursi yang terbuat dari kayu yang sama-sama ditutup kain putih berdebu, selebihnya ruangan itu kosong. Penerangan di dalam sini kurang baik karena hanya memiliki satu kaca yang menghadap keluar. Yaitu Hanya kaca yang didekat pintu. Pak Ambar mencoba menekan saklar di dekat pintu, tetapi lampu tak kunjung menyala.
"Yah, sepertinya lampu gudang ini sudah putus," Pak Ambar Menengadah ke atas melihat langit-langit, dimana lampu pijar itu dipasangkan. "Roni, Bedu bisa kalian menyapu terlebih dahulu di ruangan ini. Aku akan mencari lampu pengganti ke bawah dan sekalian mengambil ember dan lap pel ke bawah."
"Ya, tentu saja. Lagian, Pak. sepertinya ini gak akan memakan waktu lama, dibantu oleh kami berdua juga, beres," kataku pada Pak Ambar yang sudah berdiri hendak pergi ke bawah. "Hahaha... Makasih Nak Roni, Nak Bedu. Meminta bentuan kalian memanglah keputusan yang tepat. Aku kebawah dulu, ya. Kalau kelamaan nanti keburu sore. "
"Ya, Pak. Tenang saja, tak usah terburu-buru, kalau bapak nanti perlu bantuan kami lagi, tak usah sungkan menyuruh kami, hehehe," Bedu tersenyum lebar.
"Hahaha... Terima kasih banyak nak Bedu." pak Ambar segera keluar ruangan menuruni tangga.
Kami berdua tak basa-basi lagi langsung menyambar sapu yang menyandar di paling pojok ruangan. Dan membersihkan debu di lantai dengan sapu. Debu yang mengumpul di ruangan ini tak terlalu banyak, hanya butuh waktu lima menit untuk mengumpulkannya, tapi memang perlu untuk di pel supaya lantai semakin bersih. Kemudian kami membuka kain putih yang menutupi sofa dan meja itu terlebih untuk sedikit disapu, kondisinya masih bagus.
Sama sekali tidak berdebu. Bedu keluar ruangan untuk membuang debu-debu yang tertempel di kain putih itu dengan mengibas-ngibaskannya. Debu-debu seketika beterbangan Membuat Bedu terbatuk-batuk walau sudah memakai masker.
Pekerjaan pertama kami telah kami selesai, hanya tinggal menunggu pak Ambar datang membawa ember berisi air dan lap pel. Kami menunggu di dalam dan menduduki sofa sekalian istirahat. Selama menunggu pak Ambar. Bedu sempat mengobrol denganku.
"Ron, apa kamu pernah mendengar hal aneh di gudang ini?" Bedu memulai pembicaraan dengan melontarkan pertanyaan itu kepadaku. Dahiku seketika bekernyit dan menatap Bedu.
"Hal aneh?"
"Ya, hal aneh?" Bedu mengulang pertanyaanya. Aku terdiam dan tak menunjukkan reaksi apapun.
"Seperti mendengar seseorang di dalam sini, padahal pintu ini selalu terkunci," kata Bedu lanjut menjelaskan. Aku semakin menatap Bedu lamat-lamat.
Aku segera mengubah ekspresiku menjadi biasa. "Sebenarnya pernah, tapi menurutku itu hanya perasaanku saja."
"Jadi kau juga pernah mendengar suara tangisan itu?" Bedu sedikit terperanjat dan menelan ludah.
"Tangisan? Aku bukan mendengar tangisan, tapi suara seorang perempuan yang bersenandung."
"Eh, malah aku sudah mendengar dua kali, saat tengah malam seperti ada seseorang yang menangis disini."
Kami berdua setika berhenti bicara. lupa, kalau kami membicarakan tentang hal-hal seram gudang yang kami masuki saat ini. Bedu dan aku menelan ludah, memegang tengkuk masing-masing.
"Kalian sedang membicarakan apa? Sepertinya asik sekali." Pak Ambar membawa ember berisi air lengkap dengan lap pelnya.
Kami berdua bernafas lega karena akhirnya orang yang ditunggu-tunggu telah datang. Mencairkan suasana tegang kami berdua.
"Maaf menunggu lama, tadi sekalian membeli lampu neon di warung."
"Ooh tak apa, Pak. Biar kami bantu pasangkan." aku segera berdiri dan menghampiri pak Ambar. Kami sangat berterima kasih karena Pak Ambar datang disaat yang tepat.
"Sini pak biar aku yang pel lantai." Bedu juga ikut bangkit dan mengambim alih ember dan lap pel yang sedang di pegang pak Ambar.
"Eh, kalau begitu kerja bapak apa, dong? Kalian kan tadi udah nyapu lantai." Pak Ambar sedikit keberatan kalau pekerjaannya di ambil alih semua olehku dan Bedu."
"Tak apa, pak. Bapak kan tadi udah capek-capek ke warung," aku tersenyum dan segera menaiki sofa untuk memasang lampu.
"Dasar anak-anak yang baik," Pak Ambar tersenyum penuh penghargaan kepada kami sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kring! Kring! Kring!
"Halah, kenapa disaat seperti ini malah ada yang nelpon si bawah, aduh, maaf. Tunggu sebentar ya, nak. Bapak harus angkat telpon dulu ke bawah."
Kami berdua refleks menatap pak Ambar berbarengan. "Ya, tak apa-apa, Pak." kalimat itu akhirnya keluar dari mulutku. Pak Ambar terburu-buru menuruni tangga. Kami tinggal berdua lagi. Langit sore sudah mununjukkan sinar jingganya. Membuat cahaya di gudang semakin remang.
"Yah, sudah selesai. Tinggal dinyalain lampunya." Aku segera turun dari sofa dan menekan saklar di dekat pintu. Tapi nihil lampu neon yang baru dipasang tadi tak kunjung menyala.
"Lho, kok. Lampunya gak mau menyala," aku heran dan terus menekan saklar on/off.
"Berarti yang rusaknya bukan di lampunya, Ron," kata Bedu sembari melanjutkan mengepelnya tanpa menoleh kepadaku.
"Berarti yang rusak saklar atau kabelnya, ya?" aku mengira-ngira.
"Bukannya kamu seharusnya lebih tahu, ya? Kamu kan jurusan elektro?"
"Hahaha.. Aku baru kuliah sebulan lebih. Baru tahu teorinya doang, belum praktek," aku terkekeh malu.
Bedu membalasku dengan senyuman dan kembali fokus mengepel lantai. Ia mencium bau tumbuhan kering. Sumbernya saat ia melewati meja dan kursi kayu. Bedu tertarik untuk melihat laci meja tersebut yang sedikit terbuka. Bedu sementara berhenti mengepel dan meraih lagi laci yang sedikit terbuka tersebut.
Grek!
"Kamu lihat apa, Bed?"
"Ini isinya apa ya, Ron?" Setelah Bedu membuka laci akupun ikut menghampiri Bedu dan melihat isi laci bersama-sama.
"Kembang, Ron. Kembang yang udah kering," kataku. Kembang itu ada di atas piring.
"Buat apa kembang disimpan di laci? Ngomong-ngomong ini kembang apa, Ron?" kembang itu seperti terdiri dari tiga macam jenis. Kamboja, melati dan mawar. Bedu mencoba mengambilnya supaya bisa melihat jelas jenis bunga tersebut. Tapi alangkah terkejutnya saat kami melihat ada yang meraih tangan Bedu di dalam laci. Tangan yang meraihnya itu terlihat membusuk.
AAAH!!!
Bedu segera menjauhkan tangannya dari laci. Ia terlihat panik. Tangannya sempat bersentuhan dengan tangan membusuk tadi.
"Bedu tadi itu apa?" aku tak kalah panik bertanya kepada Bedu.
Tapi Bedu tak menjawab pertanyaanku, ia masih memegangi tangan kanannya dan memunggungiku.
"Bedu kau tak apa-apa?" aku khawatir melihat Bedu yang berdiri mematung. Langit sore semakin memerah. Entah kenapa rasanya pak Ambar terasa lama sekali saat menelpon.
Brak!
Aku terkesiap pintu di belakangku tiba-tiba terbanting dan tertutup. Hembusan angin yang entah datangnya dari mana tiba-tiba berhembus padahal sama sekali tak ada lubang ventilasi yang tersisa selain pintu yang tertutup tadi. Kain-kain putih yang tadi kami lipat di atas meja beterbangan ke kebelakang Bedu.
"Bedu...," aku memanggil Bedu sekali lagi. Tak ada jawaban.
"Grrrh!!!" Bedu menggeram. "Apa itu kau, Bedu?" aku semakin khawatir, keringat dingin mulai bercucuran di kepalaku.
GRRRRH!!! Bedu membalikkan badannya secara kasar dan menatapku tajam. Aku terlampau takut dan berlari menuju pintu. Tapi pintu tak mau terbuka.
"Huu... Huu... Huu... Hiks! Aku takut..." suara tangisan seorang anak kecil tiba-tiba terdengar dipojokan. Itu membuatku semakin pucat. Karena aku tak melihat ada anak kecil di ruangan ini. Aku masih berusaha membuka pintu yang tak kunjung terbuka.
"Mama! Mama! Mama! Aku ingin pulang!!!!"
Suara tangisan anak kecil itu semakin keras. Lampu neon yang tadi aku pasang tiba-tiba menyala kemudian mati lagi. Nyala kemudian mati lagi. Begitu seterusnya. Hembusan angin semakin kencang.
Grrrh!!! Bedu bergerak mendekatiku perlahan. Kursi kayu di belakang Bedu berderit kemudian ikut terbang di belakang Bedu. Kedua tangannya mengarah kepadaku.
Aku melotot, ketakutan. Badanku terasa lemas merosot kebawah lantai dan berusaha mengetuk-ngetuk pintu keluar.
Tok! Tok! Tok!
"Pak Ambar... Tolong!" aku berteriak, kakiku semakin gemetaran. Berharap pak Ambar segera datang ke atas membukakan pintu.
***
"Hallo, ini siapa? Kalau mau iseng jangan ke nomor ini aku lagi sibuk!"
"Hhh...hh...hh..." suara nafas di telpon terdengar berat.
"Ganggu orang lagi kerja saja!!!"
Klap! Pak Ambar membanting telpon dan beranjak pergi.
Kring! Kring! Kring!
"Astaghfirullah... Ini orang ngotot amat!" Pak Ambar menepuk jidatnya sekali. Mendekati telpon dan mencabut kabelnya.
Bersambung...
28 September 2018
Revisi: 20 Mei 2023
Gimana suka gak sama ceritanya? Kalau suka jangan lupa ya klik ★ dan komennya ya :D..
Karena itu adalah energi untukku... :)