Apakah semua ini dimulai dengan salah?
Apakah seharusnya tidak ada pernikahan sama sekali antara dirinya dengan suaminya?
Karena pada kenyataannya Kayla tidak bisa melupakan mantan suaminya. Perasaan itu semakin hari semakin besar. Dia tidak bisa membohongi dirinya untuk tetap mengatakan dia tidak mencintai Orlando. Cinta itu belakangan baru disadarinya masih ada dan tidak pernah hilang sekali pun.
Ya Tuhan. Apa yang harus kulakukan, keluh Kayla. Sama sekali aku tidak menghendaki perasaan ini. Jika aku bisa, aku ingin berhenti memikirkan Orlando. Aku sudah punya suami. Begitu pun Orlando sudah punya istri. Tidak ada jalan lain bagiku dan Orlando untuk....
Tidak.
Bagaimana bisa aku berpikir aku dan Orlando untuk bersama? Untuk berpikir saja aku tidak boleh!
Semakin Kayla meresahkan Orlando, semakin pula rasa bersalahnya terhadap suaminya. Aku benar-benar tidak ada harganya, pikir Kayla saat ia menyiapkan sarapan untuk suaminya. Aku punya suami yang sempurna. Aku punya suami yang mencintaiku. Tapi malah rasa kasihan yang hanya aku punya untuknya.
Apakah selama ini memang tidak pernah ada cinta? Apakah selama ini perasaan yang kumiliki terhadapnya adalah rasa balas budi atas kebaikannya?
Kayla membawakan dua telur ceplok dan bacon ke kamar suaminya di basement. Saat ia memasuki kamarnya ia terpaku pada tembok yang hancur. Dugaannya adalah Mas Ikram yang menonjok tembok itu. Dan dugaannya terjawab ketika ia melihat tangan suaminya yang merah.
Dia benar sakit, Kayla memberikan kesimpulan. Aku tidak bisa bertahan menjadi istrinya. Dia sudah menganiayaku sedemikian rupa. Aku tidak bisa memaafkannya atas sakit yang dia sebabkan padaku.
"Apakah kamu benar hamil, Kayla?" tanya suaminya yang duduk di tempat tidur.
Kayla menaruh piring di meja yang ada di ruangan itu. " Iya, Mas," sahutnya menoleh pada suaminya. "Usia kandungan saya lima minggu."
Suaminya mengangguk-angguk. "Masih muda. Kamu bisa ke luar negeri untuk menemui Orlando?"
"Untuk apa saya melakukannya?"
"Untuk apa? Dia sedang sakit keras. Ayah dari anakmu sedang berjuang untuk hidup. Apakah kamu tidak berpikir untuk membahagiakannya?"
Tolong jawab tidak, doa Ikram.
"Apakah saya masih bisa membahagiakannya?"
Jawaban yang salah, gerutu Ikram.
"Kamu mengkhawatirkan dia karena dia jauh darimu. Kenapa tidak mendekatinya?" sahut Ikram santai.
"Apakah Mas lupa? Orlando sudah punya istri!"
Apakah kamu juga lupa bahwa kamu sudah bersuami, pikir Ikram sinis. Apakah kamu tidak memikirkan perasaanku?
"Bagaimana jika kita berandai-andai?"
"Maksud Mas?"
"Anggap saja Orlando single begitu pun kamu. Apakah kamu akan tetap menemuinya dan memberikan support padanya?"
"Jangan kasi pertanyaan seperti itu kepada saya, Mas."
"Saya tidak keberatan kamu menemuinya, Kayla. Toh kita sebentar lagi bukan suami-istri. Begitu anak itu lahir, saya akan mengabulkan keinginanmu untuk bercerai."
"Mas," desis Kayla tak percaya.
"Kamu tidak perlu khawatir saya akan melakukan apa yang Orlando lakukan padamu dulu. Saya akan menjadi suami yang mendampingimu selama kamu hamil. Setelah anak itu lahir pun saya akan tetap memastikan kesejahteraan kalian." Ikram diam sejenak. "Silakan kamu temui Orlando, Kayla. Saya mengizinkanmu. Dan saya yakin Davina pun setuju."
Kayla menggeleng tidak percaya. Matanya mulai basah. "Mas, saya tidak akan melakukan hal itu..."
"Anggap saja ini hadiah pernikahan kita yang kedua," sahut Ikram dengan tatapan nanar pada istrinya.
"Mas."
"Saya bilang pergi," kata Ikram keras. Nada suaranya memerintah. "Pergi, tinggalkan saya. Dan bawa makanan yang kamu buat. Saya akan meminta Bibi untuk membuatkan makanan yang lebih enak."
Bahkan komentar suaminya tentang makanannya tidak ada apa-apanya dibandingkan perintah suaminya untuk menemui Orlando. Dengan air mata berlinang Kayla membawa piring dan meninggalkan suaminya.
Aku sudah tidak tahan menjadi laki-laki seperti ini, gumam Ikram. Kalau aku terus bersama dia aku tidak akan bisa mengendalikan emosiku. Dan jika terus begitu lambat-laun aku akan kehilangan dia.
Lebih baik aku hentikan ini sekarang.
Rasa sakit itu tidak hanya dirasakan Ikram semata. Kayla pun begitu. Di kamarnya dia menangis kejar. Tidak percaya bahwa pernikahan ini benar-benar sudah hancur dan kali ini karena ulahnya. Karena dia tidak bisa mencintai suaminya sepenuhnya. Lagi-lagi aku hancur, isaknya. Lagi-lagi aku tidak bisa mempertahankan rumah tanggaku.
Ponselnya berbunyi. Davina meneleponnya. "Orlando tidak mau menjalankan operasi. Dia tidak mau diperiksa lagi," katanya. "Katanya seluruh tubuhnya sudah terlalu sakit. Aku tidak tahu lagi harus menghubungi siapa lagi selain kamu, Kayla."
"Aku tidak bisa melakukannya, Davina," kata Kayla berusaha tangisnya. "Maafkan aku."
"Aku tidak yakin sampai kapan dia bertahan."
Kebingungan mendera Kayla. Dia khawatir sekali dengan keadaan Orlando. Bagaimana jika suatu hari ia dikabari Orlando sudah tiada dan dia tidak bisa melakukan apa-apa? Kayla tidak siap. Dia tidak sanggup jika Orlando tidak ada di dunia ini lagi. Membayangkannya saja menimbulkan nyeri di hatinya.
Ingatannya meluncur pada masa lalu mereka di Singapura.
"Aku menunggu. Aku menunggu sampai kita sama-sama mampu untuk menopang hidup kita. Sampai kita mampu untuk punya anak. Sampai kita bisa membiayai mereka sekolah."
"I'll do anything for you."
"No, Sweetheart. Aku tidak ingin kamu kelelahan dan stres. Cukup berada di sisiku sudah sangat membantuku."
"Tidak ada wanita lain. Hanya Kayla, istriku seorang."
Isakan Kayla semakin keras. Kenangan itu sudah lama sekali dan aku tidak pernah bisa melupakannya. Seharusnya aku tidak membiarkanmu menikahi wanita lain. Seharusnya aku pun tidak menikah lagi. Seharusnya aku percaya padamu saat kamu meminta kesempatan dariku!
Saat itu rasa sakit yang kamu berikan padaku lebih besar daripada kelapangan hatiku untuk memaafkanmu. Namun sekarang, setelah semua ini, aku menyesali segalanya. Aku tidak bisa memaksakan diri untuk mencintai yang lain...
"Pernikahanmu dengan Mas Ikram sudah di ujung jurang, Kayla," katanya pada diri sendiri. "Tidak ada yang bisa kamu lakukan kecuali kamu ingin terus dipukuli dan berbohong padanya dengan mengatakan cinta padanya. Tapi Orlando.... Aku tahu, sangat tahu bahwa dia masih mencintaiku. Dan Davina juga sudah memberikan lampu hijau untuk kami."
Kayla memesan tiket pesawat melalui sistem online. Dia mulai mengepak barangnya.
"Mau ke mana, Kayla?" tegur ibu mertuanya yang kebetulan lewat kamarnya.
"Saya ingin menemui... Isabella," kilah Kayla berdusta. "Saya ingin pergi sebentar, Ma. Untuk menenangkan diri."
"Haruskah pada saat ini, Kayla?"
"Kayla rindu sekali pada Bella, Ma. Mas Ikram juga sudah mengizinkan saya untuk pergi."
"Dia sedang sakit, Kayla," ibu mertuanya mengingatkan. "Apakah harus saat ini juga?"
"Ma, saya dihajar habis-habisan oleh Mas Ikram. Saya ingin.... Saya ingin pergi dulu darinya. Nanti jika saya sudah siap saya akan kembali, Ma. Tolong izinkan saya."
Ibu mertuanya mempertimbangkannya sejenak. "Baiklah kalau itu maumu. Tapi kamu jangan capek-capek, ya. Bagaimana pun kamu harus tetap menjaga kesehatan."
Kayla mengangguk. "Terima kasih, Ma."
"Kayla."
"Iya, Ma."
"Maafkan apa yang dilakukan Ikram padamu, ya. Mama sama sekali tidak tahu dia punya tabiat seperti itu. Dan Mama sangat mengutuk perbuatannya. Tidak pantas bagi seorang suami memukul istrinya hanya karena alasan sepele. Jangankan sepele, sekali pun kita punya salah besar pun seharusnya suami itu membimbing kita, bukan menganiaya."
Kayla bersyukur ibu mertuanya bukan tipe ibu mertua yang membela anaknya daripada menantunya. Ibu mertuanya mengerti keadaannya sesama perempuan. Hari itu Kayla pamit pada ibu mertuanya. Dan karena ayah mertuanya sudah pergi kerja, Kayla ke basement lagi untuk melihat suaminya.
"Saya ingin memeluk Mas."
Ikram turun dari tempat tidurnya dan memberikan apa yang diinginkan istrinya. Dibawanya istrinya ke dalam dekapannya. Sangat lama.
Pada saat itu mereka seakan mendengar alunan lagu Healer yang dinyanyikan Teddy Adhitya.
I was blind but now
You make me see again
I see rainbow in your voice
All them sweet sound of your
heart of gold
Oohh.
Healer.
Keduanya sadar bahwa lagu itu bukan lagi untuk mereka berdua.
Karena keduanya hanya menorehkan luka satu sama lain.
Tidak ada satu pun yang bisa menyembuhkan luka itu.
"Take care," bisik Ikram menjauhkan diri dari istrinya.
*hope you like the story*