Bara berdiri tepat di hadapan sebuah rumah sakit di mana Gia sedang di rawat di sana. Dia menatap gedung rumah sakit itu, kepalanya sedikit mendongak ke atas dengan pikiran kalut bahwa Gia berada di salah satu kamar pasien di rumah sakit tersebut.
Perlahan matanya menatap langit setelah melihat puncak paling tinggi gedung yang kemungkinan berlantai dua puluh tersebut. Dahinya berkerut, tanda bahwa dirinya sedang berpikir apakah sebaiknya memasuki rumah sakit itu atau tidak?
Bara memutuskan untuk duduk di bangku taman depan rumah sakit. Kepalanya menunduk dengan kedua tangannya saling menggenggam jemarinya.
“Gia? Terbaring lemah di rumah sakit?”
“Iya Bara, dia keracunan obat diet.”
“Keracunan obat diet? Bagaimana bisa?”
“Kamu masih saja bertanya bagaimana bisa!? Tentu saja itu karena kamu!!” Juliana tak bisa mengendalikan dirinya melihat putranya seakan-akan tidak tahu apa-apa dan merasa tak bersalah.
“Mah! Sudahlah jangan diperdebatkan lagi! Kamu tidak lihat Bara juga terkejut?” Erlangga terpaksa angkat bicara.
Juliana mendecak dengan kedua tangannya terlipat di depan dada. “Untung saja kondisi Gia tidak parah! Dia hanya tak sadarkan diri!”
Bara tak bergeming di depan pintu. Wajahnya seketika pucat. Jelas sekali dia sangat terkejut. “Bara, Bara… harus bertemu Gia.”
“Kamu harus bertemu Kirana terlebih dahulu, jika ingin bertemu dengan Gia.”
Bara mengusap wajahnya lalu menghembuskan napas dengan kasar. Apa yang harus dilakukannya? Dia ingin sekali bertemu dengan Gia namun kata-kata terakhir mamanya yang menyuruhnya untuk bertemu Kirana terlebih dahulu membuatnya harus mempersiapkan diri menghadapi ibu dari tunangannya itu, bahkan Bara masih menganggap Gia adalah tunangannya!
Akhirnya setelah bergelut dengan pikiran dan hatinya, Bara memantapkan langkahnya memasuki rumah sakit itu. Papanya sudah memberitahu di mana tepatnya kamar perawatan Gia, juga memberitahu Bara kalau Gia sudah siuman namun tubuhnya masih lemah.
Bara sendiri tidak habis pikir, bagaimana Gia bisa keracunan obat diet? Bara tahu kalau Gia sedang diet tapi dia tak menyangka jika Gia sampai senekat itu memakan obat diet secara berlebihan? Apa Gia tak tahu efek samping dari obat tersebut hingga bisa sebodoh itu?
Namun dari semua pertanyaan itu, yang membuat Bara sangat penasaran adalah alasan dibalik Gia berusaha diet mati-matian. Apa alasan sebenarnya? Apa benar itu karena dirinya? Dan Bara masih tidak mengerti berapa kalipun dia memikirkannya.
Perlahan Bara membuka pintu kamar yang tertera jelas nama Asmara Bahagia di Bagan Nama Pasien di depan kamar itu. Hal pertama yang dia lihat adalah Gia memang sedang terbaring lemah di atas tempat tidur.
Sebuah selang infus tertancap di tangan kanannya juga di kedua lubang hidungnya. Gia tampak pucat sekali dengan wajah sedikit tirus meski pipinya masih terlihat tembam. Tapi ketidakberdayaan Gia membuat Bara entah bagiamana juga ikut tidak berdaya.
Rasanya beda sekali saat melihat Clarissa terbaring lemah di rumah sakit beberapa hari lalu. Entahlah, kali ini, rasanya sungguh menyakitkan bagi Bara. Mungkin karena ini adalah Gia. Iya, Gia-nya.
Bara duduk termangu di samping tempat tidur. Tatapannya tak sekalipun berpaling dari wajah Gia. “Apa alasannya Gia? Kenapa harus diet? Kenapa sampai keracunan obat? Enggak mungkin kan karena ingin membuat aku jatuh cinta?”
Bara menggeleng keras. Apa hubungannya membuat dirinya jatuh cinta dengan diet? Sungguh tidak masuk di akal! Tidak!
Tangannya kemudian terulur untuk menggenggam tangan Gia. Setelah Clarissa mencoba bunuh diri, kini Gia juga hampir kehilangan nyawanya, karena dirinya? Dia hampir membunuh dua wanita sekaligus, yang satu pernah singgah di hatinya sedangkan yang satu lagi tak pernah pergi dari hatinya.
“Sedang apa kamu di sini?”
Bara kontan menoleh dan dia melihat Kirana berdiri tidak jauh darinya sambil menatapnya penuh tanda tanya.
“Maaf tante, Bara baru saja mendengar kabar kalau Gia masuk rumah sakit.”
“Saya tanya, sedang apa kamu di sini?”
“Ba-Bara…” Tahu akan kesalahannya Bara terdiam sejenak. “Bara sedang menjenguk Gia.”
Kirana mendesah. Perlahan dia berjalan menuju sisi lain tempat tidur Gia lalu meletakkan beberapa barang di atas nakas.
“Apa mama kamu belum menjelaskan semuanya? Tentang pertunangan kamu dengan Gia?”
Bara menatap Kirana dengan serius. “Tante, Bara tidak ingin membatalkan pertunangan dengan Gia.”
“Apa kamu pikir, kamu punya hak?”
“Tante, Bara mohon…”
“Sebaiknya kita tidak bicarakan hal ini di sini.” Kirana menatap Gia yang masih tertidur lalu dia menatap Bara dan seakan paham dengan apa yang dimaksudkan Kirana, Bara pun mengikutinya keluar dari kamar.
∆ ∆ ∆
Kirana mengajak Bara duduk bersama di kantin rumah sakit. Sesungguhnya Kirana ingin sekali memaki Bara namun anak lelaki di hadapannya ini adalah putra sahabatnya. Jadi dia sebisa mungkin menahan amarahnya dan mencoba bicara baik-baik.
“Kamu tahu kenapa Gia bisa keracunan obat?” Kirana memulai pembicaraan dengan pertanyaan yang sedikit mengintimidasi.
“Bara hanya tahu kalau Gia sedang diet.”
“Kamu tahu? Dan kamu membiarkannya?”
“Bara pikir, ada alasan kenapa Gia ingin diet.”
“Iya,” Kirana mengangguk. “Memang ada alasannya dan apa kamu tahu alasannya?”
“Tante, kalau Bara tahu alasannya, apa tante pikir Bara bisa menghentikannya?”
“Tentu saja kamu bisa, Bara!” Kirana terlihat mulai emosi. “Karena alasannya itu adalah alasan terkonyol yang pernah tante dengar! Alasannya… Alasannya itu ingin membuat kamu jatuh cinta padanya! Dan apa kamu tahu? Gia berpikir jika dia bisa merubah tubuhnya selangsing pacar kamu itu, mungkin bisa membuat kamu jatuh cinta pada dirinya!”
Bara terdiam dan terkejut mendengar penjelasan Kirana. Astaga Gia! Kenapa dia bisa berpikir seperti itu!?
“Bara, selama ini tante percaya kamu adalah pria baik, kamu pasti bisa menjaga Gia. Tapi setelah kejadian ini, maaf, tante harus memikirkannya berkali-kali apakah kamu benar-benar bisa menjaga Gia?”
“Tante, Bara janji, mulai sekarang Bara akan menjaga Gia baik-baik. Jadi tolong, jangan batalkan pertunangan kami.”
“Tapi bukan hanya itu saja masalahnya, Bara,” Kirana menghela napas. “Selama ini Gia tak pernah berhenti mencintai kamu. Dia selalu mencintai kamu. Tapi, apakah kamu bisa mencintai Gia?”
Ekspresi Bara langsung berubah serius. “Bara mencintai Gia, tante. Bara sangat mencintai Gia.”
Kirana bersidekap dengan dahi berkerut. “Kamu sungguh mencintai Gia?”
Bara mengangguk mantap. “Bara baru menyadarinya belum lama ini bahwa Bara sudah jatuh cinta pada Gia sejak dulu.”
“Sejak dulu?”
“Sejak… sebelum perjodohan itu diumumkan.”
Kirana menatap Bara lamat-lamat. Mencari ketulusan di matanya dan pada satu titik dia menyadari kalau Bara benar-benar tulus. Bara jatuh cinta pada putrinya. Tapi mengingat perjanjian yang dibuatnya kepada Gia hingga membuat Gia hampir saja kehilangan nyawanya membuat Kirana sulit untuk menerima kenyataan itu.
“Satu hal yang masih tante tidak mengerti, kenapa kamu membuat perjanjian itu di awal perjodohan kalian?”
Bara menunduk lalu menghela napas kemudian dengan sedikit keberanian menatap wajah Kirana. “Saat itu, Bara masih berpacaran dengan Clarissa.”
Mata Kirana langsung memancarkan kekecawaan. “Bahkan saat kamu bertunangan dengan Gia, kamu masih berpacaran dengannya, kan? Dan yang membuat tante sedih adalah Gia mengetahuinya.”
“Tante, Bara tahu Bara salah….”
“Dan kamu berpikir tante akan tetap melanjutkan pertunangan kamu dengan Gia setelah mengetahui hal ini?”
“Tante…”
“Pertunangan kamu dengan Gia sudah dibatalkan! Itu yang terbaik untuk semuanya!” Kirana baru saja hendak pergi lalu sejenak dia menatap Bara. “Demi persahabatan tante dengan mama kamu, tante harap kamu menerima keputusan ini dan… kalau kamu benar-benar mencintai Gia, tante mohon… jangan tambah rasa sakit hatinya.”
∆ ∆ ∆
Langkah kakinya berjalan gontai di lorong rumah sakit. Pikirannya terus berputar pada perkataan terakhir Kirana. “Tante mohon… jangan tambah rasa sakit hatinya.”
Perlahan Bara membuka grendel pintu ketika dirinya berhenti tepat di depan kamar rawat inap Gia, namun belum sepenuhnya pintu terbuka, Bara mendengar dua orang sedang berbicara di dalam. Bara sangat mengenal kedua suara itu.
“Adnan, maafin Gia ya?”
“Kenapa lo minta maaf?”
“Karena Gia enggak menepati janji.”
“Janji?”
“Gia kan pernah janji enggak akan sakit,” Terdengar suara isakan. “Tapi Gia malah sakit, Gia keracunan obat diet yang Gia pikir… Gia pikir…”
“Ssshhh, enggak apa-apa,” Adnan refleks memeluk Gia. “Enggak ada orang yang bisa mencegah dirinya sakit.”
“Tapi, kalau Gia enggak berlebihan makan obatnya pasti Gia enggak akan sakit,” Gia mendongak sedikit menatap Adnan dengan mencebikkan bibirnya. “Maafin Gia ya?”
Adnan mengacak rambut Gia pelan. Dia menjadi gemas dengan ekspresi Gia. “Gimana bisa gue enggak maafin lo dengan ekspresi seperti itu? Astaga!”
Gia lalu melepaskan pelukannya. Kemudian dia sejenak melihat keluar jendela. Wajahnya terlihat sendu dan tersirat kerinduan di kedua sorot matanya. Ya! Gia merindukan Bara-nya.
Sedangkan Bara? Mengetahui Adnan sedang bersama Gia, dia memutuskan untuk tak jadi masuk ke kamar. Kini dia sedang berdiri dengan punggung bersandar di tembok tepat di samping pintu.
Hatinya mencelos mendengar Gia dengan manjanya meminta maaf pada Adnan juga melihat bagaimana Adnan mencoba menenangkan Gia dengan memeluknya.
Biasanya Bara cemburu.
Biasanya Bara akan naik pitam.
Tapi kali ini, dia menahan semua emosi.
Kali ini, dia membiarkannya dengan rasa terpendam.
∆ ∆ ∆