FIDELITY (Sequel Quandary) [T...

By atyampela

1.8M 73.9K 1.6K

[Telah diterbitkan oleh Namina Books. Tersedia di Toko Buku Online dan Google Play Store] Link PlayStore: htt... More

P R A K A T A
1. Hidup Baru
2. Masih Mau Kehilangan?
3. Surgamu
4. Tanda Tanya
5. Jawaban Dari Masa Lalu
6. Life Must Go On
SEKILAS INFO CHANTIQ
OST QUANDARY IS READY!!!
22. Hamil
24. Mawar Kenangan
32. Strength and Fear
34. Wonderful job
46. Happily Ever After
About This Story
ARE YOU READY GIRLSS??
Quandary sudah ada di Gramedia! Fidelity gimana?
Tersedia di PlayStore
PROMO DISKON RAMADHAN
Info cerita Juna-Diana
Rekomendasi Online Bookstore

39. Bimbang

36K 4.5K 154
By atyampela

Hari ini aku beserta Mas Damar dan anak-anak mengunjungi rumah Ibu untuk menghadiri acara peringatan hari ulang tahun almarhum kakek Mas Damar dari pihak Ayah. Tidak hanya kami berempat, keluarga besar Mas Damar yang lainnya juga turut hadir sehingga suasana di rumah Ayah dan Ibu jadi semakin ramai.

"Viana makin lama dilihat makin mirip Mbak May deh."

Aku hanya tertawa ketika Hendri─sepupu Mas Damar─ berkata seperti itu saat aku sedang menatah Viana di teras. Hendri bukan orang pertama yang mengatakan hal itu, jadi aku sudah tidak heran lagi. Bahkan sejak masih bayi pun Viana sudah dibilang mirip aku oleh orang-orang, padahal wajah bayi kan masih bisa berubah-ubah. Tetapi sekian waktu berlalu sampai sekarang ketika usianya sudah memasuki tahun pertama, rupanya Viana tetap mempertahankan kemiripannya denganku.

Hendri yang semula duduk santai di kursi teras kemudian berjalan menghampiriku. "Mbak, boleh aku aja gak yang natih Viana?" pintanya.

Aku mengangguk seraya membiarkan Hendri menggantikanku memegangi Viana dan menuntunnya berjalan. Sementara itu aku beringsut istirahat di kursi teras. Pinggangku pegal juga kelamaan membungkuk mengimbangi langkah Viana yang maunya mondar-mandir terus.

Aku tersenyum melihat Hendri yang juga kelihatannya mulai kewalahan mengimbangi keaktifan Viana. Jika Hendri mengangkat tubuh Viana untuk digendong, Viana otomatis menggerak-gerakkan kakinya meminta turun dan berjalan.

"Sini, Dri, kalau capek gantian lagi sama Mbak," seruku.

Hendri menggelengkan kepalanya tanpa melepas pandangannya dari langkah Viana. "Gapapa, Mbak, olahraga," sahutnya.

Aku tertawa. Ah, waktu berjalan dengan cepat rupanya. Padahal rasanya baru kemarin Viana masih kugendong-gendong dengan kain bedung yang melingkupi seluruh tubuhnya tapi sekarang Viana bahkan sudah tidak betah lagi berdiam lama jika digendong.

Lamunanku terhenti saat ada usapan lembut yang menyapa puncak kepalaku bersamaan dengan sosok Mas Damar yang menduduki sisi kosong di sebelahku. "Aidannya mana, Mas?" tanyaku padanya sebab tadi waktu kutinggal ke teras Aidan lagi main sama Sion dan kuminta Mas Damar mengawasi mereka.

"Tepar dia kecapekan main. Sekarang lagi tidur di kamar," jawab Mas Damar. Aku membulatkan mulutku membentuk huruf O seraya mengangguk-anggukkan kepalaku.

Mas Damar kemudian beralih menatap Viana dan Hendri. Ia tersenyum melihat Hendri yang terlihat antusias mengiringi langkah Viana. "Bikin dong, Dri. Udah cocok lu jadi bapak," seru Mas Damar meledek Hendri.

Hendri mencibir seraya menuntun Viana ke arah kami. Sudah mulai pegal juga dia kayaknya. "Ijazah dulu lah, Mas, baru ijab sah. Jodoh aja belum kelihatan."

Mas Damar tertawa kemudian mengambil Viana dari Hendri lalu memangkunya. "Kalau belum kelihatan, ya dicari, Dri. Mana tahu ketutupan."

Hendri mengangkat kedua bahunya bersamaan kemudian menduduki tempat duduknya tadi─berhadapan dengan Mas Damar. "Kaku gue, Mas, kalau ngomong sama cewek," keluhnya.

Mas Damar memasang tampang prihatin seraya memajukan sedikit posisi duduknya. Tangannya terulur untuk menepuk-nepuk bahu Hendri. "Tenang, Dri, Mas ajarin," ujarnya menawarkan diri.

Aku menyipitkan mataku melirik ke arah Mas Damar. Mau ngedoktrin ajaran sesat macam apa nih orang?

"Lu kalau ketemu cewek yang menarik gitu di mata lu tapi lu belum kenal sama dia, langsung aja lu tepuk pundaknya terus asal sebut nama, misal 'Mbak Joko ya?' gitu."

Begitu mendengar idenya, aku langsung bereaksi menyenggol lengan Mas Damar. "Mana ada, Mas, cewek namanya Joko," protesku.

"Nah, justru itu!" seru Mas Damar. "Kan pasti dia bakal nyangkal tuh. Kalau dia udah nyangkal, ntar lu bilang 'oh, maaf ya saya kirain kenalan saya. Karena kita berdua belum saling kenal, boleh kenalan gak?' gitu, Dri."

Hendri langsung terbahak mendengarnya, sementara aku cuma bisa geleng-geleng kepala mendengar ide Mas Damar. Sadis, bung!

"Terus gimana lagi, Mas?" tanya Hendri antusias. Ini si Hendri mau aja lagi diajarin yang aneh-aneh sama Mas Damar.

"Abis itu pas kenalan lu jabat tangannya agak lamaan dikit, terus bilang 'ternyata gini ya rasanya menggenggam masa depan'."

Kalau tadi aku sudah geleng-geleng kepala, sekarang aku sampai memijat pelipisku. Pusing dengan isi otak Mas Damar. Kacau cuy! Ada-ada aja trik modusnya.

Aku kemudian berdiri dan mengambil Viana dari pangkuan Mas Damar. "Aku mau mandiin Viana dulu," pamitku. Terserah Mas Damar kalau masih mau ngedoktrin Hendri pakai ajaran modusnya, aku gak ikut-ikutan. Aku mau mandiin Viana dulu aja soalnya udah sore juga.

Saat masuk ke dalam dan melewati ruang tamu, Ibu memanggilku. Aku pun lantas menghampirinya.

"Kamu udah makan belum? Makan dulu, May. Ibu kayaknya belum lihat kamu makan dari kamu datang tadi siang."

Aku tersenyum dan mengangguk. "Iya, Bu, nanti abis mandiin Viana May makan ya," jawabku. Ibu mengangguk lalu mengusap kepalaku.

"Bu, ini ada Tante Wiwik." Aku dan Ibu sama-sama menoleh pada sosok yang datang bersama Mas Damar. Kalau aku gak salah ingat, Tante Wiwik ini tantenya Mas Damar─adiknya Ayah─ yang tinggal di Riau. Jadinya kita jarang banget ketemu. Terakhir aku ketemu sama Tante Wiwik ini kayaknya waktu Diana dan Juna married deh. Aku gak tahu deh ini Tante Wiwik tahu atau enggak kalau sekarang aku sudah menikah dengan Mas Damar.

Ibu bangkit berdiri dan menghampiri Tante Wiwik yang juga berjalan ke arahnya. "Assalamualaikum, Mbak. Maafin ya baru sempet balik ke Jakarta. Gimana? Sehat semuanya?" ujar Tante Wiwik seraya menyalami Ibu.

"Wa'alaikumsalam. Alhamdulillah, Wik. Kamu sendiri gimana? Gak sama suami?" tanya Ibu balik.

"Aku baik-baik juga kok, Mbak. Mas Triyo masih di rumah mertuaku, nanti habis maghrib dia nyusul. Aku pamit duluan kesini soalnya udah kangen banget sama keluarga disini," jawab Tante Wiwik. Senyumnya di wajahnya tiba-tiba menghilang bersamaan dengan kedua tangannya yang menggenggam erat tangan Ibu. "Mbak, aku turut berduka soal Dion ya. Maaf aku gak bisa hadir disini waktu itu," ujarnya kemudian.

Ibu tersenyum dan mengangguk. "Iya, Wik, gapapa kok. Makasih yaa. Oh iya, ayo Mbak antar ketemu Mas Daryono. Mas-mu pasti seneng kalau tahu kamu kesini."

Saat hendak pergi bersama Ibu, Tante Wiwik sepertinya menyadari keberadaanku yang sedari tadi berdiri di belakang Ibu menggendong Viana. "Tunggu, tunggu, ini Maydina kan ya?" tanyanya. Aku mengangguk seraya menyalaminya.

"Cantiknya gak berubah ya. Apa kabar, nak?" tanyanya seraya mengusap kepalaku.

"Alhamdulillah, Tante."

"Kalau si kecil ini pasti anaknya Vivian ya?" tanyanya lagi, kali ini sambil mengelus pipi Viana.

"Iya, Tante," jawabku.

Saat menatapku kembali, sorot mata Tante Wiwik terlihat agak sendu. "Tante juga turut berduka cita ya, May, soal Vivian. Semoga dia mendapat tempat terbaik di sisi Allah," ujarnya. Aku mengangguk seraya meng-aamiin-kan do'anya. "Tapi Tante juga turut senang karena kamu yang menjadi ibu untuk anak-anak Vivian," lanjut Tante Wiwik kemudian. Aku tersenyum seraya mengucapkan terima kasih. Berarti Tante Wiwik tahu kalau Mas Damar dan aku sudah menikah. Ya iyalah, May, Ayah juga kan pasti ngabarin sanak saudaranya.

"Ngomong-ngomong kalau May udah isi atau belum?"

Aku sedikit kaget mendengar pertanyaan itu tetapi kemudian menggeleng pelan. "Doain aja ya, Tante," jawabku.

Tante Wiwik terlihat kaget. "Oh, belum toh?" tanyanya. Ia kemudian menoleh ke arah Mas Damar. "Perasaan sama yang duluan cepet, Dam. Udah kadaluwarsa apa gimana kamu?" tanyanya pada Mas Damar. Aku tahu mungkin maksud Tante Wiwik ini hanya bercanda semata, tetapi entah kenapa hatiku sedikit terusik saat ia membandingkanku dengan istri Mas Damar yang sebelumnya, Mbak Vivian.

Mas Damar hanya tertawa canggung atas wejangan yang diberikan Tante Wiwik tetapi matanya melirik was-was ke arahku. Sepertinya Mas Damar menyadari moodku yang langsung berubah seketika saat Tante Wiwik bicara seperti itu. Tidak, aku bukan marah, tetapi entah kenapa rasanya seperti ada belati yang menancap di dadaku. Sakit.

Aku tahu, aku memang berbeda dengan Mbak Vivi. Aku tidak bisa seperti dirinya yang mau dengan mudah melepas karirnya demi keluarga dan aku juga tidak seperti dirinya yang bisa memberi Mas Damar keturunan dengan cepat pasca menikah.

"Ehm, Wik, ayo kita ke ruang keluarga. Kamu belum ketemu Mas Daryono kan," ajak Ibu seraya merangkul lengan Tante Wiwik lalu membawanya pergi bersamanya.

Setelah Ibu dan Tante Wiwik pergi, Mas Damar mendekat ke arahku. "May─"

"Aku mandiin Viana dulu, Mas," potongku. Apapun yang ingin Mas Damar katakan, aku tidak bisa mendengarkannya sekarang. Tidak dengan perasaan yang berkecamuk seperti ini.

***

Sebisa mungkin aku mencoba untuk tidak larut dalam emosi dan pikiranku sendiri saat sedang memandikan Viana. Ini sulit, terlebih dengan paru-paruku yang terasa sesak seperti ini. Semakin ditahan, justru malah semakin terasa sakitnya.

Aku sedikit kaget saat ada cipratan air yang mengenai wajahku. Seperti biasa, Viana tak bisa diam saat dimandikan di dalam bathtub. Ia selalu menggerak-gerakkan tangannya hingga airnya bercipratan kemana-mana bahkan sampai mengenai wajahku.

"Sebentar ya sayang, Bunda bilas dulu." Setelah mengguyur tubuh Viana dengan air bersih, aku kemudian mengelap wajahku dengan lengan bajuku.

Aneh. Semakin kuseka, tetesan air di lengan bajuku juga semakin banyak. Kenapa mataku tidak bisa berhenti mengeluarkan air padahal sepertinya tadi cipratan air dari tangan Viana tidak sampai masuk ke mataku.

Menyerah, aku lantas mengangkat tubuh Viana dari dalam bathtub dan melilitkan handuk ke badannya agar ia tidak kedinginan.

Alih-alih keluar dari kamar mandi, aku memilih untuk duduk di atas closet yang tertutup. Kutatap Viana sambil mengelap tubuhnya dengan handuk agar kering.

Apa memang sudah takdirku seperti ini?

Aku hanyalah seorang ibu pengganti, bukan seorang istri.

Aku bisa mengurus anak-anak, tapi belum bisa memberi Mas Damar anak.

Tangisku hampir saja pecah jika Viana tidak menepuk pipiku dengan tangan mungilnya. Ia melonjak-lonjak dalam pangkuanku seolah memintaku untuk berdiri dan membawanya keluar. Ah, aku memang tidak seharusnya bersedih di hadapan anak kecil.

Kuhirup napas dalam-dalam untuk mengisi ruang di paru-paruku. Sebelum keluar kamar mandi, kupastikan seluruh wajah, termasuk mataku, sudah sepenuhnya kering. Aku tak ingin ada yang mengetahui kalau aku menangis. Bahkan jika hanya Aidan sekalipun.

Begitu keluar dari kamar mandi, Mas Damar sudah duduk di tepi ranjangnya. Seolah memang tengah menungguku keluar. Aku memilih tak mengindahkan kehadirannya dan mengambil baju serta perlengkapan mandi Viana.

"May..." panggilnya. Aku hanya berdehem untuk meresponnya sementara tanganku tetap sibuk memakaikan Viana baju.

"Kalau kamu mau marah─"

"Aku gak marah, Mas," potongku langsung.

Kudengar Mas Damar menghela napas pelan. "May─"

"Udahlah, Mas." Sekali lagi aku memotong kata-katanya. Kemudian aku mendongakkan kepalaku untuk menatapnya sambil tersenyum tipis. Senyum yang benar-benar kupaksakan. "Aku harus marah sama siapa juga? Sama Tante Wiwik yang mungkin gak tahu apa-apa, atau sama diriku sendiri karena terlalu perasa?" tanyaku.

Mas Damar terdiam.

Setelah selesai memakaikan Viana baju, aku meminta Mas Damar menggendongnya. "Aku mau mandi dulu sekalian nanti mandiin Aidan kalau udah bangun. Mas keluar duluan aja sama Viana," ujarku yang kemudian berlalu masuk kembali ke dalam kamar mandi tanpa menunggu persetujuan ataupun jawaban dari Mas Damar.

Kunyalakan shower sementara diriku duduk di atas closet dengan kedua tangan berpangku pada lutut. Menopang kepalaku yang terasa berat karena dipenuhi banyak hal yang baru terpikirkan olehku sekarang. Gemericik suara air yang menyapa lantai kuharap mampu untuk menutupi suara isak tangisku saat ini. Aku sudah menahannya sebisa mungkin di hadapan Mas Damar, tapi kini ketika aku hanya sendiri rasanya seluruh pertahananku luruh.

Harusnya aku sadar, dengan menjadi pengganti berarti aku harus siap dibandingkan dengan yang pertama.

Harusnya aku juga sadar, bahwa dalam pernikahanku dengan Mas Damar saat ini tak bisa lepas dari pernikahannya dengan Mbak Vivi di masa lalu.

Harusnya aku pun menyadarinya dari awal, bahwa menikah dengan duda tidak semudah menikahi perjaka.

Harusnya aku sudah siap dengan semua risiko yang akan terjadi ketika aku telah memilih untuk menjadi pendamping Mas Damar, tapi entah kenapa kini batinku justru mulai bertanya-tanya. Apakah keputusanku untuk menikah dengan Mas Damar sudah menjadi keputusan yang tepat? Apakah aku mampu menjalani peran sebagai seorang istri sekaligus ibu tiri?

***

To be continue

===========================

Continue Reading

You'll Also Like

ALGRAFI By Liana

Teen Fiction

34.2M 2.7M 72
[SUDAH DI FILMKAN] Berawal dari keinginan bocah laki-laki berusia 7 tahun bernama Algrafi Zayyan Danadyaksa yang merasa harus melindungi sahabat keci...
21.1M 1.1M 71
Sudah di terbitkan oleh penerbit Rainbookpublishing (FOLLOW SEBELUM BACA!) TERSEDIA DI SELURUH TOKO BUKU INDONESIA (offline maupun online) Rank #1 re...
19.3M 1.1M 54
AVAILABLE ON GRAMEDIA DAN TBO COUPLE IN PRIVACY, STRANGERS IN PUBLIC! [ PART DI UNPUBLISH SECARA ACAK ] Zeya menatap sinis. "Gak usah sok baik ke gu...
5.5M 381K 61
"Len, jadi mama gue ya." Ucap Divia dengan wajah memerah dan air mata yang sedari tadi meluruh. Sontak gadis dengan nama Alenza Putri Hartono meneguk...