Dear mr Darkness
Stop being rough!
~○♤♡♤●~
*Calsey POV*
Semenjak saat itu--saat dimana aku ketahuan pergi dari rumah Edward dan memilih menemani Emely untuk belanja-- gudang ini sudah resmi menjadi tempat tidurku. Tempat penyimpanan barang-barang rongsokan, penuh dengan debu dan sarang laba-laba. Begitulah.
Kupikir Edward hanya akan menghukumku dengan menjadikan gudang ini sebagai tempat tidurku, namun yang sebenarnya terjadi bukan hanya itu saja. Dia sering membentakku setiap kali aku melakukan sesuatu, menyalahkanku pada semua hal yang tidak kumengerti, dan yang terburuk.. dia sudah mulai melakukan kekerasan fisik terhadapku.
Ini terjadi seminggu yang lalu.
Edward terlihat sangat kusam sekali saat dia baru pulang dari--entahlah--suatu tempat yang mungkin itu adalah tempat kerjanya. Dia menyuruhku membuatkannya beberapa makanan, padahal dia tahu bahwa dia punya pembantu, namun kupikir dia melakukan itu hanya untuk membuatku kerepotan. Karena tidak ingin menambah lebih banyak masalah, aku memilih untuk menurut. Aku membuatkannya cookies sesuai yang diajarkan Emely padaku. Namun, saat dalam proses pembuatannya, aku malah melakukan kesalahan yang membuat cookies-ku gosong. Mengetahui hal itu, dia pun marah besar, mengatakan bahwa aku tidak berguna lalu memaksaku untuk membuat cookies yang baru, kali ini dia sendiri yang memantauku. Keberadaannya membuatku tidak bisa fokus, sehingga aku sering melakukan kesalahan-kesalahan yang lain. Jika dia mengetahui kesalahanku, dia akan memukul kedua tanganku dengan penggiling adonan. Shit, dia bahkan tidak main-main mukulnya.
Damn, jika saja aku tidak bisa membuat cookies yang sesuai dengan seleranya maka tanganku sudah tidak bisa digerakkan lagi akibat sering dipukul.
Kejam sekali dirinya.
Itu masih sebagian kecil dari kekerasan yang ia lakukan. Masih ada banyak lagi kekerasan yang ia tujukan ke diriku.
Hahhh..
Sumpah, jika ada yang menanyakan pendapatku tentang Edward, aku bisa memberikan jawaban hanya dengan satu kata : GILA.
Maksudku, dia mengaku bahwa dia mencintaiku, namun apa yang ia lakukan tidak sesuai dengan apa yang dia ucapkan. Lagipula, orang normal seperti apa yang akan menyakiti orang yang ia cintai sampai-sampai timbul memar di sekujur tubuhnya. Jawabannya tidak ada! Kecuali dia adalah orang dengan gila dan dia tidak cinta terhadap pasangannya. Astaga! Aku bukan pasangannya. Tapi seperti itulah perumpamaannya.
Aku tidak akan segan untuk mengatakan bahwa Edward itu punya masalah mental, karena sebagian dari diriku percaya kalau itu benar-benar terjadi. Dia tipe manusia labil dengan emosi yang cepat sekali berubah. Itu membuatnya semakin menakutkan.
Disisi lain, Edward masih saja bersikap menyebalkan dengan menggodaku sesekali dan memperlakukanku dengan lembut selayaknya kekasih--walau aku sama sekali tidak menyukainya-- lalu sekejap dia berubah menjadi kasar, memaksa kehendaknya dan memukuliku beberapa kali. Itu selalui terulang.
Ada apa ini?
Semua itu terjadi secara tiba-tiba.
Aku tidak tahu masalah apa yang tengah dialami olehnya, tapi kebrutalannya--dengan mengacak barang-barang--membuatku berpikir bahwa dia berada dalam keadaan yang tidak stabil.
Edward tidak pernah menyinggung pekerjaannya walau aku pernah menanyainya sekali. Saat aku tanya, dia hanya menjawab : "Kau tidak perlu tahu. Yang penting, aku bisa mendapatkan uang demi kebahagiaan kita berdua." Semenjak itu, aku tidak lagi bertanya. Aku merinding sekaligus jijik dengan ucapannya, karena dia terlalu percaya diri bahwa aku akan menerimanya begitu saja. Maaf saja, setampan apapun dia, aku tidak akan mau menerima pria kasar untuk menjadi pasanganku.
.
.
.
.
Aku masih ingat adegan 2 hari yang lalu. Waktu itu, Edward menamparku karena aku menolak ciumannya. Karena tamparannya, tubuhku seketika terjerembab di lantai gudang yang dingin. Tubuhku bergetar luar biasa karena ketakutan. Kulihat matanya yang sehitam angkasa saat dia mulai menindih tubuhku. Matanya adalah senjatanya. Saat kau menatapnya, kau akan merasa telah dibekukan.
Edward mendekatkan bibirnya di pipiku, memberikan ciuman di wajahku. Dengan suara yang serak dia berujar. "Apa yang kau harapkan, Cal? Kau selalu menolakku. Apa yang harus kulakukan?" Dia bergerak dengan hati-hati, mendekatkan wajahnya sekali lagi ke leherku dan mengecupnya beberapa kali disana.
Tubuhku meremang saat merasakan benda itu menyentuh permukaan kulitku.
Karena tidak tahan, aku berteriak di wajahnya.
"Aku tidak menyukaimu, you fucking pervert!"
Edward melotot seketika. Aku bahkan tidak percaya telah mengeluarkan kata-kata seperti di depan wajahnya. Aku dapat menangkap matanya mengilat tidak suka, tapi itu hanya berlangsung sekejap karena dia sudah memasang wajah datarnya kembali.
Hening.
Kami terdiam cukup lama. Badanku masih bergetar di bawahnya dan dia masih berusaha menghipnotisku melalui mata kegelapannya itu.
Waktu berjalan lamban ketika dia mulai menaikkan sudut bibirnya. Yeah, seringaian penuh misteri itu lagi. Aku tidak tahu apa maksud dari seringaian mengerikan itu dan kenapa juga dia melakukannya padahal aku sudah mengatakan hal yang mungkin menyinggung perasaannya?
Dengan desahan napas yang pelan, tubuhku meremang, menegang begitu dia berbisik.
"Tidak peduli jika kau tidak menyukaiku, kau tetap akan menjadi milikku,"
♧◇♤
*Edward POV*
Seorang pria tua tersenyum ke arahku setelah dia memperhatikan barang di tangannya secara seksama. Aku membalas senyumnya.
"Well, Gibbs, aku tidak tahu apa ramuan yang kau pakai, tapi barang ini cukup membuatku terkesan." Pria tua itu, Gilbert berujar. Senyuman masih saja bertahan di wajahnya, "Walau jujur saja, aku sedikit khawatir pada salah seorang konsumenku yang melapor bahwa polisi sempat mencurigai barang ini, tapi kau cukup cerdik mengelabui mereka."
Aku mengibaskan tanganku, "Tuan Comert, anda tidak perlu khawatir. Barang itu sudah saya atur sedemikian mungkin, dan juga sudah lulus uji. Tujuan kami hanya satu, yaitu berusaha mungkin agar tidak mengundang kecurigaan polisi. Itulah kenapa aku memakai kadar yang lebih sedikit untuk permen itu. Walau efek ketagihan yang ditimbulkannya lama, tapi ini lebih aman,"
Gilbert menganggukkan kepala paham, "Pantas saja hasil lab mereka tidak dapat mendeteksi inti zatnya. Ternyata kau menambahnya dengan kadar zat yang lebih sedikit dari biasanya,"
Aku menggelengkan kepala, "Sebenarnya, jika mereka menguji di laboratorium lebih dari yang biasa mereka lakukan, zat itu bisa saja terdeteksi. Hanya saja, polisi biasanya melakukan pengecekan itu sampai 3 kali, padahal jika mereka melakukan pengujian sampai 5 atau 6 kali, mereka akan mengetahui kandungan permen itu,"
Gilbert mengerutkan dahi.
"Tapi," aku melanjutkan, "kami sedang berusaha untuk membuat inovasi yang lebih baru dan lebih aman dari pantauan polisi. Ini masih tahap perkembangan."
Aku menyuruh Carl yang berdiri di sampingku untuk meletakkan koper yang selama ini ia pegang ke atas meja. Carl melakukannya dan membuka isi koper tersebut.
Aku menjelaskan isi koper itu,
"Ini adalah beberapa contoh yang kami bawa. Walau presentasinya masih 64% kurasa ini masih bisa untuk para konsumen anda,"
Gilbert memegang dagunya, berpikir. Cukup lama berpikir, hingga akhirnya dia menepuk tangannya 2 kali, bermaksud untuk menyuruh seseorang pria yang berdiri di ujung ruangan--yang sedari hanya berdiri mematung memperhatikan kami--datang dan menyodorkan sebuah koper ke dirinya.
Seolah robot, pria itu menurut dan menyodorkan koper itu. Gilbert langsung mengambil alih koper itu.
"Gibbs, mungkin ini tidak seberapa, tapi..." Gilbert membuka koper itu sehingga isi dalam koper itu seketika terpampang, "...kuharap ini cukup untuk barangmu itu,"
Aku dapat melihat uang dalam jumlah cukup banyak.
"So?"
Gillbert sudah menyodorkan tangannya, bermaksud untuk membuat persetujuan. Aku terdiam beberapa saat, kemudian menyambut tangan pria itu dengan senyuman.
"Senang bisa berbisnis dengan anda, Mr. Comert,"
♧◇♡
Setelah pergi dari kediaman Gilbert, aku menuju ke tempat salah seorang teman dekatku, Hendrick. Aku bermaksud untuk cerita sedikit sekaligus meminta saran ke dirinya. Ini tentang Calsey.
Saat pertama kali aku menceritakan hal itu, dia tertawa lalu berujar : "Aku tidak menyangka bahwa kau tidak langsung menidurinya. Haha, tapi bung, harus kuakui--dari cerita yang kau sampaikan itu--wanita itu cukup tangguh. Maksudku, seorang pria yang memiliki umur yang jauh lebih tua darinya sering menggodanya dan dia masih sanggup untuk mempertahankan keperawanannya darimu. ckckck, itu luar biasa! Haha...dan juga, aku yakin dia pasti mengira bahwa kau adalah seorang pedofil,"
Begitulah. Pria itu lebih banyak menertawakanku daripada memberi masukan. Sialan memang! Jika dia temanku, aku tidak akan ragu untuk menjadikannya sebagai sarapan bagi binatang buas di hutan Northend.
Setelah sampai di rumahnya, aku mengetuk pintu, lalu kepalanya melongok. Mengetahui bahwa aku datang, dia membuka lebar pintunya dan menyuruhku cepat masuk. Dia langsung menutup pintu rumahnya begitu kami sudah berada di dalam rumahnya. Raut wajahnya was-was dan ketakutan.
"Ada apa denganmu?" tanyaku penasaran.
Dia melirikku sejenak dan menyuruhku mendekat, "Kau mungkin tidak percaya, tapi ada yang sedang mengincarku,"
"Siapa?"
Dia terdiam cukup lama, berdehem lalu berujar dengan nada yang lebih tenang.
"Hmm, lupakan saja. Anyway, apa yang membuatmu datang ke rumahku setelah sekian lama? Hmm?"
Dia baru saja tidak menjawab pertanyaanku? Oh yasudahlah.
Aku memilih mengikuti langkahnya menuju sofa ketimbang kepo dengan apalah yang tengah ia alami itu. Kami duduk berhadapan. Aku menceritakan maksud kedatanganku kepadanya.
Ketika kami ketemu di klub Eveline, dia bilang bahwa ada satu barang yang bisa ia beri padaku untuk membantu menyelesaikan masalahku. Untuk itulah aku kesini, menagih barang yang ia maksud.
"Oh itu, tunggu sebentar ya," dia pergi untuk beberapa saat, lalu kembali dengan sesuatu yang dibungkus di tangannya, "Ini," dia menyodorkan barang itu.
Aku mengambilnya dan melihat isi dalamnya.
Ini...
________________________________________
To be continued...
Vomment if you like it.
Saranmu sangat diharapkan dan diterima dengan senang ♡
Pekanbaru,
Rav