Haloooo...
Saya update ini lagi yaaaa...
Maaf kemalaman. Seharian ini saya berkutat dengan Nasty Glacie eh terus saya keterusan baca tentang kisah sedih dalam hidup Cast Heath Grahamm. Huwaaahhhh... kenapa hampir mirip sama Heath?
Entar deh yaaa kita rumpi di lapaknya sendiri. Sekarang, kita rumpiin Adam Rockwood dulu.
Love,
Honey Dee
***
Aku sama sekali tidak pernah menyangka kalau presentasi itu merupakan awal dari segalanya.
Aku memutuskan untuk menjalankan tugasku mementori anak-anak magang itu. Tugas mulia yang selalu diliput oleh kru RTN.
Kenapa?
Aku harus mengambil nafas panjang untuk menjawab ini.
Karena kurasa aku jatuh cinta pada Cattleya. Berada di dekatnya membuatku ketagihan. Dia seperti sebuah gellato enak yang baru kau lihat. Kau menginginkannya lagi dan lagi. Rasanya nyaman melihat Cattleya yang berambisi, tenang, berdedikasi, cantik, seksi... Oh, ayolah aku bisa memujinya seharian.
Setelah beberapa hari dalam kegalauan karena tidak bisa bertemu dengannya, melihat dia lagi di presentasi itu membuatku sadar banyak hal.
Beberapa laki-laki yang belum pernah jatuh cinta seperti aku memang akan sulit menerima kenyataan kalau kami sedang jatuh cinta karena memang rasanya asing sekali. Sungguh. Mulanya aku bingung apa yang kurasakan, sampai kuingat bagaimana Venus memaksaku dan Neptune menonton film-film drama kesukaannya, membaca novel-novel Nicholas Sparks miliknya dan mendengarkan Venus menceritakan drama cinta dengan pacar-pacarnya.
Kami dipaksa. Sekalipun hidung kami sudah mimisan, Venus tidak peduli. Dia terus mencekoki kami dengan cerita-ceritanya.
Sekarang baru bisa kurasakan keuntungannya. Aku berhasil mengenali penyakit yang menjangkitiku. Penyakit bernama jatuh cinta. Jatuh cinta kepada Cattleya bukanlah sebuah masalah lagi. Aku sudah menyiapkan siasat untuk memilih orang lain sebagai pemenang Rockwood Apprentice. Liam Carter yang selama ini selalu berdiri di belakang Cattleya akan mencapatkan kehormatan.
Kuakui, caraku sangat buruk. Membuat Cattleya kalah dari kompetisi adalah kebodohan. Cattleya adalah bintang. Dia mengerjakan semua tugas dalam Rockwood Apprentice dengan luar biasa. Dia mengupas semua yang ia tahu tentang commercial banking dalam presentasi yang membuat kru televisi hingga semua setan yang ada di ruangan itu ternganga penuh kekaguman.
Di satu waktu aku melihat Cattleya membaca dengan serius buku Handbook for Commercial Aerospace business; Regulation sambil menuliskan sesuatu di kertas-kertas memo yang ia selipkan di halaman bukunya. Jangan terkecoh dengan judul buku itu. Walau tertulis handbook, tapi buku itu jauh lebih tebal dari pada sepuluh buku Encyclopedia of Britannica.
Dia tidak menyerah.
Dia masih mengerjakan proyek Blackhall.
"Kenapa kau tidak menyerah saja? Kau menghabiskan banyak waktumu untuk menggali tambang kosong," ucapku ketika melihatnya berdiri frustasi menatap surat penolakan dari NRO.
Kupikir dia akan menangis ketika menatapku dengan wajah datar selama beberapa menit. Kemudia dia tersenyum lebar. "Lihat saja nanti," ucapnya penuh kepercayan diri seolah surat penolakan itu tidak pernah ada.
Beberapa hari kemudian dia berdiri di depan pintu ranganku sambil bersiul seperti cowboy. Ketika aku menoleh, dia melambaikan sebuah map kuning dengan logo NRO di depannya. Walau dari kejauhan aku bisa dengan jelas stempel TOP SECRET dan DESTROY di bawah logo besar NRO.
"Siapa yang kau tiduri untuk mendapatkan itu?" tanyaku antara heran dan marah. Aku ingin dia tahu kalau aku sangat marah. Dokumen itu tidak bisa didapatkan begitu saja. Dia pasti melakukan hal kotor.
Apa ada yang memperhatikan kalau rahangku mengeras dan tanganku mengepal ketika mengatakannya?
"Memangnya itu urusanmu?" Cattleya tersenyum manis, lalu melambaikan tangan dan meninggalkanku.
Dengan siapa dia tidur memang sama sekali bukan urusanku. Rasa sakit yang menonjok paru-paru inilah urusanku. kulempar kotak telepon ke arah monitor besar. Keduanya hancur bersamaan.
Kau tahu, adakalanya aku juga mencoba untuk berbaikan dengannya. Aku ingin mengatakan kepadanya, 'Ayo berteman. Aku akan belajar untuk menjadi orang yang baik.'. Yang kudapatkan hanyalah penolakan. Dia sudah terlanjur membenciku.
"Bagaimana rasanya jatuh dari surga?"
Cattleya menatapku. Mulanya pandangannya terkejut, lalu tiba-tiba rahangnya mengeras. Air mukanya terlihat sangat marah.
Kenapa dia? Apa yang terjadi kepadanya?
"Maksudmu, aku ini setan?" Cattleya mengangkat sebelah alisnya. Penuh tantangan.
Aku menelan ludah dengan susah payah. "Bukan maksudku, aku ingin mengatakan kalau kau adalah bidadari dari surga."
Ia menggeleng keras. "Tidak pernah ada bidadari yang jatuh dari surga, Mr. Rockwood." Suaranya mendesis mematikan. Ia menaikan sebelah alis hitamnya lagi. "Bidadari punya sayap kalau kau belum tahu."
Gadis itu berjalan meninggalkanku yang melongo.
"Bukan perempuan yang mudah, ya?" Dhaniel meletakkan tangannya di bahuku. Aku menatapnya tidak percaya. Ia terkekeh.
"Sudah banyak yang mencoba. Semua gagal. Dia tidak tersentuh." Dhaniel menekan keran dispenser dan mengisi gelasnya dengan air dingin.
Tidak. Jawabannya hanya satu. Dia membenciku.
Apa ini usaha terakhirku?
Tidak. Aku orang yang gigih. Aku akan terus berusaha sampai menang, sampai dia jadi milikku.
"Perkembangan apa yang kau peroleh tentang NRO?"
Cattleya mendongak dengan kaget. Dia sedang membaca Spacecraft Engineering Business; Historical Records ketika aku mendekati mejanya. Sebenarnya tidak ada alasan lain selain karena aku merindukannya.
Ia menghela nafas, lalu menekan batang hidungnya. "Aku sudah membaca banyak berkas, tapi belum mencapai sebuah kesimpulan yang kuharapkan."
Aku bisa melihat wajahnya yang kelelahan. Cattleya tetap cantik. Walau rambut hitam ikalnya diikat sembarangan di belakang kepalanya, dia tetap memikat. Tapi ada garis-garis di wajahnya yang memperlihatkan betapa letihnya dia.
"Ini sudah terlalu sore. Kau harus pulang." Oke. Aku kasihan kepadanya. Gadis ini bekerja terlalu berat. "Hanya tinggal kau dan... eh, si Carter itu di sini."
Ia menggeleng. "Tidak sekarang. Masih ada yang mengganjal."
Aku menghela nafas dan duduk di atas mejanya. "Kau tahu tentang hubungan NRO dan NASA?"
Cattleya mengerutkan dahinya. Ia terlihat ingin mengucapkan sesuatu, namun kemudian dia menutup mulut dengan tangan dan membelalakkan matanya.
"Astaga! Kau benar!"
Ia membuka tangan yang menutupi mulutnya. Wajahnya berbinar ceria. Bibirnya yang berkilau tersenyum. Ya, Tuhan! Dia seharusnya berada di surga.
"Aku punya teman di NASA," ucapnya riang. "Dia pasti mau membantuku. Kenapa aku repot sekali dengan buku-buku sialan ini?"
"Seperti kau punya teman di NRO?"
Cattleya tergelak. Dia menyandarkan bahunya di kursi. Dadanya yang indah nampak sangat sempurna di dalam blusnya.
"NRO itu rahasia. Sumberku bisa mati kalau sampai aku membuka suara," ucapnya dengan suara yang sangat kecil sampai yang kudengar nyaris seperti bisikan. "Kenapa aku sama sekali tidak memikirkan ini. Astaga!"
Dengan apa aku harus menelan rasa sakit yang menggumpal di tenggorokanku ini?
"Dia, eh, pacarmu? Orang NASA itu?"
Jujur saja, aku malu sekali menanyakannya. Sebelumnya, aku tidak pernah peduli perempuan yang kutiduri punya pacar atau suami. Saat aku menginginkannya, aku akan menidurinya.
Cattleya menatapku. Masih dengan senyum bahagia yang sama.
"Bisa dibilang begitu," jawab Cattleya. Dia menghela nafas panjang. "Kami hanya berhubungan jarak jauh sekrang. Dia bilang, dia akan pulang. Aku ingin dia membawakanku oleh-oleh beberapa dokumen."
Aku sakit hati. Sudah jelas kan?
Dia punya pacar, seorang ilmuwan yang mungkin saja kutu buku, culun, berkaca mata seperti pantat botol, dan jelas kemaluannya pasti hanya sebesar jempol bayi. Rasanya perih menerima kenyataan gadisku mendapat kehidupan yang benar-benar membosankan.
"Ngomong-ngomong, terima kasih ya petunjuknya. Kupikir kau tidak bisa bersikap baik, Mr. Rockwood." Cattleya masih tersenyum. Entah karena petunjuk yang kuucapkan membuka pengetahuan baru untuknya atau pembicaraan kami yang mengingatkannya tentang pacar ilmuwannya.
"Aku mengambil ponselku yang tertinggal di meja Dhaniel," ucapku berbohong. "Kenapa kau tidak memanggilku Adam seperti yang lain?"
Cattleya tergelak. "Jadi akhirnya, aku boleh memanggilmu dengan nama depan?" Dia menggigit bbir bawahnya. Aku benar-benar suka caranya tertawa, tapi aku lebih suka ketika dia menggigit bibir seperti ini. Menggemaskan. "Kupikir hanya orang yang kau anggap pantas saja yang boleh memanggil dengan nama depanmu."
Kau pantas memanggilku apa saja yang kau mau, cantik.
Mungkin ini kesempatanku untuk membuat langkah awal yang menjanjikan. "Ya, biasanya begitu. Tapi, kupikir kau..."
"Hai, Mr. Rockwood!" Lalu datanglah pengacau keparat berambut pirang dengan wajah tanpa dosa yang dungu, Liam Carter. Dia tersenyum lebar penuh keriangan ketika melihatku. "Senang sekali melihatmu di sini."
Oh, ya? Kau mau sekalian mencium bokongku?
Aku nyengir. Cattleya berpaling kepadanya. Si pirang pengganggu ini kemudian menyentuh bahu Cattleya dan memijatnya. Persetan dengan Rockwood-sialan-Apprentice itu. Aku akan membunuh si pirang ini.
Tangannya masih memijat bahu Cattleya. "Aku tidak tahu denganmu, Cat, aku akan pulang. Ibuku sudah membuatkan makan malam."
Pulanglah ke ibumu, anak manja. Suruh ibumu memeriksa popokmu.
"Oh, astaga. ya. Aku juga harus menyelesaikan catatanku sebelum pulang." Cattleya menepuk tangan Liam carter. Untung saja lelaki pirang manja itu melepaskannya, kalau tidak sudah kubuat ibunya tidak bisa mengenalinya lagi.
Dia tersenyum dan menunduk padaku. "Oke. Selamat malam, Mr. Rockwood."
Aku tidak tersenyum kepadanya. Dadaku terlalu panas untuk memaksakan seringai sekalipun.
"Whooo, kau sangat menjaga image-mu rupanya." Cattleya menatapku dengan tatapan mengejek.
Bagaimana cara mengatakan kepadanya tentang rasa panas di dalam dadaku?
"Itu cuma perasaanmu," ucapku sambil melambaikan tangan.
Cattleya menutup buku tebalnya dan merapikan meja. Kupikir dia akan pergi. AKu mengumpulkan keberanian untuk mengajaknya keluar.
Ayolah, Adam, kapan lagi?
"Kau butuh penyegaran. Aku tahu tempat yang bagus di dekat sini."
"Apa aku tidak salah dengar?" Cattleya tergelak. "Kau akan meracuniku atau apa?"
"Sudahlah. Anggap saja ini bonus untukmu."
Cattleya mengangkat alisnya. "Asal kau jaga pikiranmu."
Aku menggeleng. "Kau yang harusnya menjaga pikiranmu. Memangnya apa yang kau pikir sedang kupikirkan?" Matanya mengawasiku.
Kuharap dia tidak bisa membaca pikiranku atau melihat ke arah celanaku.
Ia menghela nafas panjang, lalu mengangguk. "Oke."
Kau lihat ada bunga yang berjatuhan dari langit?
*
"Ya ya ya." Cattleya menatapku sambil mengikik geli. "Orang kaya, mobil mewah, klub mahal, rumah besar... Kalian sangat mudah terbaca."
Ia memandang sekeliling Empire dengan kekaguman. Restoran paling hebat untuk orang-orang populer di New York. Restoran ini milik Venus yang hampir tidak pernah ia pedulikan sejak memiliki dua orang anak. Tentu saja, dia memberiku kartu anggota VIP nya.
Aku tergelak. "Kau mendiskreditkan kaum minoritas?"
"Kau tersinggung? Seharusnya kau tersinggung dengan mobilmu. Porsche 911? Kupikir kau suka sesuatu yang lebih sangar."
"Mobil itu seperti perempuan. Kadang-kadang laki-laki ingin berfantasi mengendarai seorang perempuan."
"Karena di kenyataannya laki-laki yang dikendarai prempuan kan?"
"Oh, ya? Apa aku berhadapan dengan salah satu feminis?"
"Kalau feminis adalah orang yang membela martabat perempuan, ya, aku feminis paling militan." Cattleya tertawa lagi. Matanya berbinar-binar ketika tertawa.
Aku akan berdebat dengannya sepanjang malam kalau itu bisa membuatnya begini menawan.
"Kenapa perempuan sibuk sekali dengan feminisme?"
"Karena laki-laki selalu mendiskriminasikan perempuan. Kalian menganggap perempuan lebih rendah."
Aku tergelak. "Sudah kubilang kau perlu menjaga pikiranmu."
"Oh, sungguh? Bisa kah kau bilang begtu kepada perempuan-perempuan simpananmu?"
"Nah, tuduhanmu buruk sekali. Dengar, ya, aku tidak pernah menyimpan perempuan manapun." Cattleya menaikkan alisnya. "Aku memberi mereka kesenangan, lalu membebaskan mereka. Aku tidak pernah menghalangi mereka melakukan apa yang mereka suka."
"Kau memakai, lalu membuang mereka." Cattleya menumpukan dagunya pada tangan kiri. Mata bulatnya menatapku tajam. "Seperti tisu toilet. Iya, kan?"
Jelas ini bukan topik pembicaraan yang ingin kubahas dengannya sekarang.
"Ini yang membedakan. Aku memberi mereka kesenangan, bukan kotoran. Apa tisu toilet senang ketika dipakai? "
"Aku tidak pernah bertanya. Pernahkah kau bertanya setelah membuang mereka?"
"Cattleya, dengar, ya, aku melakukan apa yang merekasuka, apa yang mereka minta. Jika setelahnya aku memilih jalan untuk sendirian, kurasa itu bukan salahku. Setiaporang membutuhkan privasi."
"Ya, tentu saja. Apalagi pewaris Rockwood. Dia membutuhkan privasi. Dia akan membeli privasi kalau dia mau."
Cattleya memiringkan wajahnya. Matanya berkilat-kilat nakal. Tidak tidak. Yang kumaksud dengan nakal di sini adalah bahwa dia ingin membuatku marah, ingin terus menyudutkanku. Bukan nakal yang membuatku berhasrat kepadanya. Sepertinya dia memang tidak ingin membuatku menginginkannya.
"Kenapa kau selalu menyudutkanku?"
"Kau merengek akhirnya," ucapnya sambil tergelak. "Kau akan menuntutku?"
Aku akan menidurimu.
"Kau terlalu banyak menonton opera sabun."
Ia tergelak. "Kenapa kau menuduhku begitu? Karena aku latina?" Ia menggeleng pelan. "Bahkan aku tidak punya televisi dulu. Opera sabun adalah tontonan yang dibuat untuk orang-orang kaya. Mereka berkhayal betapa indahnya hidup penuh cinta walau tanpa uang."
"Kau pikir cinta hanya milik orang miskin?"
"Lalu, apa kau punya?"
Ya, aku punya. Kau cintaku.
"Tidak banyak yang kucintai di dunia ini, memang."
"Mobilmu termasuk di dalamnya?"
Kau termasuk di dalamnya.
"Kenapa kau pikir aku hanya mencintai benda-benda?"
"Karena memang begitu kan kenyataannya? Kalau kau mencintai seseorang, pasti kau sudah punya seorang kekasih sekarang. Kau tidak akan membuat pesta bugil dengan sekelompok perempuan yang bahkan tidak kau kenal."
Kata-katanya sungguh membuatku tertegun.
"Kalau semua gadis menginginkanmu, pasti ada salah satu dari mereka yang mau menjadi kekasihmu."
Hanya satu gadis yang kuinginkan. Tapi gadis itu lari dariku.
Aku menelan ludah sebelum berkata, "Itu keputusanku."
"Untuk menjadi perjaka selamanya? Sampai kapan kau bertahan? Sampai semua gadis di dunia ini sudah kau tiduri? Ayolah!"
"Sampai aku menemukan seorang gadis yang benar-benar tepat."
Cattleya terlihat sangat antusias. Dia melipat ke dua tangannya di atas meja. Tatapannya hanya tertuju kepadaku. Aku benar-benar gugup.
"Memangnya ada gadis yang pernah benar-benar kau sukai?"
Aku merasa terintimidasi sekarang. Dia mengajukan pertanyaan dengan menatapku seperti itu. Maksudku, siapa yang tahan dipelototi mata bulatnya yang berbinar indah seperti itu?
"Tidak ada, kan?" Ia menjawab pertanyaannya sendiri.
Cattleya melambaikan tangannya kepadaku. "Aku akan ke toilet. Kau bisa membuat janji dengan salah satu perempuan di sini untuk kau ajak ke kamarmu selama aku pergi."
Ia terkekeh-kekeh ketika meninggalkanku.
Kubenamkan wajahku di telapak tangan. Harusnya semua bisa jadi sangat mudah. Aku bisa mengatakan kepadanya kalau aku jatuh cinta kepadanya. Aku sangat menginginkannya. Dia tidak mungkin akan menolakku.
Tapi, bagaimana kalau dia menolakku?
"Adam Rockwood?"
Aku berpaling pada suara itu. Aku mengenalnya. Suara yang tdak akan kulupakan seumur hidupku. Kenapa dia berani menyebut namaku?
"Fuck! What the fuck are you doing here?"
Brennan Morrison berdiri di dekatku. Dia duduk di kursi Cattleya tanpa meminta izin.
"Ayolah, ini tempat umum, kan?"
Belum pernah aku begitu membenci orang lain seperti aku membenci jahanam ini. Tanganku mengepal menahan amarah.
"Penis siapa yang kau jilat sampai bisa masuk ke sini?"
"Aku hanya ingin menyapamu. Kau sedang berkencan?" Jahanam itu menyentuh sendok di piring Cattleya. "Ke mana teman kencanmu? Kau sembunyikan agar tidak lari padaku?"
Aku memajukan tubuh dengan marah. "Bagaimana kalau kau buat ini jadi mudah, keparat? Pindahkan pantat busukmu dari kursi itu sebelum kuhajar kepala sialanmu itu."
Dia tergelak. "Wow, kau cium ibumu dengan mulut kotor itu?"
Aku tersenyum dan melipat tangan di meja. "Aku bercinta dengan ibumu dengan mulut ini. So what?"
Jahanam itu tertawa. Tawa paling menjijikkan yang pernah kulihat.
Kalau aku harus memberi nilai satu hingga sepuluh untuk angka kebencianku kepadanya, kuberi dia angka seratus karena aku sepuluh kali lipat benci kepadanya.
"Dad? Aku sudah selesai cuci tangan," ucap seorang anak lekaki kecil kepadanya. Usianya enam tahun sepertinya. Tidak ada yang lebih mengejutkan dari ini. Bagaimana jahanam seperti dia bisa menjadi ayah?
"Menjadi pedofili sekarang?"
"Jaga mulutmu di depan anak kecil! Memangnya apa yang lebih penting dari hidup selain membuat keluarga." Jahanam itu mengelus kepala anaknya. "Ah, ya, aku lupa. Adam Rockwood punya masalah dengan masa lalunya. Dia tidak ingin lagi membuat ikatan. Kasihan."
Kalau bukan karena anak kecil itu ada di dekatnya, sudah kupecahkan kepala jahanam itu dengan botol anggur.
"Sam?" Suara jeritan Cattleya membuatku berpaling. Jahanam dan anak kecil itu juga berpaling kepadanya. "Ya, Tuhan! Sam!"
Ini pemandangan yang paling mengherankan. Cattleya bergegas menuju kami tanpa memedulikan sekelilingnya. Dia menabrak seorang pelayan tanpa meminta maaf. Matanya tertuju pada anak Morrison.
"Mom!" Anak kecil itu menjerit memanggil Cattleya.
Mom? Apa yang ia maksud adalah Mom yang berarti ibu atau ada arti lain yang tidak kuketahui?
Jahanam itu mengangkat anaknya dengan tangan kanan. Cattleya mengejar mereka. Aku menyusul. Jujur saja, aku masih bingung pada apa yang kulihat. Cattleya dan anak kecil itu sama-sama histeris.
"SAM! SAM! SAM!"
"MOMMY... MOMMY..."
Tapi Morrison tidak berhenti sama sekali. Dia melangkah mantap menuju pintu keluar. Seorang gadis berambut pirang menyambut anak itu dan memeluknya. Anak itu makin memberontak.
Cattleya hampir bisa menyentuh Morrison sebelum kemudian tangan jahanamnya mendorong Cattleya dengan keras. Seumur hidup aku tidak pernah memperlakukan perempuan seburuk itu di depan umum. Bahkan tidak kepada Regina Lewis.
Tubuh mungil Cattleya meluncur di atas lantai licin. Aku menangkapnya. Cattleya mencoba berdiri untuk kembali mengejar mereka.
Terlambat.
Mereka sudah melompat masuk ke dalam limosin.
Aku memeluk Cattleya yang masih menjerit histeris.
Orang-orang memandangi kami.
Siapa peduli?
Aku juga sama bingungnya dengan mereka.
***