***
Di malam ini, jemari mungilnya menggenggam ponsel dengan warna hitam itu begitu erat. Menunggu seseorang membalas pesan untuk sekadar mengabarinya. Setelah sebelumnya dia sudah beberapa kali menekan ikon panggilan, namun tetap hasilnya nihil. Hanya terdengar suara operator yang merdu namun terkesan menyebalkan baginya.
Dia cemas. Sudah beberapa hari orang yang kabarnya sedang di tunggu olehnya itu tidak saling memberi kabar lewat komunikasi ponsel. Ya, semenjak kejadian yang membuat hubungan mereka hampir runtuh, hingga kekasihnya berubah sembilan puluh derajat menjadi lekaki dingin yang tak tersentuh.
Drrrdtttt
Ponselnya bergetar. Cepat-cepat dia membaca pesan singkat yang tertera di sana.
Abangkuuu
Selamat malam
adik kesayangan abang ❤
21.05
Nafasnya berembus resah tanda kecewa. Bukan. Bukan orang itu yang sedang dia tunggu. Namun kekasihnya. Kekasih yang akhir-akhir ini lebih sering mengabaikannya setelah dia berjanji akan berubah menjadi lelaki yang tak lagi abai saat itu.
Dia membaringkan tubuhnya telentang. Hendak ingin tertidur dengan ponsel yang masih berada di genggaman dengan layar yang masih menyala. Entah kenapa, saat ini dia enggan membalas pesan dari orang yang sering dia sebut sebagai kakak ketemu gede, brother zone atau adik kakakan lebih tepatnya.
Drrrdtttt
Lagi-lagi ponselnya bergetar. Membuyarkan lamunan buruknya. Dengan sigap tangan mulusnya menyambar ponsel yang tergeletak tak berdosa di sebelahnya.
Benar. Orang yang sedang memenuhi pikirannya itu memberi kabar lewat pesan singkat yang sedari tadi dia tunggu.
Perlahan bibirnya tersenyum lega. Jemari mungilnya menari lincah beradu dengan layar. Balasan demi balasan dia kirim dengan perasaan bahagia bercampur kesal. Terlihat dari pesan-pesan yang dia ketik dengan begitu padat dan singkat.
Dengan ragu, dia menanyakan hal yang terus mengganjal di relung hatinya. Bertepatan dengan jemari yang bergetar, dan gemuruh sesak di dada bagian tengahnya.
Jujur, kamu udah mulai bosan ya sama aku?
Kamu udah gak sayang lagi ya sama aku?
Kamu bilang kamu gak bakalan cuek sama aku, tapi apa? Kamu malah keterusan kayak gini, Sak.
Terkirim. Dia memejamkan matanya. Bersiap untuk mendapatkan sebuah kenyataan. Dan mengucapkan selamat datang untuk dunianya yang seperkian detik lagi akan hancur.
Maaf kalau keputusan aku kali ini nyakitin hati kamu. Mulai sekarang aku mau sendiri dulu. Aku mau bebas. Aku mau istirahatin hati aku yang udah lelah sama yang namanya cinta.
Aku mau hubungan kita sampai disini. Sekali lagi, maaf. Keputusan aku udah bulat buat ngeakhirin semua hubungan yang udah kita jalin selama empat bulan ini.
Lidahnya kelu. Seketika badannya melemas. Jantungnya seperti di remas. Ribuan belati tajam seperti menancap tepat di ulu hatinya. Tetes demi tetes air dari pelupuk matanya berdesakan keluar. Membuat aliran sungai kecil di pipi bulatnya.
Yaudah. Kalau emang itu yang kamu mau. Kalau emang itu keputusan kamu. Aku juga gak bisa larang kalau misalkan kamu udah gak mau pertahanin semuanya. Mungkin aku emang bukan yang terbaik buat kamu. Makasih ya, buat semuanya.
Bukan. Bukan karena dia tidak ingin memperjuangkan. Tetapi dia sadar, mungkin kekasih yang mulai detik ini menjadi mantannya itu sudah tak lagi bahagia bersamanya. Mungkin dia sudah tidak pantas memperjuangkan orang yang enggan diperjuangkan. Dan mungkin, lelaki itu bukan lagi yang terbaik untuknya. Hingga dia berani pergi meninggalkannya. Bersama rasa yang entah kapan akan hilang.
Lagi pula, tak ada gunanya mempertahankan seseorang yang sama sekali tidak berniat untuk bertahan. Terkadang beberapa orang datang bukan untuk melengkapi. Bukan untuk menetap dan menjadikan kuat. Dia hanya datang sekedar singgah, dan seharusnya di lupakan menjadi kenangan.
Nara melempar pelan ponsel di genggamannya. Terdengar isakan-isakan kecil di heningnya malam yang mulai semakin larut. Susah payah dia menahan isakan itu agar tak keluar, bersamaan dengan tenggorokannya yang tercekat.
Ternyata benar. Sikapnya yang perlahan berubah adalah cara untuk mengusir Nara secara halus.
Lebih baik sekarang kita temenan daripada pacaran. Tenang aja. Kamu masih tetap jadi yang terbaik kok.
Dia menatap nanar deretan kalimat memuakkan itu. Yang terbaik? Jika dia masih menjadi yang terbaik, mengapa di tinggalkan? Bodoh.
Udah dulu ya, Na. Aku tidur. Night:*
Dadanya bergejolak. Sebuah pesan bergetar masuk saat jemari mungilnya belum sempat membalas. Apa-apaan ini? Setelah dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan, berani-beraninya dia bisa tidur dengan tenang tanpa rasa bersalah. Yang lagi memuakkan, diakhir pesan terdapat emoji cium.
Hai, bukankah hubungan ini sudah berakhir?
Jika tahu akhirnya akan seperti ini, dia tidak sudi mencintai lelaki lebih dari seorang teman.
Hatinya perih. Seakan-akan semua kenangan berputar di memorinya. Kebahagiaan itu sirna. Perjuangan itu sia-sia. Hubungannya kandas di tengah jalan. Dia membeci perpisahan. Karena bagaimana pun, tidak ada yang baik-baik saja setelah perpisahan.
Terimakasih untuk kisah cinta 116 hari. Kebahagiaannya seperti pelangi. Indah, namun hanya untuk sesaat.
Dan ini, adalah pengakhiran sebuah hubungan yang paling menyesakkan bagi seorang Nara Almeera.
***