Jingga di Atas Kopi [TERBIT]

By swp_writingproject

136K 18.6K 4.1K

Tentang Asa dan Rasa dari pahit dan manisnya berbagai farian kopi. Awalnya semua baik-baik saja. Meski Calian... More

00 | 00
Prolog | Prolog
Bab 1| Keputusan
Bab 3| Anak Pohon Nangka
Bab 4| Pigura Kenangan
Bab 5| Beruang Melet
Bab 6| Calon Besan
Bab 7| Ngopi dulu, kuy!
Bab 8| Toko Roti
Bab 9| Curahan Hati
Bab 10| Malaikat Maut
Bab 11| Ayam Geprek
Bab 12| Alasan Tersenyum
Bab 13| Gelas yang Pecah
Bab 14| Mendekat
Bab 15| Sebuah Rahasia
Bab 16| Ngopi dulu, yuk! (2)
Bab 17| Serangan
Bab 18| Cangkir Terakhir
Bab 19| Serangan (2)
Bab 20| Amarah Aariz
Bab 21| Keegoisan Manusia
Bab 22| Mencari Pengganti?
Bab 23| Kisah yang Terlupa
Bab 24| Dua Kebahagiaan
Bab 25| Akhir Sebuah Cerita
Bab 26| Cemburu?
Bab 27| Lamaran
Bab 28| Di Ujung Kebingungan
Bab 29| Kertas Lusuh
Bab 30| Halalkanmu
Bab 31| Tentang Cerita
Bab 32| Awal, atau Akhir?
Epilog | Epilog
EXTRA PART
Kalau Nggak Baca Pasti Nyesel :(
VOTE COVER YUK
GIVEAWAY NOVEL JDK
OPEN PRE ORDE

Bab 2| Bapakman

5.2K 706 124
By swp_writingproject

"Mengeluh, adalah salah satu bukti jika kita lupa mensyukuri nikmat yang Allah berikan."

-*-*-*-*-

[ B A P A K M A N]

............

Rumah kosong yang dibelinya dengan kerja keras lima tahun itu berdiri tidak terawat, semak belukar dan tanaman rambat tumbuh subur mengelilingi halaman. Tenang, tanpa satu pun penghuni. Sudah lama ia tak kembali ke tempat penuh kenangan ini.

Halim berdiri di ambang pintu, menatap lekat warna cat yang mulai memudar dimakan waktu. Dua bulan semenjak kepergian Rembulan, ia baru menyadari, betapa sangat sederhana rumah sebagai mas kawin istrinya ini.

"Nah, Mahvash. Kita sudah sampai di rumah, Nak. Rumah ibu dan bapak," ucapnya riang. "Tuh, itu foto ibu kamu waktu pernikahan kami. Cantik, kan?" Ia menunjuk foto berbingkai hitam dengan hiasan biasa yang digantung di dinding bercat biru, mengarah pada pintu masuk rumah. Terpajang di sana dua gambar insan berpakaian serba putih dengan senyum bahagia yang tak dapat diungkapkan.

Bayi mungil itu menggeliat, seolah mengerti apa yang dikatakan oleh bapaknya. Halim tersenyum senang, sekaligus pilu ketika pandangannya teralih pada Mahvash yang ada di gendongannya.

Pria itu mengasihani nasib anaknya sendiri.

Ia menahan tangis, menghirup napas dalam-dalam, melapangkan hatinya yang dipaksa untuk tegar.

Mulut kecil Mahvash bergerak-gerak, ia lapar.

"Kamu mau minum susu, Sayang? Sebentar ya. Bapak buatkan."

Satu tangannya mencari botol susu di dalam tas berwarna biru dongker yang ia kaitkan pada lengannya.

Tangan Halim terus mengaduk isi dalam tas, sampai mengeluarkan semua isinya di atas meja ruang tamu. Ia baru bernapas lega ketika barang yang dicarinya sudah ditemukan. Perlahan, Halim menidurkan Mahvash di atas sofa berukuran dua orang itu, lantas cepat-cepat pergi ke dapur. Bolak-balik ia mengecek Mahvash dan air yang sedang dimasak. Ternyata hidup sendiri memang tidak semudah yang ia bayangkan.

"Ini susu buat Mahvash. Anak bapak pasti sudah lapar, ya. Ayo mimik dulu, biar Mahvash cepet besar."

Dengan penuh kasih sayang dan hati-hati, Halim menyodorkan bagian dot pada mulut Mahvash. Sesekali juga menyeka susu yang keluar di bagian mulutnya karena bayi mungil itu terlalu bersemangat.

Wajah Mahvash terlihat tenang. Siapa sangka ketenangan bayi kecil ini akan mengalir juga pada bapaknya?

"Kamu cepet sehat, ya Nak. Cepet tumbuh besar. Bisa lari-larian sama Bapak. Cerita kegiatan sekolah kamu. Biar Ibu kamu juga senang liat anaknya yang cantik tumbuh sehat," katanya dengan suara gemetar. "Jangan lupa ibadah, Cantik. Ingat sama Allah, doakan ibu kamu sama Bapak, ya? In syaa Allah bapak bakal jadi superhero terkeren buat kamu." Halim meringis.

Ketika Vash hanya sibuk dengan botolnya, pria itu menepuk-nepuk pelan bagian bokong anaknya agar kembali tidur, diiringi solawat nabi yang biasa Rembulan senandungkan ketika mengusap-usap perutnya saat hamil.

Jadi anak yang shaliha, Nak. Agar ibumu bahagia di sana.

***

Tujuh tahun kemudian, ketika semua musim berlalu dengan cepatnya.

"Bapak, biar Vash bantu cuci piring, ya!" Gadis kecil berkerudung hijau dengan tambahan pita di tengah kerudungnya menarik kursi plastik kecil lalu berdiri di dekat Halim, hendak mengambil piring kaca berukurang sedang.

"Eh, Vash cuci yang ini saja, ya!" Halim menukar piring kaca tadi dengan piring plastik milik putrinya. "Kapan-kapan kalau mau bantu Bapak. Vash cukup cuci piring sama botol susu Vash sendiri saja, oke? Yang berat-berat biar bapak yang cuci."

Vash kecil mengerucutkan bibirnya kesal. Pipinya menggembung seperti akan meledak. "Emang Bapak kuat cuci piring yang banyak itu? Kan, Vash juga mau bantu biar bapak nggak capek."

Halim terbahak melihat wajah lucu Vash. Tangannya ia pukul-pukulkan pada dada kemudian berkata, "Tenang aja! Bapak kan lebih kuat dari Superman, Batman, Spiderman, Ironman sama man man yang lainnya!"

Ucapan Halim membuat Vash tertawa geli. "Kalau gitu, Vash panggil Bapak, Bapakman aja! Biar keren!"

Kening Halim berkerut. "Kok Bapakman? Itu mah gak ada keren-kerennya," ia berseloroh panjang.

"Ih, Bapakman itu maksudnya bapak superheronya Vash! Jadi bapak selalu datang buat nolongin Vash nanti! Terus nembakin musuh-musuh yang gangguin Vash. " Gadis kecil itu melompat dari kursinya, mempraktikkan gaya superhero yang menembak musuh-musuhnya seperti di telivisi yang ia lihat tiap akhir pekan.

"Wah, kalau itu mah Bapak siap! Apa pun untuk tuan putri Bapak yang cantik ini!" Halim mencubit kedua pipi buntal Vash yang masih sibuk bergaya. Mereka tertawa.

Vash membalas cubitan Halim dengan menggelitik bagian perut bapaknya. Yang tadinya ingin mencuci, beralih menjadi permainan kejar-kejaran kecil antara alien dan polisi luar angkasa. Mereka berputar-putar mengelilingi sofa tengah, masuk ke kamar, berlari kecil di halaman rumah. Lalu berakhir di ruang makan lagi. Halim mengambrukkan diri di atas karpet sambil tersengal-sengal. Ternyata usianya memang tidaklah muda lagi, atau memang ia yang kurang olahraga? Tubuhnya menjadi cepat lelah.

"KENA! ANDA DITANGKAP!" teriak Mahvash. Dari arah jauh, dia menerjang bapaknya yang tidur terlentang di lantai. Membuat Halim mengaduh luar biasa sakit.

"Aduuh, ampuni saya ibu polisi. Saya menyerah, saya menyerah," katanya berpura-pura pasrah, lalu mereka tertawa kembali.

Sehabis kejar-kejaran tadi, bapak dan anak itu bertahan di posisi masing-masing. Mahvash membenamkan wajahnya pada perut Halim yang kembang kempis, mengatur napasnya. Ia mengelus lembut kepala Mahvash.

"Capek lari-larian? Padahal bapak masih kuat lari seribu kilo lagi," ucapnya dengan sedikit tawa. "Nanti Vash cita-citanya jadi polisi wanita, ya?"

Kepala yang menempel di perutnya mengangguk pelan.

"Bagus! Anak Bapak bakal jadi polisi cantik yang pakai hijab trus membasmi kejahatan!" seru Halim penuh semangat. "Kalau udah jadi polisi, Vash harus tetap ingat solat. Gak boleh sombong." Ia terus mengoceh sendiri, tanpa tahu jika lawan biacaranya tak menanggapi lagi setiap ucapan yang Halim katakan.

"Vash? Kamu dengerin kata bapak, gak?" Menyadari ada kejanggalan yang terjadi, ia berhenti berbicara. "Vash?" Tidak ada jawaban.

Halim bangun untuk duduk, namun Mahvash tetap memeluknya dengan wajah yang masih tersembunyi. Perasaannya mulai tak enak. Ada khawatir berlebih yang menyelimuti. Benar saja, saat ia melepas pelukan kecil anaknya. Halim tidak bisa untuk tidak panik. "MAHVASH!"

Tubuh anaknya melemas. Wajahnya dan buku-buku jarinya membiru. Mahvash sudah tidak sadarkan diri. Bahkan napasnya melemah seiring irama. Saat itu hanya Halim sendiri yang berada di rumah. Dengan gerakan cepat ia memindahkan Vash ke sofa lalu menelepon rumah sakit terdekat.

Bunyi sirine dari ambulan yang mereka tumpangi membelah jalanan Kota Jakarta. Harap-harap cemas Halim menciumi tangan mungil Vash yang sudah terkulai. Surat-surat Al-Qur'an tak henti-hentinya ia bacakan, sambil memohon kesembuhan untuk putri kecilnya. Halim takut, amat sangat takut. Ia amat menyayangi Mahvash, jika masih ada kesempatan ia meminta pada Allah untuk tetap membiarkan buah hatinya menemaninya di dunia ini.

"Bapak tunggu di luar dulu, ya."

"Tolong, Sus. Lakukan yang terbaik."

"Pasti, kami pasti akan melakukan yang terbaik. Bapak tenang, ya. Silakan tunggu di sini."

Suster menutup pintu, membiarkan Halim yang setengah berharap dengan sisa sedikit rasa was-was mengintip dari balik kaca pintu. Pria itu bahkan tidak bisa duduk tenang, kakinya bergetar menahan kecemasan yang sedari tadi berdiam di hatinya.

"Astaghfirullah," seru Halim sambil mengusap kasar wajah menggunakan telapak tangan, "istighfar, Lim. Istighfar. Hilangkan prasangka nggak baik ini. Jangan biarkan setan masuk lagi. Kamu harus yakin, Allah pasti punya rencana terbaik. Berdoa, terus berdoa," gumamnya menyadarkan diri sendiri. Setelah beberapa kali bersolawat, membaca surat Al-Fatihah, hatinya kembali dirundung rasa tenang.

"Halim!"

Suara seorang wanita yang memanggil namanya menggema di koridor, Halim mengetahui siapa pemilik suara ini."Mbak Mila?"

"Gimana? Keadaan Mahvash belum sadar?"

Sebelum ambulan datang, ia sudah lebih dulu memberitahu Mas Eko--suami Mila--tentang Mahvash yang membiru. Kini, sepasang suami istri itu datang, sama persis seperti wajah Halim tadi. Panik.

"Saya juga nggak tau, Mas. Dokter belum keluar." Halim berusaha untuk terlihat tenang, meski pun wajah piasnya tidak dapat disembunyikan.

Mila dan Eko saling melempar tatapan. Pria dengan kacamata itu mendekat dan merangkul bahu Halim, menepuk-nepuknya agar tetap kuat. "Sabar, Lim. Terus berdoa. Jangan sampai putus."

"Iya, doa kamu yang Mahvash butuhkan sekarang. Kita juga pasti bantu."

Rasa khawatir belum bisa lenyap sepenuhnya, namun ia sudah merasa sedikit lebih baik dengan kehadiran Mas Eko dan Mbak Mila.

Tidak lama kemudian, dokter keluar. "Bapak Halim?"

"Iya, saya, Dok." Halim reflek bergerak ke arah pria berjas putih tersebut. "Bagaimana keadaan putri saya, dok?"

Dokter itu tersenyum ramah. "Bapak tidak perlu khawatir. Anak bapak sudah siuman."

Semua mengucap syukur.

"Tapi, Mahvash mengidap lemah jantung turunan, mungkin dari ibu atau bapak?"

Rasa lega yang menyurutkan kekhawatirannya, kembali naik. "Ibunya, Dok. Ibunya punya riwayat lemah jantung turunan. Saat melahirkan anak kami, dia meninggal akibat jantung bocor."

Pria di hadapan Halim ikut merasakan kesedihan yang keluarga pasiennya rasakan. "Saya turut berduka, Pak. Mahvash juga sama seperti ibunya, jantung Mahvash lemah akibatnya Mahvash tidak bisa melakukan aktifitas yang terlalu berat. Seperti berolahraga lari atau yang sekiranya membuat dia cepat lelah."

Jantung Halim serasa dihujam belati. Lahir prematur, kehilangan ibunya, dan sekarang putri kecilnya mengidap penyakit yang sama.

"Semuanya akan baik-baik saja, Pak. Bapak tidak perlu terlalu khawatir. Terus berdoa." Dokter muda itu menepuk lengan Halim. "mari, saya permisi."

"Iya, Dok. Terima kasih."

Sambil meninggalakn sedikit senyuman untuk menguatkan Halim, Dokter Adrian pergi meninggalkan keluarga itu.

"Kamu temui Mahvash, Lim. Dia pasti nyariin kamu di dalem," usul Mbak Mila yang disetujui oleh Mas Eko.

Halim mengangguk, dan langsung masuk tanpa sepatah kata apa pun.

Di dalam, ia menemukan anak semata wayangnya terbaring dengan alat bantu pernapasan di hiduingnya. Halim menarik paksa ujung bibirnya, memperlihatkan jika semua baik-baik saja. Agar putri kecilnya tidak merasa sedih.

"Bapaak," Mahvash memanggil dengan suara lemah.

"Iya, Sayang. Gimana keadaan kamu sekarang? Vash sudah enakan?"

"Vash kok di sini, pak? Ini bukan kamar Vash, kan?"

Pertanyaan polos itu membuat Halim berjengit, namun kembali tersenyum. "Tadi waktu main kejar-kejaran. Vash ketiduran di perut bapak. Jadi bapak bawa ke sini, biar Vash enak tidurnya."

Mahvash menggangguk, meski ia tak ingat apa pun selain rasa pusing dan sesak. "Tapi Vash, nggak enak pake yang di hidung Vash ini." Tangannya menyentuh selang yang dimasukkan ke hidungnya.

"Sabar ya, Nak. Nanti selangnya boleh dilepas kok." Sambil mengusap rambut Vash Halim terus memerhatikan wajah Mahvash. "Tapi setelah pulang, kayanya Bapak nggak bisa jadi superheronya Vash lagi, deh."

Raut wajah Mahvash berubah kecewa. "Kok gitu? Bapak nggak mau jadi keren?"

Halim menggelengkan kepalanya. "Bapak nggak mau jadi keren kalau harus pake baju ketat, trus kolor dipakai di luar celana." Halim menggeleng jenaka. "Bukannya dianggap superhero. Entar Bapak ditangkap warga, dikira orang gila lepas. Nggak mau, ah!"

"Issssh, Bapaaaaak!"

***

Assalamu'alaikum, kekasih hati~

/eh

Mahvash udah masuk bab 2, nih.

Sedih tak waktu tau Vash punya penyakit yang sama seperti Rembulan? :')

Fyi, dulu Mahvash lahir prematur, dan jantungnya ada sedikit bocor. Memang bisa menutup kembali setelah beberapa hari. Dokter bilang itu lumrah terjadi. Selama 6 bulan Vash kudu perawatan rutin ke rumah sakit. Makanya dia belum pulang² selama 6 bulan dari Malang😂

Sebulan sekali balik, dua bulan balik, sampai tiga bulan balik dan selesai. Itu dilakukan buat terus ngontrol perkembangan Mahvash. Matanya, jantungnya, dsb. Susu Mahvash juga gak kaya susu yang dijual umum ya, gaes :')

Karena keluarga Rembulan memang banyak yang mengidap lemah jantung. Jadi, Mahvash pun punya peluang penyakit yang sama.

Ini kakak ngalor ngidul ya😂

Enggak. Karena ini cerita nyata. Mahvashku di sini bayi laki-laki ganteng, yang sudah tumbuh besar tanpa seorang ibu. :')

Tapi gak menutup kemungkinan ada kesalahan dalam cerita ini. Silakan tegur aku, jangan sungkan ya :D aku gak gigit kok. Huehehe.

Gitu aja. Makasiiiih yang masih setia sama Vash💗

Tunggu kelanjutan kisahnya, ya~

Udah, ah gak mau bawel lama²😂

.
.
.

Salam cintah bawelia-

Continue Reading

You'll Also Like

269K 14.1K 31
"Namanya Iliyas Abrisam. Dia suami kamu sekarang." "Mama bercanda?! Kapan Diba nikahnya?!" *** Adiba Larasati itu cewek nolep. Kerjaannya hanya mengu...
44.7K 2K 24
Spin off Aku Dan Gus kembar Tentang sebuah janji yang pernah diikrarkan oleh seorang laki-laki bernama Zidan Aqil Az-zayyan di masa kecilnya kepada...
374K 21.1K 60
"Ara, tuh, cewek yang nakalnya pake banget. Gue yakin, lo nggak bakalan temuin satu sifat pun cewe idaman lo di sana." -Aisyahra Khadija "Untuk membu...
316K 15.6K 54
"Jangan menikah dengan Perempuan itu! Menikahlah dengan perempuan pilihan Umi, Gus!" Syakila Alquds, sosok gadis yang kehilangan kesucian dan berasa...