Sepertinya semua perempuan itu saudara sejiwanya Shinichi Kudo. Walau bentuknya paling cuek sekalipun, mereka memiliki bakat detektif. Scroll timeline, cungkil-mencungkil feeds Instagram adalah power tambahan.
Aku contohnya.
Lepas salat magrib, kubuka blokiran Instagram Gaga. Ini kayaknya fase normal pascaputus kan? Intip-intip Medsos mantan. Niatnya sebentar tapi jadi stripping.
Ada empat video baru dari Gaga. Isinya cover lagu-lagu Michael Schulte. Ini menarik, kutahu Michael Schulte ini penyanyi 'nganu'. Maksudku, lagu-lagunya suka cekit-cekit di hati. Lala pernah, habis putus lalu putar semua lagunya sebulan full.
Kali ini, Gaga menyanyikannya begitu khusyuk di kamarnya. Di atas tempat tidur berseprai abu-abu. Ekspresinya begitu serius.
Rest here, bring your head near.
You won't find your fears inside these arms. Rest here on my shoulder, Dear.
I will comfort you from all the harm
Iya, bisa saja aku beristirahat di sana. Tapi, bagaimana caranya kutemukan rasa aman, kalau aku tahu ada sosok lain yang harus kamu lindungi secara bersamaan?
Memangnya kamu sekuat apa sih, Ga? Kamu itu belum mampu seperti Nuvo Family baru dengan tiga kali perlindungan ekstra.
Dua pundakmu selalu menopang dua kepala. Jangan sok kuat, Ga. Seharusnya kamu tahu, sepasang pundak itu hanya untuk satu kepala saja. Kalau pundak kiri capek, yang kanan bisa ambil alih tugas. Jangan sok kuat topang dua kepala. Lama-lama pundakmu patah, Ga.
Aku selesai dengan lagu pertama. Rasanya, salatku sia-sia kalau terus menggumam kejelekan orang lain.
You said you'd grow old with me.
You let me walk alone.
Falling apart.
Itu lagu-lagu yang Gaga nyanyikan. Aku cukup peka untuk tahu bahwa semua itu adalah perwakilan isi hatinya. Gila saja. Sekarang dia mulai victim blaming. Seolah aku adalah api dari asapnya.
Ini bukan tentang siapa meninggalkan siapa. Karena fase itu hanya reaksi puncak. Kalau mau melompat lagi ke bawah, silakan dia cek apa yang terjadi di akar. Siapa yang merusak pondasi? Dia sendiri. Sekarang, mulai playing victim?
Dasar tolol!
Sekarang aku paham. Kalau yang menonjol dari laki-laki hanya penisnya saja. Tempat itu paling peka dan cepat bereaksi. Bagian lain seperti otak dan hati mungkin hanya pajangan.
Terima kasih. Kembali aku block Instagram laknat itu. Dan siap-siap balik ke kantor temani Fritz lewari tahun baru.
***
Hai, Mbak. lagi di Lux, ya? Chatku belum diread :D
Orland membalas story Instagram yang kupost sepuluh menit lalu. Belum langsung kujawab. Buka WhatsApp, kutemukan dua pesan di sana. Tanyakan keberadaanku dan ajakan untuk gabung.
Oh yah, tadi aku tolak ajakan ke tempat kakaknya. Bukan belagu, Aku capek. Butuh tidur sebelum ikut Fritz rayakan tahun baru bersama teman-teman kost-an.
Iya di Lux. Maaf yah, nggak buka WA. Kayaknya gak bisa gabung sama kamu. Have fun, ya! :)
Dia mengirimiku foto selfie sedang di atas tempat tidur kamar.
Nggak jadi gabung sama temen2. Capek :D
kayaknya mau mesraan sama guling.
Atau, mau aku samperin ke situ?
Lihat fotonya, bibirku otomatis mencetak senyum. Gila yah. Kenapa setelah putus, radar kita untuk mendeteksi cowok-cowok-tamfan-potensial jadi lebih hidup, ya? Terikat hubungan dengan seseorang membuat pandangan kita terhadap lawan jenis hanya sebatas harafiah saja.
Maaf, mungkin ini norak. Tapi, setelah benar-benar lepas dari hubungan kampret itu, aku mulai berdebar-debar lagi pada lawan jenis.
Punya hubungan dengan Gaga, semua laki-laki di sekitarku tersembunyi seperti karet celana dalam. Terasa ada secara jelas, tapi nggak kelihatan. Seperti ada filter tak kasatmata yang membentengi segalanya. Boro-boro hati, mataku saja nggak bisa melihat sekeliling.
Berstatus sebagai pacar orang itu bikin aku seperti ikan-ikan hias cantik di aquarium. Indah tapi cuma bisa dilihat-lihat saja. Dimiliki? Masih punya tuan tetap.
Ada seruan di kepala yang melarangku untuk melihat dengan mata batin perempuan, bahwa cowok-tampan-minta-dijadiin-pacar itu banyak! Ya Tuhan. Banyak sekali!
Sekarang aku single. Engsel pintu dikasih penis plastik pun aku tertarik. Bagaimana dengan si aktor ftv manis ini?
Ayok ke sini. Tapi aku cuma bisa ngobrol sampai jam 11.
Dia memberi emoticon tersenyum. Lalu membalas "tunggu aku"
***
Selamat Tahun Baru 2019.
Pukul dua malam. Sedang dalam perjalanan pulang ke kost. Kekenyangan. Bersandar di kursi mobil Fritz dan mengantuk.
"Besok tapping pagi kan, kamu?" tanya Fritz.
Aku menahan diri untuk menguap lebar. "Haa---iya."
"Duh, sori nih ngajak jalan sampe pagi gini."
"Nggak apa-apa kali. Aku pulang dengan perut kenyang. Hati riang. Itu bayaran setimpal."
Fritz terbahak. Tangannya terulur menyapu kepalaku.
Sadis sih. Setelah putus, hal beginian juga bisa jadi ladang baper. Padahal kemarin biasa saja. Aku harus coba menekan rasa ini supaya nggak kelihatan norak. Nggak lucu sih, 28 tahun, punya pengalaman bejibun soal cinta tapi masih merah padam karena sapuan di kepala. Please, aku sudah pernah merah padam untuk hal yang lain.
Saat mobil Fritz masuk di pekarangan kost, jantungku tiba-tiba ingin melompat lewat mulut. Sedan tua Bang Nizar terparkir. Garandra duduk di kap depan. Tertunduk pandangi rokok di jepitan tangan. Sadar kedatanganku, dia buang rokoknya lalu turun.
"Eh, Nya. Itu Gaga, kan?" Fritz tampak heran. Abis ini, dia pasti mencapku pembohong.
Kuabaikan pertanyaannya. "Makasih yah untuk malam ini. Sampai jumpa besok, Fritz."
Beruntung, Fritz tak mau berbasa-basi lama. Putar mobil, berikan satu klakson panjang dan pergi.
Garandra, pelan-pelan mendekatiku. Kami berhadapan. Aku mengatur jarak berdiri agar tidak terlalu dekat. Sumpah mati, siapa pun yang memberitahukan alamat kontrakanku padanya akan kusemprot habis-habisan.
"Nya. Mama yang ngasih tau alamat kontrakan kamu."
Mama! Agh, aku lupa memberi peringatan. Karena masih takut ditanyai macam-macam.
"Trus? Kenapa lagi, Ga? Masih utang kalimat putus ke aku? Ya udah, kamu boleh lakuin itu sekarang dan cepat pergi!"
Dia menggeleng. "Nya. Aku minta maaf," lirihnya. "Kamu benar. Aku salah. Nggak ada otak."
"Meski terlambat, tapi makasih sudah sepakat."
Aku ingin duduk. Sebagai dua orang dewasa. Bicara, memahami, lalu berhenti saling menyakiti. Tapi, aku cuma bisa ketus dan sinis. Maaf, Ga. Ini salah satu efek kejahatanmu: bikin Arunya keras hati.
"Aku nggak marah saat kamu jujur. Juga nggak ada niat usir kamu seperti yang kamu kira. Siapa bilang aku tinggalin kamu? Enggak, Nya. Nggak."
Aku diam, berikan kesempatan dia bercicit sebelum kesemprot lagi.
"Makasih, Nya. Sudah sabar ngadepin aku selama empat tahun ini."
"Nggak usah muji, Ga. Aku nggak merasa sabar kok. Kadang-kadang aku sumpahin kalian berdua loh."
Dia tertunduk.
"Mungkin setelah aku, ada yang lebih sabar. Empat tahun bukan apa-apa. Korban berikut, kamu bisa genapin delapan tahun. Atau... sepuluh? dua belas?"
"Nya." Gaga angkat kepala. Menatapku seperti tengah menyelami netraku sampai ke hati. Bahkan, kubiarkan dia maju menggenggam tangan. Nggak apa-apa. Itu zina terakhirku bersamanya.
"Lala itu nggak pernah masuk dalam daftar pikiran sebagai orang yang akan sekamar dengan aku. Yang aku peluk pas tidur. Karena bayangan itu hanya sama kamu. Sementara dia hanya terlibat sampai di meja makan. Kamu ngerti nggak?"
"Wah, cinta suci itu namanya. Kalau ke aku, kamu bayangin yang iya iya di kamar, ya? Sepelenya aku, Ga."
"Enggak gitu, Nya!"
"Udahlah, Ga."
"Nya gara-gara masalah ini, aku jadi yakin kalau...."
Dia menjeda demi mencari sesuatu di dalam saku. Aku terhenyak. Waspada.
"Kalau aku pengin nikahin kam---"
"Stop, Ga. Stop."
Kulepaskan tangannya. Nggak ingin lihat benda yang dia genggam.
Gaga yang begini bikin aku ketakutan. Demi Tuhan, ajak menikah bukan solusi. Aku sama sekali nggak berbunga-bunga. Tetapi malah mengerikan. Bayangan menghabiskan hidup dengan laki-laki belut. Licin. Geliat sana-sini dari dalam tangkapanku. Itu sadis.
"Ga. Sumpah mati. Aku nggak bisa. Lala aja, ya. Nikah sama Lala. Aku nggak nyumpahin kalian yang aneh-aneh semacam mandul atau testis berulat apa segala macam."
Dia memegang bahuku. Aku takut sekali. Gemetaran.
"Ayo nikah, Nya. Aku buktiin kalau kamu itu prioritas utamaku."
Gaga Serius sekali. Selama berapa tahun kenal, belum pernah aku setakut ini padanya. Kenapa bisa, lamaran terdengar seperti ancaman pembunuhan?
Kuberi gelengan tegas. Lalu, kalang kabut berlari menuju kamar kostku. Tinggalkan Gaga dengan seruan seruan namaku. Besok, aku harus pindah kost lagi. Demi Tuhan aku nggak siap. Sumpah mati aku nggak ingin menikah kalau begini caranya!
---
Besok malam Arunya selesai yah :)