Nafas Cinta Zanna [Pindah ke...

By retno_ari

408K 4.5K 75

#5 Religion (August 19) #1 Pernikahan (Okt, 2019) Maaf. Setidaknya itu yang bisa Zanna dengar dari seorang pr... More

Pernikahan (1)
Tangis (2)
Seberkas Cahaya (4)
Sebuah Babak Baru (5)
Perjalanan Melupakan (6)
Notice !!

Pengakuan Cinta (3)

22.1K 663 8
By retno_ari


Hati wanita seperti cermin, sekali retak oleh sebuah harapan yang tidak jadi nyata, maka cermin itu tidak mampu lagi memantulkan banyangan yang sama, banyanyangannya tidak utuh lagi.

Dua puluh empat tahun lebih Zanna mengenal Fajar, mereka cukup dekat. Mereka adalah teman, sahabat sekaligus saudara sepupu. Ibu Fajar adalah Bude Zanna, kakak dari abahnya. Mereka tinggal bersebelahan, menjadi tetangga sekaligus saudara terdekat yang mereka miliki. Zanna bahkan keluar-masuk rumah Bude Ningrum dan Pakde Hadid seperti di rumahnya sendiri, begitupun Fajar. Namun itu semua terjadi di masa lalu.Ya, sebelum kabar pernikahan datang secara tiba-tiba dan mengejutkan seluruh pihak kecuali keluarga Hadid Wiratama sendiri.

Cinta sudah mulai hadir sejak Zanna tumbuh menjadi seorang gadis, usianya saat itu tujuh belas tahun. Fajar adalah cinta pertama yang tak terlupakan. Zanna mengenal Fajar lebih dari siapapun. Dia tahu segala sesuatu tentang sepupunya itu. Semasa dia masih duduk di bangku SMA, Fajar sudah berkuliah. Setiap sore mereka bermain basket di lapangan terdekat, Zanna juga menemani masnya bermain futsal saat hari sabtu, jogging bersama di hari minggu. Hampir semua hal mereka lewati bersama.

"Mungkin Mas memang menganggapku hanya sebagai adiknya." Zanna bergumam sendiri. Air matanya nyaris kering, matanya terasa panas namun tetes bening itu tak lagi muncul.

Zanna mengurung diri di kamar, sudah dua hari ia tidak makan. Perutnya hanya di isi air putih dan susu buatan ibunya. Tidak tahulah dia harus bagaimana menghadapi takdir yang begitu menyakitkan, cintanya bertepuk sebelah tangan.

Ia pikir dunia begitu tega mencampakkan dirinya, seolah dia tidak dilahirkan untuk mencicip rasa bahagia, tidak untuk merasakan indahnya cinta dan mahligai rumah tangga. Zanna teramat menyayangi lelaki itu, Fajar Wiratama, yang selisih usianya empat tahun dengan Zanna.

Cinta itu buta, benar adanya, Zanna merasa tidak sanggup menatap dunia tanpa Fajar. Dia ingin pergi dan lari sejauh yang ia mampu namun terlambat sudah. Hatinya sudah terluka. Remuk berkeping-keping perasaannya, sakit yang tak bisa di lihat oleh orang lain. Terlalu, dunia terlalu mempermainkanku! Katanya dalam hati.

***

"Mending apanya, Bah. Kemarin masih mau minum susu yang aku buatkan untuknya. Sekarang, minumpun tidak mau. Dia kayak mau mati, Ibu tidak tahu lagi, Bah. Ibu bingung!"

Abah diam saja mendengar pengaduan istrinya. Abah pun tidak bisa konsen ketika mengajar di mahasiswanya, pikirannya selalu kembali ke rumah. Memikirkan anak bungsunya yang kian sengsara.

Abah Salim adalah dosen di universitas swasta yang terakreditasi baik, tidak kalah dengan kampus negeri. Beliau mengajar Fiqih Muamalah 1 dan Fiqih Mualamah 2 yang kontemporer, juga mengajar Ekonomi Mikro Syariah di fakultas Ekonomi Syariah. Saat mengajar Salim terkesan sangat disiplin dan tegas, bahasanya halus dan dalam. Para mahasiswanya suka dengan caranya mengajar. Hari ini Salim pulang lebih cepat, ia mempercayakan kelas pada seorang asisten yang ia tunjuk. Pikirannya benar-benar kacau ketika mengajar, ia sangat khawatir tentang kondisi Zanna.

"Bah, jangan diam saja dong. Itu... di depan ada Fajar dan Wanda. Bagaimana, Bah?" Ambar nampak bingung menghadapi situasi ini.

Abah segera bangkit, "biar Abah yang menemui mereka, kamu buatkan minum saja."

"Nggih, Bah." Ambar manut pada suaminya, dia segera bergegas ke dapur.

Abah sudah sampai depan rumah, ia melihat Fajar dan Wanda sudah duduk di depan beranda rumahnya yang nampak asri. Ada pohon mangga dan nangka yang tumbuh subur, tingginya lebih dari lima meter.

"Dik Zanna kemana, Bah? Kok nggak pernah kelihatan? Apa sibuk di kantor ya?" tanya Fajar membuka percakapan.

Abah tersenyum sejawarnya. Dia tidak ingin menceritakan tentang konsisi Zanna sekarang. Dia tidak ingin kondisi Zanna menjadi penyebab rusaknya hubungan rumah tangga oranglain.

"Zanna kerja di mana, Mas?" Wanda bertanya.

Abah kembali diam, ia belum menceritakan tentang anaknya yang memutuskan untuk berhenti kerja.

"Itu, kantor surat kabar Jateng Pos. Dia editornya, dulu ambil kuliah Sastra, eh masuknya ke sana."

"Ya ndak apa-apa tho? Iya kan, Bah?"

Abah mengangguk sekilas. "Zanna juga suka nulis, tapi tulisannya mendem saja di komputernya. Yang di terbitkan cuma artikel dan tajuk. Kalau tulisan yang puitis-puitis itu katanya nggak yakin bakal ada yang baca."

"Belum apa-apa kok sudah pesimis. Zanna, Zanna." Fajar menggelengkan kepala.

Abah merasa tersadar. Benar, mungkin Zanna sejak awal sudah pesimis dengan perasaannya sendiri sehingga tidak mampu menyatakan cintanya pada Fajar, ia pendam semuanya sendiri.

"Ini minumannya, maaf Bulik kelamaan bikinnya ya?"

Ambar keluar membawa nampan yang berisi tiga cangkir teh hangat dan camilan. Perempuan itu terlihat anggun dengan jilbab ungu terongnya. Di usianya yang mendekati kepala lima, wajahnya masih terlihat segar dan kencang. Ambar memang cantik, itulah sebabnya dia memiliki dua anak perempuan yang tak kalah cantik.

"Tidak usah repot-repot, Bulik. Rumah kita dekat kok, tinggal jalan lima langkah sudah sampai. Iya kan, Mas?" canda Wanda tanpa memperhatikan ekspresi Ambar yang sendu. Wajah perempuan itu pucat dan matanya sembab, ia ikut menangis saat melihat Zanna semakin larut dalam masalahnya.

"Ya sudah, kalau begitu Bulik masuk dulu. Ada yang mau di urus."

"Nggih, matur nuwun Bulik. O ya, Lintang kemana?" tanya Fajar. Sudah beberapa hari ini dia tidak melihat dua perempuan yang sangat lengket itu. Biasanya mereka pergi bersama, biasanya juga setiap pagi Zanna keluar rumah untuk mengantar Lintang ke PAUD Al-Hikmah di dekat persimpangan jalan.

"Lintang lagi bobo, Zanna juga." Ambar tidak berbohong. Mereka berdua memang ada di kamar masing-masing, namun tidak tahu apa yang sedang dilakukan Zannanya.

"Lho...tak kira Zanna kerja, Bah?" tanya Fajar lagi. Abah sedikit bingung mendapat pertanyaan seperti itu. "Biasanya dia pulang agak malam tho?"

"Ndak, Zanna lagi di rumah saja, Fajar." Ibu akhirnya menjawab tanpa penjelasan lebih detail. Ia segera masuk ke dalam rumah.

Kini tatapan Fajar terlihat curiga pada Salim. Lelaki paruh baya itu berdeham sebelum bicara. "Iya, Zanna berhenti kerja. Baru semingguan, anak itu ada-ada saja ulahnya." Kata Salim tenang. Fajar percaya saja, sebab dia sudah kenal Zanna sejak lama, gadis itu kadang susah di tebak. Ia pun tidak mempertanyakan sebab Zanna mengambil keputusan yang begitu mendadak.

***

Hari keempat akhirnya Zanna di bawa ke rumah sakit. Ia tidak mau ditemani oleh siapapun, ia ingin sendiri. Benar-benar merasakan sepinya hidup seorang diri. Bahkan kehadiran Lintang tidak membawa perubahan, anak kecil itu sampai menangis minta bertemu dengannya.

Zanna butuh waktu untuk sendiri.

Hari ketiga ia dirawat akhirnya Fajar datang. Lelaki itu sudah merasa bahwa Zanna banyak berubah sejak ia mengumumkan pernikahannya dengan Wanda. Ia mendengar kabar Zanna di rawat dari ibunya yang melihat Salim pulang-pergi ke rumah sakit. Ibunya yang bernama Ningrum, kakaknya Salim, marah besar pada Salim sebab tidak memberi tahu mereka kalau Zanna sedang sakit.

"Kamu itu kok tega tenan sih? Kamu sudah ndak percaya lagi sama mbakyu, kok Zanna sakit nggak mengabari kami. Tega kamu, Salim."

Salim diam tidak berkutik.

"Mbakyu nggak boleh jenguk Zanna, lho... kenapa? Ada apa ini?"

"Zanna mau sendiri, Mbak. Dia mau istirahat katanya."

"Iya, tapi aneh. Orang lagi sakit kok ndak mau ditemani tho?"

"Memang begitu maunya Zanna, Mbakyu." Ambar ikut menjawab. Akhirnya Ningrum percaya lalu ia menyuruh Fajar yang datang ke rumah sakit tempat Zanna di rawat. Gadis itu tidak di rawat di rumah sakit tempat Fajar bekerja, seolah memang sengaja di jauhkan oleh Abah. Fajar mulai curiga, pasti ada sesuatu yang terjadi dan dia tidak tahu.

Lelaki itu berhasil masuk setelah bernegosiasi dengan seorang suster yang merawat dan menjaga Zanna selama beberapa hari ini. Fajar mengaku sebagai dokter bedah umum di rumah sakit besar, dia punya hak untuk melihat kondisi pasien, walaupun tidak ada kaitannya antara sakit Zanna dengan profesinya sebagai dokter bedah. Suster itu sepakat, ia memberi waktu lima belas menit untuk Fajar.

Fajar merasa terpukul melihat kondisi Zanna yang jauh dari kata baik. Matanya menelusuri selang infus, jarum, serta tangan yang terkulai lemas. Tubuh Zanna terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya pun pucat pasi seperti mayat hidup. "Ada apa, Zanna? Ada yang kamu sembunyikan dari Mas, kan?"

Zanna memalingkan wajahnya.

"Baiklah kalau kamu tetap tidak mau bicara padaku, Zan. Asal kamu tahu, jangan buat orangtuamu cemas. Kamu sudah bukan anak kecil lagi, bicaralah kalau ada masalah." Bujuk Fajar. Dulu, dia adalah orang pertama yang tahu segala sesuatu tentang Zanna, namun semua telah berubah. Rasa percaya Zanna sudah tidak nampak lagi untuknya. Seujung kuku pun tak ada, Fajar merasa tertampar telah di jauhi oleh adik sepupunya sendiri.

Mendadak Fajar merasa asing di hadapan sepupunya itu.

Setelah sekian menit hening, akhirnya Zanna angkat suara. Ia merasa Fajar berhak tahu atas rasa sakit hatinya—yang selama dua minggu ini mendera. "Kamu itu buta ya Mas?" sepasang bola mata Zanna menatap Fajar dengan tajam, penuh amarah dan juga benci.

Fajar merasa tubuhnya seperti baru tersambar petir, dadanya merasakan sesak luar biasa. Kalau ia tidak salah duga, pastilah dia menjadi salah satu penyebab adiknya sakit.

"Mas tidak tahu kalau aku..."

"Tolong, hentikan Zanna. Sudah terlambat." Fajar memotong ucapan Zanna, membuat gadis itu nampak tercengang. Benar, dugaannya tidak meleset, adiknya pun jatuh hati padanya.

Tuhan, semua sudah terlambat. Rintih Fajar dalam hati.

"Jadi selama ini kamu sudah tahu?"

"Lupakan masalah kita, lupakan semua rasa yang kamu simpan untuk seorang lelaki pengecut sepertiku, Zanna."

"Maksudmu?" suara Zanna sangat lemah.

"Kamu tidak tahu kalau aku di jodohkan? Sebenarnya aku dan Wanda tidak pernah ada hubungan apapun, kami hanya sebatas kenal karena satu universitas. Bapakku, Zan... Bapak yang memintaku untuk menikah dengan anak sahabatnya, Hamid Abullah."

Mendengar nama itu debaran jantung Zanna semakin kencang. Siapa yang tidak mengenal Hamid? Salah satu keluarga konglomerat di Jawa Tengah. Beberapa nama yang berembel-embel Hamid adalah anggota dewan dari salah satu partai terkenal di pemerintahan Indonesia. Ada Zafran Hamid, kakaknya Wanda yang menjadi anggota partai terkenal itu. Beni Hamid, seorang pengusaha yang sedang dicalonkan sebagai wakil rakyat di Jawa Barat. Dia pun masih terhitung saudaranya Wanda.

Zanna merasa bukan siapa-siapa dihadapan Fajar. Dia memang tidak pantas bersama laki-laki itu.

"Aku tidak bisa membantah Bapak, Zan. Aku juga minta maaf atas kepengecutanku selama ini. Aku kira kamu hanya menganggapku sebagai masmu saja."

"TIDAK! TIDAK, MAS. KAMU JAHAT!!!" Zanna berteriak hingga suster yang sedang lewat didepan kamarnya menerobos masuk. "PERGI! MAS PERGI DARI SINI! AKU TIDAK PEDULI PADAMU, KAMU JAHAT!"

"Zanna, tolong dengarkan aku dulu, Dik! Aku minta maaf, tapi hidup harus terus berjalankan? Semoga kamu menemukan apa yang kamu cari. Sadarlah Dik, semua ini sudah terjadi. Maafkan masmu ini, Dik." Fajar terus memohon. Suster sampai kebingungan memisahkan dua orang itu. Zanna meronta diatas ranjangnya, tangis itu semakin keras dan tidak terkontrol.

Percaya atau tidak, Zanna rasanya ingin mati saja.

Dua suster yang baru datang ikut membantu menenangkan Zanna. Gadis itu nyaris terjatuh dari ranjangnya, sementara Fajar tidak di ijinkan menyentuh gadis itu oleh Zannanya sendiri.

"Aku tidak mau melihat kamu lagi Mas! Pergi!!!" usir Zanna. Tiga suster ikut mengusir Fajar. Lelaki itu terpaksa keluar dengan perasaan hancur. Ia merasa bersalah dan juga berdosa, ia sudah menyakiti gadis yang selama ini ia cintai. Dan ia juga telah membohongi Wanda, karena bersikap baik dan pura-pura bahagia.

***

"Abah maafkan kamu, Jar. Sudahlah, jangan sibuk mengurusi Zanna, kamu ini sudah menikah. Bagaimana kalau Wanda sampai tahu masalah ini? Keluarga besarnya bisa-bisa menuntut kamu atas perlakuan kurang ajarmu pada Wanda." Abah Salim memberikan nasehat pada Fajar, mereka duduk berdua di teras rumah sakit.

"Wanda itu perempuan yang baik, dari keluarga terhormat dan terpandang di Semarang. Jangan kecewakan dia, biarlah Zanna menjalani hidupnya tanpamu lagi. Lama-lama akan terbiasa."

"Tapi, Bah... Fajar juga menyayangi Zanna melebihi rasa sayang kakak kepada adiknya. Fajar baru tahu Zanna juga punya rasa untukku setelah pernikahan itu terjadi. Dia murung dan sakit seperti sekarang pasti karena Fajar, Bah." Ucap Fajar penuh penyesalan.

"Sembarangan kamu ini. Jangan salahkan dirimu sendiri, Jar!"

"Abah, kalau boleh. Fajar ingin menikahi Zanna saja!"

"Istighfar, Jar! Kamu ini kesambet setan mana? Apa maksud omonganmu? Kamu ini sudah punya Wanda, bisa di gantung kamu sama keluarga besarnya Wanda." Abah mengambil napasnya dalam-dalam. "Jangan coreng nama keluarga besarmu, Jar. Bapakmu guru besar di universitas hebat. Ibumu, Ningrum, dia perempuan baik-baik. Aku sangat tidak rela nama mereka hancur karena ulahmu yang tidak di pikir."

Fajar tidak tahu lagi harus bagaimana. Ia menangis seperti anak kecil, tidak malu di lihat banyak orang yang lalu lalang. Ia sempat berpikir untuk menceraikan Wanda yang belum di sentuhnya sama sekali, ia akan bicara baik-baik dengan perempuan cantik dan terhormat itu. Tapi, sulit rasanya berterus terang, keluarganya akan mendapat perlakuan tidak baik dari keluarga Hamid. Nama baik bapak dan ibunya sudah pasti akan tercoreng.

"Tidak ada solusi lain selain berusaha ikhlas dengan takdir Allah." Salim kembali bicara.

"Ada, Abah!" Fajar mendapat bisikan entah dari mana, ide itu muncul begitu saja dan ia langsung mengucapkannya. "Poligami?"

"Hust, ngawur saja kamu. Ingat, Jar. Palogami itu solusi bukan karena nafsu. Menurut Abah, kamu itu hanya sedang bernafsu untuk menikahi Zanna, apalagi dia sedang sakit begini. Kamu hanya kasihan, iba saja. Coba saja kamu nikmati hidup bersama Wanda. Setahun atau dua tahun kemudian, pasti kamu akan lupa dengan perasaan kamu untuk Zanna. Cinta kalian itu cuma sementara, tok. Abah yakin itu, Jar."

Fajar terdiam.

"Perasaan bisa berubah. Bangunlah cinta untuk permaisurimu di rumah. Jangan mimpikan wanita lain yang bukan hakmu. Ingat dosa, Jar!"

Fajar mulai menyeka air matanya. Tangan Abah Salim menepuk-nepuk punggung keponakannya itu. "Rasa sayang yang kamu miliki akan terkikis oleh waktu. Semoga kamu dan Wanda rukun dan langgeng, Jar." Abah merangkul Fajar dengan erat. Sejak dulu Abah menganggap Fajar seperti anaknya sendiri, tetapi tidak pernah terpikir untuk menjadikan anak itu sebagai menantu atau suami salah satu putrinya sendiri.

Abah menyerahkan urusan jodoh pada Allah, tetapi Abah pun sebenarnya punya pilihan sendiri. Sayang, sepertinya Zanna tidak akan menerima pilihannya untuk saat ini.

"Pulanglah, Wanda pasti menunggumu di rumah. Biar Abah yang temani adikmu di sini. Dia akan baik-baik saja. Dia hanya syok."

"Nggih, Bah. Sekali lagi matur nuwun karena Abah sudah memaafkan Fajar atas semua ini."

"Abah tidak menyalahkan siapapun, Jar. Ini semua terjadi atas kehendak Allah."

Fajar menarik napas, "titip Zanna, Bah. Sepertinya aku dan dia tidak akan sedekat dulu lagi. Wajahku najis baginya sampai dia tidak mau melihatku lagi."

"Sabar, Fajar. Semua akan berubah, Zanna butuh waktu."

Fajar mengangguk, ia menyalami tangan pakliknya sebelum pergi.

***

Zanna sudah sadar, ibunya menuntunnya untuk mengucap istighfar dan dzikir. Zanna menurut, hatinya berangsur tenang walau air mata masih meluruh.

Mendengar pengakuan Fajar barusan ternyata lebih menyiksa batinnya. Kenapa mereka harus diam dalam perasaan masing-masing selama sekian tahun lamanya. Dia dan Fajar adalah dua insan yang hidup sejaman namun tak bisa membaca dan meraba rasa cinta masing-masing. Sungguh pilu bila di ingat.

"Nduk, ibu doakan kamu akan mendapat jodoh yang lebih baik dari masmu itu. Dia akan sayang kamu selamanya, akan jaga kamu, akan lindungi kamu dan sayang keluarga kita ya, Nduk!" Ambar mengelus puncak kepala Zanna dengan lembut, ia menempelkan pipinya ke pipi Zanna.

"Semoga Allah selalu membimbing langkahmu, Nduk."

Zanna masih membisu, namun hatinya masih melantunkan asma-Nya yang indah.

Ya Rabb, Ya Muqtadir, Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Aku sungguh percaya atas kuasamu ini, semua terjadi karena perintahmu...

"Suatu hari nanti akan ada laki-laki yang menyayangi kamu sepanjang hidupmu, Nduk. Insya Allah."

"Zanna tidak mau menikah saja, Bu. Zanna benci..." belum selesai ia bicara, isak tangis mulai terdengar lagi. Ibu lanjut menuntunnya untuk melafazkan istighfar.

"Astaghfirullah YaAllah... Astaghfirullah Ya Ghafur..." terus begitu sampai Zanna kembali tenang danterlelap tidur.    

Continue Reading

You'll Also Like

32.5M 2M 103
1# Mavros Series | COMPLETED! MASIH LENGKAP DI WATTPAD. DON'T COPY MY STORY! NO PLAGIAT!! (Beberapa bagian yang 18+ dipisah dari cerita, ada di cerit...
6.7M 498K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
2.6M 217K 65
Kesepian yang selalu menemaninya. Ketakutan yang selalu menghantuinya. Beribu pertanyaan dan kebingungan yang selalu dipikirkannya. Ia adalah gadis b...
1.2M 184K 58
Ketika aku membuka mata, aku berada di dalam sebuah novel. [My Love Never Gone] [My Love Never Gone] adalah sebuah novel fantasi-romantis yang berfok...