KEADILAN KONVENSIONAL
Keadilan konvensional adalah keadilan yang mengikuti warga negara sebab keadilan ini didekritkan melalui suatu kekuasaan. Setiap warga negara berhak memperoleh haknya sebagai warga negara. Sebagai contoh adalah pesta rakyat yang disebut pemilu (pemilihan umum). Setiap warga negara berhak memilih dan dipilih. Setiap warga negara berhak secara bebas untuk berserikat dengan partai atau golongan yang cocok dan disukainya.
KEADILAN HUKUM
Menurut Prof. Notonegoro, keadilan yang disebutkan oleh Aristoteles perlu ditambah dengan keadilan legalitas atau keadilan hukum. Keadilan hukum boleh disebut keadilan undang-undang karena keadilan ini berpegang pada undang-undang atau aturan-aturan hukum yang berlaku. Seseorang yang melanggar aturan hukum atau undang-undang dikenai hukuman atau denda sesuai dengan aturan undang-undang atau hukum yang berlaku tersebut. Keadilan hukum ini memiliki tujuan untuk mengatur tatanan dalam masyarakat sedemikian rupa sehingga seseorang harus mengakui dan memberlakukan manusia sesamanya sesuai dengan martabatnya tanpa membeda-bedakan suku, ras, agama, keturunan, jenis kelamin, maupun kedudukan sosial. Hal ini berarti seorang anggota masyarakat harus mengembangkan sikap saling mengasihi dan menghormati, tenggang rasa atau tepa selira dan tidak semena-mena terhadap anggota masyarakat yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan tujuan keadilan hukum adalah keadilan sosial.
Plato mendefinisikan keadilan sebagai "the supreme virtue of the good state" (kebajikan tertinggi dari negara yang baik). Sebuah negara dapat diukur tingkat kebaikannya dari sudut bagaimana negara tersebut menjalankan keadilan dan menata masyarakatnya sehingga berlaku adil. Orang yang adil dikatakannya sebagai orang yang memiliki disiplin pribadi, di mana segala perasaan hatinya dikendalikan oleh akal sehat ("the self disciplined man whose passions are controled by reason").
Seorang filsuf dari Tiongkok bernama Kong Hu Cu menuturkan keadilan sebagai, "Bila anak sebagai anak, ayah sebagai ayah, raja sebagai raja, masing-masing melaksanakan kewajibannya, maka itulah keadilan." Keadilan menurutnya ditunjukkan dari apakah seseorang berkarya atau bertindak sesuai dengan kemampuan, jabatan atau keadaannya.
Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat dipisahkan dari keadilan dan kejujuran. Manusia memiliki keinginan untuk berbuat adil, bersikap jujur, dan berusaha untuk tidak berbuat kecurangan karena keadilan itu telah tertanam di hati nurani manusia. Akan tetapi, karena dosa, hal tersebut merupakan keinginan manusia yang sering diabaikan. Bahkan manusia tidak mampu berbuat adil dan jujur seratus persen. Yang ada adalah kecurangan, tipu muslihat, pembalasan dendam, dan sikap tidak peduli terhadap sesama asalkan ia berjalan sesuai dengan keinginannya sendiri atau memperoleh keuntungan. Dengan demikian, terdapat kesenjangan antara keinginan untuk berbuat baik dan adil dengan kenyataan dalam tindakan perbuatan dalam hidupnya. Meskipun demikian, kesenjangan yang terjadi dapat pula menimbulkan daya kreativitas manusia, yakni daya atau kemampuan untuk menciptakan hasil-hasil seni, misalnya sastra, musik, drama, film, filsafat, dan sebagainya. Dengan demikian, dalam kehidupan manusia banyak dijumpai karya seni yang melukiskan keadilan, kejujuran, kecurangan, pemulihan nama baik, dan pembalasan. Karya tersebut menjadi peringatan dan pelajaran bagi manusia sehingga manusia menjadi manusiawi. Namun demikian, belenggu dosa menyebabkan manusia tidak mampu melakukan seperti apa yang dilihatnya.