Good Night Earth

By Sachan16

21.1K 1.1K 247

#1 in fiksiumum 27 Juli 2019 Cinta bertepuk sebelah tangan Narisa kepada Redo bak deburan ombak yang senantia... More

PREFACE
Prolog
1# First meeting
2# Can I start?
3# Aku beneran suka!
4# What's happen on my earth?
5# Selamat Datang di Bumi Narisa
6# Keep looking
7# Runtuh!
8# Bumi narisa sakit
9# Siapa aku?
10# The feeling that I have for you
11# Keputusanku
PEMBERITAHUAN!
12# Selepasnya, tidak selamanya
13# Kepergiaan
Gagal Update 🙏
14# George Town
15# George Town (2)
17# A journey of heart
Bukan Apa-apaan
18# Sedikit waktu
19# Genting Highland
20# A visitor
21# The last time with you
22# I am a poor woman
23# Kebetulan yang luar biasa
24# Narisa & Afif
25# Narisa, Afif & Redo
26# Bertamu saja
27# Separuh bumi
28# Hempasan bumi Narisa
29# Ruang intropeksi
30# Simpan saja, Afif
31# Bumi baru Narisa
Jawab dong?
32# Datang untuk pamit
33# Kisah Afif
34# Penggalan Terakhir
35# Sedikit Berakhir

16# First travelling

397 23 2
By Sachan16

Jika kau jadi aku apa yang akan kau lakukan?
****

Semua alarm sudah bertengger keras di telinga makhluk bumi di kamar nomor tujuh. Aku terbangun, begitu juga dengan Rahma. Selain aku dan rahma, semuanya masih tertidur dengan lelap. Rahma menatapku dengan mata yang masih setengah sadar. Teman-temanku terlihat sangat lelah dalam tidur mereka. Tapi mau bagaimana lagi?! Benar kata Rahma, kami mempunyai jadwal untuk dipatuhi sekaligus belajar mendisplinkan waktu. Rahma membangunkan teman-temanku yang masih terlelap dalam tidur mereka. Rahma sebenarnya tahu teman-temannya sangat lelah, tetapi mereka tetap harus bangun tepat waktu.

"Narisa udah siap?" kata Nina setengah kaget melihatku selesai bersiap.

Sebenarnya untukku, tidak akan memakan hitungan jam untuk aku bersiap-siap. Aku hanya perlu memakai pelembab muka, lalu menaburkan bedak tabur, terakhirnya memoleskan pelembab di bibirku. Hijabku juga so simple! Jilbab segiempat tanpa banyak lilitan sana-sini. Untukku, seorang wanita yang tidak kekinian dan tidak peduli dengan perkembangan fashion, sangat malas untuk mengikuti sesuatu berbau mengenai kecantikan karena aku bukanlah beauty enthusiast. Sejatinya juga, kecantikkan lebih bermakna dari hati kita sendiri.

"Udah dong. Situ apa kabarnya euy? Mandi aja belom," ledek Tika sambil melempar bantal ke Nina yang berada di kasur. Tentu saja, berhasil menamparkan wajah Nina yang masih sayup-sayup membuka mata. "Buruan mandi sana," lanjut Tika.

"Aisssssh. Iya iya," decak kesal Nina sambil mengambil handuknya.

Aku memainkan ponselku sembari menunggu teman-temaku berdandan. Aku melihat di atas kasur yang sudah dipenuhi dengan alat-alat make up yang sama sekali tidak aku ketahui apa namanya, bagaimana menggunakannya, ataupun apa fungsinya? Aku berpikir keras, mengamati benda-benda yang tergeletak di atas kasur. Mataku setengah mengikuti bagaimana cara teman-temanku menggunakannya? Luar biasa! Energi kecantikan banyak berasal dari benda-benda ini. Aku baru tahu bagaimana kiat-kiat si buruk rupa menjadi seorang princess. Cukup dengan sentuhan halus dari kuas-kuas ini.

"Seperti inikah cara kerja benda tadi, aku baru paham kasiatnya," batinku. Tak apalah, tidak terlalu penting juga dipahami! Aku diantara temanku, hanya seorang anak gadis kecil bagi mereka, dengan kesederhanaan tanpa hamburan bubuk-bubuk kecantikan.

Setelah waktu panjang teman-temanku saling poles-memolesi, akhirnya selesai tepat waktu. Aku mengamati satu persatu teman di kamarku, mereka terlihat bersinar dan sangat segar. Apa kabar aku? Aah, sudahlah! Tujuanku menyembuhkan duka di sini.

Kami menuruni tangga penginapan dan sudah siap untuk menikmati kota ini. Kota yang akan terkenang dalam benakku, seumur hidup.

"Siap semua ya! Gak ada yang sakit kan?" tanya Afif sambil mengamati anggotanya satu persatu. Sebagai ketua kelompok, Afif memang memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga anggotanya.

"Everybody is okay right!" teriak Rahma membalas ucapan Afif.

Kami semuanya mengangguk tersenyum. Afif segera memimpin kami berdo'a untuk meminta perlancarkan dan perlindungan dari Yang Maha Kuasa pada kegiatan kami sampai selesai. Kali pertama, aku melihat Afif begitu bersinar dengan segala kalimat pintaannya pada-Mu, Ya Allah. Afif seperti inilah mulai mampu melekungkan senyuman di bibirku. Siapa yang akan mengira setiap kejadian di negara tetangga ini akan terus hidup di bumiku? Bagaimana kabar bumi lainku di sana? Aku belum menanyakan kabarnya pada angin pagi ini. Ah iya! Aku tidak perlu lagi kabarnya bukan? Biarkan dia lepas dari genggaman bumiku.

***

Beginilah nasib seorang traveler meskipun sudah banyak referensi tetap saja sulit. Kami tidak menemukan dimana tempat bus stop di dekat hotel. Terlalu banyak jalan ataupun gang kecil, sehingga sangat sulit untuk menemukan tempat pemberhentian bus. Andi bertanya dengan penduduk setempat, sehingga kami berhasil mendapatkan tempat pemberhentian bus. Kami menunggu bus selama kurang lebih lima belas menit dan Rapid Penang dengan nomor 103 tiba. Sebemumnya, kami sesungguhnnya mempunyai rencana untuk bermain sepeda mengelilingi Lebuh Campbell, dikarenakan waktu tidak memungkinkan, kami mengesampingkan planning tersebut.

Alhasil, di sinilah kami dengan rencana awal. Sebuah patung Budha terbentang di dalam kuil dengan dekorasi khas Thai-style Buddhist. Dimana para pengunjungnya mayoritas kaum bangsa bermata sipit dan berkulit putih. Ada begitu banyak macam pernak-pernik yang terpajang tersusun dengan rapi. Aku membuka sepatuku, karena memasuki Wat Chayamangkalaram harus melepaskan sepatu. Beberapa objek yang menjadi daya tarik bangunan ini seperti Sleeping Budha dan Arca-arca lainnya. Bangunan ini terletak di Lorong Burma dimana kaum bangsa bermata sipit dan berkulit putih hidup berkeluarga.

Tidak hanya Sleeping Budha yang terkenal di Lorong Burma, tetapi ada juga istilah Standing Budha yang berada di Dharmikarama Burmese Temple. Begitulah ada yang tertidur dan juga berdiri. Ibaratnya hidup, ada waktu kita untuk tidur di malam hari dan waktu kita untuk berdiri dalam aktivitas di siang hari.

Aku mendudukkan tubuhku di bangku panjang koridor temple. Semulanya aku masih fokus berdiam diri, sewaktu Afif sudah duduk di sampingku. Dengan jarak yang cukup jauh, aku masih belum sadar Afif berada di sampingku.

"Narisa," panggil Tika yang sudah memfokuskan lensa kameranya padaku.

Aku menoleh tanpa menyadari kamera diarahkan padaku.

Ckreeeekkkk.

Kali pertama bagi kami, aku dan Afif, menjadi objek dalam satu foto. Mana lagi hanya kami berdua. Aku sebenarnya sempat sadar Afif yang sedikit memanjangkan tubuhnya ke arahku. Sayangnya, aku tidak berani mengarahkan pandanganku ke samping. Aku berpura-pura saja tidak tahu!

Terik sang surya menebarkan kehangatan disetiap tempat namun tidak meluputkan gentaran semangat kami. Setelah puas dengan suguhan temple di Lorong Burma, kini kami bergerombolan menuju destinasi selanjutnya. Tidak menunggu lama, akhirnya Rapid Penang 101 kunjung tiba. Kami semua masuk dengan berbondong-bondongan. Keadaan bus saat itu sangat ramai dimana para turis ataupun masyarakat lokal memadati bus. Alhasil, kami semua harus berdiri di dalam bus.

"Kalo nanti ada kursi kosong, langsung gercep duduk, oke." Rahma memberikan sedikit masukkan. "Soalnya destinasi selanjutnya cukup jauh sekitar setengah jam lebih dikit mungkin," sambungnya dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang entah orang-orang dalam bus mengerti atau tidak.

"Lebih suka berdiri, Ma. Biar terasa sensasinya," balas Nina dengan pikiran yang dipenuhi kebahagian dalam otaknya. Satu hal yang perlu kalian tahu bahwa Nina pandai mempengaruhi orang sehingga kami semua mengikuti jejak Nina yang melelahkan tapi mengasyikkan, terkecuali Pak Deki.

Tibalah dimana bus mulai memasuki area Batu Ferringhi dengan jalan yang sangat berliku dan menanjak. Ketika bus berbelok ke kiri, kami dengan bahagia membantingkan tubuh ke arah kiri. Begitupun sebaliknya jika berbelok ke arah kanan. Kami melewati sebuah Floating Mosque bersama keindahan laut di bawahnya. Ingin sekali aku singgah tetapi destinasi ini tidak masuk dalam itinerary kami.

Puas dengan lika-liku jalan, kini suara deburan ombak kian terngiang di telinga kami. Angin sepai-sepoi sudah dapat dirasakan. Kami telah berada di Pantai Batu Ferringhi. Aku lebih memilih untuk berdiam diri di tepi pantai, sedangkan teman-temanku berlari ke arah ombak pantai terkecuali Pak Deki dan Anna, mereka juga lebih memilih untuk bersamaku. Setelah beberapa menit kemudian, Afif dan Andi ikut team berdiam diri kami. Eitss, sekarang tidak mungkin berdiam diri kalau ada Afif dan Andi. Puas bermain air pantai terbitlah perbicangan ringan di tepi pantai. Pak Deki mulai bercerita mengenai semasa dia berkuliah sampai dengan menikah, sedangkan kami mendengarkan dengan penuh konsentrasi. Terkadang juga, angin sepoi-sepoi membelai pelan tubuh kami. Tidak lama waktu kami habiskan di sini karena harus ke destinasi selanjutnya.

Inilah suatu hari di Pantai Batu Ferringhi.

***

"Mantap! Rame banget ya," seru Fina dengan tidak percaya dengan situasi sekarang.

Selagi Rahma, Andi, dan Anna memesan tiket untuk menuju bukit, kami-sisa yang lainnya-menunggu di tempat makan. Hanya cemilan yang kami santap sebagai lunch terlewatkan tadi. Tetapi cukup mengganjal cacing-cacing di perut kok.

Panorama apa yang aku saksikan sekarang? Kalian penasaran? Lalu, aku terkagum-kagum. Penang Hill bukan sekedar bukit biasa. Kalian akan menemukan beberapa keelokan di atas sana. Aku melirik pada langit biru di atas. Sekuat tenaga aku harus membiasakan diriku berada di keramaian manusia. Bumiku tidak sendiri! Aku juga tahu selama ini aku terlalu membatasi bumiku untuk membaur dengan seisinya, yang telah di hadirkan oleh Yang Maha Kuasa.

Setelah sibuk menasehati diriku, aku tanpa sengaja melirik pada dua insan yang sedang bersenda-gurau. Ya Rabb, kenapa rasa aneh ini begitu terlalu kanak-kanak? Aku merasa sedikit kesal ketika Afif dan Yuli mulai sibuk tertawa bersama di satu meja denganku. Cocok sekali! Pak Deki, Fina, Tika, dan Nina hanyut dalam candaan mereka juga. Sementara kami berada dalam satu meja yang sama, namun aku merasa terasingkan sekarang. Masa bodohlah! Aku menyibukkan diriku dengan ponsel di tanganku sampai tiba waktu kami mengantri masuk Penang Hill.

Keadaan di stasiun kereta dalam Penang Hill sangag berisik dengan desakan orang-orang, gesekan rel kereta, dan suara-suara alam lainnya. Kebisingan suara kereta mendarat mulai terdengar di bawah bukit. Semua pengunjung bersiap-siap untuk berebut tempat duduk. Tidak kusangka sepadat ini makhluk di bumi. Pengunjung mulai berbondong-bondong mengisi tempat duduk di setiap gerbong. Waw, mereka sangat lincah sekali atau mungkin aku yang terlalu lambat?

Aku sudah memasuki salah satu gerbong. See, tidak satupun tersisa kursi untukku. Kami terpisah menjadi dua kelompok dalam dua gerbong. Semua teman perempuanku berada di gerbong pertama. Entah sejak kapan mereka merencanakannya atau hanya kebetulan? Aku sendiri terdampar di gerbong kedua bersama dengan Pak Deki, Andi, dan Afif.

YAH! Afif lagi.

Aku memosisikan diriku di dinding gerbong dekat tiang kecil. Tanganku berpegangan erat pada tiang kecil di sampingku. Announcer telah mengumumkan bahwa kereta akan segera menanjak bukit. Aku memegang lebih erat tiang tersebut dan menyandarkan diriku di dinding kereta. Keretapun melaju dengan pelan dikarenakan jalan yang ditempuh tebingan. Semulanya aku berada di tengah, tetapi sekarang aku sudah di sudut. Tidak ada lagi ruang untuk bergeser.

Desakan, himpitan, bahkan bersenggolan, tidak menutup kemungkinan terjadi. Aku bahkan menghela napas saat menyadari kedua turis laki-laki yang berdiri dekat denganku. Aku mulai mengecilkan tubuhku dengan sangat resah. Selain faktor bukan mahram, terlebih lagi aku takut berada dekat dengan lawan jenis. Semasa aku tinggal di rumah, Ayah selalu membatasi lingkupan pertemananku. Ayahku dulu sangat menjagaku dan aku sangat bangga!

Aku menggigit bibir bawahku, memikirkan cara untuk tetap tenang dalam desakan nanti. Bahkan tidak ada lagi cela-cela tertangkap di mataku saat ini. Sangat padat sekali! Tiba-tiba punggung lebar seseorang membelakangi diriku di sudut sana. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa menyelip di antar kepadatan manusia? Kedua tangannya digunakannya untuk menghalangi beberapa tabrakan tubuh ketika kereta mulai menaiki bukit. Aku masih terpaku di sudut, sementara tidak lagi ada ketakutan dalam hatiku. Berapa kali dia menahan tubuh laki-laki lain yang hampir mengarah padaku.

"Terima kasih," batinku dengan memandang senang punggungnya.

Setelah semua guncangan dalam kereta, akhirnya titik puncak keindahan Penang Hill tercapai juga. Kami tiba di sana dengan disambut kesejukkan udara sore hari. Dimana senja akan mulai datang dan menutup hari. Kerlap-kerlip lampu dari atas sana sangat memperindah suasana, bahkan kerlipan cahaya Penang Bridge memberikan cahaya untuk melihat seberapa panjangnya jembatan tersebut. Aku tersenyum dari jauh ketika teman-temanku sibuk mengejek Andi dan Afif untuk berdiri di atas mercusuar kaca. Aku baru sadar ternyata, mereka berdua juga sama-sama takut ketinggian. Klop banget deh!

Aku kembali berjalan menuju tepi mercusuar, sedangkan teman-temanku masih sibuk mengabadikan moment. Aku berhenti sejenak ketika mendapati Afif sedang duduk di gazebo tepi mercusuar. Sejak kapan dia ada di sana? Kukira Afif tidak akan berani berjalan lagi ke tepi saat berhasil berada di tengah mercusuar kaca. Aku memutuskan untuk menghampiri Afif yang duduk sendirian di sana.

Aku tersenyum sekilas pada Afif, lalu duduk sedikit berjauhan dengannya. Sunyi, tidak satupun dari kami bersuara. Aku tersenyum simpul melihat Andi yang dikerjain oleh teman-temanku. Mereka sangat puas mengerjain Andi jika sudah berbau dengan ketinggian.

"Narisa." Afif melantunkan namaku tanpa melirikku.

"Hmm," balasku masih menertawakan kecil teman-temanku dari kejauhan.

"Bahagia gak?"

Aku berhenti tertawa dan menatap Afif.

"Bahagia gak di sini? Udah merasa nyaman?" ulang Afif untuk memperjelas.

Aku mengangguk pelan dan tersenyum kecil pada Afif.

"Harus ya mereka fotonya beribu-ribu kali?" Afif membuka topik lain lalu memalingkan pandangannya ketika sekilas menatapku tersenyum tadi.

Aku mengikuti tatapannya tertuju pada teman-teman kami, "mungkin mereka butuh banyak foto buat milih satu foto terbaik nantinya."

"Dari pada ribet milih satu foto dari sekian ribu foto, mending juga mantapkan niat buat ciptain satu foto terbaik dengan sekali potretan."

Aku tercengang dan kembali memandang Afif sekilas. Oh Rabb, sekarang hambamu sudah berani curi-curi pandang pada kaum adammu lagi. Tolong ampuni hamba kali ini saja. Seakan baru kali ini saja, aku melakukan dosa. Lalu apa kabar kemarin-kemarin?

"Terkadang kita butuh banyak perbandingan juga, Fif, buat milih yang terbaik."

"Narisa gak semuanya butuh perbandingan. Atau jangan-jangan kamu juga main banding-banding dalam milih pasangan?"

Kedua bola mataku melotot kaget. Tidak mungkin aku seperti itu? Aku salah berbicara tadi. Allah saja tidak pernah membanding-bandingkan umat-Nya.

"Ya enggak lah Fif. Beda lagi konteksnya dalam pilih pasangan." Aku membela diriku dengan sergap.

"Terus kamu pake teori dari aku tadi buat konteks dalam pilih pasangan?" Afif bertanya dengan penasaran.

"Kalo semisalnya perbandingan perlu buat dicoba dulu, tentu saja gak mungkin buat aku mau pacaran. Selain agama gak menganjurkan, Ayah aku juga selalu bilang lebih baik gak pacaran dari pada sakit hati." Toh, tanpa pacaran juga aku sudah sakit hati teramat dalam. Mungkin ini hukumanku karena sempat terpikir hal tersebut.

"Memantapkan niat lebih bagus, Sa, dari pada coba-coba," celetuk Afif.

Aku tersimpul pada Afif.

"Sa mantapi juga niat buat hati kamu pilih aku, biar nanti gak perlu uji coba lagi," kekeh Afif dengan sengaja membuat rona merah di pipiku.

Ya Rabb, semua rasa yang kau berikan padaku kiranya buatlah aku tetap berpikir normal. Peluklah hatiku dikala aku mulai merasa tidak wajar bersikap atau menantikan dengan penuh harapan.

Jangan lupa tetap istiqomah di tahun 2019 sahabat-fillah :)

~Bahagia selalu bumi kita~

Continue Reading

You'll Also Like

184K 20K 135
Spin off from #Defabian and Seducing Mr. Julien. Joanna Tan, seorang wanita pebisnis berusia 55 tahun yang tidak pernah memiliki keinginan untuk men...
1.5M 62K 56
[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Pasca bercerai dari Affandra Weltz, Gauri Chandrata mendapati dirinya mengandung bayi sang mantan...
209K 14.1K 32
Ngga pinter bikin deskripsi,kalau penasaran baca aja jangan lupa kalau suka tinggal jejak ya. Update sesuai. mood aja, alur gue ngga tau nyambung apa...
My sekretaris (21+) By L

General Fiction

1.6M 10.2K 24
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra