Bisakah kau berhenti memikirkan orang lain? Lihatlah dirimu sendiri!
🐳
.
.
.
Kesepian berganti menjadi keramaian. Seperti itulah yang dapat Mikha lihat sejak tadi. Dia berdiri di sudut ruangan, mencermati setiap orang yang berdatangan. Jujur, dia tidak pernah merasakan, atau bahkan melihat kemewahan seperti ini. Tempat yang dia pijak, berhiaskan dengan barang-barang mahal, dan itulah yang menjadi objek perhatiannya.
Seketika terbit ide licik di pikiran gadis itu. Dia membayangkan seberapa untung, jika benda-benda yang menggiurkan itu ada di genggamannya. Mungkin cukup membiayai kehidupannya selama satu tahun? Lima tahun? Atau bahkan melebihi dari ekspektasinya? Tanpa harus bekerja keras.
Hingga iris mata berwarna cokelat gelap itu, terbelalak dengan apa yang menghiasi meja makan mewah itu. Semua yang hanya dia lihat dalam sebuah gambar, kini telah tertuang nyata. Dia pun menelan salivanya, berusaha untuk menahan giuran nafsu.
Ternyata untung juga gue bisa ke sini, gumamnya dalam hati sembari menggesek kedua telapak tangan. Namun, gesekan itu terhenti, ketika menyadari ada sesuatu di belakangnya. Sontak dia pun berbalik, dan menatap nyalang sosok yang berhasil mengusiknya.
"Jangan harap kau bisa mengambil barang-barang yang ada di sini." Lelaki itu lebih dulu memasang rambu kewaspadaan, sebelum gadis yang bernotabe pencopet itu, merampas barang tersebut.
Dasar sombong!
Hanya itu yang dapat menggambarkan sifat lelaki itu. Mikha hanya mendengkus sembari menolak pandang.
"Kau harus pintar berakting. Anggap saja kau adalah seorang konglomerat. Jadi, jaga sikapmu, walau ini acara nonformal."
"Ingat, jangan pernah katakan bahwa kau adalah pencopet, keluargaku akan menghinamu kalau kau berkata demikian. Aku akan mengembalikan bajumu, kalau kau mau menuruti apa yang aku perintahkan," sambung lelaki itu seperti memberi amanat pada seorang bocah.
Lagi-lagi Mikha hanya berdeham. Baginya ucapan itu tidak butuh jawaban darinya, karena itu adalah sebuah perintah, yang bahkan menolak saja tidak bisa dia layangkan.
Tanpa sengaja, mata cokelat itu melirik benda yang ada di tangan si lelaki. "Lo, kok, pakai tongkat?" tanyanya secara spontan.
Kini dia semakin bingung dengan tingkah aneh lelaki itu. Beberapa jam yang lalu, lelaki itu bisa mengejarnya tanpa menggunakan tongkat. Namun, kenapa sekarang dia memerlukan benda itu?
Bukankah itu aneh? Atau sebenarnya dia sendiri yang semakin aneh?
Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya. "Apakah salah kalau orang buta menggunakan tongkat? Sudahlah itu tidak perlu dibahas. Semua orang sudah menunggu kita."
Dumb! Sepertinya, kini Mikha semakin bingung dengan pola pikir lelaki itu. Sialan buat keanehan lelaki ini!
Mikha pun hanya tersenyum hambar, seraya memasuki ruangan bersama lelaki yang bahkan sampai sekarang tidak ia ketahui.
Bak idola, semua mata tertuju pada dua insan tersebut. Seketika senyuman hambar beralih menjadi senyum kaku di bibir perempuan itu. Mikha pun mendaratkan bokongnya pada kursi di sebelah lelaki itu.
Hampir semua senyuman tertuju pada gadis itu, walaupun ada beberapa yang tak mengacuhkannya.
Suara dentingan logam pun mulai menghiasi suasana ruangan.
"Morger, kau tidak berniat untuk memperkenalkannya ke pada kami?" ucap seorang wanita yang terlihat sangat cantik dan anggun. Dari perawakannya, Mikha dapat menebak bahwa dia adalah ibu dari si lelaki.
"Dia temanku. Namanya Mikha."
Sontak Mikha menatap nyalang lelaki itu. Dia tahu dari mana namaku? tanyanya dalam benak.
Sibuk memikirkan hal itu, tanpa disadari Morger telah menginjak kakinya dengan tongkat--seperti memberi sebuah isyarat.
Mengerti apa maksud isyarat itu, Mikha pun tersenyum. "Perkenalkan nama saya, Mikha."
Wanita itu membalas senyuman Mikha, sebelum beralih pada anak semata wayangnya. "Untuk pertama kalinya, Mamah merasa senang, karena kau membawa teman perempuan ke sini."
"Teman lelaki saja bahkan tidak pernah," sanggah pria yang duduk di sebelah wanita cantik itu--bernotabe ayah Morger.
"Kenapa kau baru memperkenalkannya ke pada kami?" Kini pertanyaan beralih dari seorang wanita yang sudah berumur--neneknya.
Merasa diintrogasi, gadis itu pun mulai risi dengan keadaan sekarang.
"Mungkin dia tidak ada waktu untuk itu," sela pria tadi--tetap fokus pada makanannya.
Namun, Morger hanya diam. Dia seperti enggan untuk merespons ucapan itu.
Keluarga aneh!
Hanya kalimat itu saja yang dapat Mikha deskripsikan tentang keluarga itu. Gadis itu pun tak acuh. Dia memilih untuk menikmati hidangan makanan yang ada.
"Apakah kau tahu, bahwa dia terlihat sangat cantik," ujar wanita itu ke pada Morger.
Lelaki itu hanya tersenyum mengiyakannya.
Sontak Mikha hampir tersedak dibuat. Baginya kata 'cantik' adalah hal yang aneh dan tidak cocok untuknya.
"Jadi … keluargamu pengusaha apa?" tanya wanita itu yang seketika membuat Mikha tersenyum kaku.
***
"Sejak kapan bokap gue pengusaha kaya?" tukas Mikha ke pada lelaki yang ada di sebelahnya. Mereka kini sedang dalam perjalanan pulang--setelah menyelesaikan acara makan malam tadi.
"Lupakan saja apa yang telah terjadi tadi," balas Morger singkat.
Mikha berdecih. "Tanpa lo suruh, gue juga bakal lupain kejadian tadi. Bahkan sampai lo, juga gue lupain!" tegasnya.
Morger pun memberikan baju yang dikenakan Mikha pada saat acara makan malam tadi. "Ini bajumu," sodornya.
Namun, dengan tegas gadis itu menggeleng. "Gue gak mau baju norak kayak gitu."
Morger tidak menggubris apa yang dikatakan padanya. Merasa diabaikan, Mikha pun memandang lelaki itu tidak percaya. "Lo gak dengar ap--"
"Ambillah baju itu. Kalau kau tidak mau, kau bisa memberikannya kepada orang lain," ujar Morger berhasil memangkas kalimat perempuan itu. Hingga percakapan mereka terputus, ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti.
Dengan tegas gadis itu melayangkan jari telunjuk, tepat di hadapan lelaki itu. "Gue harap ini terakhir kalinya gue ketemu lo!"
Gadis itu pun langsung keluar dari mobil. Tidak lupa dia menutup pintu mobil itu dengan kasar.
Namun, belum sempurna mobil itu tertutup, Morger lebih dulu menahan pergerakan daun pintu itu. Kemudian kembali membukanya. "Mobil ini mahal, jadi jangan terlalu kasar menutupnya."
Mikha hanya memutar kedua bola mata ketika mendengarkan hal itu.
"Katamu ini pertemuan terakhir kita?" Lelaki itu berpikir sejenak.
"Hmm … kalau kita bertemu kembali, berarti kita sudah ditakdirkan. Seperti pada cerita fiksi kebanyakan, mereka ditakdirkan bertemu dan kemudian menjadi pasangan--"
Dengan cepat Mikha memangkas kalimat itu. "Sayangnya ini bukan cerita fiksi. Lo itu berlagak kayak seorang penyihir … oh, atau jangan-jangan sebenarnya lo itu penyihir," tebaknya langsung.
Morger tersenyum mendengarnya. "Ya, aku memang penyihir."
Lagi-lagi Mikha memutar kedua bola matanya. "Penyihir buta dari goa hantu," ejeknya sebelum pergi meninggalkan lelaki itu.
Morger yang menyadari kepergian gadis itu, alih-alih menyunggingkan bibirnya. "Kau lihat dia?" tanyanya ke pada seseorang.
"Ikuti dia," sambung lelaki itu.
Temaram lampu membantu bulan menjalankan tugasnya. Mikha berjalan di bawah cahaya lampu yang seolah-olah mempersilakan gadis itu untuk melewatinya. Langkah itu pun terpijak pada tujuannya. Tampak dari kejauhan seseorang sedang menyambut kedatangan gadis itu.
Mikha pun memfokuskan indra pelinghatannya, ternyata orang itu tidak sendiri. Terlihat seorang gadis kecil menangis di sebelah lelaki itu. Namun, Mikha bersikap tak acuh.
"Lo gak tidur?" tanya Mikha berjalan melewati lelaki itu.
"Mikha, ada yang mau gue bicarakan," ujarnya membuat gadis itu terpaksa menghentikan langkahnya.
Gadis itu pun menghela napas panjang. "Gue kasih tahu ke lo … di sini bukan panti asuhan yang bisa nampung banyak anak. Gue gak mau nampung dia," tolaknya to the point.
Semakin besarlah tangisan gadis kecil itu mendengar penolakan dari Mikha.
"Tapi, Mikha, lo gak kasihan sama dia? Dia terpisah dari orang tuanya--"
"Terus lo gak ngaca? Lo gak kasihan sama diri lo sendiri?" potong Mikha.
Lelaki itu terdiam. Hingga dia membuka mulutnya. "Mikha, gue mohon … setidaknya sampai dia menemukan orang tuanya."
Mikha berbalik meninggalkannya. "Gue harap orang tuanya dapat menemukan gadis kecil itu dengan cepat."
Deon yang mendengar ucapan itu, seketika tersenyum. Dia pun menyejajarkan tingginya dengan gadis kecil itu. Tidak lupa dia menghapus jejak air mata anak itu. "Berhentilah menangis, kau bisa tinggal di sini."
Sontak tangis gadis kecil itu beralih menjadi sebuah senyuman. "Kakak itu mengizinkanku?"
Deon mengiyakan kalimat itu.
"Terima kasih, Kak!" ucapnya penuh kegirangan. Tanpa dia sadari, orang yang jaraknya tidak jauh dari gadis kecil itu tersenyum mendengarnya.
🐳
.
.
.
TBC
Sorry ya guys aku updatenya malam 😆
Kalau menurut kalian cerita ini menarik, jangan lupa vote, komen, dan share-nya ya 😄😄 Ajak teman kalian untuk mendukung cerita ini 😄😄 Dengan begitu kalian bisa men-support aku 😆😆
(Eh, kayak video youtube aja :v)
Cerita ini berdiri bukan dengan sendirinya, tetapi bergandeng dengan enam cerita lainnya. Sebut saja kami 7 BENUA.
Terus cerita apa saja itu? Ayo dicek!!
1. Vanila: Kavii_98
2. Kanolla: Fifi_Alifya
3. Dian: azdiyare_ahsan708
4. Joyce: IndahCatYa
5. Tania: AnnyoosAn
6. Sarah: SilviaRodiana
Dan lagi mereka yang mendukung dan membimbing kami 😄😄
Kak Evie Talithaa56 dan Kak Mey MeylindaRatna
Dijamin seru, menarik, dan tidak mengecewakan! Cerita Romantis, tetapi memiliki warna masing-masing 😄😄 Kami bakal update sesuai jadwal kami 😄😄
Jadwal Update: SETIAP HARI KAMIS