"Mengagumimu semampuku, melindungimu sebisaku, mencintai mungkin bukan takdirku."
~*~
Roman dan Wulan sudah berkumpul di aula atas perintah Bu Indah. Keduanya diberikan tugas untuk saling mengajari satu sama lain. Roman mengajari Wulan membuat puisi, sedangkan WuLan mengajari Roman bermain gitar, "Jadi gini, puisi itu nggak harus kiasan semua.. Kata-katanya bisa sederhana, asal kena" jelas Roman memulai percakapan.
"Jangan ngomong doang dong! Contohin!" Protes Wulan.
Roman pun menarik kursi yang tak jauh dari tempatnya berdiri, lalu duduk dengan posisi sandaran kursi menghadap ke depan, memandang Wulan penuh keseriusan.
Kamu, adalah kebenaran yang harus kuingkari..
Kamu, adalah keindahan yang tak mampu kunikmati..
Kamu, adalah keindahan yang hadir lewat mimpi..
Wulan tersenyum, puisi Roman mampu membuatnya hanyut, seolah puisi itu dibuat Roman untuknya. Dengan pandangan Wulan yang tampak melamun, Roman pun meniup wajah Wulan secara tiba-tiba, lalu berkata, "Itu contoh kalo lo bikin puisi buat pacar lo! Kalo buat Pak Suryohadi ya jangan, Ntar lo dikira naksir sama dia, hahaha!" Roman cekikikan sendiri, sedangkan WuLan kembali memunculkan wajah juteknya.
"Ya kali gue bikin puisi kaya gitu buat dia" ucap Wulan sambil memukul lengan Roman dengan kertas puisinya yang digulung.
"Ya udah, coba lo ulangin kata-katanya gue mau denger?" suruh Roman.
"Ehem, okey.. Gue coba ya?"
Pria itu bernama Pak Suryohadi
Dia adalah kenyataan indah buat sekolah kami
Dia adalah ........
"adalah apa?" Ucap Wulan yang lupa dialog malah bertanya pada Roman. Namun Roman hanya tertawa.
"Gue nanya, bukan nyuruh lo ketawa!" Tegasnya.
"Lo nanya sama gue?" tanya Roman balik, lalu tertawa lagi.
"Resek deh, males deh gue, ih..!" ucapnya bete.
"Hahaha.. Gini, gini, gini.. Gue bantuin lo bikin puisi, besok pagi gue kasih ke elo.. Jadi lo bisa hafalin," ucap Roman dengan senang hati. Lalu dia memukul lengan Roman kembali dengan kertas puisinya, "Nah, gitu kek dari tadi? Gue kan jadi nggak pusing-pusing bikin puisinya, em!" Jawabnya.
"Tapi ada yang cemburu nggak?" Sambung WuLan.
"Siapa?"
"Ya siapa lagi? Ya, Susan lah!"
"Masih aja nyangkutnya di Susan.." ucap Roman merasa heran.
"Lo udah ijin sama Susan belom, kalo mau kesini? Gue nggak mau ya, kalo sampe Susan liat.. Lo belum bilang sama dia, akhirnya dia ngajakin gue perang.. Gue nggak mau sampe kaya gitu deh!" Oceh Wulan sambil berdiri, hendak pergi.
Roman pun dengan cepat mencegah WuLan untuk pergi,
"Lan..?" Roman meraih tangan WuLan.
"Apa?"
"Gue mau akuin sesuatu."
"Apa?"
Roman pun melepas tangan WuLan dari genggamannya, "Sebenernya, gue yang kalah taruhan.. Gue sama sekali nggak pernah pacaran sama Susan.." ucap Roman jujur atas taruhan itu.
"Jadi, harusnya lo nyikatin WC dong!" Ucapnya tak terima. Roman mengangguk seolah tak punya dosa. Lalu Wulan kembali memukul lengannya.
"Kok mukul?" tanya Roman sambil mengusap lengannya.
"Dasar curang! Harusnya waktu gue ngaku kalah lo juga ngaku dong? Kalo yang sebenernya kalah tu elo!" ucap Wulan penuh emosi. "Huh! Dasar curang!!" Roman mendapatkan pukulan untuk kesekian kalinya.
"Eh, kok mukul sih?" ucap Roman kesakitan.
"Ya emang lo curang!"
"Waktu itu gue mau ngaku, tapi lo nggak kasih gue waktu!" Roman mencoba mengelak.
"Alah, ngeles aja lo!" ucap Wulan sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Ya udah deh, gini aja.. Lo nggak perlu sikatin WC sekarang.. Karena gue pikir elo~" Ucap Wulan lalu berfikir cukup lama, membuat Roman penasaran apa yang akan dilakukan Wulan padanya atas taruhan tersebut. "Lebih baik, nyikatin WC-nya besok aja!! Pas selesai acaranya Pak Suryohadi.." lanjut Wulan membuat angan-angan yang Roman pikiran tentang taruhan itu musnah semua. "Hahaha, apa?" Tanya Wulan saat Roman hendak mengelak.
"Deal??" Ucapannya sambil menyodorkan tangannya pada Roman, tanda terima hukuman.
Roman pun menerima jabatan tangannya dengan terpaksa, namun tanpa Roman sadari genggamannya tampak kuat hingga WuLan merasa kesakitan.
"Ahh, ahh.. Sakit.. Kasar!!" ucapnya sambil berusaha melepaskan tangan Roman lalu memukul lengannya kembali.
"Dasar tukang pukul.." gumam Roman dalam hati.
~*~
Malamnya Roman berlatih gitar lagi di teras, boleh pinjam punya Victor. Tiba-tiba Roman mendengar suara didekat semak-semak. Roman pun meletakan gitarnya lalu mendekati arah suara itu berasal.
"Ck! Elo? Kok lo bisa tau kost-an gue? Lo ngikutin gue ya? Kok lo bisa tau kost-an gue ada disini?" oceh Roman saat mendapati Wulan yang berada di sana.
"Apaan sih lo? Nggak usah kege'eran deh! Gue tuh dateng kesini soalnya gue kepikiran, kan lo belum bisa main gitar! Gue mau ngajarin lo, Lo udah bisa belum?" Wulan menjelaskan maksud kedatangnnya.
Roman terdiam..
Victor datang lalu memergoki Roman sedang berbicara dengan seorang perempuan.
"Weh! Man.. Kok ceweknya beda lagi dengan yang tadi?" tanya Victor.
"Oh, vic.. Ini kenalin kawan aku namanya Wulandari," ucap Roman memperkenalkan Victor dengan Wulan.
"Oh.." ucapnya sambil menyodorlan tangannya untuk berkenalan. Wulan-pun menerima jabatan tangan dari Victor.
"Wulan.." ucap Wulan berkenalan.
"Aku victor.." ucap victor lalu melepaskan tangannya.
"Oh, kau Wulandari? Berarti kau ini yang~ izz!!" ucapannya terpotong lalu merintih kesakitan saat Roman menginjak kakinya.
"Hahaha, ya sudah.. Lanjutkan, lanjutkan.. Aku mau kedepan sebentar ya!" ucapnya lalu pergi meninggalkan Roman dan Wulan.
Victor pun berjalan sembari bergumam cukup keras hingga WuLan dan Roman masih bisa mendengar ucapannya, "Orang Timur bilang, aku diam.. Aku bilang, jangan bilang-bilang, hahahaha.." Victor menyindir Roman dengan kutipan puisi Roman yang ia buat untuk Wulandari saat itu.
Roman dan Wulan sempat saling tatap karena bingung dengan sikap Victor, namun sepertinya Wulan tau maksud Victor yang ingin mengejek Roman. Jelas sekali, dia telah menghancurkan puisi yang pernah dibaca oleh Wulan.
"Ya udah, ayo kita kesana!" ajak Roman pada Wulan untuk ke teras. Ia mengangguk lalu mengikuti Roman menuju teras.
~*~
"Lo itu kan bisa puisi, lo mainin gitar kaya lo lagi bikin puisi, pake perasaan!" jelas Wulan.
"Pake perasaan?" gumam Roman sambil mencoba memetik gitar lagi. "Gini?" tanya Roman setelah mencoba memetik beberapa kunci.
"Lha itu bisa, emang kalo ada niat segala sesuatu itu bisa! Gitu dong!" ucapnya lalu tersenyum pada Roman.
"Makasih ya?" ucap Roman ikut tersenyum, Wulan mengangguk.
Tak lama, Roman malah melamun gara-gara senyum Wulan yang jarang terlihat jika sedang bersama Roman. Kini hatinya bergumam, "ini jarang terjadi!"
Lalu tanpa sadar, Wulan menghentikan jarinya tepat di depan wajah Roman. Roman pun tersadar dari lamunannya. "Mana janji lo? Katanya lo mau buatin gue puisi?" tanya WuLan.
"Oh, iya nih.. Gua buatin, jadi lo dirumah tinggal hafalin aja.. Tapi gue minta besok sebelum kita tampil, kita latihan dulu.." ucap Roman sambil menyodorkan secarik kertas pada Wulan. Wulan mengangguk.
"Dan please, lo hafalin puisi ini jangan sampe ngigo! Soalnya gue buat puisi nggak sama ngigo!" tambah Roman kembali membuat jengkel seorang WuLan.
"Nggak usah resek deh! Tapi makasih ya Roman Picisan.. Yah, akhirnya gue nggak usah bikin puisi lagi, pusing gue bikinnya!"
Ucap Wulan.
"Sama-sama."
"Ya udah, kalo gitu.. Gue pulang ya!" ucapnya.
"Gue anter ya?" tawar Roman.
"Nggak deh! Makasih, gue nggak mau lagi diturunin dijalan.." ucap Wulan.
"Ck! Yeee.. Lo masih aja dendam sama gue?" Tanya Roman.
"Bodo! Gue ada duit kok.. Kalo gue nggak ada duit baru lo bisa anterin gue.." ucapnya sambil merogoh tas dan kantong celananya. Lalu Wulan melongo saat di dalam tasnya hanya ada uang 5000 rupiah.
"5000?? 5000 doang! Tarif buka pintunya aja nggak cukup? Udah, lo tunggu sini! Gue anterin, bentar!" ucap Roman lalu mengambil jaket dan helm untuk Wulan.
"Nih! Pake.." ucapRoman sambil menyodorkan jaket dan helm untuknya. Lalu ia naik ke motor, "Pegangan.." suruh Roman.
"Nggak usah nyari kesempatan deh!" Jawab Wulan tegas.
"Ck! Bawel!! Lo mau gue turunin dijalan atau nggak?" tambah Roman, lalu ia mulai melingkarkan lengannya di perut Roman. Dan detik itu juga Roman terdiam.
"Woy! Malah bengong.. Ayo!" ocehnya membuat lamunanku terhenti.
Roman pun mengantarnya selamat sampai tujuan, meski dijalan ia sempat mengomel karena motor Roman berjalan sangat pelan. Padahal Roman hanya mengikuti kata-kata Wulan untuk pelan-pelan. Terkadang perempuan memang suka plin-plan jika memutuskan kehendak?
~*~
"Akhirnya nyampe juga.. Ya udah sana langsung pulang!" ucap Wulan sambil menyodorkan helmnya.
"Lo ngusir gue? Tenang aja, gue bentar lagi juga pulang kok.. Lagian gue juga nggak mau lama-lama disini.. Takut ketularan galak kaya lo!"
"Ngaco!" Jawab WuLan sambil berbalik ke arah gerbang rumahnya. Namun, Roman kembali menahannya untuk pergi, "Tunggu lan.." panggil Roman.
"Apa?"
"Gue mau bilang, makasih karna lo udah ngajarin gue gitar," ucap Roman dengan tulus, sambil tersenyum.
"Harusnya gue yang makasih, karna lo udah buatin puisi.. Makasih ya!" Jawab Wulan tak kalah tulus, Surabaya lebih lembut dari Wulan yang biasanya.
"Oh, iya.. Kalo baca puisi gue ati-ati.. jangan baper ya!" Roman memperingati WuLan, membuat Wulan kembali memunculkan kebete'annya.
"PD abisss!! Udah sana pulang! males gue liat muka lo.. Wleeekk!" ejeknya pada Roman, lalu masuk ke dalam rumahnya.
Roman tampak mendengus kesal lalu men-stater motornya. Tiba-tiba orang suruhan Devon kembali menghampiri Roman.
Mereka adalah orang-orang suruhan Devon yang pernah menyerang Roman saat hari ulang tahun Yasmin waktu itu. Mereka mengeroyok Roman, tiga lawan satu hingga ia kewalahan.
Braakkk..
"Awww!!" Wulan berteriak, dan saat Roman menengok ke belakang Wulan malah terpukul kayu yang hendak dilayangkan orang suruhan Devon ke punggung Roman.
"Wulan.." ucap Roman berusaha menopang tubuh Wulan agar tidak jatuh. Saat itu jua Papa Wulan datang, orang-orang suruhan Devon kocar-kacir pergi meninggalkan Roman dan Wulan.
"Wulan!" triak Andhika yang keluar dari mobil.
"Apa yang kalian lakukan sama anak saya?" Teriak Andhika pada orang suruhan devon yang hendak pergi dari rumah WuLan.
"Ini? Arghh! Siapa mereka? Kenapa kamu sampe dipukulin kaya gini? Sayang.." ucapnya khawatir pada Wulan.
"Maaf, orang-orang itu mau mukulin saya, tapi Wulan~"
"Apa kamu bilang?" ucap Andhika memotong perkataan Roman.
"Tapi Wulan nylametin saya, Om," sambung Roman.
"Kamu itu laki-laki macam apa? Kamu biarkan diri kamu ditolong oleh seorang perempuan, begitu?" ucap Andhika memarahi Roman dihadapan Wulan.
"Pah, Roman nggak salah, Pah," ucap Wulan membela Roman.
"Dan kamu Wulan, untuk apa kamu mempertaruhkan nyawa kamu untuk orang seperti dia? Memang dia itu siapa? Hah? Apanya kamu?" tanya Andhika pada Wulan.
"Sekali lagi saya minta maaf, Om.. Ini salah saya bukan salah Wulan," ucap Roman merasa bersalah.
"Oh, jadi kamu fikir permintaan maaf kamu bisa sembuhin sakitnya Wulan? Iya? Kamu denger baik-baik ya! Kalo terjadi apa-apa sama anak saya, saya sendiri yang akan buat perhitungan sama kamu" ucap Andhika.
"Pah.. jangan, Pah.. Kasihan Roman," ucap Wulan.
"Oh, namanya Roman? Okey, kamu pergi sekarang, Roman.." suruh Andhika.
Roman pun menuruti keinginan Andhika untuk segera pergi dari sana, lalu ia tampak berjalan ke motor yang menghalangi mobil Andhika yang ingin masuk. Akhirnya Wulan pun ikut masuk bersama Andhika yang membantunya berjalan ke dalam rumah.
~*~
ESOKNYA, Wulan sempat di larang Andhika untuk masuk sekolah. Padahal hari ini adalah hari dimana ia dan Roman harus membaca musikalisasi puisi bersama di atas pensi.
Karena kedatangan Wulan sempat tersendat waktu yang cukup lama, Bu Indah sempat memberikan tugas dadakan oleh Susan. Susan pun dengan senang hati menerima tugas Bu Indah, karena dengan itu Susan bisa lebih dekat seharian dengan Roman. Namun, kesenangan yang dirasakan Susan tak berlangsung lama, Wulan datang tepat sebelum Roman naik ke atas panggung. Mereka pun tampil dengan memukau penonton maupun Pak Suryo Hadi.
"Terima kasih anak-anak, semua pertunjukan kalian hari ini adalah hadiah yang paling berharga dan tak akan terlupakan.. Pesan bapak, kalian semua harus rajin-rajin belajar karna satu minggu lagi kalian akan menghadapi ujian kenaikan kelas.." sedikit pidato dari Pak Suryo Hadi yang menilai pensi yang sudah terselenggara dengan apik hingga membuat kagum beliau, "Dan untuk terakhir kalinya bapak mau Roman membacakan salah satu puisinya.." pinta Pak Suryohadi pada Roman.
"Ayo, Man!" Seru Darren memberi Roman semangat.
"Ayo bacakan itu!" triak Carlo.
"Dan Wulan, kamu bisa mengiringinya?" tanya Pak Suryo Hadi.
"Bisa, Pak," jawab Wulan.
"Terima kasih.." ucap Pak Suryohadi lalu diikuti tepuk tangan penonton.
Roman pun memberikan gitar pada Wulan, lalu naik lagi ke atas panggung. Wulan mulai memetik gitarnya..
Cinta..
Semua orang menginginkanmu..
Namun tidak semua orang dapat menjagamu..
Cinta..
Detik itu juga Roman menatap Wulan sekejap, lalu kembali menatap penonton begitu juga Wulan kembali memetik gitarnya.
Kau indahkan dunia..
Tapi tak lupa menabur luka..
Petikkan gitar Wulan kembali berhenti, ia menatap Roman penuh tanya. Apa puisi ini untuknya?
"Sssttt.. Petik!" Ucap Roman lirih pada Wulan. Lalu Wulan memetik gitarnya kembali.
Cinta..
Aku mohon padamu..
Jangan datang untuk pergi..
Jangan bahagia untuk menyakiti..
Pandangan kami lagi-lagi bertemu, lalu sorakan dan tepuk tangan penonton membuyarkan lamunan mereka berdua.
~*~
"Roman, Wulan.. Makasih ya penampilan kalian tadi bagus banget.." puji Bu Indah.
"Iya bu.." ucap Wulan.
"Sama-sama, Bu," ucap Roman.
"Ya udah, ibu tinggal dulu ya?" ucap Bu Indah lalu meninggalkan mereka berdua.
Wulan dari tadi terlihat merasakan sakit di bagian punggungnya. Mungkin luka yang kemarin memang belum betul sembuh. Namun, bukan mengasihani Wulan, Roman justru menanyakan hal yang tak penting padanya, "Lo tadi kenapa? Gue liat lo sampe mangap-mangap gitu pas gue lagi baca puisi? Lo baper?" Tanya Roman.
"Gak usah kepedean deh! Gue cuma heran aja, puisi sebagus itu, ternyata yang ngarang bentukannya kaya gini!" jawabnya mengejek fisik Roman secara tidak langsung.
"Kenapa gue? Hmm? Ganteng?" Ucap Roman dengan percaya diri.
"Ngarep!"
Tiba-tiba Devon datang, sepertinya dia mau cari gara-gara dengan Roman lagi di depan Wulan.
"Karna Om Andhika nyuruh gue jagain lo, jadi gue harus jalanin tugas ini sebaik mungkin.. Lo pasti laper kan belum makan? Ini gue bawain burger buat lo, nih makan!" ucap Devon sambil hendak menyuapi Wulan.
"Apaan sih, Von.. Gue bisa sendiri kali!" ucap Wulan sambil mengambil burger itu dari Devon.
"Lo pasti lupa, lo kan masih terluka gara-gara seseorang.." ucap Devon sambil menatap Roman.
"Heh! Wulan nggak akan kaya gini kalo nggak gara-gara lo!" Bentak Roman sambil menujuk ke arah Devon.
"Heh! Lo bisa nggak sih berhenti nuduh orang sembarangan? Gue nggak ada sangkut pautnya sama masalah lo semalem.." ucap Devon.
"Terus lo mau sampe kapan sembunyiin kebusukan lo? Hah? Sampai kapan?" tanyaku.
"Lo musti tau ya, kalo yang namanya bangkai baunya pasti kecium juga.." sambungku.
"Gue nggak nyembunyiin apapun dan gue nggak pernah nyuruh orang buat mukulin lo" bela Devon.
"Terus gue harus percaya kata-kata bohong lo ini?" harus??" ucapku membuat Devon memanas lalu hendak memukup wajahku. Namun kutangkis terlebih dahulu. Wulan yang tepat berada diantara kami kaget.
"Udah, udah.. Cukup!! Kenapa jadi brantem gini sih?" ucap Wulan sambil melerai kami.
"Dia yang mulai duluan!" ucap Devon.
"Elo yang mulai duluan!" ucapku.
"Elo!!"
"Elo.."
"Udah cukup!! Diem.. Diem gua bilang.." ucap Wulan mekerai kami.
"Semuanya diem siapa yang mau ngomong?" gerutuku untuk Wulan.
"Disini tuh sekolah tau nggak sih? Nggak boleh brantem, lagian elo Roman.. Lo punya bukti apa kalo Devon yang nglakuin itu? Hah? Kalo lo nggak punya bukti apa-apa lo nggak usah asal nuduh!" ucapnya padaku.
"Iya! Gue emang nggak punya bukti apa-apa.. Gue yang salah!!" bentak Roman dihadapan Wulan dan Devon lalu meninggalkan mereka berdua begitu saja.
🌹🌹🌹
-ROMAN PICISAN-
Endahratrie