^Jarak^
(Jatuh cinta siap terluka)
part:2
Setelah beberapa hari di rumah. Fildan enggan memberitahu kepada Lesti sampai sekarang.
Mungkin mendengar kata-kata terakhir dari dokter Wiliam saat sedang berbincang bersama mamahnya, membuatnya semakin meyakini keputusannya.
"Kak Fildan! ayo sarapan?"
Suara gadis kecil itu membuyarkan lamunan Fildan. Kemudian beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan untuk membukakan pintu.
clek'
"lama banget sih kak?" ucap Putri dengan kesal. Seperti biasa, tangannya selalu menyentuh kening kakaknya yang setiap ditanya selalu diam seperti patung.
"apa sih dek?" Sergah Fildan. Meletakkan kembali posisi tangan adiknya. "turunlah, nanti kakak menyusul." tambahnya lagi.
"Jangan lama-lama, Putri udah laper soalnya." ucap gadis itu tersenyum kecil.
Cup'
sebuah kecupan singkat itu mendarat dipipi Fildan. Hanya senyuman yang pemuda itu tunjukan untuk memperlihatkan betapa baik Tuhan memberi orang-orang yang selalu menyayanginya.
Fildan kembali memasuki kamarnya, mengambil dua buah tabung kecil yang berisi kehidupannya.
"hay teman? lagi-lagi waktunya aku meminta bantuanmu." Fildan berucap antara senang dan sedih. Tapi tawanya terdengar seperti tercekik.
Blam!
suara pintu tertutup terdengar, saat sang pemilik kamar menutupnya.
Fildan menuruni anak tangganya dan membalas senyum pada tiga sosok yang selalu membuatnya bertahan hingga sekarang.
srett'
Fildan menarik kursi kebelakang, dan menimbulkan bunyi kecil. Sekarang dua mata menatapnya intens, "apa semuanya baik?"
Fildan menggeleng, "sudah saatnya mah. Fildan gak nafsu makan." Pemuda itu kemudian berangsut dan bergjalan menuju alat-alat lukisnya.
Kemudian Fildan mencelupkan kuas kedalam cat air dan memulai lukisan awal.
Tak pernah tertinggal, setiap lukisan yang Fildan ciptakan, selalu ada sesuatu misteri didalamnya.
Berawal dari mata, tatapan yang menggambarkan seorang gadis sedang menatap sebuah Takdir yang tak kunjung didapatkan. Rambut yang tergerai sangat indah. Fildan menambahkan sebuah pita merah dirambut hitam lukisannya.
"Jika waktuku cukup, aku akan menunjukan ini semua tanpa satupun yang terlewat Les."
Setelah menghela nafas berat, Fildan mengambil ponselnya dan meng-klik nomor yang tertera di layar.
tut'
Terhubung, Fildan tersenyum sekilas dan mencoba menetralisir rasa sakit pada tubuhnya.
"Hallo?"
"Les? aku sudah pulang, maaf gak kabari kamu dua hari ini."
Terdengar helaan nafas yang berat, dan suara yang mengganggu telinga Fildan kala mendengarnya.
" kamu dengar aku,Les."
tak ada tanggapan, membuat Fildan di atas kebimbangan.
" Jadi kamu pulang gak ngabarin aku? no problem."
"marah aja, gak perlu ditahan gitu. Aku cuma mau bilang kita udahan aja ya?"
"What! kamu bilang apa, udahan. Maksud kamu kita putus?"
" Les plis, jangan cari apalagi ke rumah aku lagi bye."
"Fil~'
Tutt'
Suara itu terputus. Fildan memang sengaja mematikan sambungan telefonnya. Entah apa yang difikirkan gadis itu sekarang, mencaci,membenci,kecewa atau bahkan marah.
Fildan tak ingin mengetahuinya. Lebih baik sakit lebih dulu, dibanding harus kecewa seumur hidupnya.
"maaf Les?"
Drap'
Drap'
Drap'
Blam!
Raina mengerti keadaan ini memang sulit. Sarapan yang tak sempat putranya makan, membuat wanita paruh baya itu meletakannya di atas sebuah nampan.
" pah, mamah ke kamar Fildan sebentar." Ucap Raina kepada Rangga.
Laki-laki itu mengusap punggung tangan istrinya dan berujar. "lebih baik tunggu sampai Fildan tenang mah," Terang Rangga. Raina hanya membuang nafas berat.
" Tapi pah? mamah takut."
Putri meletakan roti tawarnya di atas piring. Tak nafsu makan, disaat setiap air mata kepedihan berakhir kekecewaan.
" mah, pah, Putri ke kamar duluan."
Langkah gadis itu semakin cepat, dan segera menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Tak ingin siapapun tahu jika dirinya harus menangis dipagi hari yang bahkan matahari tengah berseri.
duk'
duk'
duk'
"Ahhrrrggg!!? Kenapa Tuhan!! kenapa harus kak Fildan! kenapa harus kak Fildan yang merasakan sakit itu? Putri rela berbagi kesehatan Putri untuk kak Fildan." ungkapnya memukul -mukul kasur.
"Putri gak bisa lakuin apapun buat kak Fildan. Putri semakin takut kak?"
ucapnya lagi dengan suara serak karna menangis.
tawa jadi luka,kecewa jadi duka, dan air mata perlahan tumpah.
sakit,perih,dan kesedihan tak dapat terbendung lagi.
Ada kalanya tertawa, tapi bagaimana bisa jika sumber kebahagiaan itu tengah sakit yang sedikit kemungkinan bisa bertahan.
.
.
Dilain sisi seorang pemuda tengah berusaha untuk bisa melawan sakit yang amat luar biasa.
Darah mengalir dari lubang hidungnya, ditambah tubuhnya yang begitu sakit sampai membuatnya sulit bergerak guna mengambil butiran-butiran kecil yang selalu menemaninya beberapa tahun belakangan.
" Fildan kamu bisa, bismillah." ungkapnya perlahan mengambil obat dan segelas air putih.
Pyarr!
gelas itu pecah, namun tak sampai melukai tangan Fildan. Hanya air mata yang tumpah sampai tak tersisa, begitu lemahkah dirinya sampai mengambil segelas air putihpun tak mampu.
" Fildan-Fildan? bego banget!" cetusnya mengumpat pada diri sendiri.
setelah dirasa lebih baik dari sebelumnya, tangannya ia gerakan untuk membersihkan darah yang menetes dilantai kamarnya.
"Maaf Les, aku memilih pergi jauh untuk tidak menyakitimu. Lebih baik kecewa saat ini dibanding bersamaku perlahan kamu akan aku tinggalkan. Meski pada kenyataannya, aku mencintaimu."
Buk'
Fildan beranjak dari lantai dan menghempaskan tubuhnya diatas kasur.
memejamkan matanya berusaha untuk memasuki dunia mimpinya. Sulit ditebak apa yang terjadi pada takdirnya, tapi mimpinya yang indah itu hanya bunga tidur saja.
.
.
Disebuah kamar yang biasanya terdengar alunan merdu dari lagu yang diputar lewat ponsel seorang gadis.Tapi sekarang hanya hening, senyap dansepi bagai tak berpenghuni.
Hatinya sedang kacau,fikirannya sedang meronta-ronta kapan takdir bisa berpihak padanya. Sebelum kejadian itu Lesti ingin mengajak Fildan mencari kampus untuk keduanya bisa selalu bersama.
Hancur.
mungkin itu yang dpat dikatakan, apalagi saat semua kenyataan tak sesuai kinginan.Apalagi jika impian hanya sebataskhayalan.
"aku tanya dia diam, aku diam dia bertanya.Ada apa ini? dan apa yang trjadi?"
Lesti berkali-kali mengulang kata-kata itu. Tak ada yang lain lagi saat ini. Kejadian itu begitu cepat, sampai otaknya tak sampai pada ucapan yang kiniakhirnya bisa tertangkap jelas lewat memori yang tak beralas.
"suatu keputusan,tentu ada alasan kan Fil? lalu apa alasanmu mengakhiri hubungan yangtak pernah ada masalah walau sekecil apapun?"
Srett'
Lesti menarik jaket di atas meja dan mengalungkan tas dileher.
"aku akan mengetahuinya sekarang." ucapnya menutup pintu kamar.
Lesti menuruni anak tangga perlahan,dan kembali mengunci pintu rumahnya.. Terlebih kakaknya sedang ada acara dengan sahabat kuliahnya.
.
.
Lesti membuang nafas berat. Matanya tertuju pada sebuah rumah yang menjulang tinggi bak istana para peri.
"ini aku, mencari sang waktu yang akan memberi alasan atas sebuah pernyataan yang tak jelas." tutur Lesti. Langkahnya terhenti saat seorang wanita keluar dan menatapnya terkejut.
" Lesti?" ujar Raina berusaha bersikap santai. Terlebih saat ini ia sudah tahu jika sewaktu-waktu gadis itu akan mendatangi rumahnya, atas keputusan putranya.
"tan, Fildan ada?" tanya Lesti yang membuat Raina kelagatan.
" sepertinya ada sesuatu diantara kalian? tante rasa ini bukan waktunya untuk bertemu sayang?"
" tapi tan, Lesti butuh penjelasan Fildan kenapa putusin Lesti?"
" maaf sayang, om Rangga sedang ke kantor. Dan Putri baru saja pergi dengan temannya? jadi sekarang tante harus pergi dan kamu sebaiknya pulang."
Raina mengunci pintu rumahnya, dan menepuk pipi Lesti lembut.
"tante tinggal ya sayang?"
Lesti enggan menjawab.
Aneh? tak biasanya tante Raina bersikap seperti itu padanya.
Raina membuka kaca mobilnya, dan menatap miris seorang gadis tak berdosa harus merasakan sakit karna keputusan putranya.
Raina kembali melajukan mbilnya menuju rumah sakit. Berharap pertemuannya dengan dokter Ridwan tak membuatnya kembali harus mendengar kabar buruk..
.
.
"Fildan! aku tahu kamu denger aku. Aku minta kamu keluar!"
Lesti berteriak dengan sekeras mungkin. Berharap seseorang membuka jendelanya.
Fildan yangmasih terlelap dalam tidurnya terbangun. Mengusap matanya yang sedikit perih akibat air matanya, dan berjalan menuju sumber suara tersebut.
matanya terkejut ada sosok yang berdiri diterik sinar matahari.
"Lesti?" ucapnya segera keluar dri kamar.
Setelah sampai di pintu depan, ingatan akan suara dokter yang masih erngiang difikirannya kembali mengingatkannya akan satu hal.
Fildan kamu harus kuat. Kamu harus bisa." ucapnya yang tak tega melihat Lesti berjemur demi bisa bertemu dengannya.
" Fildan aku mohon keluar!"
Bruk!
Lesti menjatuhkan tubuhnya. Lututnya yng mungkin terluka tak seberapa dibanding hatinya yangmasih tak terarah.
"Fildan aku tahukamu denger aku. Plis aku butuh penjelasan itu?" ucapnya dengan air mata yang perlahan tumpah.
.
.
'Apa kanker dalam tubuh putra saya sangat menyakitkan dok?'
'bukan hanya menyakitkan, tapi ini sangat mematikan. Kanker kelenjer prangkeas ini adalah satu-satunya kanker yang paling berbahaya dibandingkan kanker lainnya.'
Suara itu terus menghantui fikiran Fildan,sampai tubuhnya tak sanggup menahan sakit yang kembali menyerang.
'maaf Les, aku gak bsa temuin kamu lagi.'
"Ahhrrggg!"
"Fildan! Fildan aku denger suara kamu, kamu kenapa? kamu gak papa kan? Fildan!" teriak Lesti yang berlari dan menggedor-gedor pintu.
....BERSAMBUNG....!
maaf ya temanteman telat post. intinya jangan libatkan suatu masalah dalam setiap cerita yng kalian baca.
tapi ambilah sejarah atau fakta bahwa hidup memsng tak semua berpihak pada kita.
selamat berbaper jamaah?
Salam sayang
_Langit dan Bulan_