Mengetukkan kaki ke tanah atau paving batu, bersenandung kecil, sebuah buku tergenggam di tangan kanan, mata yang melihat dengan lebih jelas dunia sekitar, terik cahaya matahari yang menyentuh kulit, suara-suara, jalan setapak, udara dingin, napas yang terengah, keringat yang menetes di sekujur tubuh atau di sekitar leher dan kening. Semua itulah, dari sekian banyak yang lainnya yang paling aku sukai saat berjalan kaki.
Menemukan tempat-tempat baru. Mengisi celah kosong dari detail yang terlewati saat menggunakan kendaraan bermesin. Berlari dan mencari tempat berteduh saat didera hujan secara tiba-tiba. Memandang ke langit luas dengan rasa takjub. Mengamati pohon-pohon. Mendengarkan ciutan burung-burung yang kian langka. Bertemu dengan seekor bunglon, kupu-kupu, kelelawar, burung hantu, musang, dan terkadang tak sengaja bertemu dengan binatang-binatang yang aku kira telah hilang. Di lain kali, adakalanya sebuah paku menembus lapisan tipis dari sandal atau sepatu. Rasanya sakit, tapi ada kesan yang tak terlupakan di situ, yang semuanya diawali dengan berjalan kaki.
Akhir-akhir ini aku berjalan kaki kembali dan itu sangat menyenangkan. Aku jadi teringat dengan diriku yang dulu, seorang pejalan kaki yang cukup kuat dan mampu berjalan berpuluh kilometer sendirian. Kini, saat sakit membuat tubuhku menjadi kian lemah, kerinduan akan berjalan kaki kian menguat saat tulisanku hampir terselesaikan. Di mana, untuk fokus dalam menulis, aku harus menjaga kondisi tubuhku agar tidak mudah kelelahan. Itu juga berarti, waktu berjalan kaki menjadi semakin langka. Akhir-akhir ini aku membebaskannya lagi. Membawa beberapa buku di tas seperti The Old Ways: A Journey on Foot karya Robert Macfarlane dan Wanderlust: A History of Walking.
Berjalan kaki membuatku tenang dan pikiran depresifku agak menguap. Salah satu hal yang paling aku sukai dan sebenarnya terapi yang begitu memuaskan dalam banyak hal. Dalam A Philoshophy of Walking milik Frederick Gros, berjalan kaki membantu kita lepas dari identitas keseharian kita untuk sejenak. Merasa jauh lebih bebas dan hidup. "Dengan berjalan kaki, kamu lari dari gagasan akan identitas, godaan untuk menjadi seseorang, untuk memiliki sebuah nama dan sejarah," tulis Gros, di mana adakalanya aku sangat menyetujuinya jikalau tengah melakukan perjalanan dengan kedua kakiku. Dan keadaan semacam itu rasanya melegakan.
Kadang sangat menyenangkan, saat berjalan kaki sendirian di tengah malam sambil menikmati rintik hujan yang jatuh. Salah satu kesukaanku saat berjalan di tepian trotoar di kala hujan gerimis, yang adakalanya merasa hanyut dalam pancaran sinar redup lampu-lampu yang menjadikan tetes-tetes hujan menjadi lebih indah. Di lain waktu, aku begitu takjub dengan betapa luasnya langit, memandangi aliran bimasakti dan mengingat-ingat berbagai konstelasi bintang dan nama-namanya. Di lain waktu aku berjalan kaki sambil mengamati perubahan awan tinggi ke rendah atau merasakan helaian angin yang mulai menjatuhkan dedaunan. Mendengarkan deru ombak di sepanjang pantai dan menyaksikan berbagai jenis jalan yang berbeda-beda, dengan arah, tujuan, dan sejarah yang berlainan.
"Ritme berjalan kaki secara umum adalah salah satu macam ritme berpikir," tulis Rebecca Solnit dalam Wanderlust, yang bagiku sendiri, keterpesonaan berjalan kaki datang kembali saat Paul Salopek melakukan perjalanan ambiusnya dan yang paling menakjubkan yang sekarang masih berlanjut. Sebuah perjalanan mengelilingi dunia dengan berjalan kaki mengikuti jejak sejarah penyebaran homo sapiens, membuatku benar-benar terpikat. Perjalanan kaki keluar dari Afrika itu bermama Out of Eden atau Keluar dari Nirwana.
Aku pernah sangat ingin menjadi seperti para pejalan kaki yang mengembara di setiap sudut kota Paris di dua abad yang lalu, di mana mereka sering dinamakan bohemian atau lebih tepatnya, flaneur. Atau yang lebih filosofis yang kini mudah ditemukan dalam bahasa Inggris yang diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu Peripapetic, seorang yang berjalan kaki sebagai kebiasaan dan secara ekstensif, yang dahulu dipratekkan oleh banyaknya filsuf Yunani Kuno.
Berjalan kaki sebagai pencarian ide dan hal-hal baru, aku menamainya sebagai ideapacker, seorang yang berjalan mencari dan merenungkan gagasan, ide, dan dunia yang dilihatnya. Aku sendiri menamai diriku ideapacker, yang sebenarnya nyaris sinonim dengan paripatetic.
Berjalan kaki tidak hanya menyenangkan dan membuatku lupa akan kegelisahan-kecemasanku yang menumpuk. Tapi yang tak kalah penting, banyak gagasan dan fakta-fakta yang luar biasa datang saat aku tengah berjalan kaki. Bagiku, berjalan kaki tidak hanya mengandung unsur sejarah, budaya, kebiasaan dan perekam waktu dan masa. Berjalan kaki juga adalah identitas dan siapa diri kita walau terkadang kita coba mengenyahkannya seperti yang diinginkan Frederick Gros. Terlebih di dunia di mana para pejalan kaki menyusut luar biasa tajam dan sebuah negara bernama Indonesia yang dianggap sebagai negara termalas dalam hal berjalan kaki.
Bagaimana bisa? Tidakkah masa lalu kita banyak diisi oleh berjalan kaki? Yah, itu masa dulu, saat para orang tua dan kakek-nenek kita masih hidup dan kecil. Kini, hampir di setiap sudut dan trotoar jalan, pejalan kaki nyaris menghilang secara total. Semua orang terburu-buru. Seolah ingin mengejar segala sesuatu yang cepat menguap. Hilangnya budaya berjalan kaki, seperti sebanding dengan diri kita yang mudah stress dan depresi karena telah kian menjauh dari dunia sekitar.
Bahkan, berjalan kaki yang bukan sebagai rekreasi, sudah nyaris punah.
Itulah sebabnya, kehilangan kebiasaan berjalan kaki, bagiku sendiri seringkali sangat menyedihkan jika aku memikirkannya. Di saat-saat kerinduan akan perjalanan kaki begitu mengusik, aku akan membawa tasku, buku-buku, suara musik di telinga, dan mata yang memandang ke segala arah sambil terkadang melihat kedua kaki sendiri yang tengah terangkat bergantian. Kemudian, saat berjalan semakin intens, semakin lebih lama dan jauh, percakapan dengan diri sendiri dan dunia sekitar tak lagi bisa dihindari. Pada dasarnya, berjalan kaki adalah kemalasan yang filosofis. Atau penderitaan yang bertujuan menemukan arah. Di lain waktu, berjalan kaki adalah pelepas kepenatan dan kemuakkan akan dunia. Seperti yang dilakukan McCandless dalam Into The Wild atau Robyn Davidson dengan kisah luar biasanya, Tracks.
Saat ini, berjalan kaki untukku tak hanya sebagai pelepas rasa bosan, mencari gagasan baru, membaca, atau merenung dan terapi psikologis. Tapi juga sebagai kenangan dan ingatan yang ingin kembali aku tumbuhkan. Ingatan akan bau hutan, gunung, air laut, sawah, pematang, jalanan tanah, rerumputan, pohon-pohon, bunga-bunga, berbagai makhluk hidup dan banyak kejadian dan pertemuan yang begitu menariknya saat aku kecil dengan banyak hal.
Berjalan di antara ribuan burung pipit yang terbang mendadak. Berjalan di antara ratusan capung yang berterbangan. Berjalan saat kunang-kunang bertebaran dengan sangat indahnya di malam hari. Berjalan menghindar katak-katak yang menghalangi jalanan. Berjalan di antara ikan-ikan yang berenang di bawah kaki. Dan berjalan jauh, tanpa rasa takut, berdua atau sendirian, di berbagai tempat yang menarik atau bahkan dianggap seram. Banyak di antaranya yang kini telah hilang. Seperti hilangnya berbagai pohon besar, burung dan jangkrik, sampai jalan yang kini punah menjadi rumah dan petak pekarangan baru. Dan adakalanya, di sepanjang jalan lama yang kembali aku lalui, jalan yang dulu lebar berubah menjadi lebih kecil dan berbagai tanaman di sepanjang jalan itu kini tak lagi ada atau tinggal sedikit. Mengingat semua itu, seperti suara petir yang tiba-tiba menggelegar saat tengah berjalan sendiri atau badai angin yang datang beberapa menit setelah hujan, adalah kenangan paling menakjubkan dari perjalanan kaki di masa lalu yang semakin hilang dengan dunia modern dan kendaraan yang kita gunakan setiap hari.
Saat aku kembali berjalan kaki, aku bagaikan melihat ulang masa kecil dan juga masa kini. Suatu pengalaman yang tak bisa digantikan oleh kereta, bus, mobil, motor, pesawat, dan segala jenis transportasi lainnya. Karena perjalanan kaki adalah pengalaman yang paling unik dan individual. Di mana aku ada di tempat dan ruang itu dan merasakan langsung dunia yang aku lewati, lihat, dan ada di sekitarku.