Helena melesat bersama Jasmine menuju tempat persembunyian Anne. Sebelum itu, ia sudah membuat mantra pelindung istana. Kali ini bukan dengan darahnya seperti saat itu. Helena cukup merapal mantra meski akibatnya sedikit menguras tenaganya. Mata Helena menatap luar istana. Para jendral menyiapkan pasukannya, sebagian prajurit sudah dikerahkan menjaga tempat di berbagai sudut istana sedangkan sang pemeran utama, pemimpin Hallstatt tampaknya masih mengadakan rapat bersama para petinggi kerajaan.
"Yang Mulia," panggil Jasmine dengan kepala menunduk. Helena menoleh dan mengangguk sekilas lalu memegang tangan Jasmine dan melesat dengan kekuatan vampire-nya.
"Dimana tempatnya?" Helena mengedarkan pandangannya ke sekeliling hutan terlarang. Tak menyangka jika Anne si peniru akan memilih hutan ini sebagai tempat tinggalnya.
"Mari Yang Mulia," kata Jasmine menuntun Helena agar lebih masuk ke dalam hutan. Tempat ini membawa kenangan buruk bagi Helena. Tempat dimana ia ditemukan oleh Zurich si pengawal Alfonso yang ingin menumbalkannya untuk sang raja.
Helena tidak bertanya lagi dan memilih diam sambil memperhatikan jalannya agar tidak tersandung. Tangannya memeluk erat perutnya untuk melindungi sang anak. Sunyi dan menyeramkan. Suara burung gagak mengisi kehampaan. Semua gelap. Tidak ada cahaya matahari yang tembus karena pohonnya yang tinggi dan lebat.
Hingga mata Helena menemukan suatu titik yang ia yakini tujuannya. Sebuah gubuk reyot dengan beberapa bagian yang rusak. Jika ada badai, Helena yakin gubuk itu hilang diterbang angin.
"Disini, Yang Mulia," kata Jasmine. Kemudian ia segera membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu.
"Kau?! Kurang ajar, kemana kau sialan?!" Helena memejamkan matanya sejenak ketika suara teriakan penuh amarah itu yang ternyata menyambut kedatangannya. Badan Jasmine gemetar ketakutan.
"Selow, peniru."
"Siapa kau?! Berani sekali kau Jasmine membawa makhluk lain kesini!" Anne kembali membentak.
"Jangan berteriak. Aku Helena Carter," kata Helena terlihat santai. Mata Anne memincing dengan tatapan penuh selidik.
"Aku kesini ingin mengajakmu bekerja sama."
Mendengar ucapan Helena, Anne tertawa mencemooh. "Kerja sama? Tidak ada gunanya bagiku."
Helena tersenyum kecil. "Tentu saja ada, Anne. Kau bisa membalas dendam pada teman sekaligus musuhmu itu, Amber."
Mendengar nama Amber membuat Anne tertarik. Oh ayolah, Helena sudah menduga jika Anne tidak akan menolak tawarannya. Jika Helena lihat, dendam Anne sangat besar. Keinginan membunuh wanita itu kuat. Terbukti hanya menyebut nama sang musuh saja sudah membuat Anne terpancing.
"Jangan sok tahu," ujar Anne sok tak peduli. Helena terkekeh.
"Tentu saja aku tahu, Anne. Amber adalah murid kesayangan Clara, aku sangat mengerti jika berada di posisimu. Dimata Clara, Amber adalah murid yang sempurna. Bahkan Clara mempercayai Amber untuk mempelajari sihir tingkat tinggi. Kemampuannya diakui, kemenangannya dipuji, sementara kamu sama sekali tidak dihargai."
Mata Anne berkilat tajam. "Tutup mulutmu!"
"Anne, aku kemari hanya ingin mengajakmu bekerja sama. Aku melawan Clara dan kamu melawan Amber. Bukankah menarik?"
Anne terdiam.
"Percayalah, aku ini penyihir murni kerajaan langit blasteran vampire."
"Bagaimana bisa?" Anne melotot.
Helena tersenyum tipis. "Tentu saja bisa, Anne. Apa yang tidak mungkin di dunia ini. Jadi, apa kamu mau bekerja sama?"
Anne tampak ragu. Matanya memindai Helena penuh ketelitian. Bisa saja jika Helena ternyata hanya memakai topeng untuk membunuhnya.
"Kau tahu Anne, keluarga dan rakyatku dibantai habis. Awalnya aku mengira jika vampire kerajaan Hallstattlah yang membunuh mereka dan aku berniat membalas dendamku. Namun, baru-baru ini aku tahu kenyataannya kalau Clara dan Amber yang sudah membunuh Auchlasia, negeriku."
"Untuk apa kau menceritakannya padaku?" Sinis Anne.
"Clara yang membunuh ibuku dan Amber membunuh mate Ralph."
Lagi lagi Anne terkejut.
"Amber membohongi Ralph dan menghasut jika Hallstatt membunuh matenya saat jalan-jalan di Auchlasia." Helena melihat Anne yang terpaku. Awalnya Helena terkejut mendapat berita ini dari Windy dan Acqua yang ia tugaskan untuk menyelidiki kasus ini.
Semua kekacauan ini bermula dari Amber. Amber yang menghasut Clara untuk membalas dendamnya pada Mikhaila Hilton, ibunya. Sementara Clara membunuh Mikhaila, ia pun membunuh Carol, mate Raplh saat sedang jalan-jalan di Auchlasia. Amber melakukannya dengan rapi seolah Carol mati terbunuh oleh vampire.
"I know you love Ralph so much. So, apa kamu menerimana tawaran aku?"
"Sekali lagi aku bertanya padamu, Anne. Apa kamu bersedia?"
*****
Hallstatt dalam keadaan tidak baik. Prajurit mereka banyak gugur. Rupanya Ralph telah menyiapkan rencana lain dengan Amber, sang penyihir hitam.
Alfonso menggeram. Matanya menatap nyalang ke depan menatap sang pemimpin pasukan, Ralph, si anjing jelek dan bau. Ralph menyeringai membuat matanya menyipit. Wajahnya memperlihatkan kekonyolan meremahkan yang amat kentara, sengaja memancing kemarahan Alfonso.
Bunyi decitan pedang beradu tak membuat mereka goyah. Suara teriakan kesakitan, kekuatan, dan keinginan ingin mengalahkan terdengar di penjuru Hallstatt. Bau anyir darah dan debu beterbangan membuat mereka memperkuat pertahanan agar tidak berakhir mengenaskan.
Di sisi kiri terdapat Ollie dan Sara menyerang Amber dibantu oleh Queen Jenny. Tidak ada pilihan lain. Mustahil mengalahkan Amber melihat reputasinya sebagai penyihir hitam tingkat tinggi.
"Enyahlah," ejek Amber menatap Sara penuh cemoohan. Sara menggeram dan melemparkan bola api untuk menutup mulut jalang Amber.
"Kau yang harusnya mati, sialan!" Sara berulang kali mengeluarkan bola apinya. Ollie pun sama, mereka terus menerus menyerang tanpa memberi kesempatan pada Amber untuk melawan.
Queen Jenny memperhatikan kedua anaknya yang mulai kelelahan sedangkan sang musuh masih berdiri kuat dengan wajah penuh cemoohan yang tak hilang.
"Hiya!"
Queen Jeny menoleh ke kiri dan melempar tubuh prajurit yang ingin menyerangnya dengan kekuatan angin miliknya. Ia berlari ke belakang tubuh Amber hati-hati agar Amber tidak menyadarinya.
Berhasil. Amber tidak menyadarinya karena perhatian terfokus pada serangan Sara dan Ollie. Queen Jenny memejamkan matanya sejenak mengumpulkan segenap kekuatannya. Bola api besar muncul di kedua telapak tangannya dan meluncur untuk menghantam Amber.
Amber menyeringai. Tentu saja ia tahu kalau si tua itu menyerangnya dari belakang. Secepat cahaya, Amber berputar dan membalik keadaan. Bola api itu justru menghantam Queen Jeny yang bahkan tak tahu jika bola api itu menyerangnya balik.
"HAHAHHAA."
Sara dan Ollie menatap ibunya yang terjatuh dengan badan yang terbakar. "Mama!"
"Mama!" Teiakan Ollie dan Sara mencoba mendekati sang ibu. Ollie segera memadamkan api yang menjalar di tubuh ibunya. Mata Ollie dan Sara berkabut air mata melihat kondisi ibunya yang mengenaskan. Wajahnya terluka. Luka bakar itu mengerikan, memenuhi wajah sang ibu dan melukai tubuhnya.
"Mama, bertahanlah."
Queen Jenny memejamkan mata menahan sakit di sekujur tubuhnya. Bahkan ia saja tidak mendengar suara di sekitarnya. Penglihatannya mengabur. Bukan luka bakar itu yang menyiksanya, tanpa mereka ketahui Amber memberi sentuhan sihir hitamnya pada bola api itu hingga rasanya sangat menyakitkan. Sakit sampai ke tulang. Tubuhnya mati rasa.
"Mama, mama mendengarku? Mama?" Tangisan Ollie mencoba menyadarkn Queen Jenny.
"Mama," tangis Sara pecah. Matanya menyalang. Berbalik dan langsung menghantam Amber dengan tinjuannya. Amber yang sibuk tertawa tidak menyadari serangan mendadak Sara hingga ia jatuh tersungkur dengan darah segar mengalir di hidung dan mulutnya.
"Cih! Kurang ajar!"
Perkelahian tidak dapat dihindari. Keduanya tak mau kalah. Ollie segera membawa ibunya kembali ke istana. Hanya tempat itu yang masih aman. Pasukan musuh belum masuk ke wilayah ini membuat Ollie sedikit bernapas lega. Kedatangan Ollie yang membawa Queen Jeny segera membuat Judy yang sebelumnya mengobati prajurit yang terluka pun menghampirinya.
"Queen!" Judy menutup mulutnya tak percaya. Wajah Queen Jenny rusak penuh luka bakar. Kemampuan regenerasi Queen Jenny sedijit terhambat membuat luka itu tidak menutup.
"Cepat obati, Judy!" Teriak Ollie kesal karena Judy masih terdiam mematung. Judy terkesiap dan segera memberi pertolongan pada Queen Jenny.
"Jaga, Mama!"ucap Ollie sebelum melesat keluar dan kembali menyerang Amber.
****
Helena terpengarah melihat rakyatnya banyak berjatuhan. Matanya terbelalak ketika tak sengaja matanya menangkap sosok Queen Jenny yang dipobong oleh beberapa pengawal. Mata Helena beralih pada Sara dan Ollie yang berusaha keras melawan Amber. Dada Helena membuncah penuh amarah. Tangannya mengepal lalu menatap Anne dengan tatapan membunuhnya. Iris matanya yang merah pekat tampak mengerikan. Jujur saja, Anne pun sedikit takut melihatnya.
"Kita terlambat!"
Anne diam. Matanya memincing menyamarkan getaran ketakutan agar Helena tidak menyadarinya.
"Santai saja, Lena."
"Santai gundulmu!" Maki Helena.
"Oke, oke. Lebih baik kau dekati Ratu Clara. Aku yakin Ratu sialan itu sedang duduk bersenang-senang dengan segelas anggur."
Mata Helena berkilat.
"Tenang saja, aku akan mengurus Amber."
Anne pun pergi dan bersembunyi di balik pohon. Entahlah apa yang perempuan itu lakukan. Jika Anne berkhianat, Helena pasti akan membunuhnya.
Tanpa menunggu lama, Helena melesat mencari keberadaan Ratu Clara. Tidak perlu menyamarkan bau witch dalam tubuhnya. Lagipula mereka tidak akan berani mengusik seorang penyihir tingkat tinggi, keturunan langit pula.
Helena menyeringai ketika melihat sosok pelayan yang baru saja keluar dari pintu sebuah rumah, lebih tepatnya rumah warga yang sengaja dijadikan Clara sebagai markas mereka. Helena mengangkat tangannya mengarah pada pelayan itu dan tak lama pelayan itu jatuh karena hantaman bola api miliknya. Membiarkan mayat itu tergelatak, Helena segera masuk ke rumah. Benar saja, Clara sedang bersantai dengan kedua dayang yang mengipasinya. Tak lupa hidangan lezat tersuguh di depannya.
"Aw kita kedatangan tamu istimewa," kata Clara membuka matanya perlahan dengan gerakan seksi yang dibuat-buat sengaja membuat Helena terpengaruh namun nyatanya Helena membalas dengan tak kalah santainya. Justru Helena duduk dengan kedua kaki menyilang dan menyandarkan tubuhnya ke bahu kursi yang ada di pojok ruangan. Tak dapat dipungkiri bahwa Helena tampak luar biasa. Kehamilannya membuat auranya semakin terpancar. Diam-diam Ratu Clara iri akan kecantikan yang Helena punya. Perasaan dengki, tak senang, keinginan ingin membunuh, dan melenyapkan Helena kian membesar.
"Bukankah menjadi Ratu sangat nyaman, Clara? Kau hanya perlu memerintahkan dan kau sendiri hanya diam menunggu dengan kemewahan yang kau punya. Jika tahu menjadi ratu seenak ini, aku tak akan menolak dulu."
Ratu Clara tersenyum sinis. Ia bangkit dari posisi rebahnnya dan mengangkat tangan kanannya membuat dayang itu berhenti mengipas dan memilih meninggalkan mereka berdua. Helana memperhatikannya lalu beralih pada Clara yang menatapnua dengan senyum palsu.
"Senyummu menjijikkan, Clara," ejek Helena. Senyum di bibir Clara lenyap digantikan oleh perasaan ingin melenyapkan Helena sekarang juga.
"Bacot!" Teriak Clara marah.
"Well, well. Oke, calm down baby," Helena mengedik bahu tak acuh. Kemarahan Clara semakin membara. Tubuhnya terasa panas. Darahnya mendidih. Helena berhasil memancingnya!
Di sisi lain, Helena tertawa dalam hati ketika rencananya berhasil. Lihat saja, Clara bergerak mendekat dengan bola mata membesar.
Helena menantikan hari kematian Clara!
Sepertinya ini akan menjadi hari yang melelahkan.