"Bila sudah takdirnya, yang seharusnya bertemu akan bertemu, yang seharusnya terpisah akan terpisah, sejauh atau sedekat apapun jaraknya."
----------
Aku masuk ke kamar. Lalu duduk di tepi ranjang dengan sebatang coklat yang masih ditanganku. Aku melihat coklat itu. Tidak berniat membuka atau memakannya.
Kling!
Satu pesan masuk. Aku mengambil ponsel dan membuka pesan itu. Ah-- ternyata dari Fatur.
Faturahman
Buka coklatnya.
Itu kata Fatur. Akhirnya aku membuka coklat itu. Pertama, aku membuka bungkus paling luar.
Hm? Tunggu. Ada sebuah kertas?
Dengan rasa penasaran, aku membuka kertas itu.
Assalamualaikum, Bidadari.
Aku mau bilang ini sama kamu.
Maaf selama ini aku selalu buat kamu kesal atau marah-marah.
Maaf kalau aku sebagai calon suami kamu nggak sesuai dengan ekspetasi kamu.
Aku banyak kekurangan, yaa mungkin dengan kelebihan yang ada di diri kamu, aku bisa mengisi kekurangan itu.
Maaf ya, InsyaAllah aku bisa berubah menjadi lebih baik. Bantu aku agar bisa berubah. Aku juga akan bantu kamu.
Pipiku basah. Ya, aku menangis. Apa yang telah aku lakukan sampai Fatur minta maaf seperti ini? Apa aku sudah terlalu egois? Sekarang, aku harus menemui Fatur. Aku segera menghubungi Fatur.
Drttt... Drttt...
Setelah tersambung, aku langsung berbicara, "Assalamualaikum, Fatur."
"Waalaikumsalam.
Kenapa, Nis?" Tanya Fatur di seberang sana.
"Aku mau ketemu. Sekarang kamu dimana?" Tanyaku
"Aku dijalan, mau pulang ke rumah," katanya.
"Kamu putar balik sekarang, kamu pergi ke taman dekat rumah aku. Aku tunggu kamu disana."
"Ada apa?" Tanyanya, alih-alih berkata iya.
"Nggak apa-apa, aku mau ketemu aja."
"Anisa? Kamu nangis?"
Ah, aku ketahuan. Apa Fatur bisa membaca pikiranku?
"Ah-- ng-ngga kok."
"Ya udah aku putar balik sekarang."
"Aku tunggu, makasih."
"Iya, aku tutup ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku mematikan ponselku dan menaruhnya di atas ranjang. Selanjutnya aku berlari keluar rumah. Aku melewati Bunda, Ayah, dan Hana yang sedang serius menonton televisi.
"Kak!" Teriak bunda.
Aku tetap berlari. Seperti ada yang menyumbat telingaku dengan sesuatu, jadi aku berasa di buat tuli.
"Kakak, mau kemana?" Teriak bunda.
"Sudahlah, Bun. Mungkin Anisa lagi buru-buru," kata ayah.
"Tapi, Yah. Dia nggak pamit dulu sama kita. Bunda takut kenapa-kenapa."
"Kan ada Allah."
Aku terus berlari dan berlari. Aku tidak sadar bahwa aku berlari tanpa alas kaki. Kakiku sudah terasa perih karena menginjak beberapa batu yang tajam.
Akhirnya aku sampai ditaman itu. Sepi. Tidak ada siapa-siapa. Kemana semua orang? Biasanya jam segini taman ini ramai.
Aku duduk di kursi taman itu dengan napas tersegal. Aku melihat kakiku yang sudah berlumuran darah. Entah kapan darah ini keluar, aku pun tidak tahu.
Aku menunggu Fatur. Aku menunggu pangeran berkuda putihku. Aku menunggu calon imamku. Aku menunggu calon pengantinku di dunia dan di akhirat.
Tangisan kembali terisak pada diriku. Aku menangis. Lagi-lagi aku lemah.
"Anisa."
Aku mendongak. Kulihat Fatur berdiri di hadapanku. Wajah itu menenangkan.
"Kamu kenapa?" Tanyanya sambil berusaha menenangkanku.
"Maaf," satu kata yang keluar dari mulutku.
"Untuk apa?" Tanya Fatur tidak mengerti.
"Untuk semuanya. Maaf aku egois, maaf aku terlalu kekanak-kanakan, maaf aku selalu nyusahin kamu, maaf buat semua kelakuan yang udah aku lakuin ke kamu," aku menangis tersedu-sedu sambil menunduk dalam.
"Kamu nggak nyusahin aku. Aku ngelakuin itu semua karena aku sayang sama kamu. Aku sekarang jujur, aku nggak lagi bohong," Jelas Fatur yang kemudian memeluk tubuhku dengan kelembutan.
Aku menenggelamkan wajahku pada dadanya. Aku masih terus menangis. Tapi sekarang aku merasa tenang dengan pelukan ini.
"Anisa, denger aku. Kamu nggak egois, kamu nggak nyusahin aku, kamu nggak kekanak-kanakan, kamu itu dewasa. Malah aku iri sama kedewasaan kamu. Harusnya aku yang lebih dewasa dari kamu, tapi sifat kayak anak kecil aku ini selalu bikin kamu marah," Fatur menatapku lembut namun terlihat tegas.
"Kamu nggak salah," aku melepaskan pelukannya dan menatap manik hitam itu.
"Kita sebagai manusia pasti punya salah, pasti punya kekurangan. Karena itu, aku mau isi kekurangan aku ini dengan kelebihan kamu, begitu juga sebaliknya. Kamu paham?"
Aku mengangguk.
"Ssttt, udah kamu jangan nangis lagi, nanti cantiknya hilang," Fatur mengusap air mata yang terus mengalir di pipiku.
"Maaf," kata itu keluar lagi dari mulutku.
"Aku juga minta maaf," Fatur tersenyum dan memelukku lagi.
"Jangan nangis lagi ya. Aku ga tega liat kamu nangis, hati aku kayak ada yang iris-iris gitu."
Aku mengangguk. Detik berikutnya, bola mata Fatur tertuju pada kakiku yang sudah berwarna merah pekat.
"Kaki kamu kenapa, Anisa?" Tanyanya dengan nada khawatir.
Aku hanya menggeleng, "Nggak apa-apa."
"Ini bukan nggak apa-apa lagi. Ini udah harus diobati. Ayo pulang, aku obati kaki kamu." Ucapnya heboh.
"Aku nggak mau pulang dengan wajah kayak gini."
"Kaki kamu gimana? Itu harus langsung diobati."
"Aku bisa tahan sampai nanti malam."
"Nggak bisa gitu, ini harus cepet diobati, nanti bisa infeksi."
"Nanti aja."
"Kapan?"
"Yaa, nanti."
"Terus, sekarang kamu mau kemana?"
"Aku mau jalan-jalan sama Fatur."
Fatur merasa kaget. Apa salah aku ingin jalan-jalan bersama calon imamku?
"Kenapa? Kamu nggak mau?" Tanyaku setelah melihat perubahan raut wajah Fatur.
"Eh, mau kok. Tapi kaki kamu gimana?"
"Nggak sakit kok."
"Masa? Coba sini aku pegang," Fatur berjongkok dan memegang kakiku yang berdarah.
"Aww! Kalau di pegang yaa sakit lah!"
"Tuh kan beneran sakit."
Fatur melepas kedua sepatunya, "Nih, pakai." Dan memberikan sepatunya kepadaku.
"Nanti kamu pakai apa?"
"Aku ada sandal di motor."
"Tapi nanti sepatu kamu banyak darahnya."
"Nggak apa-apa, bisa dicuci."
"Masa kamu pakai sandal, mending aku aja yang pakai sandal."
"Aurat, Anisa. Itu aurat kamu."
"Ah iya. Jadi, aku pakai sepatu kamu?"
"Iya. Sini aku bantu pakai."
Aku kembali duduk di kursi. Fatur memakaikan sepatunya pada kakiku.
"Sakit," ringisku saat Fatur berusaha memasukkan kakiku pada sepatunya.
"Sakit ya? Mau pakai sandal aja?"
Aku mengangguk, "Iya."
"Ya udah, sebentar aku ambil dulu."
Fatur berjalan ke arah motornya. Lalu mengambil sepasang sandal jepit berwarna biru.
"Sini kaki kamu," Fatur kembali memakaikan sendal itu ke kakiku dengan sangat hati-hati.
"Kamu pakai sepatunya," ucapku.
"Nggak usah, kaki aku nggak apa-apa."
"Pakai! Kamu lebih sayang sepatu kamu dari pada kaki kamu? Kalau kamu kenapa-kenapa, gimana?" Omelku.
"Kamu kayak lagi marahin anak. Ya udah deh, aku pakai sepatunya."
"Kamu duduk," perintahku.
"Buat apa?"
"Udah, kamu duduk aja."
Akhirnya Fatur duduk dikursi yang tadi kududuki.
"Mana sepatu kamu?" Tanyaku.
"Kamu mau ngapain sih?"
"Aku mau pakaikan sepatu ke kaki kamu."
"Nggak usah!" Fatur berdiri lagi. "Aku bisa sendiri."
"Aku nggak boleh pakaikan sepatu ke kaki kamu?" Tanyaku dengan tatapan mata yang lumayan menyeramkan.
"E-eh? B-boleh kok. Tapi kan kaki kamu lagi sakit."
"Apa hubungannya sama kaki aku yang lagi sakit?"
"Nanti kalau kamu jongkok pas pakaikan aku sepatu, kaki kamu jadi sakit."
"Aku bisa tahan."
"Beneran?"
"Iya. Udah kamu diam."
"Oke, aku diam."
Aku berjongkok untuk bisa memakaikan sepatu di kaki Fatur. "Aww!" Ringisku saat merasa perih.
Tubuhku linglung. Dan ...
Bruk!
Aku terjatuh.
"Tuh kan apa aku bilang," Fatur berusaha membantuku berdiri.
"Kan aku cuma mau pakaikan kamu sepatu."
"Yaa, tapi sekarang itu situasinya beda. Kaki kamu lagi sakit, jongkok aja kamu nggak bisa. Jangan dipaksain."
"Iya, maaf," aku menunduk.
"Hari ini jangan kebanyakan minta maaf nya," Fatur mengelus pucuk jilbabku lembut.
"Kan aku salah, jadi aku minta maaf."
"Tapi hari ini tuh kamu udah terlalu banyak bilang maaf."
"Gitu ya? Terus aku harus bilang apa?"
"Hm, bilang apa ya?" Fatur tampak berpikir. "Oh iya! Bilang suamiku yang ganteng."
"Hah? Apa hubungannya?"
"Ada pokoknya."
"Emang kamu ganteng?"
"Aku ganteng. Aku yakin seratus persen kalau aku itu ganteng."
"Iya, kamu ganteng deh."
"Kamu bilangnya nggak ikhlas gitu."
"Terus, aku harus bilangnya gimana?"
"Bilangnya pakai kelembutan dong."
Aku menggeleng, "Nggak ah."
"Ayo dong, bilang."
"Nggak mau. Nanti aja."
"Nanti kapan?"
"Kalau udah halal."
"Hm, oke deh."
"Ayo." Ajakku.
"Kemana?" Tanya Fatur.
"Jalan-jalan, kan tadi kamu bilang iya."
"Oh iya, aku lupa. Ayo ayo."
Fatur menuntunku agar sampai di depan motornya.
"Nih." Fatur memberikan helm biru padaku.
"Makasih."
"Naiknya bisa nggak?" Tanya Fatur.
"InsyaAllah, bisa."
"Beneran? Kalau nggak bisa aku bantu."
"Aku bisa."
"Ya udah, kalau sakit bilang."
"Iya."
Aku menaiki motor Fatur perlahan-lahan. Kakiku yang terkena bebatuan tadi lumayan perih.
"Pegangan, nanti jatuh," Kata Fatur dengan nada sedikif menggoda.
"Nggak mau." Tolakku.
"Kalau kamu jatuh gimana?"
"Aku nggak bakal jatuh, aku pegangan ke belakang motor."
"Pegangan ke aku aja."
"Apa sih? Udah fokus aja nyetir."
"Haha, iya iya. Kamu lucu."
"Kamu ganteng," ucapku setengah berbisik.
"Apa? Coba ulangi sekali lagi."
Aku sedikit tertawa, "Nggak ada pengulangan."
"Buat aku harus ada."
"Nggak ada. Ayo jalan!"
"Iya, sabar dong."
------------------
Assalamualaikum.
Aku mau ngomong sesuatu.
Soal jadwal update, aku nggak bisa pastiin kapan. Kalau misalkan aku pastiin tanggal segini tapi nanti aku malah nggak tepat janji, dosa kan jadinya.
Jadi, aku update sesuai mood aku. Kalau mood aku bagus, kadang aku suka bikin beberapa chapter.
Tapi kalau mood aku jelek, yaa gitu. Tetep baca cerita aku sampe abis ya:) oh iya mood aku juga tergantung kalian sih, hehe.
HAPPY READING!