Under the Stars

By hazynx

179K 16.2K 946

Dafi pernah berharap ia diberikan kesempatan sekali lagi. Lalu, Tuhan mengabulkannya. ***** What if .... Not... More

Prolog
Bagian 1
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8 (?)
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26,5
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Bagian 31
Beberapa Hal yang Ingin Aku Katakan Dari Sekian Banyak Hal
Bagian 32
Bagian 33
Bagian 34
Bagian 35
Epilog
Kakak, Maafin Adek
cuap-cuap terakhir Risha di Under the Stars
Kepingan Masa Lalu (1)
Kepingan Masa Lalu (2)
Kepingan Masa Lalu (Terakhir)
Selamat Ulang Tahun!

Bagian 2

6.7K 493 8
By hazynx

Bagian 2: Tapi ....

●●●

"Sayang, Bunda sama Ayah berangkat duluan, ya." Bunda melambaikan kedua tangannya. Dengan senyum secerah mentari yang bahkan belum siap untuk kembali menyinari dunia ini. "Jangan nakal, loh." Lalu, Bunda masuk ke dalam mobil, menyusul Ayah yang sudah terlebih dahulu duduk di kursi pengemudi.

Sementara itu, Dafi dan Rasya berdiri di teras, dengan wajah yang masih tampak kuyu, efek baru bangun tidur. Sesekali, Dafi menguap, kemudian menularkannya ke Rasya sehingga kakaknya itu ikut menguap. Tidak ada yang membalas ucapan Bunda sama sekali, karena pada kenyataannya, kedua cowok itu belum sadar sepenuhnya.

Ketika pada akhirnya mobil Ayah melaju, barulah Rasya mengerjap, agak sedikit terkejut. Ia menatap mobil Ayah yang makin lama makin jauh, lalu menatap Dafi. "Loh, Ayah sama Bunda berangkat pagi? Tumben."

Dafi mengangguk, dengan mata yang masih setengah tertutup. Ia membalik tubuhnya, dan tanpa suara, Dafi berjalan menuju kamarnya. Sementara Rasya, yang awalnya mau melanjutkan tidurnya, tiba-tiba mengingat kalau hari ini adalah hari Senin. Kelas dimulai nanti siang, tapi ada satu tugas penting yang harus Rasya lakukan; mengantar Dafi ke kampusnya dengan selamat.

"Deeek! Mandi! Lo kuliah pagi hari ini 'kan?" Rasya berteriak, seraya berderap menuju kamar Dafi. Dalam hati, Rasya berharap adiknya itu tidak kembali tidur. Dibukanya pintu kamar Dafi yang tertutup rapat. Saat pintu mengayun terbuka, Rasya malah tidak dapat menemui keberadaan Dafi di dalam sana. Hal itu membuat Rasya menyernyit heran. "Adek?"

"Kenapa, sih? Berisik banget." Tiba-tiba, suara Dafi terdengar. Diikuti oleh kemunculan Dafi yang juga tiba-tiba dari ruang mencuci. Ia menguap sejenak, tidak peduli dengan Rasya yang agak terkejut dengan kehadiran dirinya. Ditambah lagi, Dafi sudah tidak mengenakan bajunya, dengan handuk bergambar beruang yang tersampir di lehernya. Untung saja, Dafi masih mengenakan celana pendeknya. Jika tidak, mungkin Rasya sudah mendorongnya dari ujung tangga.

"Ngapain dari sana?"

Dafi menguap sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ngambil sabun. Gue lihat tadi sabun di kamar mandi habis. Tadi, Ayah sama Bunda gimana, ya, mandinya? Masa nggak sabunan?"

Perlahan, Rasya mendorong Dafi. "Yaudah, sana siap-siap. Biar cepat berangkat. Kalau nggak gitu, nanti lo telat."

Dafi tersenyum geli dan merotasikan manik madunya yang jernih. "Bilang aja biar lo bisa cepat tidur lagi 'kan, Kak? Gue paham banget sama lo."

Mendengar itu, Rasya lantas nyengir. Ditepuknya pundak Dafi perlahan. "Lo emang paham banget soal gue," pujinya dengan decakan yang keluar dari bibirnya, "udah sana mandi."

"Iya, iya."

●●●

Bukannya mandi, Dafi malah berdiri di depan cermin, memperhatikan dirinya yang kini bertelanjang dada. Seolah tidak ada niatan untuk melanjutkan aktivitasnya. Padahal, waktu terus berjalan, tapi Dafi seolah tidak peduli.

Perlahan, Dafi menyentuh dadanya, tepatnya, pada sayatan melintang yang terpampang jelas di sana. Seingat Dafi, dirinya dulu pernah menjalani pembedahan untuk memasang alat pacu jantung. Entah sudah berapa kali ia melakukan hal itu, Dafi sendiri tidak begitu ingat.

Sejak dulu, kedua orang tuanya sudah mengusahakan banyak hal hanya untuk kesembuhan Dafi. Meski sudah banyak yang mereka keluarkan, ditambah belum terjangkaunya tujuan itu, keduanya tidak juga menyerah. Padahal, Dafi pasrah saja. Salah satu kenyataan yang menghantui Dafi adalah, ia tidak akan pernah bisa sembuh. 

"Dek? Ngapain dulu, sih?" Sebuah suara seolah menyadarkan Dafi bahwa kini dirinya berada di kamar mandi, masih memperhatikan tubuhnya sendiri di depan cermin, dengan keran yang sedari tadi terbuka. "Cepetan! Nggak usah banyak gaya. Lo sebentar lagi telat!"

Dafi tersenyum tipis. Oh, jangan sampai melupakan satu orang lagi yang selalu menahannya. Seolah, tidak pernah rela jika dirinya pergi suatu hari nanti. Yah, meskipun begitu, Dafi selalu berharap, jika nantinya ia harus pergi pun, Rasya dapat menerimanya.

Suara pintu yang diketuk terdengar.  Saking hebohnya, Dafi sampai menoleh. "Iya, iya. Sabar dulu."

Oke, sepertinya, Dafi harus melanjutkan aktivitasnya hari ini, sebelum Rasya benar-benar marah.

●●●

Pada akhirnya, Dafi bisa kembali kuliah hari ini. Setelah sarapan tadi, Dafi langsung diantar oleh Rasya ke kampus. Sementara kakaknya itu, mumpung kelasnya siang nanti, langsung tancap gas agar bisa tidur lagi begitu menurunkan Dafi di depan gedung Keperawatan.

Dafi menghela napas sejenak. Ia menatap mobil kakaknya yang berjalan menjauh. Kedua tangannya memegang tali tasnya. Kalau tidak mengenakan seragam jurusannya, mungkin Dafi akan terlihat seperti anak hilang. Hingga seseorang tiba-tiba merangkul pundak Dafi. Membuat cowok itu seketika terdorong ke depan. Tanpa menoleh, Dafi tahu siapa yang merangkulnya ketika mencium aroma tembakau yang menyengat.

"Tha! Bau banget!" protes Dafi. Langsung saja ia mendorong Atha menjauh. "Pakai parfum dulu sana."

Atha nyengir. Dilepasnya tas yang tergantung di kedua pundak Atha. Lalu, setelah mengambil parfum, Atha menyemprotkannya pada tubuhnya sendiri dan tubuh Dafi. "Udah 'kan?"

Dafi mengibaskan tangannya di depan hidung, sedikit terbatuk karena parfum yang Atha semprotkan terlalu menyengat untuk indra penciumannya. "Kenapa gue disemprot juga, sih? Gue nggak suka banget bau parfum lo. Menyengat. Buat nyamarin bau rokoknya 'kan?"

Atha tergelak. "Lo paham banget sama gue, ya?" Ia berbelok menuju tangga, sementara Dafi berjalan menuju lift. Tapi, sebelum keduanya berpisah, Atha sempat berbisik, "enak, ya, kalau sakit. Dapat keistimewaan bisa naik lift. Sementara gue harus capek-capek naik tangga."

Dafi lantas berhenti melangkah. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam dengan senyum sendu di bibirnya. Maniknya tampak berkaca-kaca. Lalu, Dafi kembali menatap punggung Atha yang berjalan menaiki tangga.

Agak menyedihkan ketika banyak orang yang menganggap Dafi diistimewakan. Diberikan fasilitas yang banyak orang tidak bisa dapatkan. Salah satunya adalah diperbolehkan menggunakan lift dari lantai satu.

Dafi tidak pernah ingin mendapatkan semua keistimewaan itu. Tapi, kedua orang tuanya dan dosen pembimbing akademiknya yang bersikukuh akan hal itu. Hal itu bisa saja menyebabkan perdebatan antarmahasiswa. Padahal, mereka tidak pernah tahu yang sebenarnya. Lalu, lama-kelamaan, banyak orang yang iri dengan Dafi. Saat SMA, hampir seluruh murid di sekolahnya menatap Dafi dengan sinis. Beberapanya lagi dengan tatapan kasihan. Makanya itu, Dafi selalu berlindung di balik Rasya.

Hampir tidak memiliki teman, membuat Dafi tumbuh bukan sebagai pribadi yang hangat. Menurutnya, percuma saja. Ketika orang-orang mengetahui kekurangan di tubuhnya, mereka semua mulai menjauh. Menganggap dirinya adalah seseorang yang menyusahkan.

Hingga saat kuliah, Dafi berusaha untuk mengubah tabiatnya. Meski perlahan, Dafi mulai mencoba untuk bersikap ramah. Hingga ia mendapatkan beberapa teman di kelasnya. Beberapanya lagi justru terpikat dengan ketampanannya---meski harus diakui, wajah Dafi itu sangat amat pucat.

Dafi menekan tombol di sebelah pintu lift. Perlahan, lift turun menuju lantai satu. Sesekali, Dafi melirik ke arah penunjuk lantai yang ada di atas tombol. Masih di lantai lima, dan berhenti agak lama.

"Hai, Dafiii!"

Sebuah suara terdengar, membuat Dafi menoleh. Tak jauh darinya, Ara, bendahara kelasnya yang paling galak, berdiri. Dengan senyum cerah di bibirnya. Dafi lantas ikut tersenyum.

"Apa kabar? Akhirnya lo masuk juga!" kata Ara heboh. Dihampirinya Dafi yang masih diam di depan lift. "Lebih dari dua minggu lo nggak ada, gue udah kangen aja."

"Kangen gue bayar uang kas, ya?" tembak Dafi langsung, "gue tahu tipe-tipe bendahara kayak lo, Ra."

Ara nyengir. Sepertinya, tipikalnya yang baik pada orang lain jika ada maunya sudah mulai dihafal. Yah, biar Dafi beritahu. Kalau senyuman hangat dan manis itu sudah terbit di bibir Ara, siap-siap dompetmu akan semakin tipis. Karena jika sudah begitu, dua kata pertama yang Ara sebutkan adalah, "uang kas!"

"Kali ini bukan uang kas, kok, Daf," elak Ara. Ia melirik sejenak pintu lift yang terbuka. Dikiranya, Dafi akan menaiki lift itu. Tapi, melihatnya tidak juga beranjak dan memfokuskan dirinya pada Ara, membuat ia berasumsi lain. Misalnya, Dafi menyukai dirinya, mungkin.

Hahaha, apaan, sih, Ra? Mana mungkin dia suka sama lo.

Batin Ara seolah berteriak. Menyangkal asumsinya barusan. Membuat Ara lantas menggelengkan kepalanya.

Dafi menyernyit heran. "Kenapa geleng-geleng kepala, Ra? Lo barusan mau ngomong apa?" tanya Dafi penasaran.

"Oh, itu. Gue dengar kemaren lo dirawat 'kan? Dosen-dosen sempat ngejengukin. Beberapa pengurus kelas sama pengurus HMP juga ikut ngejengukin. Gue dengar ... lo dirawat di ICCU," ucap Ara. Ia memainkan kesepuluh jarinya.

Di mata Dafi, Ara justru kehilangan kesan galaknya. Ditambah dengan wajahnya yang memerah, netra yang tidak mau beradu pandang dengan netra Dafi. Belum lagi, sikapnya yang seolah malu-malu, membuat Dafi mengulas senyum geli.

"Iya, terus kenapa?" tanya Dafi lagi.

"Ya ... gue ... itu, gue khawatir, lah! Sebagai salah satu pengurus kelas yang nggak bisa jengukin lo kemaren, gue pengin denger secara langsung dari lo, tentang kondisi lo," balas Ara.

Dafi tertawa pelan sejenak. "Gue baik-baik aja, kok. Jantung gue minta perhatian lebih kemarin, makanya gue harus dirawat intens di ICCU." Dafi menjawab pada akhirnya. "Sori, karena udah ngebuat lo khawatir." Di akhir kalimatnya, Dafi menunjukkan senyum lebarnya.

"Hm, gitu." Ara menganggukkan kepalanya, puas karena sudah mendapat jawaban dari Dafi. Ia menekan tombol lift. "Yaudah, gue duluan, ya, Daf. Sampai jumpa lagi di kelas!" Dengan agak berlari, Ara menaiki tangga, meninggalkan Dafi yang masih diam di tempatnya.

Tanpa sadar, Dafi tersenyum tipis. Ia berdecak beberapa kali dengan kepala yang digelengkan perlahan. Dan begitu pintu lift terbuka, Dafi segera masuk ke dalam dan memencet angka empat.

Jangan kira Dafi tidak mengetahui apa yang sedang dirasakan oleh orang lain. Dirinya dapat dengan mudah menebak dengan tepat. Apalagi jika berkaitan dengan perasaan suka, cinta, atau apalah itu, dan didukung dengan sikap yang agak berbeda. Makin tepatlah tebakan Dafi.

Kadang, hal itu tidak selalu menguntungkan. Yah, jika mengetahui perasaan orang yang kamu suka, itu lebih baik. Bagaimana kalau perasaan tidak suka? Rasanya sangat berat. Dafi jadi harus berpura-pura untuk tidak mengetahui apa-apa.

Begitu sampai di lantai empat, Dafi segera berjalan ke luar lift dan menuju kelasnya. Dan tanpa menunggu waktu lagi, Dafi membuka pintu. Agak sedikit heboh hingga membuat seisi kelas menoleh ke arahnya.

Senyum Dafi terbit. "Halo."

"Woaaah! Dafi udah balik lagi!"

"Dafi! Miss you!"

"Dafiii! Udah puas liburannya?"

"Dafi kesayanganku! Aku kangen!"

"Adek ipar! Kangen!"

Dafi tertawa sejenak. Ia berjalan menuju bangku yang ada di depan meja dosen. Dengan cepat, Dafi duduk di sana. Masih tidak mengacuhkan sorakan-sorakan dari temannya. Namun begitu, senyum tipis tampak di bibir Dafi.

Yah, bisa dibilang, Dafi sayang mereka semua.

Sebagai teman sekelas.

Tidak lebih, kok.

•under the stars•

A/n

Kebayang nggak, sih, kalau Rasya ternyata waham doang?

:")

Guys, temenan yuk wkwkwk gabut, nih, mentang-mentang Senin aku UTS :")

Continue Reading

You'll Also Like

5.3M 755K 62
Riona Amara tak pernah menyangka jika ia akan meninggal karena dibunuh oleh keempat putranya sendiri dan mati dalam penyesalan. Namun, di tengah peny...
56.2M 3M 85
Mika, seorang gadis pembuat onar, sementara Angkasa adalah ketua OSIS yang paling disukai di sekolah mereka. Tidak ada yang menduga kalau dua orang b...
48.7M 4.2M 35
[Telah Dibukukan, Tidak tersedia di Gramedia] ❝Untukmu, Na Jaemin. Laki-laki tak sempurna Sang pengagum hujan dan sajak❞ ©tx421cph
5.5M 271K 26
Bagaimana rasanya dijadikan bahan taruhan oleh dua orang lelaki tersohor di seluruh sekolah? Shakira Jasmine membenci Daniel Manggala Wdyatmaja saat...