TraveLove

By MayLawson

1.1K 84 39

Ada pepatah jika cinta itu tidak memandang jarak ataupun usia. Tapi, bagaimana dengan ruang dan waktu yang be... More

Awal
Prologue: 1971
The Beginning
Meet Him
The Drummer
A Small Conversation About Roger
Annoying Neighbour
I Think I've Seen You Before
Oliver Watts
I Need Your Help
Uninvited Guest
Weird Feeling
A Silly Glass Of Water
Those Ocean Blue Eyes

An Unexpected Encounter

74 4 10
By MayLawson

AN UNEXPECTED ENCOUNTER
☆●□☆●□☆●□☆●□☆●□☆●□☆

"Roger emang gitu orangnya," suara Freddie sedikit mengejutkan aku yang masih terdiam sejenak setelah kepergian Roger.

"Ya.., gue tahu kok." Jawabku sedikit heran dengan melontarkan tawa kecil akan kelakuan Roger yang mungkin suka menggodai setiap perempuan yang Ia temui.

"Tapi dia anaknya asik. Jadi, gak usah  dianggap serius kalau dia suka genit. Soalnya itu cara ramahnya dia kalau pengen kenal orang baru." Ujar Freddie menjelaskan. Aku tertarik dengan cara Freddie berbicara yang tidak biasa seoalah Ia sedang bersandiwara. Dia ramah dan sedikit flamboyan. Terkadang Ia suka menutupi bibirnya ketika sedang berbicara, mungkin untuk menutupi giginya yang tampak maju? Entahlah.

"Roger juga pernah ngajak gue jalan karena emang kita akrab banget," ucap Jill padaku. "Tapi, semenjak ketahuan sama ceweknya yang ngeselin itu dia jadi agak kesulitan kalau hang out bareng teman-teman ceweknya." Lanjutnya.

"Oh.., overprotective gitu, ya?" Ucapku.

Jill mengangguk sambil menghisap rokoknya. "Ya.., cemburuan gitu,  padahal sih ceweknya..,"

"Jill!" Tegur Mary sedikit memelototi Jill. Wanita itu segera menghentikan ucapannya.

"Kenapa?" Tanyaku dengan kening berkerut. Seolah mereka menyembunyikan sesuatu.

"Ceweknya tuh kayak gak suka gitu kalau Jill dekat-dekat Roger." Ujar Mary yang melanjutkan omongannya Jill. Aku sedikit tidak yakin jika itu yang tadinya ingin disampaikan Jill.

"Padahal, gue gak ada hubungan apapun sama Roger. Dia tuh tipikal orang yang seru buat dijadiin teman daripada pacar kalau buat gue." Ungkap Jill yang masih asik meniup asap rokoknya.

"Walaupun dia orangnya genit sama cewek..?" Kataku.

Jill tertawa kecil. "Tergantung genitnya gimana. Kalau emang kelihatan serius mungkin dia emang beneran tertarik sama orang itu."

"Hmm.. gitu." ucapku yang tidak mau lebih lanjut mengenal pria yang bernama Roger Taylor itu. Karena menurutku dia masih meninggalkan kesan menyebalkan di awal perkenalan kami tadi.

"Oh ya, lo disini kuliah atau.. gimana?" Kini Brian yang bertanya padaku.

Aku menoleh ke arahnya. "Gue sebenarnya kerja disini buat beberapa bulan aja sampai gue balik kuliah ke Birmingham." Jawabku lantang. Padahal aku sendiri bingung dengan keberadaanku saat ini. Tapi, setidaknya aku harus meyakinkan mereka kalau aku bukan dari masa depan.

"Oh, jadi lo pindah sama kerja disini cuma buat ngisi waktu luang di libur semester lo gitu bukan sih?" Tanya Mary memastikan.

"Iya." Jawabku sambil mengangguk.

"Kerja dimana?" Tanya Brian langsung.

"Optik Claire. Lusa baru mulai kerja."

"It's cool! Sunglass yang gue beli dari sana. Well, itu salah satu Optik terbaik dengan harga yang kurang baik," Ucap Freddie dengan nada canda.

Aku tertawa mendengarnya. "Maksudnya mahal?" Ucapku.

Pria itu tertawa sambil menutup mulutnya lagi. "Bisa dibilang begitu. Makanya gue datang kesana cuma beberapa kali aja, hmm.. mungkin dua kali." Ucap Freddie.

"Haha.., gue bakal kasih tahu lo kalau ada diskon." Ucapku menawarinya. Senang rasanya bisa mengobrol dengan Freddie, salah satu musisi paling berpengaruh dalam sejarah musik Rock. Selain itu, kepribadiannya yang ramah dapat dengan mudah membuat orang-orang di sekitarnya merasa nyaman.

"Okay, thank you, Darling! yang kayak gini yang patut ditunggu." ucap Freddie riang. "Oh, ya, sebenarnya gue juga buka kios di pasar Kensington. Pakaian preloved, tapi kalau ada waktu mungkin lo bisa mampir.. buat beli." Lanjut Freddie sedikit merayu. Aku sedikit terkejut kalau Ia memiliki usaha toko pakaian. Ku pikir dia bekerja di tempat lain atau mendedikasikan hari-harinya untuk bermain Band.

"Boleh juga! weekend gue kesana deh." Ucapku.

Malam itu kami habiskan waktu kami untuk sekedar mengobrol santai sambil minum dan merokok. Mulai dari obrolan yang tidak penting bahkan sampai yang penting.

Brian bercerita bahwa dia dan John kini tengah sibuk dengan kuliahnya. John yang berusia satu tahun di bawahku adalah mahasiswa jurusan Electronics Engineering dan Brian kini tengah menempuh gelar PhD-nya di Imperial Collage. Sementara Freddie adalah lulusan dari Ealing College of Art yang sempat bekerja sebagai petugas Bandara.

Menurutku Brian sedikit berbeda dari yang lain. Cara dia berbicara terdengar sopan dan berwibawa seperti dari keluarga yang mengutamakan pendidikan. Terlebih seperti yang dikatakan tadi bahwa Ia kini tengah menempuh gelar S3-nya.

Sementara John, aku tidak mengerti kenapa yang lain memanggilnya dengan sebutan Deaky. Jika dibandingkan Brian, Freddie, apalagi Roger, John terlihat lebih pendiam dan irit berbicara. Bahkan aku sejak tadi lebih banyak mengobrol dengan Brian dan Jill daripada dengan John.

Tak terasa malam sudah larut, kini saatnya aku kembali ke flat-ku. Brian sebenarnya berbaik hati ingin mengantarku pulang karena ini sudah jam satu pagi, tapi ku tolak karena aku membawa kendaraan sendiri dan tidak ingin merepotkannya. Setelah berpamitan dengan yang lain aku pun akhirnya pergi meninggalkan Klub.

■□●■□●■□●■□●■□●■□●■□●■

Sinar matahari masuk melalui celah-celah jendela kamarku, pagi itu sekitar pukul delapan aku masih terbaring di atas tempat tidur menatap layar ponselku. Aku tahu smartphone-ku disini tidak berguna sama sekali, namun pagi itu aku tertegun melihat isi galeri ponselku yang penuh dengan foto-foto dan videoku bersama kekasihku, Ben.

Aku memandangi foto kami yang tampak bodoh dengan pose menjulurkan lidah saat kami berlibur ke Disneyland di Paris. Sungguh, aku mulai merindukannya tapi aku tidak bisa berbuat apapun. Jangankan  menemuinya, untuk menghubunginya pun aku tidak bisa.

Ku pandangi langit-langit kamarku, seketika aku teringat kembali pada saat kami bertengkar. Ben adalah sosok pria yang lebih memilih untuk mengalah daripada harus berargumen denganku karena menurutnya bertengkar denganku hanya buang-buang waktu saja dan pada akhirnya akulah yang akan menang.

Bukan hanya itu saja, aku ingat ketika aku marah besar dengannya saat ada beberapa mahasiswi baru yang berani mendekatinya, dia pasti selalu memberikanku cokelat atau bunga sebagai tanda maaf dan berbaikan. Dia tahu bagaimana cara meluluhkan aku dan bagiku dia adalah pria paling sabar yang mau menerima sifatku yang tidak bisa mengontrol suasana hati ini. Aku rasa dia sangat mencintaiku, meskipun cintaku padanya tidak sebesar yang dia miliki. Terdengar egois, bukan? Begitulah aku.

Aku bangkit dari tempat tidur dan membuat secangkir teh dengan rasa dan aroma buah Peach. Teh ini selalu menjadi favoritku di pagi hari agar tubuhku terasa lebih segar. Sambil menunggu air masak, ku hidupkan Radio yang saat itu memutar lagu Carole King berjudul It's too late.

Setelah menuangkan air panas ke dalam cangkir, aku membawa tehku ke balkon kamar tidurku. Duduk di kursi kecil sambil menyedut teh ditemani pagi yang cerah di kota London. Mataharinya begitu terik membuat tubuhku mulai terasa berkeringat.

Aku tahu kenyataannya bahwa Kakekku-lah yang memberi nama Sunny padaku. Katanya karena aku lahir di pagi hari pada saat musim panas. Padahal waktu itu Ibuku bersikeras ingin menamaiku Rachel karena terdengar lebih elegan daripada Sunny. Sementara nama tengah Claire seperti yang sudah kalian ketahui, itu adalah nama keluarga sekaligus nama usaha kami.

Terdengar suara pintu balkon terbuka dari sebelah flat-ku. Aku tidak berusaha menoleh karena bukan urusanku tentang apa yang akan  dilakukan tetanggaku dengan balkon miliknya. Aku hanya terus menyedut tehku menikmati pagi itu dengan pakaian tidurku yang berbahan satin disertai rambut yang masih berantakan.

"So, this is why the sun is really getting hotter.." aku yang sedang nikmat menyedut tehku tiba-tiba tersentak pada saat mendengar suara itu. Suara seseorang yang sangat terdengar familiar di telingaku. Suara yang membuatku muak malam itu dan suara nakalnya yang menggodaiku itu kini terdengar lagi di telingaku.

Aku segera menoleh ke samping kananku dan mendapati si pria berambut pirang keemasan tengah berdiri memandangku dengan senyum simpulnya yang seperti ini..


Dengan cepat aku menelan sisa-sisa tehku dan menarik nafas pajang saat tahu pria itu adalah Roger. Oh, God! Dari semua Flat kenapa harus dia yang kutemui di pagi hari ini!!!! Aku terpaku beberapa saat karena sejujurnya aku memang terkejut melihatnya berada di depan mataku.

"Roger.., lo ngapain disini?" Pertanyaanku terdengar sangat bodoh. Tapi memang kenyataannya itulah yang keluar dari mulutku.

"Lihatin lo minum teh." Jawabnya santai sambil menghisap rokoknya.

"Hah?" Sahutku mengernyitkan dahiku, heran dengan jawabannya. Dia hanya tersenyum melihat reaksiku dan tidak segera menjawab.

Ku tanya kembali padanya. "Maksud gue lo.. tinggal disini?" Tanyaku ingin memastikan.

Ia menyipitkan matanya tampak berpikir. "Kadang-kadang." Jawabnya singkat. Aku terdiam mendengarnya. Maksudnya apa kadang-kadang? Oke, aku mulai dibuatnya jengkel lagi.

Dia akhirnya tertawa kecil melihatku terdiam karena kebingungan. "Gue tinggal disini, tapi kadang tinggal di tempat Freddie." Jelasnya ramah.

"Oh..," hanya itu balasanku.

Oke, jadi, dia adalah tetanggaku. Jadi, semalam kami bertemu tidak sengaja. Wah.., sungguh kejutan yang tidak diharapkan. Batinku.

Aku kembali menyedut tehku tanpa mempedulikannya. Dari dalam setengah cangkir teh yang kusedut aku bisa melihat Roger yang masih asik menghisap Rokoknya sambil memandang jalanan. Rambut panjangnya yang menjuntai melewati bahu terlihat lebih pirang dengan sedikit warna keemasan di pagi hari itu dan kedua mata birunya tampak berkilau seperti air laut. Aku pikir dia terlihat pria saat pagi hari, mungkin karena aku bisa melihatnya lebih jelas daripada saat aku melihatnya di bawah sorot lampu Klub. Itu membuatnya tampak seperti wanita.

Aku mengalihkan pandanganku ke hal yang lain. Ada beberapa saat kami terdiam sejenak hingga akhirnya Roger berbicara. "Lo sejak kapan tinggal disini?" Tanya Roger.

Entah mengapa kemunculannya membuatku tidak nyaman. Aku merasa yakin, ini adalah awal dari hari-hari kelamku ke depannya.

"Kemarin." Jawabku singkat. Aku tidak mau menjawab ucapan yang nantinya malah mengundang banyak tanya olehnya.

"Oh, gitu. Soalnya kamar ini udah lama kosong. Tapi berhubung lo tinggal disini sekarang, jadinya gue gak akan kesepian lagi." Ucapnya dengan nada yang tidak serius disertai senyumnya yang terkesan genit.

Aku memutarkan kedua bola mataku. "Sayangnya gue gak suka ganggu kehidupan orang lain, terutama tetangga gue." Jawabku tersenyum. Bukan senyum manis melainkan senyum sarkastik.

"Pfftt... percaya sama gue, tiap malam lo pasti bakalan ngetuk kamar gue." Katanya dengan sedikit tawa sambil meniup asap rokok dari mulutnya.

"Ya, ya, terserah lo aja. Tapi itu gak mungkin!" Balasku yang kemudian menyedut tehku yang mulai dingin.

Pagi itu benar-benar dirusak oleh kehadirannya. Aku tidak mau kembali ke dalam kamarku karena bagaimana pun juga aku sudah sejak tadi duduk di balkon dan berharap Roger kembali masuk ke dalam flat-nya. Tapi, dia masih berdiri seolah tak mau mengalah dan masih ingin menemaniku.

"Lo pasti bukan dari London," ucapnya lagi.

Aku meliriknya tajam. "Kenapa lo mikir gitu?" Kini aku yang berbalik tanya.

"Karena lo sewa tempat tinggal."

"Emangnya kalau sewa tempat tinggal harus datang dari luar London? Gak juga, kan?!" Ujarku agak ketus.

"Kebanyakan sih kayak gitu. Jadi, lo dari mana sebelumnya?" Tanyanya membuatku kesal. Tidak bisakah dia diam dan tidak merusak pagiku?

"Is this an interview or something? Because you keep asking me." Ucapku dengan nada sedikit tinggi karena mulai kesal.

Dia molontarkan tawaan kecil mendengar ucapanku. "Wohoo.. santai, Honey! Gue cuma berusaha ramah aja sama tetangga baru gue." Jawabnya. Selalu saja ada jawaban yang bisa dia ucapkan. Aku menarik nafas panjang dan berusaha tenang menghadapinya.

"Jadi asal lo dari mana?" Tanyanya lagi agak mendesak karena ingin tahu.

"Gue dari Birmingham." Ucapku tampak tidak antusias.

"Oh..," sahutnya. Dia terdiam tampak berpikir. "Disini liburan?" Ucapnya dengan menyipitkan kedua matanya. Dibalik ucapan dia yang terdengar mengakhiri pasti selalu ada pertanyaan baru untuk mengawali.

"Kerja di libur semester." Jawabku. Aku bertaruh sehabis ini dia pasti bertanya. 'Kerja dimana?'

"Lo kerja di Claire?" Tanyanya agak hati-hati, namun terlihat penasaran. Kupikir Ia akan bertanya dimana aku bekerja. Tapi, bagaimana bisa dia tahu kalau aku bekerja di Claire?

"Lo tahu darimana gue kerja di Claire?" Kali ini aku yang bertanya karena curiga.

Ia tersenyum penuh arti memberi jeda sebelum kembali bicara. "Not gonna tell you.." Jawab Roger dengan senyum simpulnya yang membuatku jengkel.

Sial! Kali ini dia membalikan situasi yang sama sepertiku tadi. Aku pun menekuk wajahku masam dan terdiam tanpa menanggapi ucapan pria itu.

"Cantik lo berkurang kalau cemberut." Ucap pria itu padaku.

Aku menoleh ke arahnya lagi. "Dan omongan lo itu malah makin nyebelin." Balasku yang menantanginya.

Roger malah tertawa mendengarnya. "Lo lucu ya..," katanya.

"Ya, dan lo nakutin." Balasku tidak mau kalah.

Senyumnya terlihat tampak surut kemudian Ia mengernyitkan dahinya. "Nakutin gimana?" Tanyanya heran. Masih bisa-bisanya Ia tidak mengingat apa yang telah Ia lakukan terhadapku di Klub?

"Ya.. emangnya lo gak ingat semalam lo senyumin gue dari atas panggung. Lo pikir aja, disenyumin sama orang yang jelas-jelas gak dikenal. Itu nakutin!" Jelasku dengan nada yang ditekankan. Roger malah tertawa lebar mendengar penjelasanku. Tawanya semakin membuatku gusar. Apanya yang lucu dari ucapanku?

Dengan segera Ia menghentikan tawanya tampak berpikir. "Tunggu.. tunggu.., senyumin lo? Sunny.., gue rasa lo terlalu percaya diri. Banyak orang yang nonton band gue, Dear! jadi lo mungkin salah sangka kalau gue cuma senyum ke lo aja." Ujarnya dengan mengangkat kedua alisnya yang terkesan meledekku.

Seketika saat itu aku malu dan tersadar bahwa ucapanku tadi itu sangat bodoh. Bodoh sekali! Lihat saja, dia jadi besar kepala karena aku mengiranya dia memperhatikanku semalam. Oh, Sial! Kali ini aku benar-benar dibuat kalah olehnya. Tapi, bagaimana pun juga aku seratus persen yakin kalau semalam itu dia hanya melihat ke arahku bukan orang lain. Fuck, Roger! Pria itu senang mempermalukanku.

"Tapi, gue jadi tahu kalau semalam lo merhatiin gue." Lanjutnya lagi. Mulutku hampir saja terbuka mendengar akan hal itu.

"Gue sama sekali gak merhatiin lo!" Jawabku ketus.

"It's okay, Sunny if you have a crush on me." Ucapnya tersenyum yang diselingi tawa. Aku menggelengkan kepalaku memandangnya muak. Tidak mungkin pria semacam Roger masuk dalam daftar pria yang sanggup mengisi hatiku. Itu tidak akan pernah terjadi!!!

Percakapan kami lalu terhenti ketika terdengar suara seseorang dari dalam flat milik Roger memanggil namanya. Suaranya semakin mendekat hingga sosoknya muncul di hadapan pria itu. Wanita berambut cokelat itu dengan santainya bergelayut manja di lengan Roger.

"Aku udah bikin sarapan!" katanya tersenyum manja. Wanita itu belum menyadari akan keberadaanku disini. Hmm.. Aku ingin tahu bagaimana reaski wanita itu kalau ada perempuan lain yang berani mencoba akrab dengan kekasihnya. Pikirku jahil.

Wanita itu kemudian memutarkan kepalanya ke arahkku, dengan cepat aku Tersenyum ramah dan menyapanya. "Hai!" Sapaku manis. Ia tampak terkejut melihatku, walaupun mencoba berusaha untuk tidak menunjukkannya. Sementara Roger sedikit memandangku dengan tatapan aneh.

"Oh, Hai..," sahutnya agak ragu, namun dengan cepat raut wajahnya tampak seperti orang yang sedang berpikir keras mengingat-ingat wajahku. "Gue kayaknya pernah lihat lo, tapi dimana, ya?" Ucapnya padaku.

"Di Klub semalam." jawabku masih ramah. Melihat Roger yang agak sedikit gelisah, walaupun Ia berusaha tetap tenang membuatku ingin tertawa. Apa aku harus bilang kalau kekasihnya ini mencoba menggodaiku tadi? Pikirku.

"Honey.., kenalin ini Sunny. Sunny kenalin ini Katy, pacar gue." Ucap Roger tanpa basa-basi memperkenalkan kami berdua. Aku masih memasang senyum manisku kepada wanita itu.

Ia tampak memandangku hati-hati dari bawah hingga atas, namun masih mencoba ramah. Dari dalam balkon milikku aku melambaikan sejenak tanganku mengisyaratkan perkenalanku dengan kekasih Roger. "Salam kenal!" Kataku.

Wanita itu mengangguk kearahku kemudian memandangku dan Roger secara bergantian. "Jadi.., kalian berdua kenal..."

"Oh, gue temannya Jill sama Mary. Makanya gue kenal cowok lo ini dari mereka. Iya, kan Rog?" Ucapku sambil melirik ke arah Roger.

Roger terdiam sejenak memandangku dengan mulut sedikit terbuka. "Ya, Baby. Dia semalem nonton band aku." Jawab Roger tersenyum santai sambil merangkul kekasihnya itu membuatku hampir memutarkan kedua bola mataku.

"Hmm.. gitu." Balas Katy. "Oh, ya, ayo.. sarapan.." ajaknya sambil bergelayut manja melingkarkan lengannya di pinggang Roger. Mereka tersenyum satu sama lain tampak begitu dekat seolah ingin bercumbu.

Tapi belum sempat pemandangan itu berlangsung aku segera berbicara lagi. "Oh, ya, lo mau ikut kumpul gue bareng Jill sama yang lain, Rog?" Tanyaku menghentikan aktivitas mereka berdua. Mereka lalu melihat ke arahku.

"Kapan?" Tanya Roger sedikit antusias.

"Weekend ini." Jawabku sambil memandang pria itu tanpa berkedip hanya ingin melihat reaksi kekasihnya kesal atau tidak. Padahal sebenarnya tidak ada pertemuan apapun di akhir pekan. Aku hanya senang saja mengganggu mereka berdua.

"Sorry, Roger kayaknya gak bisa datang soalnya kita ada acara." Jawab Katy dingin meskipun dia masih melontarkan senyuman datar padaku.

"Oh, oke." Ucapku yang mulai mengerti perasaan sebalnya si wanita Brunette itu terhadapku. Lucu juga! Ternyata benar apa yang dikatakan Jill kalau kekasihnya Roger mudah cemburu. Aku bertanya-tanya kenapa pria seperti Roger bisa punya kekasih yang kelihatan overprotective terhadap pacarnya.

"Ayo..," wanita itu segera menggandeng lengan Roger masuk ke dalam.

Aku pun kembali berbicara sebelum mereka meninggalkanku. "See you tonight, Roger!" Seruku pada pria itu.

Si wanita Brunette itu melirik tajam ke arahku lalu matanya melirik ke arah kekasihnya yang tampak tersenyum lembut ke arahku. Jujur saja aku sebenarnya muak mendapati Roger yang memandangku dengan ekspresi itu ketika Ia bersama kekasihnya. Bagiku, Ia pria yang doyan terbar pesona dan haus akan perhatian wanita!









Haaaiiii thank you buat yang udah baca jangan lupa klik vote!

Hmm.. wattpad versi sekarang udah gak bisa masukin mp3 buat soundtracknya jadi terpaksa gue add video dari youtube buat jadi backsound nya. I hope you guys like it

Dan akhirnya gue bisa post cerita ini. Kalo gue jadi Sunny gue udah jingkrak2 kesenengan punya tetangga macem Roger (ngayal bgt) wkwk. Oke deh semoga suka sama part ini. Ditunggu kelanjutannya.

Love,

May :)

Continue Reading

You'll Also Like

41.2K 3.3K 12
Laksita Hana Bahira adalah seorang Perempuan yang terpaksa menyewakan Rahimnya pada seorang Laki-laki karena satu masalah yang sedang membebaninya. N...
50.5K 3K 16
Jeno membayar semua hutang keluarga Jaemin, tapi dengan syarat pria manis itu harus menikah dengannya.
173K 15.4K 50
FIKSI
132K 10.7K 35
Supaporn Faye Malisorn adalah CEO dan pendiri dari Malisorn Corporation yang memiliki Istri bernama Yoko Apasra Lertprasert seorang Aktris ternama di...