"Yang paling menakutkan dari sebuah kehilangan adalah luka yang membekas setelahnya."
🕊️🕊️🕊️
Aska melempar tiga butir obat ke dalam mulut, lalu meneguk segelas air. Ia kemudian berbalik, memutar keran wastafel, dan mencuci gelas yang ia gunakan tadi.
"Den Aska ngapain nyuci begituan, sini biar Bibi yang melakukannya. Den Aska istirahat saja, nanti kecapekan."
Aska tersenyum, sepertiga deret gigi putihnya terlihat. Ia kemudian mengambil lap tangan setelah meletakkan gelas yang ia cuci di rak piring. "Cuma nyuci gelas doang mana capek, Bi."
Aska lantas beralih menatap barang bawaan Bi Hanum. "Bibi mau masak apa?" Tas berisi belanjaan itu segera berpindah ke tangan Aska walaupun Bi Hanum sempat menolak untuk memberikan.
"Aden balik ke kamar aja, istirahat. Nanti kalau terjadi apa-apa, Bibi yang disalahin." Wanita paruh baya itu mengekor di belakang Aska yang mulai bergerak membawa barang belanjaannya ke depan meja dapur.
"Aska habis minum obat, Bibi tenang aja." Anak itu memamerkan cengiran khas miliknya, lantas mengeluarkan segala macam bahan dapur yang baru saja Bi Hanum beli. "Kok banyak sayur, Bibi mau masak apa?"
Bi Hanum berbalik, mengambil pisau dan beberapa alat dapur yang ia butuhkan. "Bibi mau masak sayur lodeh, ini pesenan ibu."
Aska mendengkus. Ia kemudian menarik kursi untuk diduduki. Lagi pula ia juga tidak tahu harus berbuat apa untuk membantu Bi Hanum. "Bi, sesekali buatin Aska udang goreng tepung dong, udah lama nggak makan."
Bi Hanum tersenyum tipis, gemas melihat ekspresi anak majikannya itu tiap kali meminta sesuatu. "Den Aska nggak boleh makan yang berlemak-lemak, nanti kalau Den Aska sudah sembuh pasti Bibi buatin yang super enak khusus buat Den Aska."
Aska tersenyum kecut. Iya kalo sembuh.
"Ngomong-ngomong, Bi Hanum suka apa?" Aska mencabut bunga berwarna kuning yang terdapat pada sayur, ia memainkan bunga kecil itu dengan cara memutar-mutar tangkainya di antara jari ujung jempol dan telunjuk.
Sejenak, Bi Hanum mengangkat pandangan, menatap wajah polos tuan mudanya sebelum kekehan lolos dari bibir tua itu. "Den Aska kenapa nanya begitu?"
"Ya pengen tahu aja, Bi. Siapa tahu, Aska punya uang lebih terus bisa beliin buat Bibi."
Bi Hanum mengulum senyum. Walaupun Aska termasuk anak yang bandel, ia cukup peduli. Kadang sewaktu ia masih sekolah, Aska sering membawakan makanan untuk pekerja rumahnya. Bahkan ia pernah memesan pizza lima kotak waktu tahu Ratna ngidam ingin makan makanan itu.
"Bibi nggak ingin apa-apa. Yang penting Den Aska sehat, itu aja."
Aska mengembuskan napas pelan sebelum menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Kira-kira kalo Teh Ratna suka apa?"
"Dia mah kalo dibeliin penyedot debu baru aja sudah senang, Den."
Aska terkekeh. "Yang buat Teh Ratna gitu, Bi. Yang bisa dipake pribadi, bukan buat kerja."
Bi Hanum ikut tertawa pelan. "Kalo yang itu Bibi kurang tahu."
Aska tampak terdiam sejenak, seolah sedang menimbang sesuatu, ia kemudian bangkit dan menggeser kursi agar mepet dengan meja. "Ya udah, Aska naik dulu ya Bi, mau istirahat."
Bi Hanum tersenyum. "Nanti kalau Aden butuh apa-apa tinggal teriak aja ya panggil Bibi, pasti Bibi langsung dateng."
Aska hanya menganggu sebelum melangkah pergi meninggalkan dapur. Sepi yang pertama kali menyambut Aska, kala kaki anak itu menapaki lantai kamarnya. Langkahnya ia bawa menuju jendela, menyingkap gorden, membiarkan angis sepoi-sepoi menyapa kulit pucatnya. Aska termenung, menyandarkan lengan kanannya pada dinding sembari menatap ke luar, mengamati jalanan perumahan yang sepi siang itu.
"Udah kayak Rapunzel, tapi gue versi cowoknya," gumam Aska pelan, lalu detik berikutnya ia terkekeh geli, ia teringat bagaimana Agis dulu sering menceritakan tentang kisah putri berambut panjang yang dikurung di sebuah menara. Teman sebangkunya itu adalah penggemar Disney Princess, katanya kena racun dari adik perempuannya.
Aska tersenyum. Ah, mengingat Agis jadi membuatnya rindu sekolah. Sudah lama ia tidak menjejakkan kakinya di sana dan menuntut ilmu bersama teman-temannya layaknya manusia normal. Ia rindu bagaimana kelas menjadi riuh saat jam kosong, ia rindu menyelinap di tengah-tengah temannya saat jam olahraga, ia juga rindu mendengar bunyi dari bola basket yang ia pantulkan.
Aska merindukan suasana kelas yang ramai, ia rindu membuat band dadakan jika ditinggal guru di dalam kelas. Aska akui, ia memang anak yang cukup bandel, kadang tidak bisa diatur, bukan kadang, sih, tapi keseringan, sampai sekarang pun ia masih susah diatur. Namun, jangan salah, Aska juga rindu menghadiri kelas Bu Delia, rindu menggoda guru sejarahnya itu, lebih tepatnya.
"Orang, mah, harus lihat ke masa depan, Bu, Ibu masih aja terjebak di masa lalu, move on, Bu, nggak baik."
Aska masih ingat apa yang dikatakannya dulu waktu Bu Delia menegurnya dan malah menjebak anak itu untuk menjawab pertanyaan yang ia tidak ketahui. Mulai saat itu Bu Delia selalu melempar tatapan tajam ke arah Aska. Apalagi kalau anak itu lolos dari hukuman dengan alasan penyakit yang dideritanya.
Kata Raga, Bu Delia yang mengantarnya ke rumah sakit. Aska jadi rindu dengan gurunya itu. Ia ingin cepat-cepat sekolah dan berterima kasih sekaligus meminta maaf kepadanya. Namun, kapan hari itu akan tiba? Mungkinkah ia mendapatkan kesempatan itu sebelum detik lelah berdetak untuknya?
Aska menghela napas. Ia tidak tahu kapan ia akan bisa kembali ke sekolah, tapi tidak ada salahnya memasukkan hal itu dalam daftar salah satu keinginannya, 'kan? Aska kemudian menegakkan tubuh, melangkah mendekati kasur, lalu duduk di sisi nakas. Ia membuka laci, mengambil notes cokelatnya di sana.
9. Pergi ke sekolah.
Aska tersenyum. Sudah ada sembilan keinginan yang ia tulis, masih tersisa enam belas keinginan lagi, Aska masih memikirkannya. Lelaki itu lantas mengangkat pandangan, netranya menangkap bingkai foto besar pada dinding. Itu adalah foto dirinya sewaktu masih berumur tujuh tahun. Ia tampak tertawa lebar, matanya sampai menyipit. Aska ingat kapan dan oleh siapa potret itu diambil. Itu adalah hasil jepretan pertama Raga, kala itu Aska tengah berulang tahun, Byan dan Arini menggelitikinya, bisa dibilang itu foto candid terbaik yang ia miliki.
Aska tersenyum mengingat masa-masa itu. Namun, ada juga sesak yang mengganjal dada, karena setelah hari itu, ia tidak lagi melihat tatapan lembut dari Raka. Aska kembali menurunkan pandangan. Menimbang lama sebelum memutuskan untuk menulis daftar keinginannya yang kesepuluh.
10. Membuat foto keluarga (TANPA TERKECUALI)
Aska sengaja mengkapital tulisan yang ia kurung, kali ini, Aska ingin Raka berada di sana, tersenyum lebar bersama dirinya, Raga dan kedua orang tua mereka.
Setelah selesai, Aska kembali menutup notes kecil miliknya dan beralih meraih ponsel yang tergeletak di atas kasur. Jemari lelaki itu bermain di atas layar, sebelum senyum nakalnya terbit. Ia kemudian men-dial nomor sahabatnya yang telah membuat ide gila itu muncul.
Baru dua kali nada tunggu terdengar, panggilannya sudah terjawab. Aska langsung tergelak dan menempelkan ponsel ke daun telinga.
"Dasar jomblo, gercep banget jawabnya," cemooh Aska tanpa basa basi.
Terdengar dengkus kesal dari seberang membuat Aska semakin senang. "Elah kayak bukan jomblo ae lo."
"Yang penting, 'kan, gue jolas, nggak kayak lo, jones."
"Apatu?"
"Jomblo ngenes."
"Yang jolas goblok."
Aska tertawa. "Jomblo berkelas lah."
"Ya-ya, sebahagia lo aja lah."
"Btw, lo lagi di mana?"
Lelaki itu-Garis-terdiam sejenak sebelum bersuara, "Gue? Gue di mana?"
Aska merotasikan bola matanya. "Serius, Nyet."
Kini giliran Garis yang tergelak. "Emang kenapa? Kangen lo, ya, sama gue?"
"Iya kangen ... kangen nenggelemin muka lo di comberan depan."
"Durhaka lo emang, mah, jadi temen."
"Ris, serius, nih, gue lagi boring, keluar yuk."
Garis kembali terdiam, tampaknya lelaki itu sedang menimbang-nimbang. "Emang udah pulang dari rumah sakit?"
"Udah dari kemarin. Ayolah, ajak Agis juga."
"Gimana kalo ketahuan Bang Raga?"
"Ya, nggak bakal ketahuan kalo lo nggak bilang-bilang. Lagian Raga juga masih di sekolah."
Garis kembali terdiam sebelum memutuskan untuk setuju. "Oke, ketemu di mana?"
Senyum Aska langsung terkembang. "Jemput gue ke rumah, lewat gerbang belakang, diem-diem."
Setelah itu panggilan langsung terputus. Aska bergegas mengganti jaketnya dengan hoodie abu tua. Tak lupa mengambil dompet dan botol obatnya, jaga-jaga kalau nanti ada serangan mendadak. Lelaki itu lantas keluar. Saat memasuki dapur ia mulai mengendap. Sebisa mungkin tidak menarik perhatian Bi Hanum yang tengah memotong-motong sayur dan membelakanginya. Kini Aska bingung, jika ia membuka pintu belakang, sudah pasti Bi Hanum akan mendengar. Aska menggigit bibirnya, berusaha memikirkan cara agar Bi Hanum bisa pergi dulu dari dapur, tapi bagaimana?
Lalu, tatapan Aska tak sengaja tertuju pada ponsel Bi Hanum yang tergeletak di atas meja. Aska langsung tersenyum, ia kemudian merogoh ponselnya dari saku lalu mengirim pesan kepada Bi Hanum.
Anda: Bi, kayaknya tadi Aska lupa matiin televisi di ruang keluarga. Bisa tolong dicek sebentar?
Aska memandang ke arah Bi Hanum yang mulai meraih ponselnya, lalu balasan dari wanita itu masuk sebelum ia bangkit dan meninggalkan dapur.
Berhasil, Aska segera meraih kenop pintu dan membukanya. Kini masalah datang lagi, gerbang belakang digembok dan tidak mungkin Aska membobolnya. Lelaki itu menggaruk alis tebalnya, ia menatap tembok yang menjulang tinggi sebagai pembatas.
Di tengah kebingungannya, tiba-tiba saja Agis muncul di balik gerbang lengkap dengan seragam sekolahnya.
"Lo ngapain jadi batu di sana? Buruan, Garis nunggu di jalan depan."
Aska mendengkus. "Emang lo pikir gue dikutuk? Lo nggak lihat, tuh, gerbangnya digembok?"
"Ya udah, manjat ae."
Hela napas pasrah terudara dari bibir Aska. Memang tidak ada pilihan lain kecuali memanjat gerbang tinggi ini. Lelaki itu kemudian meletakkan kakinya pada celah jeruji besi dan mulai memanjat. Walaupun sedikit kesulitan dan tangannya sempat disapa ujung tajam gerbang hingga terluka, namun Aska akhirnya berhasil.
"Shit!" umpatnya sembari mengibas tangan kanannya yang terasa perih.
"Kebiasaan lo, mah," omel Agis sebelum merogoh saku hoodie Aska dan menemukan selembar plester di sana. "Bilang makasih, tuh, sama Bang Raga yang selalu naruh plester di kantong lo."
Aska mendengkus kesal, tapi tidak mengelak saat Agis menempelkan plester luka di telapak tangannya yang tergores. Kata Raga, Aska itu ceroboh, ia sering kali jatuh. Dari kecil Aska memang terlalu aktif, tak jarang ia mendapatkan luka gores karena ulahnya sendiri, dan semua itu berlanjut hingga ia menginjak usia remaja seperti ini. Oleh sebab itu, Raga selalu meletakkan lembar plester di tiap-tiap saku jaket atau pun hoodie anak itu. Jika saja kotak P3K muat di sana, sudah pasti benda itu yang akan Aska bawa ke mana-mana.
Setelah mereka berjalan beberapa meter, mobil Garis akhirnya terlihat. "Mau ke mana, nih?" tanya lelaki itu setelah kedua sahabatnya masuk ke dalam mobil.
"Panti Asuhan Pelita Bangsa."
Garis dan Agis serempak menatap Aska tak percaya. "Gue nggak salah denger, 'kan?" Agis mengutarakan keheranannya.
"Kepala lo kejedot, ya, pas pingsan?" Walaupun berkata demikian Garis tetap menjalankan mobil ke panti yang disebutkan sahabatnya itu.
Aska terkekeh. "Mau tobat nih gue, kalian jangan pada bikin sesat lagi."
Agis sudah akan menoyor kepala Aska dari belakang jika saja ia tidak ingat lelaki itu baru keluar dari rumah sakit. "Bukannya lo, ya, yang selama ini ngajakin sesat mulu?"
"Yang itu bukan ngajakin sesat. Sebagai teman yang baik, gue cuma memberi warna di masa putih abu-abu kalian biar nggak kelabu terus."
"Iyain aja dah, Gis, biar cepet, pusing gue denger dia ngeles mulu."
Aska kemudian tertawa, setelahnya ia tidak lagi bersuara. Anak itu lebih memilih untuk melempar pandangan keluar jendela. Agis yang duduk di jok belakang pun lebih memilih untuk fokus dengan ponselnya. Untuk membunuh hening yang mendadak mengungkung mereka, Garis menghubungkan ponselnya dengan tape mobil, suara merdu Surface mengalun pelan saat lagu Sunday Best sudah terputar. Membuat tiga sejoli itu tenggelam, membiarkan bungkam bertahta lebih lama.
Sampai akhirnya Aska meminta Garis untuk berhenti di minimarket dan membeli tiga kantung penuh makanan ringan. Mereka melanjutkan perjalanan, dan tidak berselang beberapa menit kemudian mereka sampai. Aska lebih dulu turun. Pelang bertuliskan 'Panti Asuhan Pelita Bangsa' langsung menyambut di gerbang masuk.
Rumah teduh di dalam sana menggugah Aska untuk segera melangkah, lebih-lebih dengan beberapa anak yang tengah bermain di halaman.
Langkah lelaki itu terbawa masuk lebih dalam, diikuti oleh Garis dan Agis di belakang. Dengan kakinya, Aska menahan bola yang tiba-tiba menggelinding ke arahnya. Ia kemudian berjongkok dan mengambil bola sepak bercorak hitam-putih.
Seorang gadis dengan bando kain di kepala mendekati Aska. Gadis kecil itu mengulurkan tangan untuk meminta bolanya kembali. Aska tersenyum, ia kemudian berjongkok untuk menyejajarkan tingginya.
Aska tak langsung memberikan bola yang dipegangnya, tangan lelaki itu justru terulur membersihkan bekas tanah di dagu gadis manis di hadapannya. Namun, Aska terkejut mendapati gores luka di sana. Segera lelaki itu merogoh saku hoodie-nya dan untungnya masih ada sisa plester luka.
Ia kemudian dengan telaten menempeli luka gadis kecil itu. Setelah selesai, Aska menyerahkan bola yang ia geletakkan di tanah kepada si empunya. Senyumnya terkembang manis, memegang kedua bahu mungil di hadapannya. "Lain kali jangan sampai terluka."
Seusai kalimat itu, Aska kemudian dikagetkan oleh kecupan hangat di pipinya. Gadis kecil si tersangka utama lantas tersenyum menatap keterkejutan Aska di hadapannya.
"Astaga, Geisha!"
Suara panik dari arah pintu masuk panti serta merta membuat gadis kecil itu langsung berbalik dan kembali bergabung dengan teman-temannya.
"Aduh, maafkan anak saya, Mas, dia memang sering mencium orang sebagai ucapan terima kasih, tapi tidak biasanya mencium orang asing seperti ini," jelas wanita paruh baya yang tadi berteriak. Ia tampak gelisah saat Aska mulai bangkit dan menghadap ke arahnya.
Menangkap kegelisahan dalam raut muka itu, Aska langsung tersenyum dan berujar lembut, "Nggak apa-apa, Bu, namanya juga anak-anak."
Walaupun begitu, wanitu itu tetap merasa tidak enak. "Ayo, Mas, masuk dulu."
Aska mengangguk, ia kemudian mengikuti langkah wanita berkerudung hitam itu. Rumah yang menampung anak-anak panti itu tidak terlalu besar, malah tampak sederhana, terasa begitu sejuk saat Aska baru saja menginjakkan kaki di terasnya. Angin sepoi-sepoi seakan langsung menyambut.
Seolah baru saja tersadar, Aska langsung menoleh, mencari keberadaan Agis dan Garis yang datang bersamanya. Di dekat gerbang masuk, kedua sahabatnya itu tampak kewalahan menghadapi serbuan anak-anak, mereka bahkan meminta anak-anak itu untuk berbaris agar semua kebagian.
"Silakan duduk, Mas."
Ibu tadi datang lagi, ia meletakkan secangkir teh hangat di meja rotan. Aska tersenyum, kemudian duduk di salah satu kursi yang terbuat dari anyaman.
"Perkenalkan, saya Sri Ayu, pengurus panti asuhan ini."
Aska menyambut uluran tangan Bu Sri. "Saya Aska, Bu, datang ke sini buat silaturahmi."
"Masya Allah, jarang sekali anak muda mau datang ke panti asuhan begini."
Aska kembali tersenyum. "Panti ini udah berjalan berapa lama, Bu?"
"Sudah sekitar tiga belas tahun."
"Didirikan sama Ibu sendiri?"
Bu Sri mengangguk.
"Kalau boleh tahu, dananya dari mana aja, Bu? Pasti untuk mengurus puluhan anak butuh dana yang besar, 'kan?"
"Biasanya dari sumbangan-sumbangan, Mas. Mungkin karena sebagian anak yang ditampung di sini anak yatim piatu jadi tiap ada rezeki berkah semua. Panti asuhan juga punya usaha sendiri." Bu Sri mengangkat bungkus makanan ringan yang ikut dibawanya tadi. "Ini makaroni buatan anak-anak yang udah menginjak remaja, dan alhamdulillah laku di pasaran."
Aska mengambil snack itu. "Ada berapa orang, Bu, yang ditampung di sini?"
"21 anak-anak, lima belas anak remaja dan baru menginjak dewasa, enam balita dan lima pengurus termasuk saya, jadi total 43 orang."
Aska terdiam, pandangannya ia pindai ke halaman. Anak-anak sudah duduk berteduh di bawah pohon sembari menikmati makanan ringan yang dibagikan Garis dan Agis. Kedua sahabatnya itu pun tampak ikut duduk di sana.
Netra kopi milik Aska tertuju pada sosok Geisha yang asik melahap roti di tangan. Ketika seorang anak laki-laki menyuapkan potongan sosis ke mulutnya, Geisha langsung tersenyum dan mengecup pipi anak itu.
"Apa Geisha selalu mencium temannya, Bu?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja tanpa sedikitpun Aska mengalihkan pandang dari gadis kecil itu.
Raut wajah tua Bu Sri tampak sendu. "Geisha itu bisu. Awal-awal datang ke sini dia kesulitan berkomunikasi dengan teman-temannya. Geisha tidak tahu bagaimana harus berbaur dengan mereka, sampai akhirnya Geisha terbiasa mencium orang lain sebagai ungkapan terima kasih."
Setelah mendengar cerita Bu Sri, Aska merasa ada sesuatu yang mencubit hatinya.
"Usianya baru lima tahun saat saya menemukan Geisha di dalam tong sampah dengan mulut diselotip dan tangan serta kaki diikat kuat sekali. Orang tuanya sengaja membuang Geisha." Tangan Bu Sri mengepal saat kembali membongkar kenangan buruk itu. "Di dunia ini banyak manusia yang hatinya sudah mati. Anak-anak di sini mempunyai cerita kelamnya masing-masing, sebagian besar dari mereka sampai berakhir di tempat ini karena hadirnya tidak pernah diinginkan. Mereka semua sudah saya anggap seperti anak saya sendiri."
Aska mengerjap cepat-cepat untuk menghalau air mata yang mendesak pelupuknya. Sebagai anak yang selama ini selalu mendapatkan kasih sayang kedua orang tuanya, hati Aska sangat sakit mengetahui fakta bahwa masih banyak anak di luar sana yang ditelantarkan. Jika Aska saja merasa kesepian saat Arini dan Byan harus terpaksa lembur hingga pulang dini hari, apa kabar dengan mereka yang tidak pernah merasakan peluk hangat dari tangan kedua orang tua mereka?
Terkadang dunia memang sekejam itu untuk mengajarkan sebuah arti kebahagiaan. Dari kelamnya hidup mereka di luar sana, Aska sadar bahwa yang dialaminya selama ini tidak ada apa-apanya.
"Kebahagiaan itu diukur dari seberapa besar rasa syukur." Suara Bu Sri kembali terdengar. "Dan anak-anak di sini diajarkan untuk mensyukuri apa pun yang mereka punya, termasuk juga dengan apa yang pergi, apa yang akan datang dan apa yang mereka telah genggam."
Diam-diam jari-jemari Aska terkepal, kalimat Bu Sri jelas menjadi tamparan keras untuknya.
🕊️🕊️🕊️
Langit sudah kehilangan warnanya saat Aska baru saja berhasil memanjat pagar. Lelaki itu mengendap masuk melalui pintu belakang. Setiap sisi rumah tampak sepi, membuat Aska dengan leluasa melenggang naik ke kamarnya.
Aska kira, ia sudah terbebas dari siapa saja yang mungkin memergoki aksi kaburnya hari ini. Namun, saat membuka pintu kamar, lelaki itu terperanjat menemukan Raga yang sudah duduk di sisi kasur. Raut kakaknya itu mengeras, jelas sekali ada amarah yang tertahan di sana.
"Ga?" cicit Aska takut-takut, ekspresi tak biasa Raga membuat nyalinya menciut.
Raga bangkit dari posisi duduknya. Ditatapnya Aska dari ujung rambut, lalu turun hingga berhenti pada plester luka yang menempel di telapak tangan anak itu. Amarah Raga semakin tersulut. Tangannya terkepal kuat sebelum memilih untuk melangkah meninggalkan tempat itu.
"Ga," panggil Aska lagi.
Sialnya, lirih suara itu selalu berhasil membuat langkah Raga terhenti.
"Gue bisa jelasin alasan gue keluar hari ini. Tapi, please, jangan marah dulu."
Raga menoleh. "Nggak ada alasan buat orang yang nggak pernah mikirin orang lain," tegasnya penuh penekanan. "Lo egois, Ka. Lo nggak pernah mikirin gue, Ayah, Bunda yang panik setengah mati cuma karena kesenangan lo sendiri."
Aska terdiam, kalimat itu menikamnya lebih dari yang Raga sadari.
"Sampai kapan lo mau bersikap kekanakan kayak gini? Kabur-kaburan tiap kali lo merasa bosan." Raga tidak suka Aska yang keras kepala, ia tidak suka jika anak itu terus-menerus membahayakan dirinya. "Lo pernah mikir apa yang udah Ayah dan Bunda korbankan sampai lo masih bisa bernapas hingga detik ini?"
Aska meneguk ludahnya kelu, walau ia tahu air mata sudah mulai memenuhi pelupuknya, Aska tidak mengalihkan pandangannya dari wajah Raga sedikit pun.
"Berhenti, Ka. Cobalah untuk menjadi dewasa, pikirkan orang-orang yang menyayangi lo." Raga tahu, ini juga waktunya ia untuk berhenti. Ini waktunya ia untuk melangkah dan memeluk adiknya yang sudah mulai menangis, ini waktunya ia untuk memberi pengertian kepada Aska dengan cara halus. Namun, kalimat Aska kala itu memaku kakinya hingga kebas dan tak bisa bergerak lagi.
"Gue takut, Ga. Gue takut nggak bisa ngelakuin semua yang gue inginkan. Gue takut jantung gue berhenti saat gue sendirian. Gue ketakutan, Raga, gue ketakutan setengah mati."
Mata Raga memanas. Hatinya ditikam sembilu. Sakit dan menyesakkan kala pengakuan Aska terlontar begitu saja.
"Lo tahu apa yang paling gue takutkan?"
Raga tidak ingin tahu, ia tidak ingin tahu apa yang Aska takutkan karena selama masih ada Raga, hal itu tidak akan pernah menimpa Aska.
"Meninggalkan luka kehilangan untuk kalian setelah kepergian gue."
Satu hal yang paling Raga sesali, kenapa ia justru membuat Aska semakin terluka?
🕊️🕊️🕊️
Notes:
Buat yang mau jemput Aska, Raka, dan Raga masih bisa banget order novelnya via WhatsApp ke nomor 0821-1875-1772. Buku bisa dipesan kapan pun dengan sistem POD. Begitu order langsung cetak. Proses 3-7 hari tergantung antrean percetakan🤗