Deburan ombak bergulung - gulung mendekati pantai landai berpasir putih. Suara kicauan burung camar bersautan di atas birunya samudra pasifik. Angin berhembus cukup kencang hari ini menerpa gaun putih Meldi. Tadi pagi, Yoesan telah mengucap ijab kobul atas nama Meldi. Saat ini mereka telah berada di tepi pantai untuk menggelar resepsi yang hanya di hadiri kerabat serta kolega. Meldi tak henti - hentinya mengucap syukur atas segala karunia yang diberikan tuhan padanya. Senyumnya terus mengembang menyadari dirinya telah resmi menjadi nyonya Zellino. Di sebelahnya laki - laki itu sangat mempesona menyambut semua tamu yang hadir dan selalu menggandeng tangan Meldi. Namun, Meldi kemudian teringat dengan sahabatnya itu, ia merasa sedih karena Faliq pasti tidak mengetahui ini, serta membayangkan bagaimana Faliq yang masih terbaring di rumah sakit itu. Seorang lelaki yang nampak tak asing bagi Meldi menghampirinya dan Yoesan,
" Saya ucapkan selamat untuk kalian berdua, semoga kalian selalu bahagia, " Ujarnya ramah,
" Terima kasih Pak Albert karena sudah hadir disini, " Jawab Yoesan,
" Saya sama sekali tidak menyangka kemarin meeting dengan calon nyonya Zellino, " Sambung Albert dengan terkekeh memandang Meldi, Meldi hanya membalas senyuman mendengar pernyataan Albert.
" Tuan Arga dan Nyonya Zarah pasti tersenyum bahagia di atas sana melihat putranya sudah menikah, " Lanjut Albert yang mendapat anggukan dan tatapan sendu Yoesan. Orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan 6 tahun yang lalu, saat usia Yoesan masih remaja kala itu. Semenjak itu hanya Zahana dan kakaknya Reihan keluarga yang ia punya.
" Dan dimana kakak anda, sepertinya saya tidak melihat keberadaannya? " Tanya Albert mencari Reihan,
" Kakak saya sedang menangani urusan bisnisnya yang ada di Ottawa, " Jawab Yoesan,
" Wah sayang sekali ya, pasti dia sangat sibuk, " Ujar Albert memandang Yoesan dengan kasihan. Setelah perbincangan kecil mengenai bisnis mereka Akhirnya Albert meninggalkan Meldi dan Yoesan serta berpamit untuk segera meninggalkan kepulauan indah itu karena ia harus melanjutkan perjalanan bisnisnya ke New York.
Tim dokter berlalu lalang nampak begitu panik dengan salah satu pasien di rumah sakit itu. Keadaannya kritis dan sudah berada di ujung kehidupannya. Nafasnya sudah mulai tidak teratur, sebuah alat kejut sudah dipasangkan di tubuhnya. Berkali - kali dokter menggunakan alat kejut itu di dadanya, namun hasilnya nihil. Jantungnya telah berhenti berdetak, denyut nadinya telah berhenti dan tak ada lagi oksigen maupun karbon dioksida di hidung dan paru - parunya. Matanya telah sepenuhnya tertutup. Seketika tangisan pecah di ruangan itu, Seorang gadis menatap tubuh tak bernyawa itu dengan nanar. Akhirnya terdengarlah sesenggukan yang semakin keras, air matanya sudah tak dapat dibendung lagi. Dari belakang seorang lelaki mengelus pundaknya, berusaha menguatkan agar istrinya itu merasa lebih tenang. Tangan putih gadis itu kemudian mengenggam tangan lelaki yang sudah tak bernyawa itu, mencium tangannya lembut dan berkata, " Terima kasih atas segalanya, "
Dias kini tengah berhadapan dengan seorang lelaki yang menatapnya tajam. Tangannya mengepal seakan siap memberi pelajaran pada lelaki yang lebih muda dihadapannya saat ini. Nampak kemarahan yang sudah meluap - luap.
" Jadi kau benar - benar menghianati ku? " Tanya lelaki itu,
" Tentu saja tidak, aku hanya melakukan yang seharunya, " Jawabnya santai,
" Apa kau pikir dengan menikahi Zahana tanpa sepengetahuanku itu bukan menghianatiku? " Tanya lelaki itu dengan menekan setiap kata - katanya,
" Kurasa tak penting membahas itu, lagi pula sekarang kau sudah mengetahuinya bukan, "
" Katakan apa sebenarnya yang kau rencanakan? " Tanya lelaki itu dengan menatap Dias tajam, sedangkan Dias hanya membalas dengan sebuah seringai yang licik dan berkata,
" Semuanya sudah di mulai pak tua, "
Meldi menghela nafas lega, setelah seharian ia menyambut tamu yang datang. Dirinya kini dapat beristirahat, Ia merebahkan tubuhnya yang pegal di atas ranjang berukuran king Size. Tiba - tiba Yoesan masuk dan ikut membaringkan tubuh di sebelah Meldi sambil berujar,
" Hem...... Jadi kini kita sudah sah menjadi suami istri ya, "
" Iya tentu, lalu? " Tanya Meldi menggantung,
" Lalu apanya? " Tanya Yoesan menggoda, Meldi hanya tersenyum merona. Lalu tiba - tiba Yoesan menghadapkan wajah Meldi tepat di wajahnya. Membuat Meldi tak bisa berkata - kata, dan jantungnya semakin berdetak kencang. Meldi memandang wajah lelaki yang kini sudah menjadi suaminya. Ia memperhatikan setiap inci wajahnya, membuat Meldi semakin merona. Yoesan juga memandang wajah cantik Meldi secara intens dan semakin mendekat. Pandangannya begitu lekat menatap manik cokelat tua yang berbinar itu. Ketika jarak mereka tinggal satu senti, ekspresi Yoesan berubah dan mendorong Meldi menjauh. Sontak membuat Meldi sangat terkejut,
" Sekarang tidurlah, ini sudah malam, " Ujar Yoesan dengan dingin dan beranjak dari tempat itu dan meninggalkan Meldi sendirian di tempat itu. Sejenak pikiran Meldi bertanya - tanya kenapa Yoesan tiba - tiba menjadi dingin. Ada rasa sedikit sedih dan kecewa di hatinya, namun ia segera menepis jauh pikiran itu dan berpikir positif. Meldi beranjak dari ranjangnya menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sudah lengket. Setelah menyelesaikan ritual mandinya, Meldi melihat ponselnya karena sejak kemarin ia tak memegang ponsel. Saat dilihatnya ada sekitar 5 panggilan tidak terjawab dari Faliq. Meldi memutuskan untuk menelfon balik sahabatnya itu, namun urung karena Faliq sudah menelfon terlebih dahulu. Kemudian ia menerima telfon dari sahabatnya itu dan mendapati bukan suara familiar Faliq melainkan suara mama Faliq yang parau,
" Meldi, Faliq telah berpulang selamanya, hiks.... hiks.... hiks....., " Tak ada jawaban dari Meldi dirinya diam mematung dan menjatuhkan ponselnya. Tatapannya kosong dengan nafas yang semakin memburu, setelah itu pecahlah suara tangisan Meldi memenuhi ruangan.
Yoesan mendengar suara tangisan Meldi yang cukup kencang. Segera ia berlari menuju kamar Meldi dan mendapati Meldi dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Dia terduduk di lantai dan terus meraung - raung memanggila nama Faliq. Yoesan mendekat dan langsung memeluk Meldi seraya mengusap punggung istirnya itu. Yoesan berusaha menenangkan dengan mencium kening istrinya itu. Beberapa saat kemudian Meldi mulai sedikit tenang dan mendongakkan kepalanya menatap Yoesan dengan air mata yang masih mengalir.
" Ayo kita kembali ke Indonesia, " Pintanya menatap Yoesan memohon,
Yoesan hanya memandangnya dan mulai bersuara,
" Tidak, " Satu kata itu seketika membuat Meldi merasa runtuh.
Hai readers akhirnya Mbak Meldi menikah, dan aku sangat bahagia karena sudah masuk di persoalan yang udah makin memuncak. So, jangan beranjak dari cerita ini, ikuti sampai selesai oke. Happy reading 😚😚🤗🤗